Anda di halaman 1dari 34

FARMASI FORENSIK

TUGAS KASUS
KAJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TUGAS FUNGSI POKOK
APOTEKER DALAM PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN DI UNIT
PRODUKSI KOSMETIK (KELOMPOK A DAN B), DARI PERENCANAAN SUATU
INDUSTRI HINGGA BERJALANNYA PRODUKSI

“PABRIK KOSMETIK PALSU DOBONGKAR POLRES BANDUNG”

OLEH
KELOMPOK 16

I Putu Krisnantara Wijana Putra (1508515043)


Dewa Nyoman Purnama Adhiningrat (1508515044)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
BAB I
KASUS

1.1 Isi Kasus

Sumber:
http://www.jejaknews.com/nusantara/pabrik-kosmetik-palsu-dibongkar-polres-bandung

1.2 Analisa Kasus


Pada penentuan inti kasus dilakukan dengan analisa 5 W+1 H yang meliputi Apa
permasalahan yang terjadi (What), Dimana kasus tersebut terjadi (Where), Kapan
permasalahan tersebut terjadi (When), Siapa saja pihak yang terlibat (Who), Mengapa
permasalah tersebut dapat terjadi (Why), dan Bagaimana penjelasan terkait kasus tersebut
(How). Berikut adalah hasil analisa 5 W + 1 H:
1) Permasalahan yang terjadi (What)
- Adanya pabrik kosmetik yang diduga ilegal karena memproduksi produk sabun
muka, handbody serta minyak urut tanpa izin produksi dan izin edar.
- Pabrik kosmetika belum memiliki izin produksi produk kosmetika.
- Produk kosmetik yang diproduksi belum memiliki izin edar
2) Dimana permasalahan tersebut terjadi (Where)
Pabrik Kosmetik Rumahan di daerah Kelurahan Margaasih, Kecamatan Buah Batu,
Kota Bandung, Jawa Barat.
3) Kapan permasalahan tersebut terjadi (When)
Tanggal 19 Juni 2015.
4) Pihak yang terlibat (Who)
Pemilik Pabrik Kosmetika dan Apoteker Penanggung Jawab di Pabrik Kosmetika
tersebut.
5) Mengapa permasalahan tersebut dapat terjadi (Why)
- Pabrik kosmetika rumahan memproduksi kosmetik secara illegal.
- Pabrik kosmetika belum mengantongi ijin produksi untuk proses produksi
kosmetika.
- Pabrik kosmetika belum mengantongi ijin edar untuk produk yang telah
diproduksi.
- Apoteker tidak menjalankan tugas dalam proses perencanaan suatu industri dalam
memenuhi persyaratan izin produksi kosmetika.
- Apoteker tidak menjalankan tugas dalam proses perencanaan suatu industri dalam
memenuhi persyaratan izin edar kosmetika dalam bentuk notifikasi.
6) Bagaimana kasus tersebut bisa terjadi (How)
- Pemilik Pabrik melakukan pembiaran terhadap proses perijinan produksi dan
perijinan edar dari kosmetik yang diproduksi.
- Apoteker tidak memahami bahwa produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan
harus memenuhi persyasratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
- Apoteker tidak menjalankan tupoksinya pada perencanaan industri dan unit
produksi dalam hal memenuhi persyaratan ijin produksi dan ijin edar kosmetika.
- Apoteker lalai atau tidak mengetahui hukum yang berlaku dalam mengatur ijin
produksi kosmetika dan ijin edar kosmetik berupa notifikasi.
- Apoteker tidak melakukan follow up terhadap permohonan ijin yang diajukan ke
pihak terkait sehingga menyebabkan belum keluarnya ijin produksi dan ijin edar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TUPOKSI APOTEKER DI UNIT PRODUKSI
KOSMETIK DARI PERENCANAAN SUATU INDUSTRI HINGGA BERJALANNYA
PRODUKSI

2.1 Tanggung Jawab Apoteker di Unit Produksi Industri Kosmetik dari Perencanaan
Suatu Industri Hingga Berjalannya Produksi
Apoteker dalam produksi Kosmetik khususnya pada bagian perencanaan industri hingga
berjalannya produksi berperan sebagai penanggung jawab. Hal ini tercantum pada beberapa
peraturan yaitu:
1. PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 7 ayat (1) yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus
memiliki Apoteker penanggung jawab.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin
Produksi Kosmetika Pasal 8 Ayat (1) a, (2) a menyatakan bahwa industri kosmetik
golongan A memiliki apoteker sebagai penanggungjawab dan untuk industri kosmetik
golongan B memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai
penanggung jawab
2.2 Tugas Pokok dan Fungsi Apoteker di Unit Produksi Industri Kosmetik dari
Perencanaan Suatu Industri Hingga Berjalannya Produksi
2.2.1 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Bangunan Pabrik Kosmetika
Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang bangunan
pabrik kosmetik memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai tempatnya bekerja. Dalam
bidang tersebut apoteker memiliki tupoksi seperti berikut:
1.Melakukan pemilihan lahan dan kawasan tempat dibangunnya pabrik kosmetika yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kawasan industri.
2.Menyiapkan dan mengajukan segala perijinan terkait pembangunan pabrik kosmetika
hingga siap dilakukan proses produksi.
3.Menyiapkan dan mengajukan permohonan perizinan prinsip dari suatu bentuk usaha
yang akan dibuat.
4.Menyiapkan dan mengajukan akte badan usaha dan badan hukum usaha yang
merupakan persyaratan bagi penanaman modal dan dapat melanjutkan proses
pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya
untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi/usaha di wilayah hukum Indonesia
5.Menyiapkan dan mengajukan Izin Usaha Industri (IUI) dengan melengkapi berkas-
berkas yang telah dipersyaratkan.
6.Membuat rancangan bangunan dan situasi bangunan pabrik kosmetika.
7.Menyiapkan dan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan pabrik
kosmetika dengan melengkapi berkas-berkas yang telah dipersyaratkan.
8.Melakukan pengawasan sekaligus menjadi penyelia dalam proses pembangunan
pabrik kosmetika
9.Memastikan seluruh bangunan dan aspek-aspeknya sudah sesuai dengan peraturan
yang berlaku pada CPKB (Cara Produksi Kosmetika yang Baik)
10. Menyiapkan fasilitas pendukung di dalam pabrik kosmetika sesuai dengan produksi
yang akan dilakukan.

2.2.2 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Produksi Kosmetika


Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang produksi
kosmetika harus menetapkan terlebih dahulu golongan izin produksi yang akan diajukan.
Ijin produksi kosmetika digolongkan menjadi 2 berdasarkan bentuk dan jenis sediaan
kosmetika yang dibuat, yaitu golongan A dan golongan B. Masing-masing ijin produksi
tersebut memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar produksi dapat
dilaksanakan.
Untuk industri kosmetik golongan A dipersyaratkan seorang apoteker yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Izin Kerja (SIK) dan
industri kosmetik golongan B dipersyaratkan minimal seorang tenaga teknis kefarmasian
sebagai penanggung jawab. Masing-masing apoteker atau penanggung jawab harus
mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam hal perijinan produksi agar
proses produksi kosmetika industri tersebut dapat berjalan dengan semestinya. Adapun
tugas pokok dan fungsi apoteker atau penanggung jawab pada proses perijinan produksi
kosmetika adalah:
1. Memastikan bahwa pada pabrik kosmetika tersebut terdapat fasilitas produksi (untuk
golongan A) atau fasilitas produksi dengan teknologi sederhana (untuk golongan B)
sesuai dengan produk yang akan dibuat.
2. Memastikan bawah pada pabrik kosmetika terdapat fasilitas laboratorium (untuk
golongan A)
3. Menjamin proses produksi yang berjalan telah menerapkan seluruh aspek CPKB
(Cara Produksi Kosmetika yang Baik) (untuk golongan A) atau aspek higiene
sanitasi dan dokumentasi (untuk golongan B)
4. Menyiapkan dan mengajukan permohonan ijin produksi dengan melengkapi berkas-
berkas yang telah dipersyaratkan.
5. Mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan, Kepala Dinas, dan Kepala Balai/Balai Besar setempat dengan
menggunakan formulir pendaftaran industri.
6. Melakukan tindak lanjut (follow up) terhadap permohonan izin produksi yang telah
diajukan.
7. Mengajukan surat pernyataan siap berproduksi apabila dalam 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah tembusan surat permohonan diterima oleh Kepala Balai/Balai Besar dan
Kepala Dinas setempat, tidak dilakukan pemeriksaan/evaluasi.

2.2.3 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Peredaran Kosmetika


Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang notifikasi
kosmetika harus memastikan produk kosmetika yang diproduksi telah memenuhi
persyaratan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses berikutnya yitu peredaran
kosmetika dapat dilakukan. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker atau penanggung
jawab pada proses perijinan peredaran atau notifikasi kosmetika adalah:
1. Memastikan bahwa pabrik kosmetika telah mendapatkan ijin produksi kosmetika
agar kosmetika yang diproduksi telah memiliki hukum yang tetap.
2. Memastikan bahwa kosmetika yang diproduksi telah memenuhi ketentuan peraturan
yang berlaku dan CPKB.
3. Melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai
produsen atau penyedia kosmetika.
4. Melakukan pengajuan pendaftaran ulang apabila terdapat perubahan data yang
dimiliki oleh pemohon notifikasi.
5. Melakukan permohonan notifikasi terhadap kosmetika yang diproduksi setelah
melakukan pendaftaran pemohon notifikasi.
6. Memastikan proses notifikasi kosmetika berjalan dengan baik hingga mendapatkan
ID produk untuk produk kosmetika tersebut.
BAB III
PENYELESAIAN KASUS

3.1 Apa yang Sebaiknya Dilakukan ?


3.1.1 Apoteker hendaknya memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
mendasari pekerjaan di bagian perencanaan industri dan produksi kosmetika.
Dalam melakukan pekerjaan di bagian perencanaan suatu industri hingga
berjalannya produksi kosmetika apoteker hendaknya memperhatikan dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang terkait agar nantinya produk yang dihasilkan
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh apoteker dalam perencanaan
suatu industri kosmetika yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Industri
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Pasal 3.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1995 Tentang Izin
Usaha Industri
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1992 tentang Prosedur Pemberian
Izin IMB
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin
Produksi Kosmetika
Peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh apoteker dalam produksi
kosmetika yaitu:
a. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a,
Pasal 4b, Pasal 7d, Pasal 8(1) a.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2 dan
Pasal 5 ayat 1
c. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik
d. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.42.06.10.4556 Tahun 2010 tentang
Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika
f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Pengajuan
Notifikasi Kosmetika

3.1.2 Apoteker hendaknya mengetahui tugas pokok dan fungsinya ketika bekerja atau berada
di bagian perencanaan suatu industri kosmetik, di bagian perencanaan dan penyiapan
izin produksi dan pada bagian penyipan izin edar produk kosmetika.
Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang bangunan pabrik
kosmetik memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai tempatnya bekerja. Dalam bidang tersebut
apoteker memiliki tupoksi seperti berikut:
1. Melakukan pemilihan lahan dan kawasan tempat dibangunnya pabrik kosmetika
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kawasan industri.
2. Menyiapkan dan mengajukan segala perijinan terkait pembangunan pabrik kosmetika
hingga siap dilakukan proses produksi.
3. Menyiapkan dan mengajukan permohonan perizinan prinsip dari suatu bentuk usaha
yang akan dibuat.
4. Menyiapkan dan mengajukan akte badan usaha dan badan hukum usaha yang
merupakan persyaratan bagi penanaman modal dan dapat melanjutkan proses
pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya
untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi/usaha di wilayah hukum Indonesia
5. Menyiapkan dan mengajukan Izin Usaha Industri (IUI) dengan melengkapi berkas-
berkas yang telah dipersyaratkan.
6. Membuat rancangan bangunan dan situasi bangunan pabrik kosmetika.
7. Menyiapkan dan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan pabrik
kosmetika dengan melengkapi berkas-berkas yang telah dipersyaratkan.
8. Melakukan pengawasan sekaligus menjadi penyelia dalam proses pembangunan
pabrik kosmetika
9. Memastikan seluruh bangunan dan aspek-aspeknya sudah sesuai dengan peraturan
yang berlaku pada CPKB (Cara Produksi Kosmetika yang Baik)
10. Menyiapkan fasilitas pendukung di dalam pabrik kosmetika sesuai dengan produksi
yang akan dilakukan.

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang produksi


kosmetika harus mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam hal perijinan
produksi agar proses produksi kosmetika industri tersebut dapat berjalan dengan
semestinya. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker pada proses perijinan produksi
kosmetika golongan B adalah:
1. Memastikan bahwa pada pabrik kosmetika tersebut terdapat fasilitas produksi
dengan teknologi sederhana sesuai dengan produk yang akan dibuat.
2. Menjamin proses produksi yang berjalan telah menerapkan aspek higiene sanitasi
dan dokumentasi sesuai CPKB.
3. Menyiapkan dan mengajukan permohonan ijin produksi dengan melengkapi berkas-
berkas yang telah dipersyaratkan.
4. Mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan, Kepala Dinas, dan Kepala Balai/Balai Besar setempat dengan
menggunakan formulir pendaftaran industri.
5. Melakukan tindak lanjut (follow up) terhadap permohonan izin produksi yang telah
diajukan.
6. Mengajukan surat pernyataan siap berproduksi apabila dalam 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah tembusan surat permohonan diterima oleh Kepala Balai/Balai Besar dan
Kepala Dinas setempat, tidak dilakukan pemeriksaan/evaluasi.
Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang notifikasi
kosmetika harus memastikan produk kosmetika yang diproduksi telah memenuhi
persyaratan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses berikutnya yaitu
peredaran kosmetika dapat dilakukan. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker atau
penanggung jawab pada proses perijinan peredaran atau notifikasi kosmetika adalah:
1. Memastikan bahwa pabrik kosmetika telah mendapatkan ijin produksi kosmetika
agar kosmetika yang diproduksi telah memiliki hukum yang tetap.
2. Memastikan bahwa kosmetika yang diproduksi telah memenuhi ketentuan peraturan
yang berlaku dan CPKB.
3. Melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai
produsen atau penyedia kosmetika.
4. Melakukan pengajuan pendaftaran ulang apabila terdapat perubahan data yang
dimiliki oleh pemohon notifikasi.
5. Melakukan permohonan notifikasi terhadap kosmetika yang diproduksi setelah
melakukan pendaftaran pemohon notifikasi.
6. Memastikan proses notifikasi kosmetika berjalan dengan baik hingga mendapatkan
ID produk untuk produk kosmetika tersebut

3.1.3 Apoteker hendaknya memastikan persyaratan proses produksi berjalan sesuai peraturan
agar proses produksi dapat diberi ijin produksi
Berdasarkan Permenkes No. 1175 Tahun 2010 tentang Ijin Produksi Kosmetika
mengatakan bahwa indsutri kosmetika yang akan memproduksi kosmetika harus memiliki
ijin produksi. Ijin produksi dapat dikeluarkan apabila pabrik kosmetika telah memenuhi
segala persyaratan yang diundangkan. Persyaratan tersebut antara lain:
1. Persyaratan ijin produksi kosmetika golongan A:
a. memiliki apoteker sebagai penanggungjawab;
b. memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat;
c. memiliki fasilitas laboratorium; dan
d. wajib menerapkan CPKB.
2. Persyaratan ijin produksi kosmetika golongan B:
a. memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung
jawab;
b. memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan
dibuat; dan
c. mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
Telah dipaparkan diatas, bahwa pabrik kosmetika dalam proses produksinya harus
menerapkan CPKB (untuk golongan A) atau menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi
sesuai CPKB. Selain itu, pabrik juga harus memenuhi persyaratan fasilitas produksi sesuai
golongan. Untuk golongan A diharuskan memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk
yang akan dibuat dan laboratorium, dna untuk golongan B diharuskan memiliki fasilitas
produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan dibuat

3.1.4 Apoteker hendaknya memastikan produk telah diproduksi memenuhi syarat yang
berlaku agar memperoleh ijin edar berupa notifikasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika menyebutkan bahwa setiap
kosmetika yang beredar wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu apoteker yang
bekerja di industri kosmetika tersebut wajib memenuhi peraturan tersebut agar nanti ijin edar
dapat diperoleh. Syarat produk kosmetika yang dinotifikasi dibuat dengan menerapkan CPKB
dan memenuhi persyaratan teknis. Pada industri kosmetik golongan B produk yang diproduksi
harus mampu menerapkan higine sanitasi sesuai dengan CPKB. Persyaratan teknis yang
dimaksud antara lain :
a. keamanan yang dinilai dari bahan kosmetika yang digunakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kosmetika yang dihasilkan tidak mengganggu atau
membahayakan kesehatan manusia, baik digunakan secara normal maupun pada
kondisi penggunaan yang telah diperkirakan;
b. kemanfaatan yang dinilai dari kesesuaian dengan tujuan penggunaan dan klaim yang
dicantumkan;
c. mutu yang dinilai dari pemenuhan persyaratan sesuai CPKB dan bahan kosmetika yang
digunakan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia, standar lain yang diakui, dan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
d. penandaan yang berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan. Penandaan
kosmetika harus memuat beberapa informasi agar masyarakat dapat mengetahui
kejelasan tentang kosmetika tersebut. Informasi yang harus terdapat dalam kosmetik
adalah:
i. keterangan kegunaan;
ii. cara penggunaan; dan
iii. peringatan dan keterangan lain yang dipersyaratkan.

3.1.5 Apoteker Hendaknya Mengurus Segala Perijinan Produksi Dan Ijin Edar Sesuai Alur
Perijinan Yang Berlaku.
Agar suatu produk kosmetika yang diproduksi dapat beredar dan dapat digunakan oleh
masyarakat, suatu industri kosmetika wajib mematuhi dan memunuhi persyaratan yang
berlaku dimulai dari persyaratan perencenaan industri kemudian persyaratan izin produksi
hingga persyaratan izin edar kosmetika.
Sebelum apoteker mengajukan permohonan izin produksi kosmetika, apoteker terlebih
dahulu melakukan perencanaan dan penyiapan suatu pabrik kosmetika. Secara garis besar,
perencanaan dan penyiapan suatu pabrik kosmetika tipe B dapat dilihat pada gambar 1.
Permohonan izin Lahan Permohonan izin Pembangunan dan tata
di Kawasan Industri untuk mendapatkan letak Pabrik
kepada Pemerintah Izin Mendirikan Kosmetika tipe B
Daerah Kabupaten Bangunan

Rancangan tata letak Permohonan Izin Usaha


Permohonan Izin bangunan pabrik Industri kepada Kepala
Bentuk suatu usaha kosmetika Daerah Tingkat I
disahkan Kementerian berkonsultasi dengan
Hukum dan HAM. BPOM

Permohonan Izin
Permohonan Izin Rancangan tata letak Produksi Kosmetika
Prinsip Usaha kepada bangunan pabrik tipe B
Pemerintah Daerah kosmetika
Kabupaten/Kota. berkonsultasi dengan

