Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328342680

TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR


BENIH DAN BIBIT BERSERTIFIKAT

Conference Paper · December 2015

CITATIONS READS

0 2,415

3 authors:

Dede J. Sudrajat Yulianti Bramasto


Forest Tree Seed Technology Research and Development Center, Bogor, Indonesia Balai Litbang Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
62 PUBLICATIONS   122 CITATIONS    31 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Nurhasybi Nurmin

16 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Forest Tree Seed and Seedling Standardization View project

Seed Briquette and Blocked Seedling Media View project

All content following this page was uploaded by Dede J. Sudrajat on 16 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Prosiding
SEMINAR HASIL PENELITIAN
BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG
Bandar Lampung, 11 Agustus 2015

Editor:
Nina Mindawati
Yulianti Bramasto
Agus Astho
Mamat Rahmat

Hak Cipta oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan
non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut:

Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (2015). Prosiding
Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai
Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam
Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor.

Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan (2015). Prosiding Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan
Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ...........

ISBN: 978-602-98588-4-6

Prosiding ini diterbitkan oleh:


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Alamat:
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331
Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.co.id

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA


Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan TA. 2015
ISBN: 978-602-98588-4-6

Prosiding

Seminar Hasil Penelitian


Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan


dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan
Bandar Lampung, 11 Agustus 2015

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN
2015
KATA PENGANTAR

Keberhasilan institusi Litbang ditentukan oleh tingkat produktivitasnya dalam


menghasilkan IPTEK serta tingkat pemanfaatan IPTEK yang telah dihasilkannya oleh masyarakat.
Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaruh harapan besar kepada Badan
Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI LHK) agar mampu mencapai derajat
keberhasilan tersebut. BLI LHK diharapkan mampu menjadi penyedia landasan ilmiah bagi
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK dan menjadi pilar utama dalam memberikan
solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
lingkungan hidup dan kehutanan.
Sebagai upaya untuk menggapai harapan Menteri LHK di muka, Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah
menyelenggarakan Seminar Bersama Hasil Litbang di Bandar Lampung pada tanggal 11 Agustus
2015. Seminar tersebut juga didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,
Pemerintah Daerah dan UPT KLHK wilayah Provinsi Lampung.
Seminar yang mengusung tema “Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan
dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan” tersebut dimaksudkan untuk menjembatani
proses transfer IPTEK antara BLI KLHK dengan pengguna. Kehadiran penyuluh dan berbagai
mitra dapat menjadi indikator terjalinnya hubungan baik antara BLI KLHK dengan mitra.
Kehadiran mereka diharapkan dapat menjadi jembatan emas yang dapat menghubungkan BLI
KLHK dengan masyarakat sebagai pengguna utama hasil litbang.
Pada seminar tersebut juga diberikan kesempatan bagi semua peserta untuk berdiskusi,
saling berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bersama-sama membahas beragam
tantangan dan permasalahan yang dapat menghambat program peningkatan produktivitas
hutan dan lahan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan
yang ada, serta untuk menjaring input balik (feedback) tentang aspek dan topik riset yang
dibutuhkan pada masa mendatang.
Prosiding ini disusun sebagai outcome dari pelaksanaan seminar tersebut. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya
sehingga acara tersebut terselenggara dengan sukses. Tak lupa, ucapan terima kasih juga
dihaturkan kepada semua pihak yang telah meluangkan waktunya untuk mengumpulkan
bahan, menyunting dan memproses pencetakkan sehingga prosiding ini dapat tersaji di
hadapan pembaca.

Palembang, Desember 2015


Kepala Pusat Litbang Hutan

dto

Ir. Djohan Utama Perbatasari, MM.


NIP. 196012301988011001

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. ix
SAMBUTAN ......................................................................................................................... xi
RUMUSAN ........................................................................................................................... xv
A. ASPEK PERBENIHAN
1. Prospek dan Aplikasi Teknologi Iradiasi Sinar Gamma untuk Perbaikan Mutu
Benih dan Bibit Tanaman Hutan
Muhammad Zanzibar dan Dede J. Sudrajat.................................................................... 1
2. Teknologi Penanganan Benih dan Bibit untuk Memenuhi Standar Benih dan Bibit
Bersertifikat
Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto ....................................................... 15
3. Studi Awal Teknologi Benih Jenis-Jenis Mahang (Macaranga sp.) sebagai Jenis
Alternatif Penghasil Kayu Pulp
Nurhasybi dan Tati Suharti .............................................................................................. 27
4. Peran Perbenihan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Penghasil Energi dan
Obat-Obatan di Provinsi Lampung
Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita
dan Dharmawati FD ....................................................................................................... 39
5. Pengaruh Pengusangan terhadap Viabilitas Benih Akor (Acacia auriculiformis)
dan Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Tati Suharti dan Eliya Suitai.......................................................................................... 57
6. Informasi Awal Indentifikasi Cendawan Karat Puru Terbawa Benih Sengon:
Pengaruhnya terhadap Perkecambahan
Yulianti Bramasto, Danu dan Muhammad Zanzibar .................................................... 63
7. Fenologi Perkembangan Bunga dan Buah Nyamplung (Callophylum inophylum)
Evayusvita Rustam, Dida Syamsuwida dan Aam Aminah ............................................ 71
8. Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Benih Kaliandra
(Calliandra calothyrsus) dengan Sortasi Benih
Eliya Suita ..................................................................................................................... 79
9. Periodisasi Pembungaan dan Pembuahan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb)
Aam Aminah dan Tati Rostiwati................................................................................... 89
10. Pembiakan Vegetatif Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dengan
Cangkok sebagai Strategi Teknik Antara Mengatasi Kelangkaan Benih
Imam Muslimin, Nanang Herdiana dan Kusdi ............................................................. 97
11. Variasi Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Bambang Lanang (Michelia champaca L.)
Umur 1 Tahun
Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Imam Muslimin dan Kusdi .................................. 107

v
B. ASPEK SILVIKULTUR
1. Aplikasi Teknik Silvikultur dan Penggunaan Benih Unggul dari Sumber Benih untuk
Meningkatkan Produktifitas Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) di Hutan
Rakyat
Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ............................................ 115
2. Pengenalan Program Simulasi Perencanaan Usaha pada Kesatuan Pengelolaan
Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ............................................................................... 127
3. Pengaruh Bahan Setek Terhadap Pertumbuhan Setek Jabon
(Anthocepalus cadamba)
Nurmawati Siregar ....................................................................................................... 139
4. Penggunaan Serbuk Sabut Kelapa dan Arang Sekam Padi dalam Pembibitan
Bambang Lanang (Michelia champaca L.)
Danu dan Rina Kurniaty ............................................................................................... 145
5. Pengaruh Teknik Pengemasan terhadap Kualitas Bibit Meranti Bapa (Shorea
selanica (Dc.) Blume) untuk Transportasi
Naning Yuniarti ............................................................................................................ 153
6. Pengaruh Pupuk Daun pada Pertumbuhan Bibit Sungkai di Persemaian
Sahwalita ................................................................................................................... 161
7. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb): Jenis Alternatif untuk Bahan Baku Kayu
Dharmawati F. Djam’an ............................................................................................... 171
8. Pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocephalus cadamba) Umur 5 Bulan pada
Beberapa Macam Media dan Naungan
Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty ...................................................................... 177
9. Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Melalui Penerapan Teknik Budidaya
Intensif pada Beberapa Jenis Tanaman Hutan Unggulan
Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi .................. 185
10. Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat
Muswir Ayub dan Idi Bantara ...................................................................................... 199

C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN


1. Efektivitas Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Produksi dan Hutan
Lindung: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Solusi?
Bramasto Nugroho....................................................................................................... 207
2. Kajian Sosial, Ekonomi dan Kebijakan dalam Budidaya Kayu Pertukangan Lokal:
Pembelajaran dari Masyarakat Di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
Nur Arifatul Ulya ......................................................................................................... 217
3. Kajian Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan di Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rahman, Provinsi Lampung
Ari Nurlia, Edwin Martin dan Bondan Winarno ........................................................... 229
4. Pengetahuan Lokal Masyarakat Suku Daya dan Suku Saling, Sumatera Selatan
dalam Pengobatan Penyakit Degeneratif dan Metabolik Berbasis Tumbuhan
Efendi Agus Waluyo, Asmaliyah dan Suryanto ............................................................ 237

vi
5. Antara Diskursus dan Kepentingan: Merancang Model Konseptual Pengelolaan
Lanskap Hutan di Daerah Dataran Tinggi
Edwin Martin dan Ari Nurlia......................................................................................... 245
6. Ketidaksetaraan Posisi Tawar dan Informasi Asimetris dalam Pemasaran Gaharu
serta Alternatif Solusinya: Studi Kasus di Kabupaten Musi Rawas
Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan ............................................................... 253
7. Konsumsi Kayu sebagai Sumber Energi Rumah Tangga dengan Pendekatan
Kebutuhan Kalori Manusia (Studi Kasus di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur)
Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari ....................................................................... 261
8. Budidaya Jabon di Sumatera Selatan: Optimalisasi Lahan Milik dalam Upaya
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya............. 269
9. Biomassa sebagai Penyedia Subsidi Energi Bagi Masyarakat
Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah ............. 275
10. Pengelolaan Dana Bergulir oleh Pusat P2H untuk Pembiayaan Usaha Kehutanan
Agustinus Untoro Wisnu ............................................................................................... 281
D. ASPEK PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI
1. Potensi Tanaman Berenuk (Crescentia cujete, (L.)) sebagai Bahan Pestisida Nabati
Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ............................................................................. 289
2. Perkembangan Serangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Jabon
(Antocephalus cadamba) di Provinsi Sumatera Selatan
Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi ............................................................................... 295
3. Pengaruh Jarak Tanam dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Serangan
Hama pada Tegakan Kayu Bawang (Studi Kasus di KHDTK Kemampo)
Sri Utami dan Agus Kurniawan ................................................................................... 303
4. Aliran dan Erosi Permukan pada Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten
Bengkulu Selatan
Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana .................................................... 311
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 321

vii
Aspek Perbenihan

TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR BENIH


DAN BIBIT BERSERTIFIKAT

Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang
bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi
mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar pengujian dan
standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional,
standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah
Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu
benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan
khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat
sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih
dan bibit. Untuk sebagian jenis, SNI penanganan benih tanaman hutan dapat dapat dijadikan acuan
untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan
bibit.
Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar

I. PENDAHULUAN
Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah
mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum
mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman.
Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan
(2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan
tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis
ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta
hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan
meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut
memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu.
Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut yang
akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut mempunyai
multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik, fatologi dan entomologi
yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata lain, mutu benih diartikan sebagai
derajat dimana mana benih tersebut bisa hidup, aktif bermetabolisme dan memiliki enzim-
enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi metabolime yang diperlukan untuk
perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu benih juga bisa dicerminkan dari penampilan
fisik benih (kadar air, kemurnian dan berat benih) dan fisiologis (daya berkecambah) yang
dijadikan parameter utama pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia
(Sudrajat dan Nurhasybi, 2009). Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan
mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu.
Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan
bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit sangat terkait
dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara
15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu
merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak
yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin
banyaknya permintaan bibit tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu didukung standar
mutu bibit (nursery stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar
(ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005).
Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan
bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang
dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005).
Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar
mutu benih dan bibit (Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang secara operasional diatur dalam
bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung) dan Standar Nasional
Indonesia. Untuk memenuhi kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya
teknologi penanganan benih dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan
(Cicero, 1998; Sudrajat, 2010). Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit,
serta teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit
tersebut.

II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU BENIH DAN BIBIT
A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA
Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat ISTA hasil
penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi anggota ISTA dan
telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA terdiri dari 2 kategori (ISTA,
2011), yaitu:
1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab suatu
laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan
pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab laboratorium terakreditasi yang
berbeda. Apabila pengambilan contoh dan pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh
laboratorium terakreaditasi yang berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat.
2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang
terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab pada pengujian
contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung jawab dalam kaitan
dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana contoh tersebut berasal.
Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan hasil pengujian terbatas pada contoh
yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan contoh.
B. Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD
Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan di banyak negara
selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh pengujian mutu benih berbasis
ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem sertifikat benih, volume perdagangan
benih secara internasional mengalami peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan
sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat
pada benih-benih sereal dan tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan di semua

16
Aspek Perbenihan

negara anggota OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika
Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan
produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem serifikasi benih OECD menggunakan
beberapa klasifikasi sebagai berikut:
1) Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials): Persyaratan yang
diperlukan meliputi: a) wilayah dari provenan dimana materi dikumpulkan dan asal usul dari
materi (indigenous atau non indigenous) ditentukan dan didaftar oleh institusi yang
berwenang, dan b) benih dikumpulkan, diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan
dibawah pengawasan institusi yang berwenang. Label benih berwarna kuning.
2) Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti di atas, dan
berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu, disetujui dan diregister oleh
institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan khususnya untuk kriteria seleksi,
keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul. Label benih berwarna hijau.
3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed orchards): materi
berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji keturunannya belum selesai
dilakukan. Label benih berwarna pink.
4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih
yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih berwarna biru.
C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia
Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudang-undangan,
seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009 tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan.
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa
pentingnya perbenihan dalam mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju,
efisien, dan tangguh. Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor
44 tahun 1995, sebagai berikut:
Untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan, produksi benih bina harus melalui sertifikasi
yang meliputi:
a. Pemeriksaan terhadap:
1. kebenaran benih sumber atau pohon induk;
2. petanaman dan pertanaman;
3. isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar;
4. alat panen dan pengolahan benih;
5. tercampurnya benih.
b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, fisiologis dan
fisik.
c. Pengawasan pemasangan label.
Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman hutan diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang menyatakan bahwa
“Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat
mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat
keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih
bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48, Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas
Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas
Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan
standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan Menteri

17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tersebut. Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota melakukan
sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi
melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum
memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan
tanaman hutan. Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau
Kabupaten/Kota tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan Sertifikasi Mutu Bibit. Sertifikat
ini diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat Keterangan
Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya.

III. STANDAR PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT


A. Standar Pengujian dan Mutu Benih
Metode pengujian yang digunakan harus merupakan metode standar yang
dipublikasikan secara nasional, regional, maupun internasional. Internasional Seed Testing
Association (ISTA) Rules merupakan acuan internasional dalam pengujian benih. Secara umum,
ketentuan ISTA masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman pertanian dan hotikultura,
sedangkan jenis-jenis tanaman hutan khususnya jenis tropis masih sangat terbatas (ISTA, 2013).
Padahal peredaran benih tanaman hutan khususnya di Indonesia telah mulai berkembang dan
memerlukan pengaturan dan jaminan mutu baik bagi pada pengada, pengedar maupun
pengguna. Kondisi tersebut harus dapat diatasi dengan melakukan modifikasi terhadap
ketentuan ISTA dengan memasukkan data-data hasil penelitian dan pengujian benih yang
memadai untuk dijadikan dasar bagi penyusunan metode pengujian benih di Indonesia.
Penyusunan standar metode pengujian dan standar mutu benih telah dilakukan dari
mulai tahun 1990-an, namun hingga tahun 2009, jenis yang distandarkan masih sangat
terbatas. Pada tahun 2009, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan bekerjasama dengan Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor dan melibatkan seluruh Balai
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) membentuk Kelompoik Kerja Pembuatan Standar Mutu
Benih dan Bibit. Hingga tahun 2014, sekitar 80 jenis tanaman hutan telah dibuatkan standar
pengujian mutu fisik dan fisiologis dan standar mutu benihnya. Kegiatan Kelompok Kerja
tersebut meliputi pengumpulan data hasil sertifikasi mutu benih (2003-2014), eksplorasi benih
jenis-jenis yang belum pernah atau belum banyak diuji, tukar menukar benih antar BPTH,
pengujian mutu benih, pengumpulan data hasil sertifikasi dan hasil uji, pengolahan data,
penyusunan dan pembahasan standar pengujian dan mutu benih. Pada tahun 2014, melalui
Pusat Standardisasi dan Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional, standar mutu
benih tersebut telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI 7627:2014,
Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan (Lampiran 1).
B. Standar Pengujian dan Mutu Bibit
Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga sertifikasi lainnya
yang ditunjuk dalam kegiatan sertifikasi mutu bibit tanaman hutan. Persyaratan mutu bibit
dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat khusus, yaitu:
1. Syarat umum meliputi:
a. bibit berbatang tunggal dan lurus
b. bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak
menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk)

18
Aspek Perbenihan

c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi
bibit.
2. Syarat khusus meliputi:
a. tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh teratas
b. diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang
c. kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari
beberapa jumlah contoh bibit
d. kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas
e. jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang berdaun
banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan adalah Live
Crown Ratio (LCR)
f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen
g. umur sesuai dengan jenisnya.
Hingga tahun 2009, standar pengujian dan mutu bibit tanaman hutan berdasarkan
Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu bibit untuk 13 jenis
tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru memuat 7 jenis (BSN, 2005).
Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar mutu benih yang dimulai tahun 2009,
hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran
2). Standar tersebut didasarkan pada parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari
beberapa kegiatan, yaitu: 1). data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu
bibit di BPTH, Badan Litbang dan Inovasi, Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman berdasarkan klasifikasi morfologi bibit
(masih terbatas pada beberapa jenis tanaman hutan). Standar ini disusun dengan
mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang beredar di tingkat pengada, pengedar dan
pengguna sehingga standar ini terjangkau oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin
mutu bibit yang diterima pengguna, dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang
beredar.

IV. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI


STANDAR YANG BERLAKU
A. Teknologi Penanganan Benih
1. Pengumpulan buah
Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih dengan cara perontokan,
pemetikan dan pengumpulan buah di lantai hutan dengan mempertimbangkan kondisi
pembuahan dan indikator kemasakan. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia,
beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan
tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak berkerabat.
Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah. Indikator kemasakan buah
dapat diketahui dengan melihat perubahan warna kulit buah, bau, kelunakan buah, berat jenis,
kadar air benih dan jatuhnya buah secara alami. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan
perontokan, pemetikan buah, dan pengumpulan buah di lantai hutan.
Perontokan buah dilakukan untuk kebanyakan buah atau biji yang berukuran besar dan
buah yang mudah rontok serta waktu panen yang singkat. Pemetikan buah dapat dilakukan
secara langsung dan menggunakan alat bantu pada pohon yang buahnya tidak terjangkau. Cara
ini diaplikasikan pada tipe buah kering pecah (indihischent) seperti buah kapsul (misalnya:
eucalyptus, benuang, puspa), buah polong (misalnya: sengon, jelutung, pulai) dan kerucut

19
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(misalnya: agathis, pinus). Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara
pemanjatan. Pengumpulan buah di lantai hutan digunakan untuk buah/benih yang jatuh di
bawah pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat
berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan buah
terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa jaring/terpal sebagai
penampung. Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh dan sebelum buah terbuka,
rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002).
Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu panjang
serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan yang dilakukan di
lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran selain buah/benih,
pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan buah yang telah berjamur, buah
yang telah terfermentasi dan yang telah berkecambah. Lingkungan tempat penyimpanan
sementara harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu,
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung (di bawah naungan/atap).
Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah pengumpulan
buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah yang berpori (misalnya:
karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah diberi label yang tidak mudah rusak
dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan
administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal
pengunduhan, dan nama pengunduh.
2. Penanganan benih
Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni dengan
kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna
(kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan (pemeraman/curing) (seperti
pinus). Benih yang telah masak namun embrionya belum berkembang perlu dilakukan
pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio matang sempurna (seperti mahoni,
kesambi, jati). Benih yang tidak memerlukan pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat
langsung diekstraksi.
a. Ekstraksi benih
Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi basah.
Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong atau
kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan
cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal), 2).
penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat menggunakan alat
pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38°C selama 12-24 jam, 3). penjemuran/
pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih mudah untuk dikeluarkan dari
buah.
Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis.
Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak berisi air hingga
daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2). kulit buah dikelupas dan
kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan menggunakan pasir halus atau bahan
lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan permukaan kulit benih dikeringanginkan
dalam ruang kamar atau dijemur.
b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih
Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi, disaring,
direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower). Pembersihan benih hasil
ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi benih dilakukan untuk memisahkan

