Popi Popira
1730210107
Abstrak: islam adalah faktor pembentuk kebudayaan dari kerajaan pasai di aceh,
bugis di makasar, kutai di Kalimantan timur, hingga mataram islam di jawa. Akar-
akar kebudayaan islam inilah yang mewarnai kehidupan budayanyang kini bisa di
kenal sebagai budaya islam nusantara. Tulisan ini secara historis akan melihat
bagaiamana islam sebagai jiwa kebudayaan melayu terbentuk, berproses, dan
bernegoisasi yamg akhirnya membentuk suatu kebudayaan yang hadir di sejarah
nusantara ini. Pada bagian pertama, “Sekilas Sejarah Melayu Nusantara” akan
melhiat bagaimana sejarah kemelayuan di nusantara. Bagian kedua “Pecahnyaa
Kebudayaan Islam: Melayu dan Jawa (Indonesia)” secara lebih detil melihat
problematic politik identitas melayu. Bagian ketiga “Pecahnya Kebudayan Melayu?”
secara kristis melihat arah politik kebudayaan islam Malaysia dan hubungan dengan
islam dan kemelayuan indonesia. Sebagai kesimpulan bagian “kebudayaan Melayu
Islam tanpa Melaayu?” akan mempertanyakan signifikansi arah kesadaran budaya
kemelayuan yang menjauh dari islam tradisi local.
Pendahuluan:
Islam, sebagai agama sekaligus etika moral yang bersumber dari wahyu,
memiliki struktur konseptualnya tersendiri dalam dunia politik. Karena Islam bukan
hanya sebagai agama dan etika moral, maka ia juga telah menjadi landasan dan
pandangan hidup para pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam sejarah politik Melayu, Islam bukanlah hal baru. Sebagai salah satu
unsur politik yang terpenting, Islam telah memberi legitimasi kepada raja-raja
kerajaan Melayu.Bahkan, perkembangan budaya Melayu berjalan beriringan dengan
ajaran-ajaran Islam.Peranan Islam dalam politik raja-raja Melayu ini terlihat jelas dari
gelar yang disandang, di antaranya “Zillullah fil Alam” (Bayang-bayang Tuhan di
Bumi), sultan, dan khalifah.Dengan demikian, raja sebagai tonggak dan simbol
kesetiaan orang Melayu, yang mayoritas menganut agama Islam, diberi kewenangan
untuk mengawal Islam dan adat istiadat Melayu.
Pembahasana:
1. Konsep Kerajaan
Dalam pelaksanaan konsep ini, kedudukan serta hak raja tidak dapat
dipermasalahkan apalagi diganggu-gugat. Raja juga diperbolehkan untuk berbuat
apa saja. Umpamanya ketika menjatuhkan hukuman mati kepada pembesar
kerajaan atau rakyatnya, ia tidak perlu meminta pertimbangan kepada para
pembesar lain. Contohnya adalah hukuman mati terhadap Tun Jana Khatib di
Singapura oleh Paduka Seri Maharaja.
Konsep kerajaan juga tidak dibatasi oleh tempat dan wilayah. Maka, pepatah
Melayu yang berbunyi, “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” diartikan
sebagai ke mana raja pergi maka di sanalah kerajaannya.[8]Sehingga, sebuah
kerajaan bisa berdiri tanpa adanya sebuah negeri.
2. Konsep Negeri
Penggunaan istilah “negeri” di Melayu sudah ada sejak 500 tahun lalu.
Konsep negeri diartikan sebagai sebuah organisasi yang menjalankan undang-
undang kepada seluruh rakyatnya. Negeri juga bisa diartikan sebagai tanah
tempat tinggal suatu bangsa. Dari konsep ini, negeri tidak hanya mencakup
wilayah kekuasaannya, tetapi termasuk juga seluruh jajahannya atau negeri
taklukannya. Sehingga, konsep negeri lebih luas artinya dibandingkan konsep
kerajaan.
Pada dasarnya, agama Islam yang dianut oleh orang Melayu adalah Islam tarekat
dan aliran yang membenarkan tetap berlangsungnya tradisi-tradisi setempat yang
bernaung di bawah keagungan Islam.Tarekat Naqsabandiyah, misalnya,
diperkenalkan di Riau pada abad ke-19 oleh Syeikh Ismail yang juga mempunyai
peranan penting dalam kegiatan intelektual di Riau. Di antara tokoh-tokoh penganut
tarekat ini adalah Raja Ali Riau ke-8, Raja Haji Abdullah ke-9, dan Raja Ali Haji
(RAH). Selain itu, banyak raja dan pembesar Riau bersatu di bawah sebuah
perkumpulan bernama Rusyidah Kelab. Perkumpulan ini telah banyak menghasilkan
karya seperti Risalat al-Fawaid al-Wafiat fi Syarah Ma`ana al-Tahiyyat.
Dalam agama Islam yang dianut oleh orang Melayu, terdapat variasi ajaran, yaitu
perpaduan antara Islam tradisional dan Islam modern.Variasi ini mengikuti sejarah
perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tradisi-tradisinya masih tetap berlaku
sampai sekarang dalam wilayah-wilayah bekas kekuasaan kerajaan-kerajaan yang
bersangkutan.
Fase pertama, proses Islamisasi kepulauan Melayu yang dapat diamati sejak abad
ke-13 dan ditandai oleh peranan fikih yang dominan dalam menginterpretasikan
syari`at. Dalam fase ini, konsep fundamental mengenai keesaan Tuhan masih kabur
dan dipahami secara samar-samar, yang di dalamnya terdapat sebagian konsep
pandangan hidup kuno Hindu-Budha yang masih tumpang tindih, dibayang-bayangi
atau dibingungkan oleh konsep baru dalam pandangan Islam. Al-Attas
mengistilahkan fase ini sebagai fase sebelum periode Hamzah Fanshuri, tokoh sufi
Melayu.
Fase kedua, yang diamati dari abad ke-15 hingga akhir abad ke-18, di mana
penafsiran hukum-hukum agama secara umum ditandai dengan dominasi tasawuf dan
kalam.Pada fase ini, beberapa konsep dasar yang masih dipahami secara kabur itu
dijelaskan dan didefinisikan sehingga dapat dipahami secara transparan dan
semitransparan.Yang dimaksud Al-Attas dengan transparan dan semitransparan
adalah pengertian-pengertian sempurna dan parsial dari makna-makna Islami, sebab
selain konsep, kata-kata tidak menjelaskan realitas objektif sesuatu yang
digambarkan.Sehingga yang penting adalah memahami pengertian dasar kata-kata itu
dan pengertian yang berhubungan dengannya, sebab kata-kata itu tidak berdiri sendiri,
tetapi memiliki konteks dan bidang semantik tertentu.
Fase ketiga, proses Islamisasi sebagai kelanjutan dari fase kedua. Namun, al-
Attas mengingatkan bahwa proses-proses ini tidak semestinya dilihat secara terpisah,
seperti satu fase berlangsung ketika fase yang lain berhenti. Dengan demikian, proses
Islamisasi kepulauan Melayu merupakan sebuah fenomena sejarah yang universal.
Maka, untuk memahami Islam di dunia Melayu berarti harus memahami Islam itu
sendiri sebagai sebuah agama dan peradaban.
Sementara di Riau, Raja Ali Haji (RAH) diangkat menjadi penasihat agama
kerajaan. Pada tahun 1845, ketika Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yamtuan
Muda. Pada tahun 1858, ketika Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah
Mursyid wafat, maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala
urusan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut hukum syari`at Islam.
Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa prasyarat
untuk menjadi seorang raja dan elite kekuasaan, yaitu: harus beriman, cakap, adil,
bijaksana, serta syarat-syarat lain yang menjadi kriteria konsep penguasa ideal.
Baginya, kerajaan merupakan sistem politik yang tepat untuk membangun
masyarakat Melayu.Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting dalam
pembentukan kehidupan sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada
salah satu pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik
raja-raja Melayu yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dalam hal ini,
ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang
berujung pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus
ini merupakan bukti bahwa ajaran Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah
terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran
yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik
kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu.
Syarat menjadi raja dan elit kerajaan yang dikemukakan Raja Ali Haji tersebut
selaras dengan syarat-syarat pemimpin dalam Islam, yaitu beragama Islam, lelaki,
baligh, akil, merdeka, dan sempurna Anggota tubuhnya.
“Setelah datang keluar pintu Maulana Yusuf, maka titah Sultan pada penunggu
pintu itu, `Beritahu maulana bahwa fakir Mahmud datang`. Maka kata Maulana
Yusuf, `Jika fakir Mahmud datang, buka pintu; fakir patutlah ke rumah samanya
fakir`. Maka Sultan Mahmud dibawanya naik duduk ke rumahnya, maka Sultan
Mahmud pun mengaji muamalat pada Maulana Yusuf” (Abdullah, 1990:102).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa qanun Melaka berasaskan hukum Islam.
Dengan demikian, Melaka adalah sebuah pemerintahan Islam dan dengannya juga
telah menjadikan Melaka sebagai kerajaan besar Islam yang berpengaruh di
Melayu.Kejayaan Islam di Melaka inilah menjadi penghalang bagi penyebaran agama
Kristen di Melayu oleh bangsa Inggris, Portugis, dan Belanda.
Kedatangan Islam ke Melayu juga berperan merubah sejarah asal-usul raja dari
dewa-dewa kepada tokoh-tokoh agung Islam, seperti Nabi Adam AS, Iskandar
Zulkarnain, atau campuran tokoh Islam dan dewa Hindu. Sejarah Melayu seolah-olah
begitu yakin sekali meletakkan raja-raja Melaka, yang bermula dengan Seri Teri
Buana yang turun di Bukit Seguntang, sebagai keturunan Iskandar dari Rom. Hal itu
menandakan keagungan tokoh tersebut.Ia pernah menaklukkan hampir separuh dunia.
Dalam sumber sejarah yang lain, Iskandar Zulkarnaen telah mengalahkan Darius
Maharaja Parsi dan turun melalui pegunungan Indus, lalu masuk ke dataran Hindu
dan sampai ke tepi Sungai Gangga.
Menurut Dr. Siddiq Fadil, Islam dan revolusi kebudayaannya telah membawa
ideologi yang cukup mendasar dalam ketatanegaraan Melayu. Dalam hubungan ini,
konsep raja telah mengalami transformasi makna atau perubahan konseptual jika
dirujuk dan diselaraskan dengan istilah politik Islam, seperti khalifah, sultan, dan
imam (Maran dan Rafael, 2001: 17).
Kesimpulan
Oleh karena itu, Islam dan politik Melayu selalu berjalan beriringan.Islam
menjadi bagian dari kehidupan raja-raja dan masyarakat Melayu, sebaliknya raja-raja
dan masyarakat Melayu sangat identik dengan Islam.Wallahu `alam.
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Maran dan Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.
Husaini, Adian. 2004. Liberalisasi Islam Tantangan bagi Peradaban Melayu. Jakarta:
Khairul Bayan
Daud, Haron. 1989. Sejarah Melayu: Satu Kajian daripada Aspek Pensejarahan
Malaysia
Serudin, Zain Haji. 1998. Melayu Islam Beraja, Suatu Pendekatan. Dewan Bahasa
dan Pustaka Brunei. Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan