Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
2.1 Endometriosis
2.1.1 Definisi
Endometriosis adalah keadaan tumbuhnya jaringan endometrium diluar kavum
uteri (Garai et al., 2006; Gludice, 2010). Implantasi abnormal jaringan endometrium ini
umumnya terjadi pada panggul , ovarium, tuba falopii, abdomen, usus, rektum, vagina,
servik dan vulva (Garai et al., 2006; Farquhar, 2008 ). Lokasi lain termasuk diafragma,
pleura, dan perikardium tetapi kejadiannya sangat jarang (Giudice, 2010).
Endometriosis merupakan penyakit jinak, namun memiliki karakteristik
keganasan seperti pada kanker yaitu invasif, pertumbuhan sel yang tidak terkendali,
kecenderungan metastasis dan terulang kembali (Leyland et al., 2010). Kondisi
endometriosis dan kanker ovarium menunjukkan pola yang sama dalam hal invasi lokal,
penyebaran, dan responsif terhadap estrogen dalam menginduksi sinyal faktor
pertumbuhan. Kanker ovarium mengekspresikan resistensi terhadap mekanisme
apoptosis dan ditandai dengan ketidakstabilan genomik sama seperti halnya dengan
endometriosis (Vlahos et al., 2010).
Sutton (2006) dalam tulisannya The history of endometriosis menyatakan
bahwa pada tahun 1885 Von Reckling Hausen pertama kali memberi nama
endometriosis untuk kondisi seperti yang disebut diatas dan memperkirakan keadaan
tersebut berasal dari perkembangan jaringan Wolff.
Carl Von Rokitanski pertama kali mendiskripsikan secara detail kondisi
endometriosis yaitu kista endometrioma digambarkan sebagai cytosarcomaadenise
ovario uterinum. Tahun 1921 Dr. John Sampson melaporkannya endometriosis secara
serial yang dimulai dengan deskripsi endometrioma ovarium. Selanjutnya
diperkenalkan teori menstruasi retrograd sebagai faktor penyebab utama
berkembangnya penyakit endometriosis yang dipublikasikan di artikel secara serial
pada tahun 1927 (Sutton, 2006).
2.1.2 Patogenesis
Hingga kini, patogenesis endometriosis masih belum jelas. Diperkirakan
endometriosis ovarium muncul akibat proses invaginasi dan metaplasia coelomic dari
pelapis epitel ov arium atau dapat terjadi akibat implantasi la ngsung jaringan
endometrium ke dalam kista folikel atau kista luteum. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi enyebab endometriosis peritoneum dan endometriosis pada
ovarium adalah perubahan mekanisme apoptosis sehingga terbentuklah implantasi
endometrium.
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi endometriosis terdiri dari respon inflamasi, survival sel, proliferasi,
migrasi, adhesi dan invasi, serta neoangiogenesis. Pada gambaran lesi endometriosis,
pertumbuhan dan inflamasi memiliki kaitan satu dengan lainnya (Giudice, 2010;
Soares et al., 2012). Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung pada
estrogen, penyimpangan sintesa dan metabolisme estrogen telah diimplikasikan dalam
patogenesis endometriosis. Estrogen yang diproduksi lokal dalam jaringan
endometriosis khususnya estradiol mempunyai dua peranan penting dalam proliferasi
sel endometrial dan stimulator sitokin proinflamasi (Bulun et al., 2005; Guidice,
2010).
Pertumbuhan endometrium ektopik akan merangsang produksi makrofag
berlebihan, produk sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan dalam cairan
peritoneal sehingga menyebabkan pertumbuhan yang lebih lanjut (Soares et al.,
2012). Sitokin pro inflamasi mayor yaitu TNF-α dan IL-1β dilepaskan oleh makrofag
peritoneal dan sel endometriosis yang selanjutnya mengaktivasi faktor transkripsi
seperti Nuclear Factor-kB (NF-kB) dan Activator Protein 1 (AP-1). Faktor
transkripsi yang telah aktif mengikat DNA sel endometriosis dan merangsang
aktivitas transkripsi gen untuk menyandi produk-produk berikut ini yaitu: a) sitokin
lain seperti IL-6,IL-8, Macrophage Migration Inhibitory Factor(MIF), Monocyte
Chemoattractant Protein(MCP-1), Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor (GM-CSF), b) Nitric Oxide(NO) dan VEGF yang merupakan faktor pro
angiogenik dominan pada endometriosis, c) matrix metaloproteinases (MMPs)
MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-7, dan MMP-9, yang terlibat dalam degradasi dan
remodelling matriks ekstraseluler permukaan peritoneal, d) meningkatkan gen
antiapoptosis, e) molekul adhesi yaitu D-44, Intercelluler Adesion Molecule1
(ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule1 (VCAM-1) (Soares et al., 2012).
2.1.6.3 Perlengketan pada endometriosis
Bahan kimia yang disekresi lesi endometriosis atau sel sekitarnya dapat
berperan untuk terjadinya fibrosis dan perlengketan. TGF-β yang terkait dengan
berbagai pembentukan perlengketan intraperitoneum meningkat di cairan peritoneum
penderita endometriosis diduga berperan dalam proliferasi jaringan endometriosis,
sedangkan banyak penelitian yang menemukan apoptosis (kematian sel terprogram)
menurun pada endometrium dan epitel endometriosis penderita endometriosis.
Peningkatan proliferasi dan menurunnya apoptosis menyebabkan sel bertambah banyak
dan bertahan lebih lama. Ini akan memudahkan terjadinya endometriosis (Bedaiwy dkk,
2002; Gupta dkk, 2008).
Awal perlengketan diduga karena peran hyaluronic acid yang diekspresi sel
mesotel peritoneum dan reseptornya CD44 yang diekspresi sel epitel dan stroma
endometrium. Laminin dan fibronektin, dua golongan glikoprotein untuk perlengketan
(adhesi), memegang peran penting dalam melekatnya sel epitel ke selaput dasar, dan sel
stroma ke matriks interstisiel. Distribusi laminin dan fibronektin dan reseptornya identik
di endometriosis dan endometrium, kecuali reseptor fibronektin. Ekspresi sitokin
(seperti IL-1β, IL-6 , TNF-α) dan aktivitasnya di en dometrium penderita endometriosis
ya ng meningkat, memudahkan adhesi fragmen ini (Azinar, 2003).
Untuk dapat menembus ke dalam jaringan yang baru, sel epitel endometrium
harus lepas dari sekitarnya yang dihubungkan melaalui E-cadherins. Cadherins molekul
p erlengketan sel-sel transmembran yang terg antung kalsium. E-cadherins memediasi
interaksi sel melalui interaksi hemofilikk dan diekspresi perbatasan sel epi tel
endometrium. Dibandingkan endometrium, jaringan endometriosis lebih b anyak E-
cadherinnya negatif (Rizk dan Abd alla, 2003).
Keluarga IL- 1 adalah kelompok dari 11 sitokin yang merangsang suatu komplek
jaringan sitookin proinflamasi dan melalui ekspresi integrint pada leukosit dan sel
endotel, selan jutnya terjadi pengaturan dan memulai resp on inflamasi. IL-1α dan IL-1β
adalah anggota keluarga IL-1 yang paling banya k dipelajari oleh karena pertama kali
ditemukan dan pengaruhnya yang kuat ter hadap inflamasi. Memiliki antagonis alami
IL-1Ra (IL-1 reseptor antagonis) yang bertindak sebagai sitokin inhibitor. Hal ini dapat
memberikan efek pada ekstraseluler terlarut (sIL-1RA). In terleukin-1 (IL-1) dulu
dikenal sebagai Leuk ocyte Activating Factor (LAF), B Cell Activating Factor(BAF),
Mononucler Cell Factor(MCF), Leucocyte Endogeneus Mediator(LEM), hemopoetin-1
dan seju mlah nama lain (Dinarello, 2011; Kre no, 2010).
Terdapat 2 re septor untuk IL-1, yaitu tipe I dan tipe II. Sebagian besar aktivitas
IL-1 dipera ntarai melalui reseptor tipe I (IL-1RI) yang t erdapat di dalam sebagian
besar sel ter utama di dalam sel endotelial, hepatosit, keratinosit, limfosit T dan
fibroblast. Reseptor tipe II memiliki aktivitas yang lebih se dikit, merupakan reseptor
yang dapat menghambat ikatan IL-1 dengan reseptor tipe I (decoy reseptor) dan terutam
a terdapat di dalam limfosit B, monosit serta neutrofil (Riva et al., 2012).
IL-1 diproduk si terutama antara lain oleh : makrofag, sel endotel, limfosit
granuler, sel B, fibr oblas, sel epitel, astrosit, dan osteoblas. IL-1 juga dapat
disintesis oleh hampir semua sel berinti dan bekerja teriutama s ebagai mediator pada
imunitas non-s pesifik bersama interferon dan tumor necro sis factor. IL-1α dan IL-1β
termasuk dalam golongan sitokin yang mengikat molekul reseptor sama, yaitu IL-1
reseptor tipe I (IL-1RI). Terdapat tiga ligan dari reseptor ini yaitu IL-1α, IL-1β dan
interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1Ra). IL-1α dan IL-1β mengikat pertama k ali rantai
ekstraseluler dari IL-1R1, yang merekrut IL-1 Receptor Accesory Protein(IL-1RacP)
sebagai suatu co-receptor dan hal ini diperlukan dalam tra nduksi sinyal juga aktivasi 1L-
1RI (Weber et al., 2010).
Buah Naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan tanaman asli daratan Asia, tetapi
merupakan tanaman asal Meksiko dan Amerika Selatan Bagian Utara Colombia. Buah
naga termasuk tanaman tropis dan sangat mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan
tumbuh dan perubahan cuaca seperti sinar matahari, angin dan curah hujan (Halimoon,
2010).
Buah naga termasuk dalam kelompok tanaman kaktus atau famili Cactaceae dan
subfamili Hylocereanea. Dalam subfamili ini terdapat beberapagenus, sedangkan buah
naga termasuk dalam genus Hylocereus. Adapunklasifikasi buah naga tersebut sebagai
berikut :
ilum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Pemberian oral paling sering dilakukan karena mudah, aman, dan murah.
Kerugian dari pemberian oral adalah dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, misalnya
obat dapat mengiritasi saluran cerna sehingga perlu penanganan yang cermat pada
hewan coba. Absorbsi obat dapat terjadi secara difusi pasif, oleh sebab itu obat harus
mudah larut dalam lemak. Absorbsi obat dalam usus halus lebih cepat karena epitel usus
halus permukaanya luas dan area berbentuk villi yang berlipat. Sedangkan dalam
lambung lebih lambat karena dindingnya tertutup
lapisan mucus yang tebal (Syamsudin dan Darmono, 2011). Volume maksimal per oral
yang dapat diberikan pada mencit (20-30 g) adalah 1 ml (Kusumawati, 2004).
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para ahli untuk membuat endometriosis
pada hewan coba. Saat ini, cara yang digunakan untuk membuat mencit model
endometriosis adalah dengan menggunakan siklosporin A untuk menurunkan jumlah
limfosit mencit. Selanjutnya, mencit yang sudah mengalami imunodefisiensi ini
diinjeksi dengan jaringan endometriosis secara intraperitoneum, dan diinjeksi estrogen
pada hari ke-1 dan 5 perlakuan. Setelah 15 hari, mencit ini sudah menjadi mencit model
endometriosis (Permana, 2007)
1
ELISA Biotin Streptavidin. Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk
melabel suatu antigen atau mengetahui antibody yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin
mengetahui antigen apa yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibody-
nya, begitu pula sebaliknya. Untuk mendeteksi kadar suatu protein, maka dapat digunakan
teknik ELISA sandwich assay dengan dengan mengedapkan antibody pada well plate.
Gambar 1. Prinsip metode ELISA sandwich untuk memeriksa kadar protein sampel
Fungsi dari test ELISA yaitu bukan hanya untuk mengetahui keberadaan suatu
antigen dengan antibodi tetapi juga untuk mengukur kadar antigen atau antibodi tersebut
dengan menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat
mengukur jumlah dari cahaya yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi
2
yang terjadi pada well mcroplate dan setelah pemberian substrat, enzim yang terikat pada
antibody ke dua pada kompleks antigen-antibodi yang terbentuk akan memberikan perubahan
warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical
density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standart,
sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk
mengestimasi kadar protein tersebut.
Di dalam plasma darah ada 3 fraksi protein yaitu: - Albumin; Globulin dan
Fibrinogen. Serum darah adalah plasma tanpa fibrinogen, sel dan faktor koagulasi
lainnya. Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum protein
dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga dengan
trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin-TBPA), retinol binding protein (RBP),
insulin-Like growth factor-1 dan fibronectin.
Berikut ini adalah beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering
digunakan, antara lain:
1. ELISA direct
Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling sederhana. Teknik ini seringkali
digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA
direct menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk mendeteksi keberadaan
antigen yang diinginkan pada sampel yang diuji.
ELISA direct memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Immunoreaktivitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat bertaut dengan
enzim.
b. Penautan enzim signal ke setiap antibodi menghabiskan waktu dan mahal.
c. Tidak memiliki fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim (label) dari antibodi
pada percobaan yang berbeda.
d. Amplifikasi signal hanya sedikit.
e. Larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus dimurnikan sebelum
digunakan untuk uji ELISA direct.
Sedangkan kelebihan dari ELISA direct antara lain:
a. Metodologi yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis antibodi
b. Kemungkinan terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang dengan
antibodi lain (antibodi sekunder) dapat diminimalisasi.
2. ELISA indirect
Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan teknik ELISA yang paling
sederhana, hanya saja dalam teknik ELISA indirect yang dideteksi dan diukur
konsentrasinya merupakan antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen
spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk
mendeteksi keberadaan antibodi yang diinginkan pada sampel yang diuji.
ELISA indirect memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama daripada ELISA direct karena
pada ELISA indirect membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi
interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang diinginkan dan antara antibodi
yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut enzim signal, sedangkan pada
ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi
interaksi antara antigen yang diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim
signal.
Sedangkan kelebihan dari ELISA indirect antara lain:
a. Terdapat berbagai macam variasi antibodi sekunder yang terjual secara komersial di
pasar.
b. Immunoreaktivitas dari antibodi yang diinginkan (target) tidak terpengaruh oleh
penautan enzim signal ke antibodi sekunder karena penautan dilakukan pada wadah
berbeda.
c. Tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang diinginkan memiliki
beberapa epitop yang bisa berinteraksi dengan antibodi sekunder.
3. ELISA Sandwich
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen
yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi
keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich
mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich, larutan antigen yang
diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut
harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik
tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada
antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi dengan antibodi) atau antigen
yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein. Pada ELISA sandwich,
antibodi primer seringkali disebut sebagai antibodi penangkap, sedangkan antibodi
sekunder seringkali disebut sebagai antibodi deteksi.
Dalam pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
keberadaan antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu larutan dengan
tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat
sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen
tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibodi.
Dalam ELISA sandwich, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas
dari hasil pengujian, antara lain:
a. Banyak molekul antibodi penangkap yang berhasil menempel pada dinding lubang
microtiter.
b. Afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi detektor terhadap antigen.
Sebenarnya, teknik ELISA sandwich ini merupakan pengembangan dari teknik ELISA
terdahulu, yaitu ELISA direct. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada dasarnya
berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih tinggi karena antigen yang
diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi, yaitu antibodi penangkap
dan antibodi detektor. Namun demikian, teknik ELISA sandwich ini juga memiliki
kelemahan, yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk mendeteksi antigen yang
bersifat multivalent serta sulitnya mencari dua jenis antibodi yang dapat berinteraksi
antigen yang sama pada sisi antigenic yang berbeda (epitopnya harus berbeda).
4. ELISA Biotin Streptavidin (Jenis ELISA modern)
Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich ini juga dikembangkan untuk
mendeteksi antibodi dengan tingkat sensitivitas relatif lebih tinggi. Teknik ini dikenal
sebagai teknik ELISA penangkap antibodi, dimana prinsip kerjanya sama dengan
ELISA sandwich, hanya saja yang digunakan pada teknik ini adalah antigen penangkap
dan antigen detektor (antigen bertaut enzim signal, bersifat optional apabila antibodi
yang diinginkan tidak tertaut dengan enzim signal).
5. ELISA Kompetitif
Teknik ELISA jenis ini juga merupakan pengembangan dari teknik ELISA terdahulu.
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menambahkan suatu kompetitor ke dalam
lubang microtiter. Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi
keberadaan antigen maupun antibodi.
Kelebihan dari teknik ELISA kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi terhadap
larutan sampel yang mengandung antibodi atau antigen yang diinginkan, tapi hasil yang
diperoleh tetap memiliki tingkat sensitivitas tinggi akibat sifat spesifisitas dari antibodi
dan antigen.
1. ELISA Multiplex
Teknik ELISA multiplex merupakan pengembangan teknik ELISA yang ditujukan untuk
pengujian secara simultan, sedangkan prinsip dasarnya mirip dengan teknik ELISA
terdahulu.
Enzyme-Linked Immunosorbant Assay (ELISA) adalah suatu tekhnik biokimia
yang terutama digunakan dalambidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan
antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Teknik ELISA sebagai berikut:
1. Isi Kit
a. Anti-mouse IL-1β Pre-cozted 96 well strip microplate
b. Antibodi mouse IL-1β
c. Standard Mouse IL-1β
d. Matrix a
e. Avidin-HRP B
f. Assay Buffer A
g. Wash Buffer (20x)
h. Substrate Solution D
i. Stop Solution
j. Plate Sealers
2. Protokol
a. Pembuatan Standar
Mengencerkan standar dan sampel dengan cara : siapkan standar
500µL dari 1000 pg/mL dengan cara pengenceran 25µL larutan
standar dalam 475µL. Tes Buffer A dengan perbandingan 2:1
pengenceran serial standar 1000pg/ml dalam tabung terpisah
menggunakan Tes Buffer A sebagai pengencer.
b. Cuci 4x dengan 300µL. 1x wash buffer untuk tiap well kemudian
keringkan dengan tissue
c. Untuk mengukur sampel:
1) Tambahkan 50 µL Assay Buffer A ke masing -masing yang akan
berisi sampel
2) Tambahkan 50 µL larutan standar untuk well yang mengandung
matrix. Tambahkan 50 µL cairan sampel ke well yang mengandung
Assay Buffer
d. Tutup plate dan inkubasi suhu kamar selama 2 jam sambil shaking
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 108