Anda di halaman 1dari 21

Title : 5 Days For Life (Part.

1)
Author : Cute Pixie & Keyholic
Casts : Lee Jinki, Yoona SNSD
Genre : Romance, Mistery
Length : Ongoing
****

Starlight Nite Club, 11.23 PM

Suara musik clubbing terdengar menghentak memenuhi ruangan dan mengiringi para
pengunjung club yang asyik menari. Bau keringat dan alkohol bercampur dengan asap rokok
berbaur diantara kilatan lampu bar.

Suasana di bar itu tak terlalu ramai. Dan tak begitu bising. Seseorang memesan segelas minuman
dan segera mengambil tempat duduk di ujung bar yang kosong.Sebenarnya Lee Jinki –nama
orang itu-  tak terlalu ingin minum. Jinki bukan peminum yang baik. Jinki juga bukan tipe namja
yang suka berkeliaran bebas setiap malam, mengunjungi bar untuk menemui gadis-gadis cantik
atau sekedar melepas penat setelah bekerja seharian.

Tapi itu dulu.

Jinki yang sekarang telah banyak berubah. Ia bukan Jinki yang anak baik-baik, berpenampilan
sopan, dan berhati lemah. Sekarang dialah Jinki yang bodoh, yang mudah sekali terjerumus pada
hal-hal liar. Ia pecandu narkoba, penikmat pergaulan bebas, dan dia  juga peminum berat.

Jinki meneguk segelas rum seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Ia menyesap
rum itu hingga benar-benar tak bersisa sedikitpun.Rasanya nikmat sekali mencicipi beberapa
gelas alkohol itu hingga membuat bartender yang sedang meracik minuman ikut kaget.

“Satu gelas lagi!” teriak Jinki sambil mengangkat gelas yang tak bersisa itu tinggi-tinggi. Ia sudah
setengah sadar. Kepalanya terasa amat pening. Tapi ia tak menghiraukan keadaannya. Ia masih
saja terus ingin minum, yang penting malam ini ia merasa sangat bahagia.

Bartender itu hanya menggeleng, tapi akhirnya ia memberikan segelas rum lagi untuk lelaki yang
tengah mabuk itu. Jinki meminumnya dengan senang hati. Tak ada membuatnya sebahagia ini
selain meminum setenggak minuman keras dan.. narkoba.

Jinki memang seorang pecandu narkoba. Teman-teman sekolahnya-lah yang memaksanya untuk
memakai barang-barang haram itu beberapa tahun yang lalu. Lee Jinki, si anak kaya raya dan
manja, dengan mudahnya diperbudak oleh teman-temannya untuk mencoba sesuatu yang
bernama ganja. Ia juga mulai mengenali barang yang bernama inex.

Betapa bodohnya ia baru menyadari hal itu saat ia sudah tergantung pada narkoba. Ia sama
sekali tak bisa lepas, bahkan setiap hari dan setiap saat ingin mengkonsumsi barang itu. Jujur
dalam hati kecilnya, ia sangat ingin memiliki hidup yang normal seperti dulu, saat ia menjadi Lee
Jinki si anak baik.
Tapi.. masihkah ada kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya?

Jujur ia sama sekali tak tahu.

Kalaupun ada, dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin dan tak ingin merusak hidupnya
yang sudah terperosok jatuh kedalam lubang kenistaan seperti sekarang.

Entah kenapa ia merasa hatinya sangat kosong. Ia sangat ingin.. dan membutuhkan barang itu.

Jinki merogoh saku celana jinsnya. Ada bungkusan berwarna putih disitu. Jinki berpikir sejenak,
lalu menghabiskan seluruh isi bungkusan kecil itu.

Jangan bilang kalau aku overdosis, batinnya.

Ada perasaan aneh yang merasukinya. Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan. Dingin sekali.
Kepalanya terasa amat pening. Nafasnya mulai kacau. Berhenti. Dan gelap.Saat saat ia sudah
menyadarinya, ia seakan-akan takut. Takut pada kematian.

****

Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun terisak di dalam toilet umum yang masih terletak di
dalam bar. Gadis cantik itu berambut panjang, tubuhnya yang ramping dibalut gaun merah yang
menyolok. Ia menatap wajahnya dikaca dengan penuh kebencian. Ada rasa kesal dan marah yang
muncul bersamaan.

Im Yoona –nama gadis itu, menengadahkan kepalanya dilangit-langit toilet umum wanita.
Perlahan-lahan airmatanya jatuh, membasahi pipi putihnya.

Baru sejam yang lalu istri dari kekasihnya, Ok taecyeon, melabraknya saat ia sedang menikmati
malam di lantai dansa tadi. Ia tak mengira Taecyeon sudah memiliki orang lain dan Taecyeon
lebih memilih istrinya dibandingkan dirinya,itulah yang membuatnya amat sangat membenci
Taecyeon.

Taecyeon sialan! Dampratnya kesal.

Ia sudah tak berselera dengan hidup ini.

Yoona sangat menyesal telah mengenal namja itu terlalu jauh.

Selain Taecyeon, tak ada lagi orang yang menyayanginya. Orang-orang disekelilingnya telah
tiada, orangtuanya telah meninggal. Ia hanya  hidup berdua dengan Sulli, dongsaeng  kecilnya.

Jika ia diberikan kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya, ia memilih untuk tak mengenal
namja bernama Tacyeon sejak awal.

Tapi.. apakah kesempatan kedua itu masih berlaku untuk gadis sepertinya?
Yoona mengusap airmatanya perlahan. Ia sama sekali tak percaya dengan kesempatan kedua itu.
Jangankan untuk hidup dua kali, hidup sekali saja sudah membuatnya muak dan ingin
mengakhiri hidup ini.

Tapi.. jauh di dalam lubuk hatinya, ia mengharapkan adanya kesempatan kedua itu.

Ia masih ingin membahagiakan orang-orang disekelilingnya, memperbaiki hidupnya yang


berantakan, dan juga membahagiakan Sulli, adik kecilnya.

Untuk apa aku hidup jika kau meninggalkanku.. kau jahat, Ok Taecyeon! Kau sudah tak
membutuhkanku lagi, kau mencampakkanku.. oke, baiklah.. lebih baik aku akhiri saja semua
ini.. aku tak butuh hidup ini lagi. Selamat tinggal, Taecyeon..
Gadis itu menatap pisau tajam berukuran kecil yang ia simpan di tas kecilnya. Kemudian ia
menggerakkan pisau itu untuk semakin mendekati lengan kirinya. Ia memejamkan kedua
matanya rapat-rapat.

CRASSSHHH!!!

Ada rasa sakit saat Yoona mengiris urat nadinya. Bahkan amat sangat sakit.Tak lama tubuh
Yoona terkulai lemas dan jatuh ke lantai. Sebuah pisau jatuh tepat saat sang pemegang tak bisa
menopang berat tubuhnya lagi.