Gambar 1. Alur Perencanaan dan Penyiapan Industri Kosmetika Golongan B

Apoteker terlebih dahulu melakukan pemilihan lahan yang akan dibangun pabrik
kosmetika. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
Tentang Kawasan Industri, lahan tersebut hendaknya tidak berada dalam lingkungan hijau
atau pendidikan dan harus berada pada kawasan industri. Kawasan peruntukan industri adalah
bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang
wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa
daerah mewajibkan penanam modal memiliki dokumen atau izin yang terkait dengan
kelayakan untuk melakukan kegiatan investasi disuatu lokasi sesuai dengan tata ruang dan
atau rencana kota di daerah tersebut. Dokumen ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Salah satu persyaratan untuk memperoleh izin produksi adalah memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain merupakan persyaratan untuk memperoleh izin produksi,
NPWP juga digunakan untuk persyaratan dalam pembuatan akte badan usaha dan badan
hukum usaha. NPWP diajukan dan diurus di Kantor Pelayanan Pajak di setiap daerah. Setelah
mendapatkan NPWP, diwajibkan bagi industri/usaha untuk mendapatkan status badan usaha
(berbentuk PT, CV, FA, perorangan, Koperasi, Yayasan) yang sah sebelum mendapatkan izin
penanaman modal dan perizinan lain dalam rangka operasional usaha. Akte Badan Usaha
dikeluarkan oleh notaris dan harus mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan
HAM. Status badan hukum yang sah menjadi persyaratan untuk dapat melanjutkan proses
pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya.
Setelah perusahaan berbentuk badan hukum, kemudian apoteker menyiapkan izin
prinsip pendirian usaha. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, izin
prinsip dibutuhkan dalam rangka mendirikan perusahaan baru atau dalam rangka memulai
usaha baik sebagai penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri
(PMDN) atau dalam rangka perpindahan lokasi proyek PMA atau PMDN. Formulir perizinan
prinsip dapat dilihat pada lampiran 1.
Setelah memiliki perizinan usaha yang dibutuhkan, kemudian apoteker penanggung
jawab melakukan rancangan bangunan untuk pabrik kosmetika yang akan dibangun.
Konsultasi dan pengesahan rancang bangun dilakukan oleh bagian sertifikasi dan layanan
informasi Balai POM setempat. Pada industri kosmetika B bangunan dan fasilitas mampu
menerapkan CPKB dan sanitasi higine. Namun berbeda dengan bangunan kosmetika
golongan A, pada bangunan kosmetika golongan B tidak diwajibkan memiliki laboratorium.
Setelah mendapatkan persetujuan denah ruangan pabrik kosmetika, apoteker penanggung
jawab melakukan permohonan izin untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1992 tentang Prosedur
Pemberian Izin IMB, pengusaha kawasan industri mengajukan permohonan tertulis kepada
Kepala Daerah tingkat II, dengan melengkapi persyaratan-persyaratan seperti berikut:
1. Akta Pendirian perusahaan
2. Fotocopy sertifikat tanah
3. Surat perjanjian/ pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah apabila bangunan
didirikan diatas tanah orang lain
4 . Peta situasi
5. Gambar rencana bangunan dan situasi bangunan dengan skala 1:50; 1:100; 1:200
6. Perhitungan konstruksi dan instalasi yang ditetapkan untuk bangunan tertentu.
7. Surat pernyataan persetujuan tetangga (bermaterai cukup).
Izin untuk mendirikan bangunan akan dikeluarkan setelah 14 hari dilakukan
peninjauan.
Setelah mendapatkan IMB, apoteker penanggung jawab kemudian melengkapi izin
usaha industri. Kemudian dilakukan permohonan pengajuan Izin Usaha Industri (IUI).
Permohonan IUI Besar diajukan kepada pejabat penerbit izin yaitu Kepala Daerah Tingkat I
dengan melampirkan formulir pada lampiran 2 dan paling sedikit:
1. fotokopi identitas diri pemohon;
2. fotokopi NPWP;
3. fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan/atau perubahannya yang telah
disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
4. fotokopi Izin Prinsip Industri;
5. fotokopi Izin Lingkungan.
Apabila telah memenuhi persyaratan administratif, apoteker penanggung jawab
melakukan pendaftaran izin produksi kosmetika. Berdasarkan Permenkes No. 1175 Tahun
2010, Permohonan izin produksi industri kosmetika golongan B diajukan dengan
kelengkapan sebagai berikut:
a. Surat permohonan;
b. Fotokopi izin usaha industri atau tanda daftar industri yang telah dilegalisir;
c. Nama direktur/pengurus;
d. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) direksi perusahaan/pengurus;
e. Susunan direksi/pengurus ;
f. Surat pernyataan direksi/pengurus tidak terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi;
g. Fotokopi akta notaris pendirian perusahaan yang telah disahkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan sepanjang pemohon berbentuk badan usaha;
h. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
i. Denah bangunan yang disahkah oleh Kepala Badan;
j. Bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang dibuat;
k. Daftar peralatan yang tersedia;
l. Surat pernyataan kesediaan bekerja penanggung jawab; dan
m. Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi penanggung jawab yang telah dilegalisir.
Secara garis besar pengajuan persyaratan diatas dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Alur Tata Cara Memperoleh Izin Produksi Kosmetika (Dirjen Binfar dan Alkes,
2011)

Apoteker mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal Bina


Kefarmasi dan Alat kesehatan dan dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas
Kesehatan stempat, dan Kepala Balai/ Balai Besar POM setempat setempat dengan
menggunakan formulir 1 (Lampiran 3). Paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima
tembusan, Kepala Dinas setempat melakukan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan
administratif dan Kepala Balai/ Balai Besar setempat melakukan pemeriksaan terhadap
kesiapan/ pemenuhan CPKB untuk izin produksi industri kosmetika Golongan A dan
kesiapan pemenuhan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB untuk izin produksi
industri kosmetika Golongan B.

