Anda di halaman 1dari 53

FAKTOR-FAKTOR INTRINSIK YANG MEMPENGARUHI

SELF CARE PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI


RUMAH SAKIT ANUTAPURA PALU

PROPOSAL

MEGAWATI AZIS
201601118

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana tubuh tidak
dapat menghasilkan atau tidak menggunakan insulin dengan benar, yang
dapat menimbulkan hiperglikemia. Secara klinis terdapat 2 tipe DM yaitu,
tipe I yaitu disebabkan oleh kurangnya insulin secara absolut akibat proses
autoimun dan DM tipe II yaitu akibat resistensi (Herlina & Sylvia 2014 dalam
Rembang 2017). Diabetes Mellitus (DM) hiperglikemia pada pasien DM.
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM yang tidak dikontrol dapat
menyebabkan gangguan serius pada sistem tubuh, terutama saraf dan
pembuluh darah (World Health Organization, 2018). Diabetes Mellitus tipe II
merupakan penyakit diabetes yang paling banyak ditemui dan biasanya
berasal dari factor genetic atau keturunan (Dalimartha & Adrian 2012 dalam
Rembang et al 2017). Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
membuat perubahan pada gaya hidup pasien, seperti meningkatkan diet, dan
latihan fisik (olahraga) (International Diabetes Federaration, 2017 dalam
Kusnanto 2019).
Berdasarkan data dari International Diabetes Federaration (IDF) tahun
2017 melaporkan bahwa jumlah pasien DM didunia mencapai 425 juta orang
dewasa berusia antara 20-79 tahun. Tercatat sebagai negara peringkat keenam
dengan beban penyakit diabetes mellitus terbanyak di dunia, data
International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan lebih dari 10 juta
penduduk Indonesia menderita penyakit tersebut di tahun 2017. Angka ini
dilaporkan kian meningkat seiring berjalannya waktu, terbukti dari laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menunjukkan prevalensi Diabetes
Mellitus pada penduduk dewasa Indonesia sebesar 6,9% di tahun 2013, dan
melonjak pesat ke angka 8,5% di tahun 2018. WHO bahkan memprediksikan
penyakit diabetes mellitus akan menimpa lebih dari 21 juta penduduk
Indonesia di tahun 2030 (WHO) 2018, dalam Kusnanto 2019).
Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia jumlah penduduk Indonesia
dengan prevalensi diabetes mellitus tipe II di daerah urban sebesar 14,7% dan
daerah nural 7,2% dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penduduk
dengan asumsi prevalensi diabetes mellitus tipe II mencapai 12 juta diabetes.
Sedangkan untuk di daerah Jawa Tengah pada tahun 2011, prevalensi
penyakit diabetes melitus tipe II mengalami peningkatan sebesar 9,7%
dengan prevalensi tertinggi di kota semarang (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan data dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan
bahwa penderita diabetes mellitus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2016 jumlah kasus diabetes melitus sebanyak 16.330 kasus dan tahun 2017
jumlah kasus diabetes mellitus meningkat menjadi 16.456 kasus (Dinkes
Provinsi Sulteng, 2017).
Menurut Priyatno (2016), dalam International Statistical Clasification
of Disease 10 (ICD-10) distribusi pasien baru diabetes mellitus yang berobat
jalan ke rumah sakit di Indonesia berjumlah 45.368 orang dan jumlah
kunjungan sebanyak 180.926 orang dengan admission rate sebesar 3.99
sedangkan distribusi pasien baru yang rawat inap sebanyak 83.045 orang dan
jumlah pasien yang meninggal sebanyak 5.585 orang dengan angka Case
Fatality Rete (CFR) sebesar 6,73% (Kemenkes RI 2016).
Menurut Suyono (2016), penyakit diabetes mellitus tipe II merupakan
penyakit degeneratif yang terkait pada pola makan. Pola makan merupakan
gambaran mengenai macam-macam, jumlah dan komposisi bahan makanan
apa saja yang dimakan tiap hari oleh seseorang. Terlebih dengan gaya hidup
perkotaan dengan pola diit yang tinggi lemak, garam, dan gula secara
berlebihan dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit termasuk
diabetes mellitus.
Kurangnya latihan fisik atau olahraga juga merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya diabetes mellitus tipe II. Menurut penelitian
yang telah dilakukan di China, jika seseorang dalam hidupnya kurang
melakukan latihan fisik ataupun olahraga maka cadangan glikogen ataupun
lemak akan tetap tersimpan di dalam tubuh, hal inilah yang memicu
terjadinya berbagai macam penyakit degeneratif salah satu contohnya
diabetes mellitus tipe II. Secara epidemologik diabetes mellitus tipe II,
mungkin tidak terdeteksi dan onset atau mulai terjadinya diabetes 7 tahun
sebelum diagnosis dikatakan, sehingga mordibitas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus tidak terdeteksi dini. Penelitian lain menyatakan bahwa populasi
diabetes tipe II akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadinya perubahan
perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara
epidemologi diperkirakan adalah gaya hidup beresiko (Yunir dan Soebardi
2017).
Diabetes Mellitus tipe II berlangsung lambat dan progresif, dan
gejala yang dialami pasien sering bersifat ringan atau biasa saja seperti trias
diabetes mellitus, yaitu poliuria (sering berkemih) polidipsi (banyak minum)
dan polifagia (banyak makan) sehingga kadang tidak terdeteksi sejak dini
(Sylvia & Lorraine 2005 dalam Rembang et al 2017). Oleh karena itu upaya
yang dilakukan untuk mengontrol diabetes ditujukan untuk mencegah
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler (Herlina & Sylvia 2014 dalam
Rembang et al 2017). Komplikasi makrovaskuler meliputi penyakit arteri
koroner , stroke dan penyakit vaskuler perifer, sedangkan komplikasi
mikrovaskuler meliputi retinopati, nepropati dan neuropati (Ganong, 2008
dalam Rembang et al 2017). Upaya tindakan perawatan diri secara mandiri
(self care) merupakan tindakan yang dapat dilakukan untuk mendukung
pengelolaan diabetes melitus yang dikemukakan oleh Dorotea Orem, karena
diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang umum terjadi pada dewasa
yang membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi perawatan
mandiri kepada pasien (LeMone, 2016 dalam Rembang et al 2017).
Sebagian besar penyandang diabetes di Indonesia adalah kelompok
diabetes mellitus tipe II yaitu lebih dari 90% dari seluruh populasi diabetes
(PERKENI 2011 dalam Ningrum et al 2019). Dampak tidak terkendalinya
kadar gula darah mengakibatkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi
akibat DM adalah sebesar 57,9% atau dari 5 orang yang menderita DM
terdapat 3 orang yang mengalami komplikasi. Kejadian makrovaskuler di
Amerika seperti stroke sebesar 6,6%, infark miokard akut sebesar 9,8%,
penyakit jantung koroner sebesar 9,1%, dan gagal jantung kongestif sebesar
7,9%. Sedangkan untuk komplikasi mikrovaskuler sebanyak 27,8% orang
mengalami penyakit ginjal, kelainan mata sebesar 18,9% dan kelainan kaki
sebesar 22,9%. Oleh karena itu perlu dianjurkan manajemen diri untuk
dijadikan sebagai komponen inti dari perawatan diabetes (ADA 2016 dalam
Ningrum et al 2019).
Manajemen diri diabetes merupakan keterlibatan dan tanggung jawab
pasien itu sendiri terhadap pengelolaan DM yang mempengaruhi beberapa
aspek (Hasanat 2015 dalam Ningrum et al 2019) meliputi aktivitas fisik,
pengaturan pola makan (diet), kontrol gula darah, dan kepatuhan minum obat
(Huang, Zhao, Li & Jiang, 2014 dalam Ningrum et al 2019). Adapun tujuan
utama pengelolaan DM yaitu untuk mengatur kadar glukosa dalam batas
normal guna mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi DM,
jika seorang pasien DM mampu mengatasi masalah pada penyakit DM, maka
memungkinkan pasien tersebut dapat membuat sebuah keputusan tentang
pengelolaan yang terbaik untuk dirinya (Djawa 2019 dalam Ningrum et al
2019).
Keberhasilan manajemen diri diabetes sangat bergantung pada aktivitas
perawatan diri individu itu sendiri untuk mengontrol gejala diabetes, jika
kegiatan manajemen diri dilakukan dengan cara yang tepat dan teratur, maka
memungkinkan dapat mencegah komplikasi yang timbul akibat diabetes
(Wahyuningsih 2013 dalam Ningrum et al 2019).
Salah satu cara pengendalian penyakit DM adalah dengan melakukan
perawatan secara mandiri (self care) menurut WHO (2009). Self Care yang
dapat dilakukan pasien DM meliputi pengaturan pola makan (diet), akifivitas
fisik (olahraga), pemantauan gula darah, terapi obat dan perawatan kaki
(Suantika, 2015). Manfaat Self Care pada pasien DM itu sendiri merupakan
salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi yang memungkin penyakit tidak
mendapatkan dukungan dari kebiasaan gaya hidup atau faktor lainnya.
Sehingga pasien mampu melakukan perawatan mandiri agar dapat merubah
perilaku. Namun, pada kenyataannya fenomena di masyarakat masih
menunjukkan rendahnya Self Care pada penderita DM. Hal ini terlihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Magfirah, Sudiana & Widyawati (2015)
yang menemukan bahwa sekitar 75% responden dengan DM tipe II masih
menunjukkan perawatan diri yang belum optimal. Hasil penelitian Prasetyani
& Sodikin (2016) juga menunjukkan bahwa kemampuan Self Care pasien
DM masihh rendah, yang ditunjukkan dengan rata-rata jumlah haari dalam
melakukan Self Care hanya 2-5 hari dalam satu minggu. Hasil penelitian
Nejaddadgar et al., (2017) di Iran juga menunjukkan rendahnya Self Care
pada penderita diabetes. Penelitian ini menunjukkan bahwa 63,6% dari total
382 pasien yang dirujuk ke Diabetes Center Ardabil Iran memiliki tingkat
Self Care yang rendah. Rendahnya Self Care yang dilakukan oleh penderita
DM akan berakibat buruk bagi pasien itu sendiri.
Data rekam medik Rumah Sakit Umum Anutapura Palu (2017),
menunjukkan bahwa kasus penderita DM rawat inap di RSU Anutapura Palu
poli klinik penyakit dalam pada tahun 2016 sebanyak 560 kasus dan tahun
2017 dari bulan Januari sampai bulan Juli berjumlah 245 kasus. Sedangkan
berdasarkan kunjungan rawat jalan kasus penderita DM di RSU Anutapura
Palu pada tahun 2016 sebanyak 3977 kasus dan tahun 2017 sebanyak 4177
penderita DM.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Intrinsik yang
mempengaruhi Self Care Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Rumah
Sakit Anutapura Palu Tahun 2020”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut “Apa sajakah faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi self
care pada pasien DM tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menguraikan faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi self
care pada pasien DM tipe II di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menguraikan Usia dengan Self Care pada pasien DM Tipe II di
RSU Anutapura Palu
b. Untuk menguraikan Jenis Kelamin dengan Self Care pada pasien DM
Tipe II di RSU Anutapura Palu
c. Untuk menguraikan Tingkat Pendidikan dengan Self care pada pasien
DM Tipe II di RSU Anutapura Palu
d. Untuk menguraikan Lama Menderita dengan Self Care pada pasien DM
Tipe II di RSU Anutapura Palu
e. Untuk menguraikan Dukungan Keluarga dengan pasien DM Tipe II di
RSU Anutapura Palu
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi STIKes WIDYA NUSANTARA PALU
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pendidikan khususnya Ilmu Keperawatan STIKes Widya Nusantara dalam
kasus Diabetes Mellitus dan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian
selanjutnya.
2. Instansi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan kepada RSU Anutapura Palu dalam memberikan pelayanan bagi
masyarakat khususnya pasien dengan Diabetes Mellitus untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan manajemen
penatalaksanaan sehingga dapat menurunkan angka kejadian Diabetes
Mellitus.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk peneliti selanjutnya
dalam melakukan penelitian agar dapat melakukan penelitian dengan
faktor yang paling dominan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Diabetes Melllitus


1. Pengertian
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis yang terjadi baik saat
pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau bila tubuh tidak dapat
secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah
hormon yang mengatur kadar gula dalam darah. Hiperglikemia atau
peningkatan kadar gula darah merupakan efek umum diabetes yang tidak
terkontrol dan seiring berjalannya waktu menyebabkan kerusakan serius
pada banyak sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah (WHO,
2018).
International Diabetes Federation menyebutkan bahwa ketika tubuh
kekurangan insulin atau ketika sel tidak mampu untuk merespon insulin
dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia.
Kadar gula yang tinggi, jika dibiarkan tidak terkendali dapat menyebabkan
kerusakan pada sistem tubuh, yang mengarah pada komplikasi kesehatan
yang mengancam jiwa seperti penyakit kardiovaskuler, neuropati,
nefropati, dan penyakit mata (Internationnal Diabetes Federation, 2017).
Secara klinis terdapat 2 tipe DM yaitu, tipe I yang disebabkan oleh
kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun dan DM tipe II
yaitu akibat resistensi (Herlina & Sylvia 2014 dalam Rembang et al 2017).
2. Klasifikasi Diabetes Mellitus
International Diabetes Federation (2017) mengklasifikasikan DM
menjadi:
a. Diabetes Mellitus Tipe I
Diabetes mellitus tipe I merupakan diabetes yang disebabkan
olehh reaksi autoimun dimana sistem kekebalan tubuh menyerang sel
beta penghasil insulin di pankreas, sehingga tubuh tidak dapat
menghasilkan insulin. Penyebab dari proses destruktif ini tidak
sepenuhnya diketahui tetapi kombinasi kerentanan genetik serta
lingkungan seperti adanya infeksi virus, toksin atau beberapa faktor
makanan. Penyakit ini dapat berkembang pada semua usia, akan tetapi
pada Diabetes mellitus tipe I paling sering terjadi pada anak-anak dan
remaja. Penderita dengan Diabetes mellitus tipe I memerlukan suntikan
insulin setiap hari agar dapat mempertahankan kadar glukosa agar tetap
dalam kisaran yang normal. Kebutuhan pengobatan insulin sehari-hari,
pemantauan glukosa darah secara teratur dan pemeliharaan diet sehat
dan gaya hidup sehat merupakan cara untuk menunda atau menghindari
terjadinya komplikasi dari penyakit Diabetes.
b. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes mellitus tipe II adalah diabetes yang paling umum
ditemukan. Ciri dari Diabetes mellitus tipe II adalah hiperglikemia.
Hiperglikemia dalam hal ini merupakan hasil dari produksi insulin yang
tidak adekuat dan ketidakmampuan tubuh untuk merespon insulin, yang
didefinisikan sebagai resistensi insulin. Selama keadaan resistensi
insulin, insulin tidak efektif dan karena itu awalnya meminta untuk
meningkatkan produksi insulin untuk mengurangi peningkatan glukosa
darah tetapi semakin lama keadaan relatif tidak adekuat pada
perkembangan produksi insulin. Diabetes mellitus tipe II paling sering
terjadi pada orang dewasa, namun remaja dan anak-anak bisa juga
mengalaminya karena meningkatnya tingkat obesitas, ketidakefektifan
aktivitas fisik dan pola makan yang buruk.
c. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
Hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah yang
pertama kali dideteksi saat kehamilan dapat diklasifikasikan sebagai
Gestational Diabetes Mellitus (GDM) atau hiperglikemia pada
kehamilan. GDM dapat didiagnosis pada trimester pertama kehamilan
tetapi dalam kebanyakan kasus diabetes kemungkinan ada sebelum
kehamilan, tetapi tidak terdiagnosis.
3. Etiologi Diabetes Mellitus
a. Diabetes Mellitus Tipe I
Diabetes mellitus tipe I ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pancreas kombinasi faktor genetik, imunologik dan mungkin juga
lingkungan diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta. Faktor-
faktor genetik; penderita diabetes mellitus tipe I itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah
terjadinya diabetes mellitus tipe I. Kecenderungan genetik ini
ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen Human Lencocyte
Antigen (HLA) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transflamasi dan proses imun lainnya.
95% berkulit putih (Caucasion) dengan diabetes mellitus tipe I
memeperlihatkan tipe HLA yang spesifik. Resiko terjadinya Diabetes
mellitus tipe I meningkat tiga kali hingga lima kali lipat pada invidu
yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko tersebut
meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki
tipe HLA Demodulator Ribosa Alpha 3 (DRA 3) maupun Demodulator
Ribosa 4 (DRA 4) (Jika dibandingkan dengan populasi umum) (Bruner
dan Suddarth 2015).
Interkasi antara faktor-faktor genetik, imunologik dan lingkungan
dalam etiologi diabetes mellitus tipe I merupakan produk perhatian riset
yang harus berlanjutan. Meskipun kejadian yang menimbulkan
destruksi sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan
bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi
proses terjadinya diabetes mellitus tipe I merupakan hal yang secara
umum dapat diterima (Brunner dan Suddarth 2015).
b. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis diabetes mellitus yang
paling sering terjadi, mencakup 85% pasien diabetes. Keadaan ini
ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif.
Mekanisme resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe II masih belum
jelas. Walaupun terdapat sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor
insulin yang ditemukan, namun pada beberapa kasus yang berhubungan
sindrom resistensi yang jelas, hal ini jarang terjadi dan tidak
menjelaskan hiperinsulinemia yang terjadi pada sebagian besar pasien
dengan diabetes mellitus tipe I. Faktor genetik diperkirakan memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
4. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Manifestasi klinis yang sering muncul pada pasien diabetes mellitus
antara lain rasa haus yang berlebihan (polidipdi), sering kencing (poliuri),
cepat lapar (polipagia), penglihatan menjadi kabur, luka sukar sembuh,
kesemutan pada jari tangan dan kaki gatal-gatal (Dalimartha 2015).
5. Tinjauan Fisiologis dan Patofisiologi
a. Fisiologis Normal
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu
dari empat tipe sel dalam pulau-pulau langerhans pankreas. Insulin
merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori
(Storage Hormon). Apabila seorang makan makanan, sekresi insulin
akan meningkat dan menggerakkan glukosa kedalam sel-sel otot, hati
serta lemak. Dalam sel-sel tersebut, insulin menimbulkan efek berikut
ini:
1) Menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (Dalam
bentuk glikogen).
2) Meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan
adiposa
3) Mempercepat pengangkatan asam-asam amino (Yang berasal dari
protein makanan) kedalam sel.
Insulin juga menghambat pemecahan glukosa, protein dan lemak
yang disimpan. Selama masa “puasa” (Antara jam-jam makan dan pada
saat tidur malam, pankreas akan melepaskan secara terus-menerus
sejumlah keciil insulin bersama dengan hormon pankreas lain yang
disebut glukosa (hormon ini disekresikan oleh sel-sel Alfapulau
langerhans). Insulin dan glukosa secara bersama-sama mempertahanka
kadar glukosa dari hati, pada mulanya hati menghasilkan glukosa
melalui pemecahan glikogen (Glikogenalisis). Setelah 8 minggu 12
jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dari pemecahan zat-zat
selain karbohidat yang mencakup asam-asam amino (Glukeneogenesis)
(Brunner Dan Suddarth 2015)..
6. Patofisiologi
a. Diabetes Mellitus Tipe I
Pada diabetes mellitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulinn karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi
glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial
(sesudah makan) (Brunner dan Suddarth 2015).
Jika konsentrasi dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria), ketika glukosa yang
berlebihan disekresikan kedalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan. Pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(Poliuria) dan rasa haus (Polidipsia) (Hudak 2015).
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(Pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(Pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain),
namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecah lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam-asam tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-
tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventiilasi
nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin
bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi
gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar glukosa darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting (Brunner dan Suddarth 2015).
b. Diabetes Mellitus Tipe II
Pada diabetes mellitus tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus
pada permukaan sel. Sebagai akibatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
(Brunner dan Suddarth 2015).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes
mellitus tipe II (Carolyn 2015).
Meskipunn terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri
khas diabetes mellitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes mellitus tipe II (Brunner dan Suddarth 2015)
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan
resiko tinggi untuk diabetes mellitus , yaitu kelompok usia dewasa tua
(<40 tahun), desitas tekanan darah tinggi, riwayat keluarga diabetes
mellitus, riwayat kehamilan, dan dislipedimia (Arief 2015)
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan
glukosa darah sewaktu, kadar darah glukosa puasa, kemudian dapat
dilakukan dengan tes toleransi glukosa oral. Untuk kelompok resiko tinggi
yang hasil pemeriksaan penyaringannya negatif, perlu pemeriksaan
penyaring ulangan tiap tahun. Bagi pasien berusia >45 tahun tanpa faktor
resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa Dengan Metode
Enzimatik Sebagai Patokan Penyaring Dan Diagnosa Diabetes
Mellitus (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah
sewaktu <110 110-199 >200
a. Plasma vena <90 90-199 >200
b. Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
a. Plasma Vena <110 110-125 >126
b. Darah kapiler <90 90-109 >100
Sumber: Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe II di Indonesia
PERKENI tahun 2015

Cara pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, darah:


a. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa
b. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak
c. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam
d. Periksa glukosa darah puasa
e. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum
dalam waktu 5 menit
f. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
g. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokoko.
8. Penatalaksanaan DM
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada
setiap tipe diabetes mellitus adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(Euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus
(Tahirkz 2015).
a. Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan dan sesuai dengan
perencanaannya.
1) Tujuan
a) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin
dan mineral)
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c) Memenuhi kebutuhan energi
d) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah seiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis
e) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
2) Perencanaan makan pada penderita diabetes mellitus terdiri dari:
a) Perencanaan makan unsur karbohidrat: Tujuan diet ini addalah
meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks khususnya
yang berserat tinggi seperti : roti gandum utuh, nasi beras
tuumbuk, sereal dan pasta/ mie yang berasal dari gandum.
Disamping itu, penggunaan sukrosa dengan jumlah yang
sedang kini lebih banyak diterima sepanjang pasien masih
dapat mempertahankan kadar glukosa serta lemak (Mencakup
kolesterol dan trigliserida) yang adekuat dan mampu
mengendalikan berat badannya.
b) Perencanaan makan unsur protein: rencana makan dapat
mencakup penggunaan beberapa makanan sumber protein
nabati untuk membantu mengurangi asupan kolesterol serta
lemak jenuh.
c) Perencanaan makan unsur lemak: Perencanaan makan yang
mempunyai kandungan lemak dalam diet diabetes mencakup
penurunan persentase total kalorinya yang berasal dari sumber
lemak hingga kurang 30% total kalori dan pembatasan jumlah
lemak jenuh hingga 10% total kalori. Selain itu juga
pembatasan asupan kolesterol hingga kurang dari 300 mg/ hari
sangat dianjurkan.