“KYAA!!! Tolong.. ada seseorang bunuh diri disini!”

Terdengar sebuah teriakan keras seorang yeoja. Ia menunjuk kearah tubuh Yoona yang tengah
tergeletak dilantai. Lengan kiri gadis itu tergores pisau tajam. Urat nadinya teriris. Tak lama
beberapa orang datang memasuki toilet itu dan segera memeriksa tubuh Yoona. Seorang lelaki
memeriksa nafas gadis itu.

“Ia.. sudah..”

Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari arah luar saat lelaki itu menyelesaikan perkataannya.
Tak lama pintu terbuka. Muncul seorang bartender berlari ke tempat itu dengan nafas tersengal-
sengal.

“Pak manager.. itu.. ada.. seseorang.. mati.. tepat di meja bar.”

***

Jinki POV
Aku membuka mataku perlahan. Aku bisa merasakan dingin saat membuka kedua kelopak
mataku.Kelopak mataku terasa kaku.

Aku terperangah saat melihat pemandangan disekitarku.Kupandangi tempat ini dengan sedikit
bingung, Saat ini aku berada di sebuah tempat –entah dimana yang semuanya menjadi agak
gelap.Bukan hitam, tetapi agak buram. Aku baru menyadari bahwa tak ada siapa-siapa disini.
Aku benar-benar sendiri.
Tapi.. aneh, aku tak merasa badanku terasa ringan, kakiku tak menyentuh tanah, ataupun
sosokku yang transparan. Kondisiku normal-normal saja, seperti manusia pada umumnya.

Apakah aku masih hidup?

Atau.. mati?

Beginikah rasanya saat seseorang mengalami kematian?

“Hik.. hiks..”

Pandanganku beralih pada sosok gadis berpakaian merah yang sedang terisak. Aku tak tahu apa
yang sedang ia tangisi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia berjongkok dan
membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya.

Siapa gadis itu?

Sedang apa dia disini? Apakah dia juga mati sepertiku?

Aku berusaha menghampirinya dan menyentuh pundaknya. Ia mengangkat kepalanya, dan


berbalik kearahku. Aku berusaha tersenyum lebar saat mata bulatnya menatap tajam kearahku.

Tiba-tiba sebuah suara –entah darimana– menghenyakkkan kami.

“Kalian berdua sebenarnya telah mati..”


“Eh.. si.. siapa?!” seru gadis itu agak kaget saat mendengar suara itu.

“Tempat macam apa ini?” tanyaku sambil memandang kesekitar.

“Tempat ini disebut lingkaran neraka…”


“Jiwa kalian berdua telah diundang ke dunia bawah…”
“Apa? Ini pasti hanya bercanda, kan?! Aku tak mungkin berada ditempat ini! Aku harusnya
berada disurga!” seru gadis itu.

“Aku juga! Lagipula aku tak berniat untuk mati!” sahutku tak kalah keras.

Aku baru menyadarinya ketika ia mulai menampakkan wujudnya. Seorang laki-laki. wajahnya
terlihat cerah, berjubah putih dengan lesung pipitnya yang terlihat pada saat ia tersenyum
.Kurasa ia semacam malaikat.

Lelaki berwajah pucat itu membuka sebuah buku tebal. Ia membaca beberapa kalimat yang
tertera di lembaran itu.

“Nama Lee Jinki.. umur 22 tahun.. meninggal karena overdosis obat-obatan.. Yang kedua
bernama Im Yoona.. umur 21 tahun.. meninggal karena bunuh diri..”
Ia menutup buku itu dan melihat kami bergantian.“Jadi.. siapa diantara kalian yang masih
ingin hidup didunia?”
Aku melirik sebentar gadis itu, lalu mengacungkan tanganku.”A.. Aku!”
Brak! Gadis itu memukulku dengan tas kecilnya.”Enak saja! Aku masih ada urusan didunia ini!
Lebih baik kau saja yang enyah dan mati!”

“Ah, aniyo!” seruku tak terima.”Aku juga masih punya banyak urusan dunia yang harus
kukerjakan!Lagipula kau mati karena bunuh diri,kan? Berarti kau sendiri yang berniat
mengakhiri hidupmu!”

“Bodoh!” ia memukulku dengan benda itu sekali lagi.”Kau seharusnya yang mati..!”

“Pada saat ini, aku hanya bisa memutuskan satu dari kalian berdua yang akan hidup,” jawab
lelaki itu seraya tersenyum.
Gadis itu seketika berheti memukulku. Aku berbalik kearah malaikat itu.“Sa.. satu?”

“Semacam reainkarnasi, begitu?” tanya gadis itu agak kebingungan.

“Bukan reinkarnasi.. lebih tepatnya semacam kesempatan kedua,” ucap lelaki berjubah putih
itu. “Jiwa kalian akan tetap menempati tubuh yang lama. Dan kalian masih mengingat
perbuatan yang kalian perbuat dimasa lampau.”
“Dalam 5 hari ini, aku akan membiarkan kalian memperbaiki kesalahan yang kalian perbuat
di masa lampau. Dan bila tiba saatnya, kalian harus memutuskan siapa yang lebih pantas
untuk hidup,”
“Hei, seenaknya saja kau berbicara seperti itu!” seru gadis itu kesal.

“Dan selama lima hari itu, jiwa kalian akan bersatu, kusarankan kalian jangan..
meninggalkan satu sama lain,”
Suara itu perlahan-lahan menghilang. Malaikat itu telah pergi. Tak lama suasana disekeliling
kami menjadi terang benderang, aku bisa merasakan panasnya terik matahari. Pandanganku
beralih ke sekitar. Suasana yang gelap tadi.. sekarang tak ada. Aku dan gadis itu sekarang berada
di sebuah lapangan rumput hijau yang terbentang luas.

“A-apa ini?”

Gadis itu terdiam. Ia memungut tas kecil hitamnya yang terjatuh tadi dan menyampirkannya.

“Sosok tadi.. apakah itu sosok malaikat?” tanyaku.

Gadis itu mengangkat bahu.”Masa bodoh.” Ia beranjak dariku dan segera melangkahkan kakinya
menjauh. “Sudahlah. Aku mau pulang. Aku sangat sibuk.”

“Hei nona.. tunggu dulu!”

Saat jarak gadis itu semakin menjauh dariku, aku merasa seluruh tubuhku sangat sakit.
Jantungku seperti terkoyak. Aku terjatuh diatas rumput hijau itu sambil mengerang kesakitan.

“Dan selama lima hari itu, jiwa kalian akan bersatu, kusarankan kalian jangan..
meninggalkan satu sama lain,”
Ucapan malaikat itu..
“Awww!!!” gadis itu berjongkok sambil memegangi dadanya. Mungkin ia juga merasakan sakit
yang  sama sepertiku.

Aku berusaha bangkit dan semakin mendekati gadis itu. Dan saat aku sudah berhasil
menggapainya, tiba-tiba rasa sakit itu hilang seketika.

“Eh? Rasa sakit itu berhenti..” ucap gadis itu.

“Mungkin.. ucapan malaikat itu benar.” Kataku.”Tubuh kita memang terbagi dua, tetapi
sebenarnya jiwa kita satu. Jiwa kita tak bisa terpisah satu sama lain. Apa yang kurasakan.. akan
sama dengan apa yang kau rasa.”

“Jadi kau tak bisa membunuhku,” lanjutku lagi.

“Mwo? Aku tak bisa membunuhmu? Padahal aku ingin melenyapkanmu sekarang juga!” ia
menarik kerah bajuku.

Diam sejenak. Ia pun melepaskan genggamannya.

“Jadi.. selama lima hari ini.. kita harus memperbaiki segalanya… siapa yang akan mati dan siapa
yang akan bertahan hidup.. itu urusan nanti,” ucapku agak serius. “Hei, nona.. siapa namamu?
Aku tak terlalu mendengar ucapan malaikat itu.”

“Im Yoona,” jawabnya cuek.

“Aku Lee Jinki..”

“Aku sudah tau,” jawabnya ketus. Ia meletakkan tangannya dipinggang rampingnya.” Jadi kita
akan tinggal dimana? Aku tak punya tempat tinggal.”

Aku berpikir sejenak,”Bagaimana kalau dirumahku saja?”

Jinki POV
“Nah, ini dia rumahku,” ucapku saat langkah kami terhenti di sebuah rumah berukuran lumayan
besar. Rumah itu ber-aksitertur modern dari luar, dengan gerbang yang tinggi menjulang.

“Ayo masuk,” kataku lagi, mengantar gadis itu masuk kedalam. Nampak ruang tamu yang luas.
Lampu diruangan itu sedikit redup, ruangan bersih yang kental dengan aksen berbau tradisional
Korea.

“Ternyata kau dari kalangan berada, ya..” ia terus bergumam  sambil mengedarkan padangannya
ke setiap sudut ruangan. Langkahnya sempat terhenti saat pandangannya tertumbuk pada
sebuah pigura.

“Ini fotomu?” tanyanya sambil memandangi orang yang di foto itu.

“Ne. Waeyo?” tanyaku balik.


“Ah.. aniyo..” jawabnya sambil terkekeh. Lalu dengan santainya merebahkan tubuhnya di sofa.
Aku mengernyitkan dahiku. Cih. Gadis bergaun merah itu memang aneh, dia sangat dingin dan
menyebalkan. Juga jutek.

“Aku capek… aku mau tidur.” Ucapnya sambil memejamkan kedua matanya. Ia melempar tas
yang sejam lalu dipakainya untuk memukulku dengan sembrono, lalu merebahkan tubuhnya lagi
di sofa.Namun saat kakiku melangkah menuju dapur untuk mengambil minum, tiba-tiba dadaku
terasa sakit.

“Arrggghhh…”

Yoona terjatuh dari sofa dan mengerang kesakitan. Ia terus saja memegangi dadanya yang terasa
perih. Bahkan amat sangat perih, sama seperti yang kualami. Aku berusaha bangkit dan
melangkah mendekati gadis itu.

Dan benar saja, rasa sakit itu hilang seketika.

Aku memukul kepalaku sendiri. Ah, Jinki pabbo! Kenapa aku bisa lupa perkataan malaikat itu,
sih? Aku dan gadis itu tak bisa berjauhan dalam radius lebih dari satu meter. Pantas saja.

Yoona bangkit dan terpaksa mengikuti langkahku menuju dapur. Kuminum segelas air putih itu
sementara otakku tengah  mencari-cari topik pembicaraan yang tepat untuk mulai berbicara
pada gadis itu.

Baru saja aku ingin berbicara, tiba-tiba ia bersuara. “Kau hanya tinggal sendiri di tempat seluas
ini?”

“Anni.. aku tinggal bersama orangtuaku.Orangtuaku sedang berlibur ke Italia.”

“Kau?” kini giliranku yang bertanya mengenai gadis itu.

“Aku tinggal sendiri. Aku tak punya keluarga.” Jawabnya singkat.

“Kau berbohong.” tudingku. Tentu saja aku tahu ia berbohong, aku bisa mengetahui semua isi
hatinya.

“Kau..!” ia berteriak kearahku.”Bisakah kau tidak mendengar isi hati orang lain?!”

“Kau tak usah berbohong padaku. Kau pasti tinggal berdua dengan adikmu yang bernama Sulli,
kan? Orangtuamu sudah meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu, dan Taecyeon..” aku
berusaha mengeluarkan beberapa nama yang kini ada dalam pikirannya.

Wajahnya mendadak merah sekaligus geram mendengar nama terakhir itu.

“Stop! Dasar kau idiot!” geramnya, lalu mencengkram kerah bajuku. Aku hanya tertawa-tawa
saja melihat ekspresinya. Dia benar-benar gadis yang tempramental.

***
Akhirnya sehari telah berlalu.

Aku masih tak percaya dengan semua ini.

Aku. Dia.

Untuk beberapa hari kedepan kami hidup dengan satu jiwa, tapi berbeda raga. Bahkan kami
sama-sama bisa merasakan perasaan satu sama lain. Aku dan Yoona juga tak bisa berjauhan,
kami harus bersama-sama.

Demi mendapatkan ‘kesempatan kedua’, yaitu hidup kembali dan memperbaiki segala kesalahan
yang pernah kami perbuat di masa lampau.

Perlahan-lahan seberkas sinar matahari mulai menyusup lewat celah-celah jendela kamarku,
menyinari sosok gadis yang tengah tertidur pulas di ranjangku. Bahkan gaun merah yang ia pakai
sehari yang lalu belum ia ganti.  Aku hanya bisa menggeleng-geleng heran saat memandangi pose
tidurnya yang amat sangat aneh itu. Kepalanya miring kesamping dan tangan kanannya terkulai
lemas diatas kepalanya. Hahahahaha

“Hei..” kuguncang-guncang bahu yeoja itu.”bangunn…”

Ia tak bereaksi. Aku mengguncang-guncang tubhnya sekali lagi, kali ini lebih keras.

“Mmm…” akhirnya ia bereaksi. Perlahan-lahan matanya terbuka dan pandangannya saat ini
tengah tertuju pada sosokku yang sudah berdiri di depannya.

“Huahmmm.. Aku masih ngantuk.. ingin tidur..” ia menutup kedua matanya dengan malas, lalu
berganti posisi tidur menjadi kesamping.

Haish, dasar Im Yoona!

“Hei, bangun yeoja pemalas..!” aku memaksanya untuk bangun, dan beberapa saat kemudian
akhirnya ia dengan terpaksa menuruti kemauanmu.

Ya, kami sudah sepakat. Hari ini kami akan mengunjungi rumah Yoona. Ia ingin meminta maaf
dan menebus kesalahannya pada adiknya.

ia sempat menggerutu saat aku harus berjaga di dekat pintu kamar mandi sementara ia sedang
berganti baju.

“Handuk..” ia menyampirkan tangan kanannya keluar pintu kamar mandi. Ternyata ia lupa
mengambil handuk. Pantas saja.

Tadinya aku ingin mengambilkannya handuk, tapi aku sadar kalau jarak kami semakin jauh,
kemungkinan besar Yoona dan aku akan merasakan jantung kami terasa terobek. Akhirnya aku
memberinya handuk yang tengah kusampirkan di bahuku.
“Thanks..” jawabnya. Aku sempat berbalik ke kanan, melihat ke dalam kamar mandi itu. Tak
tanggung-tanggung, ia langsung berteriak kencang histeris, membuat kedua telingaku jadi sakit.

“Sialan! Kau pasti sengaja mengintip kedalam, kan?!” kepalanya muncul diantara celah pintu itu,
ia sempat memukul keras pundakku sebelum ia menutup pintu kamar mandi itu kembali. Aku
hanya bisa terkekeh sambil tersenyum jahil. Dasar yeoja. Selalu berpikiran yang macam-macam.

Setelah selesai berganti baju, ia keluar dari kamar mandi. Jujur saja, ia nampak sangat cantik
meskipun hanya mengenakan kemeja putih milikku yang sudah jelas kelonggaran untuk ukuran
tubuhnya. Rambutnya yang panjang ikal ia gerai, poninya menutupi sebagian pandangannya.
Entah kenapa saat melihatnya aku menjadi deg-degan begini. Apalagi saat ia tersenyum,damn..
ternyata cewek ini manis juga kalau tersenyum, kukira ia hanya bisa mendumel seharian.

Haish, apa-apaan sih kau, Lee Jinki?

Aku segera  menggandeng lengannya. “Kajja.. ayo kita ke rumahmu.”

***

Yoona memandang nanar rumah kecil yang nampak di depan mata kami. Rumah yang mungil,
bercat putih dengan tamannya yang tak terurus. Lampu tamannya sudah pecah, tetapi
bohlamnya masih menyala terang padahal hari ini masih siang.

Yoona mengusap pelan keringat yang membasahi keningnya hingga turun ke leher jenjangnya itu
dengan tangan kanannya. Huft, hari yang panas memang. Cukup panas sehingga kaus tipisku ini
sedikit basah dibagian belakang oleh keringat.

Kreeettt.. perlahan pagar bercat hitam dan agak terkelupas itu terbuka saat Yoona membukanya.
Yoona masih hafal bagaimana cara membuka pagar itu dengan baik, tinggal mengambil kunci
yang tergantung dibalik dinding belakang pagar itu.

AKu melangkahkan kakiku mengikuti Yoona yang berjalan kedepan. Saat sampai di pintu itu, ia
mengetuk-ngetuk pelan pintu itu sebelum masuk ke dalam.

Sunyi.

Tak ada jawaban.

“Mungkin ia sedang tidur..” jawab Yoona, seakan-akan tau isi hatiku. Ia menekan gagang pintu
itu kebawah, hingga pintu terbuka. Ternyata tidak terkunci.

Dan benar saja, adiknya itu sedang tertidur, di kamar berukuran 2X3 yang amat sempit dan
pengap.Sebuah buku cetak fisika dengan halamannya yang terbuka tergeletak disamping tubuh
gadis berumur kira-kira belasan tahun itu. Yoona mengguncang-guncang tubuh adik
perempuannya itu.

“Sulli..”
Sulli terbangun, pelahan kedua matanya terbuka. Mulutnya menganga saat melihat sosok di
depannya itu. Tak tanggung-tanggung, ia langsung memeluk kakaknya dengan sangat erat,
sambil menangis.

“Eonnie.. aku khawatir padamu.. kau kemana saja semalaman ini?” tanyanya saat melepas
pelukannya. Yoona mengusap airmata adiknya itu. Adiknya cukup manis juga, sama manisnya
dengan Yoona.

Dalam hati aku kembali menggerutu. Lee Jinki, jangan mulai lagi, deh.

“Aku.. aku baik-baik saja..” jawab Yoona berusaha mengulum senyum. Miris juga. aku kasihan.
Pada adiknya, lebih tepatnya. Aku kasihan pada adiknya kalau sampai ia tau bahwa kakaknya
sehari yang lalu sebenarnya sudah meninggal..

Sulli berjalan ke dapur untuk mengambilkan minum sementara aku tengah duduk diruang tamu
dengan perasaan canggung. Yoona duduk di kursi yag lain sambil menunggu adiknya itu
mengantarkan minumnya.

“Tenang saja. Setelah aku berpamitan padanya, kita akan pulang.” Ucap Yoona setengah
berbisik.

Ya, berpamitan. Entah kenapa saat mendengar kata yang satu itu hatiku menjadi sedih,
walaupun aturan dari ‘permainan’ ini sebenarnya begitu. Setelah berpamitan pada orang
terdekat masing-masing, salah satu diantara kami harus ada yang mati dan yang satunya
bertahan hidup. Meskipun sebenarnya aku iba melihat Yoona yang harus meninggalkan adiknya,
toh aku juga begitu. Aku juga harus berpamitan pada kedua orang tuaku.

“Silahkan diminum,” Sulli meletakkan segelas air berwarna kemerahan di atas meja kaca di
depanku. Ia melihat wajahku sejenak.”Oh ya, aku belum mengenalmu.. namaku Im Sulli.”

Kubalas uluran tangannya.”Lee Jinki.”

“Pacar eonnie?” ia melirik kakaknya dan aku secara bergantian.”Setahuku nama pacar eonnie itu
Ok Taec..”

Belum sempat aku mengelak kalau ‘aku-ini-bukan-pacar-kakaknya’, tiba-tiba Yoona


bersuara.”Bukan.. kami sudah putus. Dia pacar baruku.”

What? Apa?

Dia bilang aku ini namja chingunya?

“Sulli-ya, aku mau mengatakan sesuatu padamu..” tiba-tiba nada suara Yoona terdengar
rendah.”Aku.. aku akan bertunangan dengan Jinki.”

Aku langsung tersedak saat mendengar pernyataan Yoona. Tenggorokanku terasa sakit jadinya,
walaupun di dalam hati aku bisa mendengar bahwa Yoona hanya bercanda saja. Ya, aku bisa
mendengar isi hatinya, karena apapun yang ia katakan dalam hatinya pasti bisa terdengar
olehku.

“Eh? Oppa.. gwenchanayo?” tanya Sulli khawatir.

Aku menggeleng pelan sambil memegang leherku, sementara Yoona hanya tertawa kecil
melihatku.

“Aku akan tinggal bersama Jinki, aku akan mengikutinya ke Busan..”

“Jadi kumohon kau menjaga dirimu dengan baik,”

Sulli memeluk kakaknya erat, ia menangis.”Aku.. aku takut tinggal sendiri. Andwe,, aku mau ikut
eonnie saja!”

“Tidak bisa.. kau harus tetap disini, Sulli-ya.” Kata Yoona bersikeras. Sulli luluh jadinya.

“Aku sudah menyiapkan tabungan yang kusimpan untuk menghidupi kebutuhan sehari-harimu.
Ada dibalik rak tempat tidurku.”

Sulli hanya bisa menahan air matanya. Ya, Sulli memang bukan gadis yang egois menurutku. Ia
sadar bahwa ia sudah cukup besar untuk hidup sendiri tanpa bantuan kakaknya. Perlahan-lahan
Yoona menitikkan air matanya, rasanya aku jadi sedih. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan
gadis itu. Meninggalkan orang yang dicintai itu memang menyakitkan.

****

Krttett..Kreetttrr

Terdengar suara pisau yang tengah bekerja. Yoona sedang memotong bawang.Ia tampak sangat
serius, bahkan sangat serius sampai-sampai ia tidak memerdulikanku yang sudah lama berdiri
dibelakangnya.Err.. sebenarnya tadi aku ingin sekali ke kamar kecil. Ada yang harus
kukeluarkan. Tapi dasar, gadis itu tak perduli dan malah berjalan ke dapur untuk memasak
makananan untuk malam ini.

“Apa-apaan alat-alat masak disini? Tak ada yang beres..” ia mendumel sambil memperhatikan
kondisi dapurku yang buruk rupa.

“Sebenarnya.. aku tak pernah mengajak gadis kesini sebelumnya,”

“Eh.. kau tak punya yeojachingu?”

“Well.. sebernarnya minggu lalu kami putus,” jawabku agak.. err, maksudku memang berbohong.
Aku tak mau terlihat cupu di depannya. Bisa-bisa dia malah mengejekku habis-habisan.

“Ok.. aku bisa mendengar kalau kau berbohong,” sahutnya cuek sambil tetap memotong bawang.

Haish, dasar. Ternyata ia mendengar isi hatiku.


Ia berbalik kearahku, lalu tersenyum. Dalam hati, berbagai pertanyaan terus saja bermunculan di
otakku. Yoona berbalik, masih dengan pisau yang melekat di tangannya. Ia berjalan mendekat ke
arahku.Aku semakin bingung.

Dia mau apa, huh?

Jarak kami semakin dekat. Yoona menyeringai mengerikan dan perlahan-lahan tangan kirinya
mengangkat benda bersinar namun tajam itu tinggi-tinggi, tepat kearahku. Jantungku berdetak
tak karuan, lebih cepat dari yang biasanya.

Omo.. jangan bilang kalau ia mau.. membunuhku?

“Aku akan melenyapkanmu dari dunia ini, dengan begitu aku yang memenangkan permainan ini
dan hidup dengan tenang,”

Yoona mengarahkan mata pisau itu agar semakin mendekat kearahku, tatapan matanya kosong.

“Tung-tunggu.. kau.. kau curang..!” aku berusaha menjauh dari tubuh Yoona. Aku berjalan pelan
kebelakang.

“Curang?” ia memutar bola matanya.”Curang apanya?”


Langkahnya semakin pasti. Tubuhnya semakin dekat kearahku, matanya melihatku dengan
penuh kebencian. Ia bersiap-siap menghujam jantungku dengan sekali gerakan.

“RASAKAN INI!!!”

“KYAAAAAA~!!!”

Aku menjerit saking takutnya, kututup kedua mataku rapat-rapat.sedetik kemudian kurasakan
tubuhku normal-normal saja, tak ada rasa sakit atau apa.

“BWAHAHAHAHAHA…”

Aku membuka mataku perlahan. Kulihat Yoona menjatuhkan pisau di tangannya itu dan tertawa
terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terlalu keras. Aku
tersenyum masam. Sial. Ternyata ia mengerjaiku.

“Yah! Dasar gadis gila!” seruku marah. Fiuh, hampir saja aku mati gara-gara perbuatan
konyolnya.

Yoona kembali tertawa, lalu di sela-sela tawanya ia kembali berucap.”Pabbo.. tentu saja aku tak
bisa membunuhmu. Kalau aku membunuhmu, aku juga akan ikut mati, idiot!”

Huh. WTF.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, masakan Yoona sudah jadi. Ia memasak steak.. ya,
bentuknya lumayan baguslah. Tapi biarpun bentuknya menarik, belum tentu rasanya sama
menariknya.. hahaha.
Ia menghidangkan masakannya itu tepat diatas meja makan berukuran besar. Piringku beserta
nasinya sudah di siapkannya, alisku bertaut. Heh, ternyata yeoja ini tau juga cara
memperlakukan orang dengan baik.

“Makan cepat selagi belum dingin,” katanya saat aku sudah duduk di meja makan, ia duduk
didepanku.

“Woaa.. hebat! kau membuat semuanya sendiri sebanyak ini?” tanyaku agak takjub melihat
banyaknya makanan yang ia hidangkan.

Ia tersenyum sambil memamerkan muka ‘sok’nya.”Ne, tentu saja.. memasak adalah keahlianku,”

Jujur saja, aku benci melihat ekspresinya itu.

Tapi.. masakannya ini seakan-akan membuatku ingin memakannya. Bisa-bisa air liurku menetes
ini.. ><

Tanpa basa-basi aku langsung mencomot potongan steak itu dengn sumpit yang kupegang, lalu
memakannya.

Aku terdiam sejenak.

“Otte?”

Sebenarnya, masaannya sangat enak. Sungguh, aku tidak bohong. Cuma aku malas saja
memujinya, bisa-bisa ia besar kepala, lagi.. ish.

“Yeah, Oke.. normal.”

Ia tersenyum.”Aku tau, sebenarnya kau mengatakan masakanku enak, huh!”

Aku menatapnya kesal.”Kalau kau sudah tau, lebih baik jangan bertanya!”

Dan ia kembali tersenyum, senyum yang sama seperti saat ia keluar dari kamar mandi tepat tadi
pagi. Aih, manisnya..

Kenapa rasanya  kepalaku dipenuhi oleh senyuman itu? Bodoh.

Kami makan dalam diam, tak ada suara yang terdengar dariku ataupun Yoona. Semuanya
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun saat aku ingin menghabiskan sisa makanan di
dalam mangkokku, tiba-tiba ia bersuara.

“Kita duduk berdua seperti ini.. seperti pasangan saja,ya..”

“Ap-apa.. yang kau maksudmu?”

“Aih, pipimu kok merah begitu..Kau malu,” ucapnya berusaha menertawaiku.


Pikiranku kembali melayang. Ia bisa tau perasaanku. Perasaan kami berdua terbagi satu sama
lain. Aku bisa merasakan perasaannya, begitu pula sebaliknya.Dan..

Apa maksud tuhan untuk membiarkan kami berdua ‘berbagi perasaan’ seperti ini?

“Kau sedang memikirkan apa?Kenapa diam?”

“Tidak.. tidak ada,” jawabku.

“Gomawo..”

AKu terkejut saat mendengarnya.”Terimakasih untuk apa?”

“Terimakasih karena kau sudah menemaniku siang tadi,” ucapnya.”Ngomong-ngomong sekarang


giliranmu, eh? Kau tak mau kutemani untuk berpamitan pada orang tuamu?”

“Aniyo..” kataku.”Tak perlu. Orang tuaku sedang berlibur ke Itali. Kau mau kita pergi menyusul
mereka kesana?”

“Ne, ayo kita ke Itali!” serunya mantap.”Aku ingin berjalan-jalan kesana. Aku belum pernah
keluar negeri sama sekali.”

“Pabbo! Kau ingin berjalan-jalan kesana? Waktu kita tinggal 2 hari lagi. Besok sudah hari ke
empat.” Aku menghela nafas panjang. Entah kenapa saat berkata seperti itu aku menjadi sedih,
seakan-akan hari itu akan cepat menghampiri kami.

Atau.. apa aku takut untuk berpisah dengannya?

****

“Ppali..ppali..! Bangun, Jinki-sshi!”

Suara teriakan itu berasal dari yeoja yang tidak asing lagi. Ya, dialah yeoja yang tinggal
bersamaku beberapa hari ini. Namanya Im Yoona. Gadis yang tak bisa kutebak sifatnya.
Terkadang ia bersikap cuek, suka berkata kasar dan sangat ketus, tapi aku juga bisa menangkap
sisi lain dari dirinya. Ia terkadang bisa berlagak manis dan energik.

Gadis yang aneh, eh?

AKu yang masih terbaring di tempat tidur tak mengubrisnya. Aku masih saja bergumul dengan
selimut hangatku. Entah kenapa hari ini aku malas sekali beraktifitas. Sinar matahari yang
menyengat seakan-akan menghalangiku untuk keluar rumah.

Yoona menarik-narik selimutku, memaksaku untuk bangun. Tapi aku tetap saja tak bergeming,
mataku tetap terpejam, terlelap ke dalam mimpiku yang indah.

Marah, Yoona menarik selimut besarku hingga..

BRUKKK.
Aku terjatuh dari tempat tidur. Auchh.. sakit.

“Ups.” Ia menutup bibirnya dengan tangannya.”Sengaja… hahaha”

Huh, Dasar.

Dengan bokong yang terasa nyeri, aku bangkit dari jatuhku dan menatapnya dengan kesal. Eitt..
tunggu dulu.. ia memakai hoodie kesayanganku? Dasar..

Yoona nyegir, ia sadar bahwa aku menatap hoodie yang ia pakai.”Kenapa melihatku seperti itu?
Hoodie pink ini bagus, kan? Aku menemukannya di lemarimu,”

“Itu hoodie kesayanganku!”

“Jinjja? Seleramu sama seperti selera wanita..” ejeknya.

Yoona merangkul lenganku.”Kajja.. ayo kita berjalan-jalan. “ ia mengedipkan sebelah matanya


padaku.”Kau bilang kita tak boleh membuang buang waktu, bukan? Ayo kita memanfaatkan sisa
waktu ini untuk berjalan-jalan ke taman!”

***

“Kita naik bianglala yuk,” ajak ku.


“Anni..  aku takut ketinggian, Jinki..”
“Ayolah, kan ada aku. Lagipula tadi rollercoaster juga tinggi tapi kau tetap naik, kan?”
“Kan beda, tadi tidak terasa, langsung naik turun… tapi kalau bianglala kan jalannya lambat,
apalagi kalau sampai di atas… hiiihh….”
“Ayo dong, pokoknya harus mau. Kan sama aku. Tak akan menakutkan. Aku janji di atas sana
pasti indah. Mau ya?”
Yoona menghela nafas panjang, lalu berkata dengan berat hati.”Iya deh,”
“Nah gitu dong…” Kungandeng tangan Yoona dan mengajaknya berlari kecil.
“Hei, kau tak perlu lari begitu!” teriaknya kesal.
“Gwenchana, biar bisa ikut putaran yang sekarang, itu lagi kosong… daripada nanti mengantri.”
Yoona hanya menurut dan sesaat kemudian kami berdua sudah berada dalam satu kereta
bianglala yang pelan-pelan menanjak naik. Yoona langsung memejamkan mata. Kedua
tangannya memegang erat plat besi yang melingkar di bagian tengah kereta.
“Kau jangan menutup matamu, sayang sekali.. padahal pemandangan diatas sini bagus, lho..”

Yoona menggeleng pelan,tak mau melihat apapun di depannya. lucu sekali ekspresinya. Aku tak
menyangka dibalik sikapnya yang terkadang berani itu, di bisa juga bertingkah seperti anak kecil.
Kali ini aku memaksanya, kubuka kedua tangannya yang dengan erat menutupi pandangannya,
hingga akhirnya ia bisa melihat pemandangan indah dari atas.

“Kyaaa!!!” ia berteriak hebat saat mendapati pemandangan yang menurutnya menakutkan.


Bahunya bergetar, ia menarik-narik kemejaku sementara aku tertawa dengan keras di
udara.”Sialan! kau mau membuatku mati tegang, hah!”
“Hahahahaha..”

“Bercandamu tidak lucu!”

Aku tak merespon jawabannya. Aku terdiam, menikmati suasana diatas bianglala ini. Aku
berbalik kesamping kananku, melirik ekspresi Yoona yang kelihatannya mereda. Matanya tidak
terpejam lagi, bahkan aku yakin kalau ia juga menikmati pemandangan dari atas sini.

Hari ini begitu menyenangkan. Hari yang tepat untuk bermain sepuasnya dengan Yoona. Kami
mencoba hampir semuanya. Tadi kami mengerjai badut yang sedang bekerja, berfoto bersama
anak-anak dan burung merpati yang dibiarkan tinggal dengan bebas di taman. Hingga akhirnya
matahari sudah hampir condong ke barat.

Kulihat jam tangannya dan mendapati jarum panjang pada angka lima dan jarum pendek pada
angka empat. Kami turun dari bianglala itu setelah mesinnya berhenti. Aku manarik tangannya
dan bilang bahwa aku akan menunjukkan tempat yang selalu kukunjungi. Pertama-tama alisnya
bertaut, tapi aku tak perduli reaksinya. Kutarik tangannya dan menuju tempat yang konon
adalah tempat rahasiaku.

“Nah, ini dia tempatnya..”

Yoona menatap tak percaya pemandangan yang ia lihat didepan matanya itu.”Kau mengajakku di
tempat ini?”

“Apa?” tanyaku agak tidak bisa mendengarnya.

“TEMPAT INI BISING SEKALI!!!” teriaknya keras tepat di telingaku. Pantas saja berisik, di
jembatan besar ini para tukang bangunan sedang bekerja memperbaiki jembatan yang sudah
rusak. Padahal seminggu yang lalu aku selalu ke tempat ini.

Bunyi mesin terdengar dimana-mana dan bor yang sedang bekerja ikut membisingkan
pendengaran kami.

“Ayo ikut aku, kita ke bawah sini,” aku menarik tangannya dan menuntunnya menuruni bukit
berumput usang yang terletak dibawah jembatan. Hari sudah semakin sore,bahkan sebentar lagi
matahari akan terbenam.

Kami berdua berdiri persis didepan matahari yang mulai menghilang. Yoona memandangiku
sekilas, sepertinya ia sedang menungguku unuk mengucapkan sesuatu.

“Aku.. aku sering ke tempat ini sebelumnya,” kataku.”Ini adalah tempatku sering menumpahkan
isi hatiku,”

“Kau tau, kehidupanku sebelum ini sangat menyedihkan. Aku pecandu narkoba. Aku dulunya
sangat bejat, yeah.. kau tau. Aku sering dipaksa oleh teman-temanku ntuk memakai barang
haram itu, bahkan bukan hanya narkoba.. aku juga suka minum. Dan aku baru sadar
perbuatanku itu tak baik saat aku hampir mati.. dan inilah aku sekarang.”
“Hidupku tergantung,, ya.. antara hidup dan mati.. tak jelas.”

Entah mengapa saat aku menumpahkan semuanya, perasaanku jadi lega. Lega karena semuanya
telah kukeluarkan, dan juga karena gadis di sampingku itu bersedia mendengarkan keluhanku
sampai habis.

“Kita sama,”

“Apa?” tanyaku.

“Ya, kita sama..” ucapnya lagi.”Aku juga baru sadar kalau perbuatanku tidak baik saat aku
hampir mati..”

“Aku juga jahat. ya.. aku tak perduli dengan keluargaku. Aku tak patuh pada orangtuaku.. aku
menelantarkan Sulli..aku bekerja di klub malam dan bersikap jahat pada setiap orang yang
mengenalku.”

“Oh, dan aku juga bodoh karena telah melakukan bunuh diri dari namja berengsek seperti
Taecyeon. Aku bodoh sudah memberikan segalanya padanya, hingga hidupku sangat tergantung
padanya.”

“Aku sadar aku ini orang yang jahat.. makanya, aku ingin merubah semuanya.”

“Aku ingin terlahir kembali, sebagai Im Yoona yang baru.”

Sedetik kemudian, kami diam. Tak ada sepetah katapun yang muncul dari kedua bibir kami.
Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Hey, Lee Jinki..”

“Jinki..”

Suara Yoona memecah lamunanku. Kepalanya menoleh kearahku.

“Aku hanya ingin tanya..” ia menatapku dalam.”Apa kau menyukaiku?”

“Ini hanya perumpamaan saja..” ucapnya mempertegas.

Ia menatapku semakin lekat, seolah-olah menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirku.

Entah kenapa mukaku mendadak terasa panas. Mukaku memerah. Jantungku berdegup
kencang. Meskipun hanya ‘perumpamaan’, tapi secara tidak langsung ia menanyakan perasaanku
yang sebenarnya.

“Aku..” ucapku.”Kalaupun aku tak menjawabnya, kau pasti bisa mendengarnya,kan?”

“Gwenchana.. katakan saja!” ia menarik lengan kemejaku dan memukulnya dengan kesal.

“Apa?”
“Haish, dasar! Kalau kau tak mau mengatakannya aku akan pergi dari tempat ini!”

Omo.. aku tak tau apa yang harus kukatakan. Sebenarnya..

“Aku.. aku mencintaimu!” seruku setengah berteriak agar ia bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku tak mau melihat kesamping.. aku tak mau melihat ekspresinya ><

“Hmmpphh.. aku juga..” jawabnya. Suaranya terdengar sangat senang.”Aku juga sangat
mencintaimu, Lee Jinki.”

“Aku tau, kok!” kataku agak gugup.

****

BRUGHH! Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Tulang- tulang di tubuhku seperti akan
tercerai- berai malam ini. Baru sejam tadi kami pulang ke rumah dengan perasaan agak kikuk.
Ya, aku sudah mengatakan bahwa aku mencintainya. Walaupun menurutnya itu hanya
perumpamaan saja, tapi sebenarnya aku sangat menyukainya.

Yoona sedang memainkan piano yang terletak tak jauh dari tempat tidurku. Ia bermain sangat
mahir, bahkan suaranya yang bisa dibilang merdu itu membuatku ingin sekali tertidur.

Aku baru ingat. Besok adalah hari ke 5, hari dimana kami harus memutuskan siapa diantara
kami berdua yang pantas untuk hidup.

“I want to dream forever with you


Following the happy breeze, beneath that bright sky that blinds me
Beautiful melodies and fresh air fills this road that I’m walking with you
Do you remember? Those awkward and unfamiliar times when we firsth met
I’m thankful to you for silently taking care of me when I was hesitant and young”
Suara Yoona terdengar sangat merdu, serasi dengan not-not indah yang ia tekan. Jarinya
bergerak lincah diatas piano itu.

“I want to hold your hand and walk like this forever


Together with the person I love in a world just for the two of us
Those unforgettable memories during that long time
Throughout the laughter and the tears, the one who always believed in me was you”
Lagu yang ia nyanyikan sangat membuatku tersentuh. Aku memicingkan mataku, berusaha
melihat jelas sosok gadis yang tengah memainkan piano putih itu. Tunggu dulu.. ia.. ia memakai
gaun merah itu?

Gaun merah yang sama dengan yang ia kenakan waktu pertama kali kami bertatap mata.

Ia sangat cantik.. rambutnya tergerai indah, anak rambutnya yang menutupi sebagian
pandangannya..

Aku berani bersumpah, ia tak pernah secantik ini sebelumnya.


“No one will bother us
There’s not even a reason to waste any time
Sometimes We could be far from each other
With the same heart ,the same heart as one, dreaming the same dream”
Stop.

Permainan pianonya berhenti. Ia berbalik dan matanya menangkap sosokku. Ia melihatku,


dengan wajah malaikatnya.Ia beranjak dari piano itu. Yoona berjalan pelan kearahku tanpa
berkata sepatah katapun.

Ia terus saja mendekat ke tempat tidur tempatku berbaring.

“Even a long time passes, I want to dream forever with you..” katanya setengah berbisik.

Urat nadi di tubuhku berdenyut dengan cepat. Entah kenapa, kurasakan sesosok hawa dingin
seperti sedang menindih tubuhku.

Aku menahan nafas.

Im Yoona

Aku melihat wajah Yoona. Ia benar- benar ada di hadapanku –atau lebih tepatnya, di atas
tubuhku.

Yoona menatapku sangat dalam, dan sangat dekat. Tak dapat kupercaya, wajah cantiknya berada
sedekat ini dengan wajahku. Hanya ada jarak beberapa senti saja antara hidung kami. Dapat
kurasakan hembusan nafasnya yang tenang dan sejuk menyentuh ujung hidung dan bibirku. Dan
dia tersenyum. Dia tersenyum! ini adalah senyuman seorang gadis manis yang selalu membuat
jantungku berdebar- debar kencang.

Ia menyentuh pipiku. Dingin. Bahkan kulit tangannya terasa amat sangat membeku seperti es.
Lama aku menatapnya. Mata yang indah. Ia pun tak hentinya menatapku dengan tatapan
kosong. Sampai ia semakin mendekatkan wajahnya padaku. Aku semakin tak sanggup bernafas.
Tak mungkin. Aku tak sanggup bicara atau berteriak. Ottokeh?

Kupejamkan mataku. Kini aku baru mulai merasa takut. Rasa takut yang seharusnya kurasakan
sejak tadi.Hei, Lee jinki pabbo! Kenapa kau takut begini, sih? Dia ‘kan bukan hantu..

Kupejamkan mataku sekuat tenaga sampai aku tak sanggup melihat apapun. Ini pasti mimpi!
Pasti mimpi. Tapi aku masih tetap saja merasakan keberadaan Yoona di atas tubuhku. Tiba- tiba
kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh bibirku. Meraupnya dengan perlahan. Dapat
kurasakan dengan jelas tekstur bibirnya yang lembut dan dingin. Ia menciumku. Aku…, aku
tidak pernah berciuman dengan wanita sebelumnya.Aku terus berusaha meyakinkan diriku,
sementara sambil tetap memejamkan mata dapat kurasakan bibir Yoona yang masih terus
menempel.

Dingin sekali. Seakan-akan aku tertular hawa dingin olehnya.


Ia masih terus menciumku. Aku tak bisa menolak. Padahal aku ini laki-laki. Aku sama sekali tak
bisa menggerakkan tubuhku. Tubuhku diam seperti batu, bahkan mataku terus saja terpejam
tanpa bisa kukendalikan.

Tak lama ia melepaskan bibirnya yang beku, dan menatapku. Ia terseyum. “Terima kasih, Lee
Jinki.”

“Aku mencintaimu, walaupun itu hanya mimpi.. tapi aku ingin bermimpi selamanya bersamamu.
forever..”

Perlahan kubuka mataku.

Tapi tak ada.

Sosok yang telah menindih tubuhku itu hilang.

Yoona tak ada disini.

Hanya mimpi. Sudah kuduga, ini memang hanya mimpi. Mimpi yang menakutkan tapi terasa
nyata. Syukurlah aku sudah terbangun. Aku memegangi keningku yang terasa sakit dan
berdenyut- denyut.

Sianar matahari perlahan-lahan muncul dari balik jendela kamarku. Sementara aku terbangun,
kuedarkan pandanganku di sekitar ruangan kamarku ini. Yoona tidak ada. Gadis itu..

Kemana?

“Yoona!”

Aish, kemana sih dia? Apa di kamar mandi?

“Yoona! Kau tau akibatnya kalau jarak kita berjauhan, kan? Kau akan mati!” seruku.

Tak ada respon darinya. Aku bangkit dari tempat tidurku dan melihat DVD player yang masih
hidup. Kunyalakan TV dan memeriksa isi DVD itu. Ternyata ada kasetnya. Karena penasaran,
akhirnya kutekan tombol play untuk memutar kaset itu.

Tampil di layar, wajah cantik Yoona yang di-shoot close up. Tampaknya ia merekam video ini
dengan menggunakan handycam milikku, aku dapat melihat dengan jelas pergerakan tangannya
yang memegang kamera sambil merekam dirinya sendiri.

Aku penasaran. Kapan ia merekam ini? Apa waktu malam tadi saat aku tertidur?

Ia memakai gaun merah itu. Persis seperti pertama kali kami bertemu dan saat aku bermimpi
yang aneh-aneh tentangnya.

Aku terkejut saat melihat ekspresinya. Ia terdiam sambil tetap mengarahkan handycam itu tepat
mengenai wajahnya. Ia menunduk, tak ada suara. Tak lama ia menatap kamera, lalu tersenyum
semanis mungkin.
“Hey.. Jinki..”
“Mungkin saat kau melihat video ini, aku sudah tak ada lagi.”
Ap-apa?

“Karena.. aku sudah menyerahkan nyawaku untuk Jinki-sshi pada Tuhan.”


Ia berusaha tersenyum sambil tetap mengarahkan kameranya dengan baik. Aku tahu ia berusaha
menahan air matanya agar tak tumpah.

“Tapi aku tidak menyesalinya.”


“Sebenarnya, sejak malam ketika aku meninggal.. aku sama sekali ingin mengakhiri hidupku.
Aku tak mau diberi kesempatan kedua. Tapi setelah aku diberikan ‘kesempatan kedua’ oleh
Tuhan dan hidup berdua denganmu walau hanya sebentar, aku merasa seperti ingin hidup
kembali.”
“Walaupun hanya lima hari.. kita berbagi jiwa dan menjalani hidup bersama.. aku dapat
merasakan cinta. Ya, cinta yang sesungguhnya. Aku mencintaimu..”
“Aku tak pernah mengalami hal-hal yang paling membahagiakan dalam hidupku
sebelumnya…”
Perlahan cairan hangat menetes melalu kelopak mataku. Kerah kemejaku basah akibat air mata
yang tak hentinya kukeluarkan. Aku menangis.

“Aku sadar, kau lebih layak mendapatkan kesempatan hidup dibandingkan aku..”
“Y..yoo..na..”

“Meskipun aku sudah menghilang, tapi sebenarnya aku tidak benar-benar pergi..”
“Di dalam hatimu, di dalam mimpimu, aku akan selalu hidup.. selamanya.”
Perlahan air mata yang telah menggantung di pelupuk mata, mengalir jatuh. Hatiku terasa perih,
seakan sebagian telah  terenggut. Ya, aku merindukannya. Bahkan beberapa jam yang lalu, saat
ia menciumku.. aku tidak mimpi. Ya, dia ada. Yoona.. mungkin itu pesan terakhirnya padaku.

“So.. don’t cry too much..”


Aku mengusap air mataku saat mendengar suaranya yang seperti mengejek itu. Yoona bodoh,
mengapa mengucapkan perpisahan dengan cara seperti ini?

“Idiot! Aku tidak menangis!” seruku sambil tetap mengusap air mataku. Tapi tak bisa. Sekeras
apapun aku berbohong padanya, aku tak bisa. Ya, aku memang merindukannya.

Aku mencintaimu, Yoona..

“Saranghaeyo.. Jeongmal saranghaeyo, Lee Jinki..”


Aku percaya, di dalam mimpiku, ia pasti ada disana, ya. Dia pasti ada bersamaku.
Ya, aku juga mencintaimu.

Sampai kapanpun.

.::::FIN::::.

Anda mungkin juga menyukai