Paling lama 14 (empat belas) hari setelah melakukan evaluasi terhadap pemenuhan
persyaratan administratif dan persyaratan tersebut dinyatakan lengkap, Kepala Dinas setempat
wajib menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan
POM dengan menggunakan formulir 2(Lampiran 4). Apabila Kepala Balai telah selesai
melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan/pemenuhan CPKB, Kepala Balai setempat wajib
menyampaikan analisis hasil pemeriksaan kepada Kepala Badan dengan tembusan kepada
Kepala Dinas dan Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir 3 (Lampiran 5).

Setelah kelengkapan persyaratan administratif dan pemenuhan CPKB telah dinyatakan


lengkap, Kepala Badan memberikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal dengan
menggunakan formulir 4 (Lampiran 6). Hal ini dilakukan paling lama 7 (Tujuh) hari setelah
menerima analisis hasil pemeriksaan. Setelah rekomendasi diterima darit direktur Kepala
Badan, Direktur jendral kemudian memutuskan untuk menyetujui, menunda atau menolak
izin produksi kosmetika pemohon. Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tembusan
surat permohonan diterima oleh Kepala Balai / Balai Besar dan Kepala Dinas setempat, tidak
dilakukan pemeriksaan/evaluasi, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap berproduksi
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas setempat dan
Kepala Balai / Balai Besar setempat dengan menggunakan formulir 5 (Lampiran 7).

Setelah izin produksi diperoleh (Lampiran 8), tugas apoteker selanjutnya adalah
melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai produsen atau
penyedia kosmetika. Pemohon yang akan mengajukan permohonan notifikasi harus
mendaftarkan diri kepada Kepala Badan. Dalam hal ini, yang dikatakan pemohon notifikasi
kosmetika adalah:

a. industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang telah memiliki izin produksi;
b. importir yang bergerak dibidang kosmetika sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau
c. usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri
kosmetika yang telah memiliki izin produksi.
Tata cara pendaftaran pemohon notifikasi adalah dengan cara mengisi template
melalui sistem elektronik yang disampaikan ke website Badan Pengawas Obat dan Makanan
dengan alamat http://www.pom.go.id. Setelah dilakukan verifikasi data, pemohon notifikasi
akan mendapatkan User ID dan Password. Contoh template pendaftaran pemohon notifikasi
yang dilakukan secara online dapat dilihat pada lampiran 9
Pendaftaran sebagai pemohon hanya dilakukan 1 kali, sepanjang tidak terjadi
perubahan data oleh pemohon. Apabila hal tersebut dilakukan, pemohon harus
menyampaikan pemberitahuan perubahan data pemohon notifikasi atau mengajukan
pendaftaran kembali jika terjadi perubahan data pemohon. Pemberitahuan perubahan data
pemohon notifikasi harus disertai dengan data pendukung dan disampaikan kepada Kepala
Badan melalui email ke alamat penilaian_kosmetik@pom.go.id.
Setelah pemohon notifikasi terdaftar dalam sistem notifikasi BPOM maka apoteker
dapat mengajukan permohonan izin edar terhadap kosmetika yang diproduksi.. Izin edar
kosmetika ini berupa notifikasi. Kosmetika tersebut harus mendapatkan izin edar dari BPOM
agar kosmetika yang diedarkan dapat terjamin dan memenuhi persyaratan. Persyaratan yang
dimaksud antara lain:
a. keamanan yang dinilai dari bahan kosmetika yang digunakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kosmetika yang dihasilkan tidak mengganggu atau
membahayakan kesehatan manusia, baik digunakan secara normal maupun pada
kondisi penggunaan yang telah diperkirakan;
b. kemanfaatan yang dinilai dari kesesuaian dengan tujuan penggunaan dan klaim yang
dicantumkan;
c. mutu yang dinilai dari pemenuhan persyaratan sesuai CPKB dan bahan kosmetika yang
digunakan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia, standar lain yang diakui, dan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
d. penandaan yang berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan. Penandaan
kosmetika harus memuat beberapa informasi agar masyarakat dapat mengetahui
kejelasan tentang kosmetika tersebut. Informasi yang harus terdapat dalam kosmetik
adalah:
i. keterangan kegunaan;
ii. cara penggunaan; dan
iii. peringatan dan keterangan lain yang dipersyaratkan.
Tata cara permohonan notifikasi dilakukan dengan cara yang sama seperti saat
melakukan permohonan pemohon notifikasi.
1. Permohonan notifikasi diajukan dengan mengisi Template Notifikasi secara elektronik
yang dapat diunduh dari website Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan alamat
http://www.pom.go.id.
2. Template Notifikasi yang sudah diisi lengkap dapat disimpan (save) dan/atau dikirim
(submit) secara elektronik.
3. Pemohon yang telah berhasil mengirim (submit) Template Notifikasi akan menerima Surat
Perintah Bayar secara elektronik melalui email pemohon.
4. Pemohon mencetak Surat Perintah Bayar dan melakukan pembayaran melalui Bank yang
ditunjuk.
5. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal Surat Perintah Bayar, pemohon harus
menyerahkan asli bukti pembayaran melalui Bank kepada Badan Pengawas Obat dan
Makanan atau Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat dan
Makanan.
6. Penyerahan asli bukti pembayaran disampaikan ke loket notifikasi kosmetika.
7. Apabila dalam waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal perintah bayar Badan Pengawas
Obat dan Makanan atau Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat
dan Makanan belum menerima asli bukti pembayaran, permohonan notifikasi kosmetika
dianggap ditolak.
8. Asli bukti pembayaran yang diterima Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat dan Makanan akan diverifikasi
kebenarannya.
9. Jika asli bukti pembayaran yang diterima benar, pemohon menerima tanda pengenal
produk (ID produk) sebagai tanda terima pengajuan permohonan notifikasi.
10. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diperoleh tanda terima
pengajuan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Kepala
Badan tidak mengeluarkan surat penolakan, terhadap kosmetika yang dinotifikasi
dianggap disetujui dan dapat beredar di wilayah Indonesia.
Berdasarkan alur tata cara pengajuan notifikasi, maka akan diperoleh ID produk untuk setiap
produk yang didaftarkan. ID produk tersebut akan menjadi identitas dan sebagai bukti bahwa
produk telah terdaftar secara resmi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim c. 2007. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta:
Pemerintah Republik Indonesia.

Anonim d. 2000. Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah.


Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

BPOM RI a. 2003. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003, tentang Kosmetik. Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

BPOM RI b. 2003. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK. HK.00.05.4.3870 Tahun 2003, tentang Pedoman Cara Pembuatan
Kosmetik yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

BPOM RI a. 2010. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 tahun 2010, tentang Kriteria Dan Tata Cara
Pengajuan Notifikasi Kosmetika. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.

BPOM RI b. 2010. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.42.06.10.4556 Tahun 2010, tentang Petunjuk Operasional
Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.

Dirjen Binfar dan Alkes. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Izin Produksi Kosmetika
Nomor HK.03.05/V/443.1/2011. Jakarta: Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Menkes RI a. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI b. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1176/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.

Menkes RI c. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.

Menkumham RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009,
tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Mensesneg RI. 1999. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Lampiran 1.

PERMOHONAN IZIN PRINSIP/IZIN PRINSIP PERLUASAN


PENANAMAN MODAL

I. KETERANGAN PEMOHON

A. Diisi oleh pemohon yang BELUM berbadan hukum Indonesia.

1. Nama Pemohon : ………………………………………


a. Alamat : ………………………………………
b. E-mail : ………………………………………
(diisi uraian data seluruh calon pemegang saham perusahaan yang akan didirikan)

2. Nama Perusahaan yang Akan Dibentuk (tentatif) :


………………………………………
a. Alamat Korespondensi : ………………………………………
………………………………………
………………………………………
b. Telepon : ………………………………………
c. Faksimile : ………………………………………
d. E-mail : ………………………………………

B. Diisi oleh pemohon yang TELAH berbadan hukum Indonesia.

1. Nama Pemohon : ………………………………………


a. Jabatan dalam perusahaan : ………………………………………
b. E-mail : ………………………………………
(diisi dengan data pimpinan perusahaan)
Tenaga Kerja
Nomor dan Luas Investasi
Lokasi Bidang Kapasitas Indonesia
No. Tgl Perizinan/ Satuan Tanah (US$
Proyek Usaha Produksi Orang
Persetujuan (m²/ha) /Rp)
(L/P)

Jumlah
2. Nama Perusahaan : ………………………………………
a. Alamat kedudukan perusahaan :
………………………………………
………………………………………
………………………………………
………………………………………
b. Telepon : ………………………………………
c. Faksimile : ………………………………………
d. E-mail : ………………………………………
3. Akta Pendirian : ………………………………………
dan Perubahannya (diisi dengan nama Notaris, Nomor dan Tanggal Akta)
4. Pengesahan (dan Pemberitahuan Perubahan)
dari Menteri Hukum dan HAM : ………………………………………
(diisi dengan Nomor dan Tanggal)
5. NPWP Perusahaan : ………………………………………
6. Data Perizinan / Persetujuan Penanaman Modal yang telah dimiliki
- Diisi khusus untuk perusahaan yang telah melakukan kegiatan usaha
sesuai Surat Persetujuan Penanaman Modal/ Izin Prinsip/ Izin Usaha
- Dapat dibuat dalam lembaran terpisah
II. KETERANGAN RENCANA PENANAMAN MODAL
1. Bidang Usaha : ………………………………………
(diisi dengan bidang usaha sesuai KBLI – 5 digit)

2. Lokasi Proyek
a. Alamat : ………………………………………
b. Kabupaten/Kota : ………………………………………
c. Provinsi : ………………………………………
3. Produksi dan Pemasaran Per Tahun :

Ekspor
Jenis Barang/ KBLI Satuan Kapasitas Keterangan
(%)
Jasa

Perkiraan Nilai Ekspor per tahun : US$ ………………………

4. Luas Tanah yang diperlukan : …………..m2/ha(sewa/beli)*


* coret yang tidak perlu
5. Tenaga Kerja Indonesia : …Orang(...Laki-Laki/...Perempuan)
6. Rencana Nilai Investasi (Rp/US$)Coret yang tidak perlu
a. Modal Tetap
- Pembelian dan Pematangan Tanah : …………………………...
- Bangunan / Gedung : …………………………...
- Mesin/Peralatan : …………………………...
(cantumkan nilai mesin dalam satuan US$) (US$………………………)
-Lain-lain : …………………………...

Sub Jumlah : …………………………...


b. Modal Kerja (untuk 1 turn over) : …………………………...
Jumlah (a+b) : …………………………...
7.Rencana Permodalan (Rp/US$)Coret yang tidak perlu
a. Sumber Pembiayaan
- Modal Sendiri : ……………………………
- Laba ditanam kembali : ……………………………
(diisi apabila ada)
- Pinjaman
Pinjaman Luar Negeri : ……………………………
Pinjaman Dalam Negeri : ……………………………
Jumlah : ……………………………
Jumlah sumber pembiayaan harus sama dengan jumlah rencana nilai investasi
b. Modal Perseroan (Rp/US$) Coret yang tidak perlu
- Modal Dasar : ……………………………
- Modal Ditempatkan : ……………………………
- Modal Disetor : ……………………………
Jumlah penyertaan dalam modal perseroan sama dengan modal disetor dan
sama dengan modal ditempatkan pada saat disahkan oleh Kementerian Hukum
dan HAM

c. Penyertaan Dalam Modal Perseroan


No Pemegang Saham *) Alamat dan Nilai Nominal %**)
Negara Asal Saham*)
Peserta Asing (…%)***)
• Nama :
• Nama :
Peserta Indonesia (…%)***)
• Nama :
NPWP :
• Nama :
NPWP :
Jumlah
*) Nilai NOMINAL saham dicantum dalam satuan Rupiah (Rp) atau US$.
**) Persentase terhadap total jumlah NOMINAL saham bukan terhadap jumlah
lembar saham
***) a. Khusus untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal asing:
- Total penyertaan dalam modal perseroan sama dengan nilai modal
ditempatkan sama dengan modal disetor sekurang-kurangnya sebesar
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) atau nilai setaranya
dalam satuan US Dolar atau ditetapkan secara khusus untuk bidang usaha
tertentu
- untuk masing-masing pemegang saham sekurang-kurangnya
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau nilai setaranya dalam satuan US
Dolar
b. Khusus untuk permohonan Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan Penanaman
Modal Dalam Negeri, diisi untuk yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
III. PERNYATAAN
Bahwa saya, nama : ………………………., dalam kapasitas saya sebagai Pimpinan
Perusahaan PT .............................. dengan ini menyatakan :
1. Apabila dalam pelaksanaan penanaman modal ini di kemudian hari menimbulkan
dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, Perusahaan bersedia
memikul segala akibat yang ditimbulkan termasuk penggantian kerugian kepada
masyarakat.
2. Saya menyatakan bahwa permohonan ini dibuat dengan benar, ditandatangani oleh yang
berhak di atas meterai yang cukup, dan saya menyatakan bahwa saya menjamin dan
bertanggungjawab secara hukum atas :
a. Keaslian seluruh dokumen yang disampaikan,
b. Kesesuaian seluruh rekaman/fotokopi data yang disampaikan dengan dokumen
aslinya, dan
c. Keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan.

…………………………..,……….20……..
Pemohon,

Tanda Tangan dan Stempel Perusahaan


Meterai Rp. 6.000,-

……………….………………
Nama dan Jabatan Penandatangan
Lampiran 2 : Formulir Permintaan Izin Industri
Lampiran 3: Formulir Pemohonan Izin Produksi Kosmetika
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7: Surat pernyataan Siap Produksi
Lampiran 8: Surat Keputusan Pemberian Izin Produksi Kosmetika
Lampiran 10: Contoh template pendaftaran pemohon notifikasi yang dilakukan secara online

Lampiran 10: Contoh template notifikasi

Anda mungkin juga menyukai