20
Aspek Perbenihan

benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih jenis lain. Sortasi benih dilakukan
berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi). Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed
gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan
blower.
c. Pengeringan benih
Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih
ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai
mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (8-12%). Pengeringan benih ortodoks
dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan
(4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi kadar air aman untuk
penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan aerasi/pertukaran udara yang
cukup.
d. Pengemasan
Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah berpori hingga
semi permeabel terhadap uap air dan gas seperti kantong plastik tipis dengan ketebalan 0,1 -
0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, dan keranjang. Untuk benih intermediate
dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap uap air dan gas seperti kaleng
aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca, dan jerigen. Selain itu, bahan
pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan pengiriman benih rekalsitran. Bahan
pencampur digunakan untuk menjaga kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak
terjadi penurunan, mengurangi kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan
hama dan penyakit. Bahan pencampur seperti serbuk kayu, serbuk arang, dan serbuk sabut
kelapa harus lembab dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan
volume bahan pencampur dengan benih adalah 2 : 1.
e. Penyimpanan Benih
Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan ortodoks,
sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4 minggu). Wadah
simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk pengemasan pada bagian 4.
Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan sementara benih rekalsitran dapat
menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang simpan kering sejuk/air conditioning.
Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002):
- Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30oC, kelembaban nisbi 70 - 80%).
- Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi 70%).
- Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%).
- Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 40-50%).
- Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 40-50%).
Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi mengenai: jenis
tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon
induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok benih, waktu panen, waktu simpan,
waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah, dan berat benih.
f. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu
pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari lantai hutan
harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan benih dari benih
rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat penyimpanan dilakukan
dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi serta pemeriksaan kesehatan
benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali pada wadah

21
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara
lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman
berkisar 5 - 10 menit.
B. Teknologi Penanganan Bibit
1. Penaburan benih
Benih yang memiliki dormansi diperlukan perlakuan pendahuluan. Benih ditaburkan
pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir, gambut halus, zeolit, serbuk
sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran halus (seperti jabon, ekaliptus,
benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga keluar sepasang daun. Benih-benih
yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam
di bedeng atau bak penaburan.
Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman dari
serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media perkecambahan memiliki
aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan intensitas yang berlebihan dan secara
rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida.
2. Penyapihan
Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau tinggi
semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal pada saat pagi
atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media tabur dibasahi terlebih
dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke media di bawah akar bibit
kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit terangkat. Hindari memegang bibit pada
batangnya tetapi peganglah kotiledon atau daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak
rusak.
Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu dalam
(bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga tanaman akan mudah
mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi bengkok. Bibit yang disapih dengan
tidak tepat maka sistem perakaran akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman
yang kurang baik, terutama ketika tumbuh di lapangan.
3. Penyiraman
Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul tersiram
secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai ke bagian dasarnya. Jadi tujuan
penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar membasahi daun. Kekuatan
semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan erosi atau kehilangan permukaan
media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari terutama selama musim panas. Untuk bibit muda
dari jenis tertentu yang berukuran kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang
menghasilkan semprotan air yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak
tanaman seperti halnya kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air
memenuhi pori-pori udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat
sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh
cepat namun lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen.
4. Wiwil dan penyiangan
Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dilakukan ketika
bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika bibit berketinggian ±20 cm.
Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara, mencegah berkembang dan menularnya
hama penyakit. Penyiangan atau pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan. Pembersihan
gulma sangat penting ketika bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih

22
Aspek Perbenihan

kuat dan tumbuh lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh
air, hara dan ruang tumbuh.
5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit
Pemangkasan akar adalah pemotongan akar untuk mengendalikan pengembangan
sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu dilakukan karena ketika
bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh menjadi lebih panjang dari ukuran
pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram
terlebih dulu, kemudian potong setiap akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan
hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari
kelayuan bibit, siram kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai
juga dapat dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai semen.
Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi berdesak-desakan
sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di bedeng semai harus
dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima sinar matahari yang cukup,
tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang hama dan penyakit.
6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit
Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit (biotik)
dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin.
Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat, semut) dan ulat,
sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan cacing. Insektisida sistemik
atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama. Penyakit yang menyerang
bibit antara lain adalah rebah semai (dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak
daun (leaf spot), layu (wilt), dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang
bersih, penaburan yang tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu
sekali, pengaturan intensitas cahaya, dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan,
2004).
7. Pemupukan
Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Sebelum
dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan dilakukan secara
tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan menyebabkan pertumbuhan
tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah, mudah layu, dan rasio pucuk akar
tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu karena pupuk yang berlebihan akan bersifat
toksik dan juga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat
seperti mikoriza. Pupuk yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air
dengan mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk
penyiraman. Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media
persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit, seperti
telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai untuk pertumbuhan
bibit.
8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off)
Seleksi bibit bertujuan untuk menyortir bibit yang menunjukkan gejala terserang hama
atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang utama bercabang,
bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki penampilan yang relatif seragam.
Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih
dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat et al., 2010).

23
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi
lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima
oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat
hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan
dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam
kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk
jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang
dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang
optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi bibit dilakukan secara
bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3
minggu sebelum waktu tanam.

V. KENDALA APLIKASI STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT


Hingga saat ini belum seluruh stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan
menggunakan standar mutu benih dan bibit yang telah disusun (Lampiran 1 dan Lampiran 2).
Terdapat beberapa kendala yang cukup sering ditemui dalam penerapan standar mutu ini, di
antaranya karena masih terbatasnya lembaga sertifikasi serta SDM dan sarana prasarana yang
belum memadai. Keberadaan lembaga penguji sebaiknya ada di setiap kabupaten atau
setidaknya pada tingkat provinsi, sehingga mudah dijangkau oleh produsen/pengada benih
yang akan mengujikan sampelnya. Hal ini terutama menjadi kendala apabila contoh benih yang
akan diuji adalah kelompok benih rekalsitran.
Selain itu adanya kebutuhan lapangan yang belum terakomodir di dalam standar mutu
yang telah disusun. Sebagai contoh saat ini standar mutu bibit siap tanam yang telah disusun
adalah bibit yang akan ditanam pada hutan tanaman yaitu bibit yang berukuran 30-50 cm, akan
tetapi banyak produsen/pengada menyadiakan bibit untuk kebutuhan lain, misalnya untuk
hutan kota yang ukuran bibit yang dibutuhkan lebih dari 1 m. Oleh karena itu untuk
mengakomodir kebutuhan tersebut perlu adanya perbaikan terhadap standar mutu benih
ataupun bibit, atau menyusun standard khusus untuk bibit yang diperuntukan hutan kota yang
umumnya telah berukuran besar.

VI. PENUTUP
Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai
parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi
pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan
bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit dan prosedur
administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada kompromi dalam
penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai. Selain itu, upaya lain
untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh dengan meningkatkan sistem
manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada benih dan bibit.

DAFTAR PUSTAKA
ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for Nursery Stock.
American Nursery & Landscape Association, Washington, USA.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina, Sengon,
Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 13p.
24
Aspek Perbenihan

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric., Piracicaba,
55(Número Especial). p.34-38.
Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I. Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen Kehutanan.
Jakarta
ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin, K.E. Wightman,
and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for bottomland hardwood qfforestation
in the lower Mississippi River Aluvial Valley: Preliminary results. USDA Forest Service
Proceedings RMRS-P-35. pp. 9-16.
Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited seed laws?
Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New
Forests. 13:223-248.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/V-Set/2009
tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman Hutan.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman
Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info Benih Vol.
14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87.
Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih tanaman
hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010. Kajian
standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1.
Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications. London.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

25
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Van der Meer, C. 2002. Challenges and limitations of the market. Jurnal of New Seeds. 4(1/2):
65-75.
Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed quality control in developing
countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75.
Weimortz, E.D., 1985. An international view of seed certification. In: M.B. Mcdonald, Jr and W.D
Pardee (eds.). The Role of seed Certification in the Seed Industry. CSSA Special
Publication No.10:25-28. CSSA Inc., Wisconsin, USA.
Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality assessment of hardwood seedings. Hardwood Tree
Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana.

26

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai