Anda di halaman 1dari 12

PERADABAN ISLAM MELAYU NUSANTARA: PERSPEKTIF POLITIK

Popi Popira
1730210107

Abstrak: islam adalah faktor pembentuk kebudayaan dari kerajaan pasai di aceh,
bugis di makasar, kutai di Kalimantan timur, hingga mataram islam di jawa. Akar-
akar kebudayaan islam inilah yang mewarnai kehidupan budayanyang kini bisa di
kenal sebagai budaya islam nusantara. Tulisan ini secara historis akan melihat
bagaiamana islam sebagai jiwa kebudayaan melayu terbentuk, berproses, dan
bernegoisasi yamg akhirnya membentuk suatu kebudayaan yang hadir di sejarah
nusantara ini. Pada bagian pertama, “Sekilas Sejarah Melayu Nusantara” akan
melhiat bagaimana sejarah kemelayuan di nusantara. Bagian kedua “Pecahnyaa
Kebudayaan Islam: Melayu dan Jawa (Indonesia)” secara lebih detil melihat
problematic politik identitas melayu. Bagian ketiga “Pecahnya Kebudayan Melayu?”
secara kristis melihat arah politik kebudayaan islam Malaysia dan hubungan dengan
islam dan kemelayuan indonesia. Sebagai kesimpulan bagian “kebudayaan Melayu
Islam tanpa Melaayu?” akan mempertanyakan signifikansi arah kesadaran budaya
kemelayuan yang menjauh dari islam tradisi local.

Kata Kunci: sejarah politik kebudayaan, islam, Malaysia, indonesia.


Abstract: Islam is a cultural forming factor from the Pasai Kingdom in Aceh, Bugis
in Makassar, Kutai in East Kalimantan, to Islamic Mataram in Java. It is the roots of
Islamic culture that characterize the cultural life that can now be known as the Islamic
culture of the archipelago. This paper is historically how Islam as the soul of Malay
culture is formed, processed, and negotiated, which finally formed a culture that is
present in the history of the archipelago. In the first part, "A Glimpse of the History
of Malay Archipelago" will see how the history of Malayness in the Archipelago.
The second part, "Rupture of Islamic Culture: Malay and Javanese (Indonesian)" in
more detail looks at the problematic politics of Malay identity. The third part,
"Malaysia, Malay Culture Lighthouse?" critically look at the political direction of
Malaysian Islamic culture and its relationship with Islam and Indonesian Malayness.
In conclusion, the section "Islamic Malay Culture without Malay?" will question the
significance of the direction of Malay cultural awareness which is moving away from
the local Islamic tradition.

Keywords: political history of culture, islam, malay, Malaysia, indonesia

Pendahuluan:

Islam, sebagai agama sekaligus etika moral yang bersumber dari wahyu,
memiliki struktur konseptualnya tersendiri dalam dunia politik. Karena Islam bukan
hanya sebagai agama dan etika moral, maka ia juga telah menjadi landasan dan
pandangan hidup para pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya.

Dalam sejarah politik Melayu, Islam bukanlah hal baru. Sebagai salah satu
unsur politik yang terpenting, Islam telah memberi legitimasi kepada raja-raja
kerajaan Melayu.Bahkan, perkembangan budaya Melayu berjalan beriringan dengan
ajaran-ajaran Islam.Peranan Islam dalam politik raja-raja Melayu ini terlihat jelas dari
gelar yang disandang, di antaranya “Zillullah fil Alam” (Bayang-bayang Tuhan di
Bumi), sultan, dan khalifah.Dengan demikian, raja sebagai tonggak dan simbol
kesetiaan orang Melayu, yang mayoritas menganut agama Islam, diberi kewenangan
untuk mengawal Islam dan adat istiadat Melayu.

Pembahasana:

A. Politik Dalam Masyarakat Melayu

Dalam sejarah tradisional Melayu, pengertian politik lebih dititikberatkan pada


konsep raja dan kerajaan; sistem pemerintahan dan kekuasaan. Menurut Milner,
kegiatan politik Melayu bisa diistilahkan bahwa orang-orang Melayu menganggap
diri mereka hidup bukan di bawah status atau pemerintah tetapi di dalam kerajaan di
mana wujudnya seorang pemerintah bertaraf raja (Haron, 1989:85). Pengangkatan
raja dan penegakan sebuah dinasti atau kesultanan di Melayu sudah berlangsung sejak
tahun 1400. Menurut Gullick, peristiwa itu sebagai tanda dimulainya sebuah sistem
politik bumiputera (Nusantara).

B. Sistem Pemerintahan Melayu

Sistem pemerintahan adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan


dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-
bagiannya. Dalam sejarah Melayu, sistem pemerintahan Melayu mempunyai dua
konsep: kerajaan dan negeri (Haron, 1989:94-96).

1. Konsep Kerajaan

Kerajaan diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang


raja Sedangkan menurut J.S. Roucek dan R.L Warren, kerajaan merupakan
sebuah organisasi yang menjalankan otoritas terhadap semua rakyatnya demi
menjaga keamanan dan ketenteraman serta melindungi mereka dari ancaman luar.
Konsep kerajaan dalam sistem pemerintahan Melayu sudah ada sejak zaman
Sriwijaya di Palembang. Dalam sistem ini, raja menduduki tingkat paling atas
dalam struktur kerajaan. Sistem ini bermula dengan pemerintahan Nila Utama
yang bergelar Seri Teri Buana yang ditunjuk oleh Demang Lebar Daun untuk
menggantikan kedudukannya. Kemudian sistem pemerintahan warisan Sriwijaya
ini dipraktikkan oleh keturunan mereka di Singapura, Melaka, dan beberapa
daerah lain di Melayu.

Dalam pelaksanaan konsep ini, kedudukan serta hak raja tidak dapat
dipermasalahkan apalagi diganggu-gugat. Raja juga diperbolehkan untuk berbuat
apa saja. Umpamanya ketika menjatuhkan hukuman mati kepada pembesar
kerajaan atau rakyatnya, ia tidak perlu meminta pertimbangan kepada para
pembesar lain. Contohnya adalah hukuman mati terhadap Tun Jana Khatib di
Singapura oleh Paduka Seri Maharaja.
Konsep kerajaan juga tidak dibatasi oleh tempat dan wilayah. Maka, pepatah
Melayu yang berbunyi, “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” diartikan
sebagai ke mana raja pergi maka di sanalah kerajaannya.[8]Sehingga, sebuah
kerajaan bisa berdiri tanpa adanya sebuah negeri.

2. Konsep Negeri

Penggunaan istilah “negeri” di Melayu sudah ada sejak 500 tahun lalu.
Konsep negeri diartikan sebagai sebuah organisasi yang menjalankan undang-
undang kepada seluruh rakyatnya. Negeri juga bisa diartikan sebagai tanah
tempat tinggal suatu bangsa. Dari konsep ini, negeri tidak hanya mencakup
wilayah kekuasaannya, tetapi termasuk juga seluruh jajahannya atau negeri
taklukannya. Sehingga, konsep negeri lebih luas artinya dibandingkan konsep
kerajaan.

Untuk membuka sebuah negeri, digambarkan ada sekumpulan orang yang


dipimpin oleh seorang raja atau keturunannya dengan diikuti oleh menteri,
punggawa kerajaan, hulubalang, rakyat, dan bala tentara pergi ke suatu tempat,
dan pada akhirnya berhenti di beberapa tempat di mana anak-anak bermain dan
orang laki-laki berburu.

Negeri meliputi wilayah yang telah dibersihkan. Pada umumnya, negeri


mempunyai dua struktur utama, yaitu parit dan istana balairung yang dibuat
sebelum pemimpin memasuki negerinya. Selain itu, negeri baru dapat dianggap
lebih lengkap jika terdapat masjid, pasar, dan balai istana.

Negeri mempunyai hukum yang berbeda dengan jajahannya. Dalam Undang-


undang Kedah, misalnya, dibedakan antara pembesar negeri dan pembesar
jajahannya. Di samping itu, negeri juga dianggap sebagai pusat kemajuan.
Tingkat kemakmurannya diukur berdasarkan jumlah penduduk dan pedagang
yang ada.
Orang yang tinggal di luar negeri dianggap berbeda dengan orang yang
tinggal di dalam negeri. Perbedaan itu kadang-kadang berdasarkan agama dan
negeri digambarkan sebagai pusat agama Islam.[16] Misalnya di Sumatra, orang
yang tidak mau masuk Islam meninggalkan negerinya dan dinamakan Gayo oleh
orang yang tinggal di dalam negeri.

Dengan demikian, istilah “negeri” dalam sejarah Melayu bisa diartikan


sebagai tempat kediaman yang tetap dan cukup padat, dibuka atas keputusan
seorang yang imempunyai kuasa politik tertentu bagi diri dan rakyatnya.

C. Pengaruh Islam terhadap Politik Melayu

Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa penting


dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam.Sebab, Islam merupakan
unsur terpenting dalam peradaban Melayu.Islam dan bahasa Melayu telah berhasil
menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran Nasional.

Naquib al-Attas menegaskan bahwa Islam telah berjasa kepada Melayu


Nusantara karena telah memberi semangat hebat yang menggerakkan proses revolusi
hidup berdasarkan pandangan alam seni dan alam falsafah yang berdasarkan akal dan
budi (Zain, 1998:224).

Dalam perkembangannya, Melayu diidentikkan dengan Islam. Bahkan, Islam dan


Melayu menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi
sangat identik dengan Islam.Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu
istilah “masuk Melayu”. Istilah ini mempunyai dua arti, yaitu: 1) mengikuti cara
hidup orang-orang Melayu; dan 2) masuk Islam. Istilah ini demikian mengakar di
kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya
dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan
perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan
tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa
dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik (Adian, 2004:55)

Maka, dapat disimpulkan bahwa orang Melayu menetapkan identitas


kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat
Melayu, dan beragama Islam.Berdasarkan ciri-ciri pokok tersebut, masyarakat
Melayu Nusantara dipersatukan oleh adanya kerajaan-kerajaan Melayu pada masa
lampau.Kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu telah meninggalkan tradisi-tradisi dan
simbol-simbol kebudayaan Melayu yang menyelimuti berbagai suasana kehidupan
hampir sebagian besar masyarakat wilayah kepulauan tersebut.Kerajaan-kerajaan
besar Melayu bukan saja terpusat di Pulau Sumatra, namun penyebarannya mencapai
sebagian besar wilayah Nusantara. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya beberapa
penguasa beserta pengikutnya dari kerajaan-kerajaan tersebut yang melarikan diri
karena berbagai faktor, dan kemudian mendirikan kerajaan Melayu baru di daerah
lain.

Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu, yang berlaku di tempat-


tempat umum serta yang digunakan untuk menjembatani berbagai suku bangsa dan
golongan etnis yang berbeda sehingga dapat saling berinteraksi adalah bahasa Melayu
dan etika Melayu (antara lain keramahtamahan dan kerterbukaan). Dapat dikatakan,
kebudayaan Melayu memiliki ciri-ciri utama yang bersifat fungsional dalam
mengakomodasi perbedaan-perbedaan.

Pada dasarnya, agama Islam yang dianut oleh orang Melayu adalah Islam tarekat
dan aliran yang membenarkan tetap berlangsungnya tradisi-tradisi setempat yang
bernaung di bawah keagungan Islam.Tarekat Naqsabandiyah, misalnya,
diperkenalkan di Riau pada abad ke-19 oleh Syeikh Ismail yang juga mempunyai
peranan penting dalam kegiatan intelektual di Riau. Di antara tokoh-tokoh penganut
tarekat ini adalah Raja Ali Riau ke-8, Raja Haji Abdullah ke-9, dan Raja Ali Haji
(RAH). Selain itu, banyak raja dan pembesar Riau bersatu di bawah sebuah
perkumpulan bernama Rusyidah Kelab. Perkumpulan ini telah banyak menghasilkan
karya seperti Risalat al-Fawaid al-Wafiat fi Syarah Ma`ana al-Tahiyyat.

Dalam agama Islam yang dianut oleh orang Melayu, terdapat variasi ajaran, yaitu
perpaduan antara Islam tradisional dan Islam modern.Variasi ini mengikuti sejarah
perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tradisi-tradisinya masih tetap berlaku
sampai sekarang dalam wilayah-wilayah bekas kekuasaan kerajaan-kerajaan yang
bersangkutan.

Syed. M. Naquib Al-attas mengklasifikasikan proses Islamisasi di kepulauan


Melayu menjadi tiga fase (Wan, 2003:319-320):

Fase pertama, proses Islamisasi kepulauan Melayu yang dapat diamati sejak abad
ke-13 dan ditandai oleh peranan fikih yang dominan dalam menginterpretasikan
syari`at. Dalam fase ini, konsep fundamental mengenai keesaan Tuhan masih kabur
dan dipahami secara samar-samar, yang di dalamnya terdapat sebagian konsep
pandangan hidup kuno Hindu-Budha yang masih tumpang tindih, dibayang-bayangi
atau dibingungkan oleh konsep baru dalam pandangan Islam. Al-Attas
mengistilahkan fase ini sebagai fase sebelum periode Hamzah Fanshuri, tokoh sufi
Melayu.

Fase kedua, yang diamati dari abad ke-15 hingga akhir abad ke-18, di mana
penafsiran hukum-hukum agama secara umum ditandai dengan dominasi tasawuf dan
kalam.Pada fase ini, beberapa konsep dasar yang masih dipahami secara kabur itu
dijelaskan dan didefinisikan sehingga dapat dipahami secara transparan dan
semitransparan.Yang dimaksud Al-Attas dengan transparan dan semitransparan
adalah pengertian-pengertian sempurna dan parsial dari makna-makna Islami, sebab
selain konsep, kata-kata tidak menjelaskan realitas objektif sesuatu yang
digambarkan.Sehingga yang penting adalah memahami pengertian dasar kata-kata itu
dan pengertian yang berhubungan dengannya, sebab kata-kata itu tidak berdiri sendiri,
tetapi memiliki konteks dan bidang semantik tertentu.
Fase ketiga, proses Islamisasi sebagai kelanjutan dari fase kedua. Namun, al-
Attas mengingatkan bahwa proses-proses ini tidak semestinya dilihat secara terpisah,
seperti satu fase berlangsung ketika fase yang lain berhenti. Dengan demikian, proses
Islamisasi kepulauan Melayu merupakan sebuah fenomena sejarah yang universal.
Maka, untuk memahami Islam di dunia Melayu berarti harus memahami Islam itu
sendiri sebagai sebuah agama dan peradaban.

Bangsa Melayu selanjutnya menjadikan Islam sebagai landasan dasar perumusan


etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tersebut, misalnya,
tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, seperti Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-raja Pasai—dua teks yang masing-masing berbicara tentang Kerajaan
Samudra Pasai dan Melaka abad 14 dan 15—di mana perumusan Islam sebagai basis
etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam
keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang Raja Pasai misalnya,
digambarkan bahwa sesaat setelah beralih ke agama Islam ia segera memakai gelar
Arab yaitu Sultan, dan dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia
dinyatakan sebagai “Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (Zillullah fil Alam).

Sementara di Riau, Raja Ali Haji (RAH) diangkat menjadi penasihat agama
kerajaan. Pada tahun 1845, ketika Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yamtuan
Muda. Pada tahun 1858, ketika Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah
Mursyid wafat, maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala
urusan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut hukum syari`at Islam.

Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa prasyarat
untuk menjadi seorang raja dan elite kekuasaan, yaitu: harus beriman, cakap, adil,
bijaksana, serta syarat-syarat lain yang menjadi kriteria konsep penguasa ideal.
Baginya, kerajaan merupakan sistem politik yang tepat untuk membangun
masyarakat Melayu.Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting dalam
pembentukan kehidupan sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada
salah satu pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik
raja-raja Melayu yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dalam hal ini,
ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang
berujung pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus
ini merupakan bukti bahwa ajaran Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah
terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran
yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik
kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu.

Syarat menjadi raja dan elit kerajaan yang dikemukakan Raja Ali Haji tersebut
selaras dengan syarat-syarat pemimpin dalam Islam, yaitu beragama Islam, lelaki,
baligh, akil, merdeka, dan sempurna Anggota tubuhnya.

Sedangkan Kerajaan Melaka sebagai bagian dari Melayu juga sangat


menghormati ajaran Islam dan menjadikan istana sebagai pusat pengembangannya.
Kecintaan kepada ilmu Islam misalnya, telah mendorong Sultan Mahmud (1488-
1511M) mempelajari ilmu fikih terutama yang berkaitan dengan muamalat, bersama
para rakyat. Untuk mendapat ilmu fikih tersebut, ia harus menghadiri majelis ilmu di
rumah Maulana Yusuf dan berguru kepada ulama tersebut. Dalam hal ini, Shellabear
menjelaskan sebagai berikut:

“Setelah datang keluar pintu Maulana Yusuf, maka titah Sultan pada penunggu
pintu itu, `Beritahu maulana bahwa fakir Mahmud datang`. Maka kata Maulana
Yusuf, `Jika fakir Mahmud datang, buka pintu; fakir patutlah ke rumah samanya
fakir`. Maka Sultan Mahmud dibawanya naik duduk ke rumahnya, maka Sultan
Mahmud pun mengaji muamalat pada Maulana Yusuf” (Abdullah, 1990:102).

Islam mempunyai peranan sangat penting di zaman kesultanan Melaka karena


syarat menjadi pejabat tinggi kerajaan harus beragama Islam serta tunduk kepada
hukum (qanun) Melaka. Qanun Melaka yang dibagi menjadi empat bagian; Qishash,
Hudud, Ta`zir, dan Diyat. Tidak dapat dinafikan bahwa sistem perundangan di zaman
kerajaan Melaka ini adalah berasaskan sistem perundangan Islam.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa qanun Melaka berasaskan hukum Islam.
Dengan demikian, Melaka adalah sebuah pemerintahan Islam dan dengannya juga
telah menjadikan Melaka sebagai kerajaan besar Islam yang berpengaruh di
Melayu.Kejayaan Islam di Melaka inilah menjadi penghalang bagi penyebaran agama
Kristen di Melayu oleh bangsa Inggris, Portugis, dan Belanda.

Kedatangan Islam ke Melayu juga berperan merubah sejarah asal-usul raja dari
dewa-dewa kepada tokoh-tokoh agung Islam, seperti Nabi Adam AS, Iskandar
Zulkarnain, atau campuran tokoh Islam dan dewa Hindu. Sejarah Melayu seolah-olah
begitu yakin sekali meletakkan raja-raja Melaka, yang bermula dengan Seri Teri
Buana yang turun di Bukit Seguntang, sebagai keturunan Iskandar dari Rom. Hal itu
menandakan keagungan tokoh tersebut.Ia pernah menaklukkan hampir separuh dunia.
Dalam sumber sejarah yang lain, Iskandar Zulkarnaen telah mengalahkan Darius
Maharaja Parsi dan turun melalui pegunungan Indus, lalu masuk ke dataran Hindu
dan sampai ke tepi Sungai Gangga.

Kehadiran Islam dalam kehidupan Melayu juga memberi pengaruh besar


terhadap unsur kepercayaan Hindu dari tahap keagamaan ke tahap kebudayaan,
namun tidak seluruhnya. Pengaruh dewa Hindu malah dilengkapi dan diperkuat lagi
oleh Islam dalam menentukan kuasa dan kedudukan istimewa raja-raja.Peranan raja
dalam Islam adalah memberi perlindungan dan bimbingan kepada rakyat seperti yang
terungkap dalam kalimat zilullah fil `alam, sultan dan khalifah.Raja yang dianggap
juga sebagai khalifah harus memberi perlindungan, bimbingan, panduan, dan
pengajaran tentang sifat-sifat wajib yang dimiliki raja, tanggung jawab, serta keadilan
sebagaimana tertuang dalam untunan al-Qur`an. Hal ini terlihat dalam karya-karya
Melayu, seperti Taj al-Salam karangan Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salam
karangan Nuruddin Al-Raniri. Karya-karya tersebut sebenarnya menunjukkan
penyempurnaan citra raja sebagai tokoh yang menjadi khalifah dan wakil Allah dalam
urusan memimpin manusia.

Menurut Dr. Siddiq Fadil, Islam dan revolusi kebudayaannya telah membawa
ideologi yang cukup mendasar dalam ketatanegaraan Melayu. Dalam hubungan ini,
konsep raja telah mengalami transformasi makna atau perubahan konseptual jika
dirujuk dan diselaraskan dengan istilah politik Islam, seperti khalifah, sultan, dan
imam (Maran dan Rafael, 2001: 17).

Pengaruh Islam terhadap politik Melayu, khususnya kerajaan Melayu, juga


terlihat dari mitos tentang mahkota raja-raja Melayu. Dalam sejarah Melayu,
dimitoskan bahwa mahkota raja-raja Melayu berasal dari perbendaharaan Nabi
Sulaiman AS yang dibawa keluar oleh raja jin untuk diberikan kepada putra-putra
raja Suran (Raja Sriwijaya) sebagai tanda kebesaran mereka.

Kesimpulan

Besarnya pengaruh Islam terhadap politik Melayu mengakibatkan timbulnya


gelar raja-raja Melayu yang bercorakkan Islam seperti zillullah fil alam, sultan dan
khalifah. Implikasinya, pengembangan konsep-konsep hukum Melayu merujuk
kepada hukum-hukum Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Bagi
raja-raja Melayu, Islam bukan sekedar agama tetapi lebih dari itu ia menjadi landasan
politik dan pandangan hidup mereka dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Oleh karena itu, Islam dan politik Melayu selalu berjalan beriringan.Islam
menjadi bagian dari kehidupan raja-raja dan masyarakat Melayu, sebaliknya raja-raja
dan masyarakat Melayu sangat identik dengan Islam.Wallahu `alam.
DAFTAR PUSTAKA

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan.

Ishak, Abdullah. 1990. Islam di Nusantara. Petaling Jaya: Al-Rahmaniah.

Maran dan Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.

Husaini, Adian. 2004. Liberalisasi Islam Tantangan bagi Peradaban Melayu. Jakarta:
Khairul Bayan
Daud, Haron. 1989. Sejarah Melayu: Satu Kajian daripada Aspek Pensejarahan

Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan

Malaysia

Serudin, Zain Haji. 1998. Melayu Islam Beraja, Suatu Pendekatan. Dewan Bahasa
dan Pustaka Brunei. Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan

Anda mungkin juga menyukai