Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada


daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling
berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat
dihasilkan dari keberadaan hutan ini meliputi fungsi fisik, biologi, dan ekonomi.
Apabila ditinjau dari fungsi fisiknya, hutan mangrove mampu memberikan
perlindungan bagi kawasan setempat agar terhindar dari pengaruh pasang surut air
laut. Contoh nyata dari adanya fungsi tersebut, yaitu peranan hutan mangrove
sebagai pemecah ombak alami yang dapat menyebabkan abrasi karena letaknya
yang berbatasan langsung dengan garis pantai sehingga kecepatan dan kekuatan
arus yang dihasilkan menjadi berkurang. Contoh lainnya adalah peranan hutan
mangrove sebagai penambah luas daratan ke arah laut dengan cara
mengakumulasi substrat tumbuh mangrove yang berupa lumpur, melalui
kemampuannya dalam menahan dan mengendapkan sedimen secara periodik.

Kedua contoh dari fungsi fisik pada hutan mangrove di atas tidak terlepas
dari adanya sifat fisik mangrove yang khas sebagai salah satu daya adaptasi
terhadap lingkungannya. Diketahui bahwa sifat fisik dari jenis-jenis penyusun
vegetasi pada hutan mangrove dapat membantu proses akumulasi substrat lumpur,
serta cenderung memperlambat kecepatan arus air laut. Mangrove membutuhkan
karakteristik habitat yang sesuai untuk menunjang pertumbuhannya, terkait de-
ngan definisi hutan mangrove itu sendiri. Hutan mangrove didefinisikan sebagai
komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur (Bengen, 2000).

Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar
dengan arus pasang surut yang kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan
terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertum-
buhannya (Dahuri et al., 2001). Oleh sebab itu, jenis-jenis penyusun vegetasi pada
hutan mangrove umumnya memiliki daya adaptasi tersendiri. Daya adaptasi
tersebut utamanya ditunjukkan melalui karakteristik perakarannya yang khas dan
telah termodifikasi sehingga dapat menghasilkan beragam fungsi yang optimal.
Dikatakan dalam penilitian Poedjirahajoe (1995) bahwa jumlah akar mangrove
sangat dipengaruhi oleh lokasi tempat tumbuh serta dapat merupakan indikasi dari
kesesuaian mangrove terhadap tempat tumbuhnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
fungsi perlindungan hutan mangrove dihasilkan apabila vegetasi mangrove telah
mencapai kesesuaian terhadap habitatnya yang dapat diindikasikan melalui
jumlah perakarannya.

1
Indonesia merupakan negara yang memiliki luasan hutan mangrove
terbesar di dunia (2,5 – 4,5 juta Ha), diketahui menyumbang proporsi sebesar
27% luasan hutan mangrove di dunia dan 75% luasan hutan mangrove di
Asia Tenggara (FAO, 2007). Dengan luasan yang sedemikian, Indonesia
dirasa masih belum mampu mengoptimalkan fungsi perlindungan hutan
mangrove. Hal ini diperparah dengan semakin meningkatnya laju degradasi pada
tipe hutan ini dari tahun ke tahun. Diperkirakan pada tahun 1995 saja, angka
degradasinya mencapai 1,18 juta Ha (Arief, 2003). Lebih lanjut, berdasarkan data
yang dilansir oleh Kementrian Kehutanan pada tahun 2009 disebutkan bahwa
hanya 23,3% dari total luas hutan mangrove yang tumbuh dalam kondisi baik,
selebihnya 72,7% rusak sedang hingga rusak parah (Akbar, 2011). Sejalan
dengan kondisi tersebut, upaya untuk mengelola dan merehabilitasi hutan
mangrove dengan baik mutlak diperlukan.

Kerusakan yang kerapkali ditimbulkan oleh adanya aktivitas manusia


menyebabkan pemecah ombak alami seperti formasi terdepan pada kawasan hutan
mangrove menjadi tidak dapat berfungsi lagi secara optimal atau bahkan hilang.
Seringkali manusia baik secara sengaja maupun tidak, turut berpartisipasi dalam
mengintervensi kawasan ini ke arah yang lebih buruk dari kondisi sebelumnya.
Alih fungsi kawasan dan kegiatan eksploitasi yang berlebihan menjadi contoh
penyebab yang paling sering terjadi. Kebutuhan akan lahan dan sumber daya
yang kian meningkat bagi masyarakat pesisir memotivasi mereka untuk
melakukan tin- dakan tersebut. Hal-hal seperti inilah yang mengakibatkan
ancaman arus air laut menjadi semakin meningkat seiring dengan semakin
meningkatnya proses abrasi dan kegagalan permudaan mangrove dalam suatu
upaya rehabilitasi.

Arus yang optimal sesungguhnya dapat diciptakan dari keberadaan hutan


mangrove itu sendiri. Kemampuan hutan mangrove dalam mengurangi kecepatan
arus air laut kerap mengacu pada karakteristik perakaran mangrove yang rapat.
Kecepatan arus air laut dalam hal ini berbanding lurus dengan energi kinetik yang
dihasilkan olehnya. Saparinto (2007) mengemukakan bahwa perakaran
mangrove yang khas berupa akar tunjang, pneumatofor, dan akar lutut
menyebabkan kekuatan arus dan ombak menjadi lemah. Dengan melemahnya
kekuatan yang dihasilkan oleh arus air laut tersebut, tidak hanya bahaya abrasi
saja yang dapat dicegah, melainkan juga bermanfaat dalam membantu proses
akumulasi substrat lumpur sehingga angka keberhasilan permudaan mangrove
dalam suatu upaya re- habilitasi pun akan semakin meningkat.

Jumlah perakaran mangrove merupakan salah satu karakteristik perakaran


yang dapat menjadi indikator dari kesesuaian mangrove terhadap habitatnya.
Kesesuaian tersebut berkorelasi positif dengan kemampuan perakaran mangrove

2
dalam menghasilkan fungsi perlindungan sebagai pengakumulasi substrat lumpur
dan pengurang kecepatan arus.

3
1.2 Rumusan masalah

1.2.2 Apa adaptasi morfologi, anatomi dan fisiologi mangrove?


1.2.2 Bagaimana adaptasi mangrove terhadap pengenangan akibat pasang
surut?
1.2.3 Bagaimana adaptasi mangrove terhadap salinitas?
1.2.4 Bagaimana adaptasi mangrove terhadap substrat yang tidak stabil?

1.3 Tujuan penulisan

1.3.1 Untuk mngetahui adaptasi morfologi, anatomi dan fisiologi mangrove.


1.3.2 Untuk mengetahui adaptasi mangrove terhadap pengenangan akibat
pasang surut.
1.3.3 Untuk mengetahui adaptasi mangrove terhadap salinitas.
1.3.4 Untuk mengetahui adaptasi mangrove terhadap substrat yang tidak
stabil.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Isi

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi.


Beberapa ahli (seperti Chapman, 1977 dan Bunt dan Williams, 1981) menyatakan
bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur,pasir atau gambut),
keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang
surut.

2.1.1 Adaptasi Morfologi, Anatomi, dan Fisiologi

2.1.2 Adaptasi Terhadap Penggenangan Akibat Pasang Surut

2.1.3 Adaptasi Terhadap Salinitas

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai


jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari
media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan
garam dari kelenjar khusus pada daunnya.

Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,


sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih encer daripada air laut, air dari
dalam jaringan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuhan
kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini menyebabkan
diversitas ekosistem mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan
tropis (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan
air laut dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya
bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangrove, terbukti beberapa spesies mangrove
dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di pulau Christmas, B.
cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar, di Kebun Raya
Bogor B. Sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan air tawar.
Terhentinya penyebaran mangrove ke perairan tawar tampaknya disebabkan
ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain.

Adaptasi terhadap salinitas dilakukan melalui ekskresi, ultrafiltrasi, dan


akumulasi garam (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Ekskresi garam (salt
extrusion/salt secretion). Tumbuhan mangrove mengekskresikan garam dengan
kelenjar garam pada daun. Konsentrasi garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar
10% di atas air laut. Garam yang diekskresikan akan diterbangkan angin atau

5
hujan, sehingga daun mangrove berasa asin. Mekanisme ini dilakukan
Acanthus,Avicennia,Aegiceras, Aegialitis, Sonneratia, Laguncularia dan
Rhizophora (SNM, 2003, Ng dan Sivasothi, 2001). Ultrafiltrasi/mencegah
masuknya garam (salt exclusion).

Tumbuhan mangrove dapat mencegah masuknya garam, melalui saringan


membran sel di permukaan akar yang mampu mencegah lebih dari 90% garam.
Garam yang tetap terserap diekskresikan oleh kelenjar garam, dibuang melalui
transpirasi lewat stomata; atau disimpan dalam jarungan tua yang hampir mati.
Mekanisme ini dilakukan Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Lumnitzera,
Avicennia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, dan Acrosticum (SNM, 2003, Ng
dan Sivasothi, 2001). Akumulasi garam (salt accumulation). Tumbuhan mangrove
seringkali menyimpan Na dan Cl pada kulit kayu, akar dan daun tua. Daun
penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun ini dapat
mengeluarkan kelebihan garam. Mekanisme ini terdapat pada Excoecaria,
Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia, dan Xylocarpus
(SNM, 2003).

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap


kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina
mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan
90 o/oo (MacNae, 1966;1968). Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan
kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui
hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S.
caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain
juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada
salinitas 20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo,
Ceriops tagal pada salinitas 60 o/oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil,
bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo (Chapman,
1976a). Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di
bawah 25 o/oo. MacNae (1968) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum
untuk B. parviflora adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 o/oo.
o

2.1.4 Adaptasi Terhadap Substrat yang Tidak Stabil

Tanah yang labil yang terdapat pada ekosistem mangrove ini terjadi karena
kondisi pasang surut yang terjadi setiap hari, tersusun secara terus menerus
menumpuk membentuk sedimen yang memiliki kepadatan tanah yang rendah.
Adaptasi ini dilakukan dengan membentuk model perakaran yang khas dan unik,
seperti akar tunggang, akar pensil, akar lutut serta akar papan. Dari semua akar
yang dimiliki dari jenis-jenis magrove tersebut memiliki peruntukan yang
berbeda, tergantung dengan lingkungan yang di tempati oleh mangrove tersebut. 

6
Tumbuhan mangrove beradaptasi secara khusus terhadap tanah mangrove
yang gembur, asin, dan selalu tergenang (kekurangan oksigen; anaerob).
Tumbuhan mangrove beradaptasi dengan membentuk struktur pneumatofora (akar
nafas). Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi aerenkim dan lentisel)
sehingga dapat menyerap oksigen. Akar ini juga berfungsi untuk mengait pada
tanah lumpur. Bentuk akar nafas berbeda-beda, yaitu akar penyangga (stilt, prop),
akar pasak (snorkel, peg, pencil),akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon,
plank (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal


batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt
root apabila batang yang disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh
tanah. Akar ini memiliki pangkal yang luas untuk aerasi dan bertahan di lumpur
(Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Pada Avicennia dan
Sonneratiapneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang
tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak,
umumnya hanya setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia dapat membentuk
massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm, akar seperti ini disebut
dengan akar pasak (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah


permukaan tanah, dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh ke atas lalu
kembali ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas
tanah (lutut) untuk aerasi dan bertahan di lumpur. Lumnitzera memiliki akar lutut
kecil seperti akar pasak (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Pada Xylocarpus granatum dan Heritiera memiliki akar papan (banir) yaitu
akar horizontal yang tumbuh melebar ke atas membentuk akar pipih seperti papan.
Bagian vertikal berguna untuk aerasi dan berpijak di tanah lumpur (Ng dan
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah


berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman,
1977). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan
Rhizophora mucronata and Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti
Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau
karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian
dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934) melaporkan bahwa di Indonesia, R.
stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada
pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah
pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976a). Di
Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian –
Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m)

7
yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991).
Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi
(62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta
(Hardjowigeno, 1989).

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

9
DAFTAR PUSTAKA

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Wijaya, Mohammad Rodhinal Angga. 2014. Peran Tahun Tanam Terhadap


Jumlah Perakaran, Akumulasi Lumpur, dan Kecepatan Arus. Universitas
Gajah Mada.

https://dony.blog.uns.ac.id/2010/05/31/adaptasi-tumbuhan-mangrove/

10

Anda mungkin juga menyukai