Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluhan endometriosis bermacam-macam dari ringan sampai berat, namun


yang tersering yaitu nyeri panggul kronis, bisa berupa dysmenorhea maupun
dyspareunia dan infertilitas (Hendarto, 2015). Walaupun merupakan penyakit jinak,
namun memiliki karakteristik keganasan, seperti invasif, pertumbuhan tidak
terkendali, dan metastasis (Guidice, 2010; Leyland et al., 2010; Kobayashi et al.,
2011).Sampai saat ini belum ada teori yang menjelaskan terjadinya endometriosis
yang dapat diterima oleh semua pihak.
Endometriosis merupakan penyakit yang progresif dan angka
kekambuhannya tinggi sehingga memerlukan pengobatan jangka panjang.
Pemberian terapi hormonal seperti progestin, pil kontrasepsi kombinasi, GnRH
agonis dan Aromatase inhibitor dapat mengurangi keluhan nyeri dan progresivitas
endometriosis. Namun, obat tersebut memiliki efek samping yang merugikan bila
digunakan dalam jangka panjang, selain itu pemberian obat hormonal dapat menekan
ovulasi sehingga sulit digunakan bersamaan dengan penanganan infertilitas dan
ternyata terapi medis tidak bisa menyembuhkan penyakit endometriosis tapi hanya
mengurangi keluhan nyeri saja (Wieser et al., 2007).
Penelitian Nugrahaini dan Azizah (2015) tentang uji efektifitasanti inflamasi
ekstrak kulit buah naga merah pada mencit jantan galur Webster Strain. Pada
penelitian tersebut dijelaskan bahwa ekstrak kulit buah naga merah memiliki efek
antiinflamasi pada dosis 0,25; 0,5 dan 1 mg/gram BB mencit yang diberikan selama
14 hari, didapatkan hasil prosentase anti inflamasi dari ekstrak kulit buah naga dosis
1 mg/gram BB sebesar 61,38%, dosis 0,5 mg/gram BB sebesar 49,32%, dosis 0,25
mg/gram BB sebesar 42,76%. Sehingga dosis tersebut dapat digunakan sebagai
acuan dalam penelitian ini.
Pada pasien endometriosis, darah menstruasi pada rongga peritoneum akan
merangsang fosforilasi IKK pada makrofag peritoneum, dan selanjutnya
menyebabkan sekresi berlebih beberapa sitokin proinflamasi, seperti TNF-α (Tumor
Necrosis Factor-α), interleukin (IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10), dan RANTES
(Regulated upon Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted) (Maybin, 2012;
Lois, 2005; Hendarto, 2015). Interleukin (IL)-1β merupakan sitokin proinflamasi
yang merangsang sel endometriosis untuk memproduksi beberapa sitokin lain dan
faktor pertumbuhan yang berperan dalam adhesi, pertumbuhan, invasi, inflamasi dan
angiogenesis pada jaringan endometriosis (Lebovic et al., 2000; Akoum et al., 2002;
Lavoie et al., 2007; Takemura et al., 2007; Kao et al., 2011; Yoshino et al., 2011).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IL-1β secara signifikan
meningkat dalam cairan peritoneal, sel endometrium ektopik dan eutopik dari
penderita endometriosis (Lebovic et al., 2000; Guay et al., 2007).
Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol
kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dengan berbagai dosis terhadap kadar
interleukin-1β. Pada masa mendatang, diharapkan ekstrak kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) dapat digunakan sebagai terapi komplementer pada
pengobatan endometriosis.
Untuk mengukur kadar interleukin-1β penulis menggunakan ELISA. Enzim-
linked immunosorbent assay (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai
uji penentuan kadar imunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi
yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen. Pada awalnya,
teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan
antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM,
IgG, & IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya). Namun seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam
bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll.
Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik
ELISA kompetitif yang menggunakan konjugat antigen-enzim atau konjugat
antibodi-enzim, dan teknik ELISA nonkompetitif yang menggunakan dua antibodi
(primer dan sekunder). Pada teknik ELISA nonkompetitif, antibodi kedua (sekunder)
akan dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai signal. Teknik ELISA
nonkompetitif ini seringkali disebut sebagai teknik ELISA sandwich.
Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagai macam jenis
teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari dilakukannya uji dengan teknik
ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah kadar interleukin-1β mencit model endometriosis yang diberi ekstrak etanol
kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dengan dosis 0,25; 0,5; dan 1
mg/gram BB lebih rendah dibandingkan yang tidak diberi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis pengaruh ekstrak etanol kulit buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) dengan dosis 0,25; 0,5; 1 mg/gram BB terhadap kadar interleukin-1β pada
hewancoba mencit model endometriosis
1.3.2 Tujuan khusus
Membuktikan kadar interleukin-1β mencit model endometriosis yang diberi
ekstrak etanol kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dengan dosis 0,25;
0,5; dan 1 mg/gram BB lebih rendah dibandingkan yang tidak diberi
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberi pengetahuan tentang efek ekstrak kulit buah naga merah terhadap
kadar interleukin-1β cairan peritoneum.
1.4.2 Manfaat praktis
Ekstrak kulit buah naga dapat digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan
sebagai terapi komplementer untuk terapi endometriosis pada level eksperimen
terhadap mencit yang endometriosis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endometriosis

2.1.1 Definisi
Endometriosis adalah keadaan tumbuhnya jaringan endometrium diluar kavum
uteri (Garai et al., 2006; Gludice, 2010). Implantasi abnormal jaringan endometrium ini
umumnya terjadi pada panggul , ovarium, tuba falopii, abdomen, usus, rektum, vagina,
servik dan vulva (Garai et al., 2006; Farquhar, 2008 ). Lokasi lain termasuk diafragma,
pleura, dan perikardium tetapi kejadiannya sangat jarang (Giudice, 2010).
Endometriosis merupakan penyakit jinak, namun memiliki karakteristik
keganasan seperti pada kanker yaitu invasif, pertumbuhan sel yang tidak terkendali,
kecenderungan metastasis dan terulang kembali (Leyland et al., 2010). Kondisi
endometriosis dan kanker ovarium menunjukkan pola yang sama dalam hal invasi lokal,
penyebaran, dan responsif terhadap estrogen dalam menginduksi sinyal faktor
pertumbuhan. Kanker ovarium mengekspresikan resistensi terhadap mekanisme
apoptosis dan ditandai dengan ketidakstabilan genomik sama seperti halnya dengan
endometriosis (Vlahos et al., 2010).
Sutton (2006) dalam tulisannya The history of endometriosis menyatakan
bahwa pada tahun 1885 Von Reckling Hausen pertama kali memberi nama
endometriosis untuk kondisi seperti yang disebut diatas dan memperkirakan keadaan
tersebut berasal dari perkembangan jaringan Wolff.
Carl Von Rokitanski pertama kali mendiskripsikan secara detail kondisi
endometriosis yaitu kista endometrioma digambarkan sebagai cytosarcomaadenise
ovario uterinum. Tahun 1921 Dr. John Sampson melaporkannya endometriosis secara
serial yang dimulai dengan deskripsi endometrioma ovarium. Selanjutnya
diperkenalkan teori menstruasi retrograd sebagai faktor penyebab utama
berkembangnya penyakit endometriosis yang dipublikasikan di artikel secara serial
pada tahun 1927 (Sutton, 2006).

2.1.2 Patogenesis
Hingga kini, patogenesis endometriosis masih belum jelas. Diperkirakan
endometriosis ovarium muncul akibat proses invaginasi dan metaplasia coelomic dari
pelapis epitel ov arium atau dapat terjadi akibat implantasi la ngsung jaringan
endometrium ke dalam kista folikel atau kista luteum. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi enyebab endometriosis peritoneum dan endometriosis pada
ovarium adalah perubahan mekanisme apoptosis sehingga terbentuklah implantasi
endometrium.

2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi endometriosis terdiri dari respon inflamasi, survival sel, proliferasi,
migrasi, adhesi dan invasi, serta neoangiogenesis. Pada gambaran lesi endometriosis,
pertumbuhan dan inflamasi memiliki kaitan satu dengan lainnya (Giudice, 2010;
Soares et al., 2012). Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung pada
estrogen, penyimpangan sintesa dan metabolisme estrogen telah diimplikasikan dalam
patogenesis endometriosis. Estrogen yang diproduksi lokal dalam jaringan
endometriosis khususnya estradiol mempunyai dua peranan penting dalam proliferasi
sel endometrial dan stimulator sitokin proinflamasi (Bulun et al., 2005; Guidice,
2010).
Pertumbuhan endometrium ektopik akan merangsang produksi makrofag
berlebihan, produk sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan dalam cairan
peritoneal sehingga menyebabkan pertumbuhan yang lebih lanjut (Soares et al.,
2012). Sitokin pro inflamasi mayor yaitu TNF-α dan IL-1β dilepaskan oleh makrofag
peritoneal dan sel endometriosis yang selanjutnya mengaktivasi faktor transkripsi
seperti Nuclear Factor-kB (NF-kB) dan Activator Protein 1 (AP-1). Faktor
transkripsi yang telah aktif mengikat DNA sel endometriosis dan merangsang
aktivitas transkripsi gen untuk menyandi produk-produk berikut ini yaitu: a) sitokin
lain seperti IL-6,IL-8, Macrophage Migration Inhibitory Factor(MIF), Monocyte
Chemoattractant Protein(MCP-1), Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor (GM-CSF), b) Nitric Oxide(NO) dan VEGF yang merupakan faktor pro
angiogenik dominan pada endometriosis, c) matrix metaloproteinases (MMPs)
MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-7, dan MMP-9, yang terlibat dalam degradasi dan
remodelling matriks ekstraseluler permukaan peritoneal, d) meningkatkan gen
antiapoptosis, e) molekul adhesi yaitu D-44, Intercelluler Adesion Molecule1
(ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule1 (VCAM-1) (Soares et al., 2012).
2.1.6.3 Perlengketan pada endometriosis
Bahan kimia yang disekresi lesi endometriosis atau sel sekitarnya dapat
berperan untuk terjadinya fibrosis dan perlengketan. TGF-β yang terkait dengan
berbagai pembentukan perlengketan intraperitoneum meningkat di cairan peritoneum
penderita endometriosis diduga berperan dalam proliferasi jaringan endometriosis,
sedangkan banyak penelitian yang menemukan apoptosis (kematian sel terprogram)
menurun pada endometrium dan epitel endometriosis penderita endometriosis.
Peningkatan proliferasi dan menurunnya apoptosis menyebabkan sel bertambah banyak
dan bertahan lebih lama. Ini akan memudahkan terjadinya endometriosis (Bedaiwy dkk,
2002; Gupta dkk, 2008).
Awal perlengketan diduga karena peran hyaluronic acid yang diekspresi sel
mesotel peritoneum dan reseptornya CD44 yang diekspresi sel epitel dan stroma
endometrium. Laminin dan fibronektin, dua golongan glikoprotein untuk perlengketan
(adhesi), memegang peran penting dalam melekatnya sel epitel ke selaput dasar, dan sel
stroma ke matriks interstisiel. Distribusi laminin dan fibronektin dan reseptornya identik
di endometriosis dan endometrium, kecuali reseptor fibronektin. Ekspresi sitokin
(seperti IL-1β, IL-6 , TNF-α) dan aktivitasnya di en dometrium penderita endometriosis
ya ng meningkat, memudahkan adhesi fragmen ini (Azinar, 2003).
Untuk dapat menembus ke dalam jaringan yang baru, sel epitel endometrium
harus lepas dari sekitarnya yang dihubungkan melaalui E-cadherins. Cadherins molekul
p erlengketan sel-sel transmembran yang terg antung kalsium. E-cadherins memediasi
interaksi sel melalui interaksi hemofilikk dan diekspresi perbatasan sel epi tel
endometrium. Dibandingkan endometrium, jaringan endometriosis lebih b anyak E-
cadherinnya negatif (Rizk dan Abd alla, 2003).

2.1.9 Manajemen penatalaksanaan


Penatalaksanaan endometriosis dilakukan secara medis ataupun pembedahan.
Tujuan utama terapi medikamentosa pada endo metriosis adalah menghentikan pertu
mbuhan dan aktivitas lesi endometriosis. Terapi medis pada endometriosis biasan ya
digunakan untuk mengatasi rasa sakit tanpa dilakukan pembedahan dengan berbagai
mekanisme termasuk meminimalkan inflamasi, menekan produksi hormon ovarium dan
menghambat sintesis estradiol (Giudice, 2010). Terapi medikamentosa konvensional
biasanya diberikan pada keadaan dengan keluhan yang diduga disebabkan karena
endometriosis, penderita sudah terdiagnosis endometriosis, kombinasi dengan terapi
bedah atau perlu pengobatan jangka panjang. Pembedahan memiliki peranan penting
dalam manajemen endometriosis dan indikasi pembedahan berdasarkan pada usia
pasien, keluhan, apakah kehamilan segera diinginkan, dan ukuran endometriosis
(Djuwantono, dkk., 2012).
2.3 Interleukin 1β ( IL-1β)

2.3.1 Interleukin 1 ( IL-1) dan komplek reseptor

Keluarga IL- 1 adalah kelompok dari 11 sitokin yang merangsang suatu komplek
jaringan sitookin proinflamasi dan melalui ekspresi integrint pada leukosit dan sel
endotel, selan jutnya terjadi pengaturan dan memulai resp on inflamasi. IL-1α dan IL-1β
adalah anggota keluarga IL-1 yang paling banya k dipelajari oleh karena pertama kali
ditemukan dan pengaruhnya yang kuat ter hadap inflamasi. Memiliki antagonis alami
IL-1Ra (IL-1 reseptor antagonis) yang bertindak sebagai sitokin inhibitor. Hal ini dapat
memberikan efek pada ekstraseluler terlarut (sIL-1RA). In terleukin-1 (IL-1) dulu
dikenal sebagai Leuk ocyte Activating Factor (LAF), B Cell Activating Factor(BAF),
Mononucler Cell Factor(MCF), Leucocyte Endogeneus Mediator(LEM), hemopoetin-1
dan seju mlah nama lain (Dinarello, 2011; Kre no, 2010).
Terdapat 2 re septor untuk IL-1, yaitu tipe I dan tipe II. Sebagian besar aktivitas
IL-1 dipera ntarai melalui reseptor tipe I (IL-1RI) yang t erdapat di dalam sebagian
besar sel ter utama di dalam sel endotelial, hepatosit, keratinosit, limfosit T dan
fibroblast. Reseptor tipe II memiliki aktivitas yang lebih se dikit, merupakan reseptor
yang dapat menghambat ikatan IL-1 dengan reseptor tipe I (decoy reseptor) dan terutam
a terdapat di dalam limfosit B, monosit serta neutrofil (Riva et al., 2012).

Gambar 2.12 Struktur Interleukin-1


Keterangan: Struktur kristal human rekombinan IL-1β terdiri dari 12 untai-β yang
membe ntuk jaringan komplek dari ikatan hydrogen. Inti dari struktur terbaik dapat
digambarkan sebagai tetrahedron yang ujung-ujungnya masing-masing dibentuk oleh
dua untai-β antiparalel. Struktur bagian dalam diisi rantai samping hidrofobik. Terdapat
3x pengulangan pa da lipatan rantai polipeptida (Dinarello, 2011).

IL-1 diproduk si terutama antara lain oleh : makrofag, sel endotel, limfosit
granuler, sel B, fibr oblas, sel epitel, astrosit, dan osteoblas. IL-1 juga dapat
disintesis oleh hampir semua sel berinti dan bekerja teriutama s ebagai mediator pada
imunitas non-s pesifik bersama interferon dan tumor necro sis factor. IL-1α dan IL-1β
termasuk dalam golongan sitokin yang mengikat molekul reseptor sama, yaitu IL-1
reseptor tipe I (IL-1RI). Terdapat tiga ligan dari reseptor ini yaitu IL-1α, IL-1β dan
interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1Ra). IL-1α dan IL-1β mengikat pertama k ali rantai
ekstraseluler dari IL-1R1, yang merekrut IL-1 Receptor Accesory Protein(IL-1RacP)
sebagai suatu co-receptor dan hal ini diperlukan dalam tra nduksi sinyal juga aktivasi 1L-
1RI (Weber et al., 2010).

2.3.2 Peran IL-1β pada patofisiologi endometriosis


IL-1β sebagai sitokin utama pro inflamasi, secara fisiologis terlibat dalam proses
ovulasi dan implantasi dan secara patologis terdapat pada epitel carcinoma ovarium, tumor
endometrium dan endometriosis. IL-1β diketahui merangsang vaskularisasi baru melalui
induksi faktor angiogenik seperti VEGF dan IL-6 serta meningkatkan pelepasan soluble
ICAM-1 dimanahal tersebut berhubungan dengan penurunan imunitas sel
endometrium pada wanita dengan endometriosis.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwasanya IL-1β disekresikan oleh makrofag
teraktivasi yang diinduksi ekspresi gen RANTES pada sel stroma endometriosis (Attar
et al., 2010).Menurut hasil penelitian Yang et al (2000),secara in
vitro sel-sel endometriosis melepaskan MMIf (Macrophage Migration Inhibitory
factor) yang berkontribusi terhadap faktor angiogenesis baik secara langsung melalui
stimulasi proliferasi sel dan secara tidak langsung melalui akumulasi makrofag. Makrofag
yang teraktivasi mensekresikanIL-1β yang secara signifikan
meningkatkanekspresi VEGF dan interleukin-6 mRNA pada kultur sel stromal
dari lesi endometriosis (Lebovic et al., 2000). Selain itu,pada in vitro IL-1β
merangsang sel endometriosis untuk memproduksi IL-8, suatu faktor kemotaktik dan
activator untuk neutrofil bersama faktor angiogenik (Akoum et al., 2001).
Mekanisme lain menjelaskan bahwa sitokin utama proinflamasi / axis faktor
transkripsi adalah persimpangan jalur molekuler yang terlibat dalam aspek mendasar
dari patofisiologi endometriosis (Soares et al., 2012). Endometriosis yang berimplantasi
akan mensekresikan estradiol E2 (Guidice, 2010). Estrogen (estradiol) menginduksi
produksi sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1β) dan mengaktivasi makrofag peritoneal.
Sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1β) yang dilepaskan oleh makrofag peritoneal dan sel
endometriosis selanjutnya mengaktivasi faktor transkripsi seperti Nuclear Factor-kB
(NF-kB) dan Activator Protein1 (AP-1).

2.3.3 Peran IL-1β dalam inflamasi


IL-1 dianggap sebagai mediator yang sangat penting dalam proses radang. Hal ini
dapat dilihat dari munculnya gejalayang menyertai radang yang dapat diamati secara in
vivo dan in vitro. Dalam pengamatan in vivo, terungkap misalnya demam dan perubahan
susunan biokimia darah dan komponen sel darah.
Timbulnya demam merupakan neuroendokrin IL-1 karena tera ngsangnya pusat
panas pada daerah hi potalamus (Subowo, 2009). Fungsi IL-1β mengatur jalur peradangan,
angiogenesis, he matopoesis, dan kognisi. Sebagai int erleukin pertama yang akan ditandai
IL-1 awalnya pirogen endogen karena ke mampuannya untuk menimbulkan demam
pada hewandan manusia. Proses selanjutnya menunjukkan pentingnya IL-1 untu k
berbagai tanda gejala penyakit, termasuk anoreksia dan lesu (Peters et al., 2012).
Dampak biol ogis IL-1β bergantung pada jumlah sitokin yang dilepaskan. Pada
kadar rendah, fungsi utamanya adalah sebagai mediator inflamasi lokal. Sedangkan bila
kadar IL-1 tinggi masuk dalam sirkulasi darah d an menyebabkan demam. Selain itu
IL-1 merangsang ekspresi berbagai resept or antigen pada permukaan sel untuk
meningkatkan respon imun spesifik secara tidak langsung,interferon gamma da n faktor
kemotatik (Kresno, 2010).
2.3.4 Kadar IL-1β pada endometriosis

Banyak penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IL-1β secara signifikan meningkat


dalam cairan peritoneal, sel endometrium ektopik dan eutopik dari pasien endometriosis
menunjukkan bahwa IL-1β dapat mendorong pertumbuhan, adhesi, invasi dan angiogenesis
fragmen endometrium diluar uterus (Lebovic et al., 2000; Guay et al., 2007). Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Keita et al.,2010 level IL-1β secara signifikan lebih tinggi pada
supernatant EOCC (Epithelial Ovarian Cancer Cells) dari pada sel endometrium normal.
Kadar IL-1β pada supernatant seluruh sel kanker ovarium lebih tinggi dari pada sel
endometrium. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Meresman et al (2003) pada
kultur sel epitel endometriosis menunjukkan bahwasanya konsentrasi IL-1β pada kondisi
basal pasien endometriosis kadarnya (223,0 ± 56,0 pg/ml). Kadar tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi IL-1β pada wanita normal (kontrol) yaitu (201,5 ± 58,6
pg/ml). Level sitokin ini secara signifikan lebih tinggi pada cairan peritoneal
penderita endometriosis aktif, dibandingkan dengan pasien tanpa gejala endometriosis, tapi
kadar levelnya secara ekstrim menurun pada pasien endometrium yang mendapatkan terapi
medis (Meresman et al., 2003).

2.4 Buah Naga


2.4.1 Taksonomi buah naga

Buah Naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan tanaman asli daratan Asia, tetapi
merupakan tanaman asal Meksiko dan Amerika Selatan Bagian Utara Colombia. Buah
naga termasuk tanaman tropis dan sangat mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan
tumbuh dan perubahan cuaca seperti sinar matahari, angin dan curah hujan (Halimoon,
2010).
Buah naga termasuk dalam kelompok tanaman kaktus atau famili Cactaceae dan
subfamili Hylocereanea. Dalam subfamili ini terdapat beberapagenus, sedangkan buah
naga termasuk dalam genus Hylocereus. Adapunklasifikasi buah naga tersebut sebagai
berikut :

Divisi : Spermatohyta (tumbuhan berbiji)


Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua)
Ordo : Cactales
Famili : Cactaceae
Subfamili : Hylocereanea
Genus : Hylocereus
Species :

2.4.2 Kandungan kulit dan buah naga


Buah naga memiliki berat 400-650 gram, mengandung antosianin, tokoferol,
protein, karbohidrat, serat, asam galat, vitamin C, beta-karoten, kalsium, fosfor,
magnesium dan air (Cahyono, 2009). Biji buah naga juga mengandung asam linoleat,
asam linolenat, asam oleat, asam palmitat, asam stearat(Lim et al., 2007). Buah naga
merah tersusun 30-35% adalah kulitnya (Herawati, 2013). Kulit buah naga mengandung
serat, senyawa polifenol seperti vitamin C, tokoferol dan mineral (Tzeet al., 2012;
Wittawat, 2011).Menurut Jaafar et al.,(2009), kulit buah naga memiliki potensi sebagai
antioksidan yang lebih tinggi daripada dagingnya. Cara untuk memperoleh antioksidan
pada kulit buah naga salah satunya adalah dengan proses ekstraksi. Faktor-faktor yang
dapat memaksimalkan efisiensi dan selektivitas proses ekstraksi diantaranya adalah
kombinasi pelarut, suhu dan lama ekstraksi (Cox dan Rydberg, 2004). Identifikasi
kandungan ekstrak kulit buah naga merahmenggunakan Fourier Transform Infrared
(FTIR) dan Fitokimia yang dilakukan oleh Zulfalina dkk, 2016 bahwa dalam Ekstrak
kulit buah naga merah memilikikandungan antioksidan berupa vitamin C, flavonoid,
tanin, alkaloid, steroid, dan saponin berdasaran hasil pengujian fotokimia dan FTIR.

2.5 Mencit (Mus musculus)Sebagai Model Penelitian


2.5.1 Definisi
Mencit (Mus musculus) adalah anggota famili Muridae (tikus-tikusan) yang
berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai hewan
pengganggu karena kebiasaannya menggigiti mebel dan barang-barang kecil lainnya,
serta bersarang di sudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagai mammalia terbanyak
kedua di dunia, setelah manusia. Mencit sangat mudah menyesuaikan diri dengan
perubahan yang dibuat manusia, bahkan jumlahnya yang hidup liar di hutan barangkali
lebih sedikit daripada yang tinggal di perkotaan. Mencit percobaan (laboratorium)
dikembangkan melalui proses seleksi.
Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model
laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Mencit banyak digunakan
sebagai hewan laboratorium (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), karena
memiliki keunggulan-keunggulan, seperti: siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per
kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan
karakteristik reproduksinya mirip hewan lain, seperti: sapi, kambing, domba, dan babi
(Alim, 2013).

2.5.2 Klasifikasi mencit (Mus musculus)


Adapun klasifikasi dari mencit, sebagai berikut (Alim, 2013):
Kingdom : Animalia

ilum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Sub Ordo : Myoimorphia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

2.5.4 Siklus estrus mencit (Mus musculus)


Pada tikus dan mencit, siklus estrusnya termasuk poliestrus, artinya bisa terjadi
satu atau lebih siklus estrus dalam satu tahun. Siklus estrus pada tikus atau mencit ini
terjadi ketika hewan tersebut menyusui, maka aktivitas seksual seolah-olah juga
terhenti. Siklus estrus mencit dibagi menjadi 4 fase (Karlina, 2003

2.5.6 Pemberian obat oral pada mencit

Pemberian oral paling sering dilakukan karena mudah, aman, dan murah.
Kerugian dari pemberian oral adalah dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, misalnya
obat dapat mengiritasi saluran cerna sehingga perlu penanganan yang cermat pada
hewan coba. Absorbsi obat dapat terjadi secara difusi pasif, oleh sebab itu obat harus
mudah larut dalam lemak. Absorbsi obat dalam usus halus lebih cepat karena epitel usus
halus permukaanya luas dan area berbentuk villi yang berlipat. Sedangkan dalam
lambung lebih lambat karena dindingnya tertutup
lapisan mucus yang tebal (Syamsudin dan Darmono, 2011). Volume maksimal per oral
yang dapat diberikan pada mencit (20-30 g) adalah 1 ml (Kusumawati, 2004).

2.5.7 Mencit model endometriosis

Penelitian endometriosis sering terkendala oleh etika, sehingga penelitian


endometriosis lebih sulit dilakukan (Permana, 2007). Oleh karena itu, digunakan hewan
coba sebagai hewan model endometriosis penelitian agar penelitian-penelitian yang
lebih luas dan lebih invasif dapat dilakukan tanpa terkendala etika.

Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para ahli untuk membuat endometriosis
pada hewan coba. Saat ini, cara yang digunakan untuk membuat mencit model
endometriosis adalah dengan menggunakan siklosporin A untuk menurunkan jumlah
limfosit mencit. Selanjutnya, mencit yang sudah mengalami imunodefisiensi ini
diinjeksi dengan jaringan endometriosis secara intraperitoneum, dan diinjeksi estrogen
pada hari ke-1 dan 5 perlakuan. Setelah 15 hari, mencit ini sudah menjadi mencit model
endometriosis (Permana, 2007)

ELISA (Enzim-linked immunosorbent assay)


.

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) atau nama lainnya enzyme


immunoassay (EIA) merupakan teknik biokimia yang banyak digunakan di bidang
imunologi untuk mendeteksi adanya antibody atau antigen pada suatu sampel. ELISA
diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis
adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim
sebagai reporter label. Terdapat beberapa jenis teknik ELISA, yaitu (1) Indirect ELISA; (2)
Direct ELISA; (3) ELISA Sandwich; (4) ELISA Multiplex dan (5)

1
ELISA Biotin Streptavidin. Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk
melabel suatu antigen atau mengetahui antibody yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin
mengetahui antigen apa yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibody-
nya, begitu pula sebaliknya. Untuk mendeteksi kadar suatu protein, maka dapat digunakan
teknik ELISA sandwich assay dengan dengan mengedapkan antibody pada well plate.

Gambar 1. Prinsip metode ELISA sandwich untuk memeriksa kadar protein sampel

Fungsi dari test ELISA yaitu bukan hanya untuk mengetahui keberadaan suatu
antigen dengan antibodi tetapi juga untuk mengukur kadar antigen atau antibodi tersebut
dengan menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat
mengukur jumlah dari cahaya yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi

2
yang terjadi pada well mcroplate dan setelah pemberian substrat, enzim yang terikat pada
antibody ke dua pada kompleks antigen-antibodi yang terbentuk akan memberikan perubahan
warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical
density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standart,
sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk
mengestimasi kadar protein tersebut.
Di dalam plasma darah ada 3 fraksi protein yaitu: - Albumin; Globulin dan
Fibrinogen. Serum darah adalah plasma tanpa fibrinogen, sel dan faktor koagulasi
lainnya. Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum protein
dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga dengan
trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin-TBPA), retinol binding protein (RBP),
insulin-Like growth factor-1 dan fibronectin.

Prealbumin merupakan protein tetramerik yang terdiri dari 4 rantai polipeptda


identik yang dapat dijadikan sebagai penanda evaluasi nutrisi pada pasien dengen
berbagai penyakit(Petunjuk kit). Prealbumin (transthyretin/TTR) adalah termasuk dalam
fraksi globulin yang mentransport hormon tiroksin dan metabolitnya(Shenkin, 2006).
Kontrol sintesa prealbumin di hati terjadi ketika dihasikannya sitokin fase akut seperti
IL-6 yang kemudia menstimulasi protein fase akut seperti C Reactive Protein (CRP),
serum amyloid-A, α1-antitrypsin dan mengakibatkan tejadinya downregulation sintesis
protein prealbumin (Johnson et al, 2007). Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk
mendiagnosis pasien dengan malnutrisi dan pemantauan pasien dengan resiko kurang
nutrisi atau pasien dengan risiko defisiensi protein(m.prodia.co.id). Penurunan
konsentrasi prealbumin dapat timbul akibat respon fase akut yang terjadi pada kondisi
penyakit kronis contohnya kanker, hipertiroid, penyakit hati, infeksi, inflamasi dan
gangguan pencernaan, atau pemberian IL-6, estrogen, atau pada keadaan kelaparan serta
adanya penyakit pada hati. Peningkatan konsentrasi prealbumin dapat terjadi pada saat
penggunaan terapi kortikosteroid dan NSAID dosis tinggi, kondisi kelenjar adrenal yang
hiperaktif, penyakit Hodgkin serta penurunan katabolisme seperti pada gagal ginkal
kronis dan erusakan tubulus ginjal (Johnson et al, 2007).

Berikut ini adalah beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering
digunakan, antara lain:
1. ELISA direct
Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling sederhana. Teknik ini seringkali
digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA
direct menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk mendeteksi keberadaan
antigen yang diinginkan pada sampel yang diuji.
ELISA direct memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Immunoreaktivitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat bertaut dengan
enzim.
b. Penautan enzim signal ke setiap antibodi menghabiskan waktu dan mahal.
c. Tidak memiliki fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim (label) dari antibodi
pada percobaan yang berbeda.
d. Amplifikasi signal hanya sedikit.
e. Larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus dimurnikan sebelum
digunakan untuk uji ELISA direct.
Sedangkan kelebihan dari ELISA direct antara lain:
a. Metodologi yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis antibodi
b. Kemungkinan terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang dengan
antibodi lain (antibodi sekunder) dapat diminimalisasi.

2. ELISA indirect
Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan teknik ELISA yang paling
sederhana, hanya saja dalam teknik ELISA indirect yang dideteksi dan diukur
konsentrasinya merupakan antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen
spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk
mendeteksi keberadaan antibodi yang diinginkan pada sampel yang diuji.
ELISA indirect memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama daripada ELISA direct karena
pada ELISA indirect membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi
interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang diinginkan dan antara antibodi
yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut enzim signal, sedangkan pada
ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi
interaksi antara antigen yang diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim
signal.
Sedangkan kelebihan dari ELISA indirect antara lain:
a. Terdapat berbagai macam variasi antibodi sekunder yang terjual secara komersial di
pasar.
b. Immunoreaktivitas dari antibodi yang diinginkan (target) tidak terpengaruh oleh
penautan enzim signal ke antibodi sekunder karena penautan dilakukan pada wadah
berbeda.
c. Tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang diinginkan memiliki
beberapa epitop yang bisa berinteraksi dengan antibodi sekunder.
3. ELISA Sandwich
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen
yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi
keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich
mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich, larutan antigen yang
diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut
harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik
tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada
antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi dengan antibodi) atau antigen
yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein. Pada ELISA sandwich,
antibodi primer seringkali disebut sebagai antibodi penangkap, sedangkan antibodi
sekunder seringkali disebut sebagai antibodi deteksi.
Dalam pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
keberadaan antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu larutan dengan
tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat
sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen
tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibodi.
Dalam ELISA sandwich, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas
dari hasil pengujian, antara lain:
a. Banyak molekul antibodi penangkap yang berhasil menempel pada dinding lubang
microtiter.
b. Afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi detektor terhadap antigen.
Sebenarnya, teknik ELISA sandwich ini merupakan pengembangan dari teknik ELISA
terdahulu, yaitu ELISA direct. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada dasarnya
berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih tinggi karena antigen yang
diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi, yaitu antibodi penangkap
dan antibodi detektor. Namun demikian, teknik ELISA sandwich ini juga memiliki
kelemahan, yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk mendeteksi antigen yang
bersifat multivalent serta sulitnya mencari dua jenis antibodi yang dapat berinteraksi
antigen yang sama pada sisi antigenic yang berbeda (epitopnya harus berbeda).
4. ELISA Biotin Streptavidin (Jenis ELISA modern)
Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich ini juga dikembangkan untuk
mendeteksi antibodi dengan tingkat sensitivitas relatif lebih tinggi. Teknik ini dikenal
sebagai teknik ELISA penangkap antibodi, dimana prinsip kerjanya sama dengan
ELISA sandwich, hanya saja yang digunakan pada teknik ini adalah antigen penangkap
dan antigen detektor (antigen bertaut enzim signal, bersifat optional apabila antibodi
yang diinginkan tidak tertaut dengan enzim signal).
5. ELISA Kompetitif
Teknik ELISA jenis ini juga merupakan pengembangan dari teknik ELISA terdahulu.
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menambahkan suatu kompetitor ke dalam
lubang microtiter. Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi
keberadaan antigen maupun antibodi.
Kelebihan dari teknik ELISA kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi terhadap
larutan sampel yang mengandung antibodi atau antigen yang diinginkan, tapi hasil yang
diperoleh tetap memiliki tingkat sensitivitas tinggi akibat sifat spesifisitas dari antibodi
dan antigen.
1. ELISA Multiplex
Teknik ELISA multiplex merupakan pengembangan teknik ELISA yang ditujukan untuk
pengujian secara simultan, sedangkan prinsip dasarnya mirip dengan teknik ELISA
terdahulu.
Enzyme-Linked Immunosorbant Assay (ELISA) adalah suatu tekhnik biokimia
yang terutama digunakan dalambidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan
antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Teknik ELISA sebagai berikut:
1. Isi Kit
a. Anti-mouse IL-1β Pre-cozted 96 well strip microplate
b. Antibodi mouse IL-1β
c. Standard Mouse IL-1β
d. Matrix a
e. Avidin-HRP B
f. Assay Buffer A
g. Wash Buffer (20x)
h. Substrate Solution D
i. Stop Solution
j. Plate Sealers
2. Protokol
a. Pembuatan Standar
Mengencerkan standar dan sampel dengan cara : siapkan standar
500µL dari 1000 pg/mL dengan cara pengenceran 25µL larutan
standar dalam 475µL. Tes Buffer A dengan perbandingan 2:1
pengenceran serial standar 1000pg/ml dalam tabung terpisah
menggunakan Tes Buffer A sebagai pengencer.
b. Cuci 4x dengan 300µL. 1x wash buffer untuk tiap well kemudian
keringkan dengan tissue
c. Untuk mengukur sampel:
1) Tambahkan 50 µL Assay Buffer A ke masing -masing yang akan
berisi sampel
2) Tambahkan 50 µL larutan standar untuk well yang mengandung
matrix. Tambahkan 50 µL cairan sampel ke well yang mengandung
Assay Buffer
d. Tutup plate dan inkubasi suhu kamar selama 2 jam sambil shaking
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 108

e. Buang cairan ke wastafel, lalu cuci 4x dengan 1x wash buffer,


keringkan dengan tissue
f. Tambahkan 100µL cairan antibodi mouse IL -1β pada tiap well, tutup
plate dan inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam dengan shaking
g. Buang cairan ke wastafel, lalu cuci 4x dengan 1x wash buffer,
keringkan dengan tissue
h. Tambahkan 100µL cairan Avidin – HRP B pada tiap well, tutup plate
dan inkubasi pada suhu kamar selama 30 menit dengan shaking
i. Buang cairan ke wastafel, lalu cuci 5x dengan 1x wash buffer. Setelah
pencucian terakhir balikkan plate untuk mengeringkan sisa cairan
dengan tissue
j. Tambahkan 100µL cairan substrat D untuk masing -masing well dan
inkubasi pada suhu ruang untuk pengembangan warna yang tepat
(selama 15 menit). Well mengandung mouse IL-1β harus berubah
berwarna biru dengan intensitas sebanding dengan konsentrasi. Selama
langkah ini tidak perlu untuk menutup plate
k. Untuk menghentikan reaksi warna dengan menambahkan 100µL, stop
solution untuk setiap well. Warna solusi berubah dari biru menjadi
kuning
l. Dengan menggunakan mikro titer plate reader, well dibaca dengan
panjang gelombang 450 nm.
m. Kadar IL-1β selanjutnya dihitung dengan menggunakan kurva standar
yang menunjukkan nilai OD kadar IL-1β. nilai OD diperoleh dari
masing-masing sampel ditempatkan pada sumbu Y dari kurva standar
dan selanjutnya ditarik garis lurus dari sumbu Y ke garis regresi, dari
titik potong pada garis regresi tersebut selanjutnya diproyeksikan ke
sumbu x untuk mendapatkan kadar IL-1β dalam pg/ml.

Anda mungkin juga menyukai