d) Perencanaan makan unsur serat: Tipe diet ini berperan dalam
penurunan kadar total kolesterol dan Low Density Lipoprotein
(LDL) kolesterol dalam darah. Peningkatan kandungan serat
dalam diet dapat pula memperbaiki kadar glukosa darah
sehingga kebutuhan insulin dari luar dapat dikurangi.
b. Latihan
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena
efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor
risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah
dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki
pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki
dengan berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan (Resistance
training) dapat meningkatkan Lean body mass dan demikian menambah
laju metabolisme istirahat (Resting metabolic rate). Semua efek ini
sangat bermanfaat pada diabetes mellitus karena dapat menurunkan
berat badan, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran
tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol dan
menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Semua manfaat ini
sangat penting bagi penyandang diabetes mengingat adanya
peningkatan risiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler pada diabetes.
Pedoman umum latihan pada diabetes:
1) Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki
lainnya.
2) Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin
3) Periksa kaki setiap hari sesudah melakukan latihan
4) Hidari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk
5) Pemantauan Kadar Glukosa Darah
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara
mandiri Self-monitoring of blood glucose (SMBG), penderita diabetes
mellitus kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar
glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan
pencegahan hipokglikemia serta hiperglikemia dan berperan dalam
menetukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan
mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Menurut dokter
olahraga di Balai Kesehatan Olahraga Masyarakat (BKOM) DKI,
sebaiknya jenis olahraga bagi penderita diabetes dipilih yang memilih
nilai aerobik tinggi, macam jalan cepat, lari (joging), senam aerobik,
renang, dan bersepeda. Jenis olahraga lainnya, tenis, tenis meja, bahkan
sepak bola, pun boleh dilakukan asal dengan perhatian ekstra.
Sedangkan penderita diabetes berbadan gemuk, jenis olahraganya
dikombinasikan dengan latihan untuk obesitas. Lama latihannya tidak
satu jam, melainkan dua jam. Maksudnya, supaya pembakarannya
lebih banyak, gula darahnya turun, dan lemak tubuhnya berkurang
(Nabil 2015).
c. Terapi
1) Obat hipoglikemia oral (OHO) seperti Sulfonylurea, biguanid,
inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing agen.
2) Pada diabetes mellitus tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai
terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah
jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya.
Disamping itu, sebagian pasien diabetes mellitus tipe II yang
biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau
dengan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer
selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau
beberapa kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering
dilakukan dua kali per hari (Atau bahkan lebih sering lagi) untuk
mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan
pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-
masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa darah yang akurat
sangat penting.
d. Pendidikan Kesehatan
Diabete mellitus merupaka sakit kronis yang memerlukan
perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien bukan
hanya belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri guna
menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang
mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya
hidup untuk menghindari komplikasi jangka panjang yang dapat
ditimbulkan dari penyakit diabetes mellitus.
B. Tinjauan Tentang Kadar Gula Darah
1. Pengertian
Glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada kadar glukosa
dalam darah yang konsentrasinya diatur ketat oleh tubuh. Glukosa yang
dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh.
Umumnya tingkat glukosa dalam darah bertahan pada batas-batas 4-8
mmol/L/hari (70-150 mg/dl), kadar ini meningkat setelah makan dan
biasanya berada pada level terendah di pagi hari sebelum orang-orang
mengkonsumsi makanan (Mayes 2015).
Hiperglikemia adalah suatu keadaan dimana tingkat kadar gula darah
yang sangat tinggi dari rentang kadar gula darah normal (Kadar glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dl). Hipoglikemia merupakan keadaan dimana
kadar gula darah dalam keadaan rendah dari batas normal (Kadar glukosa
darah sewaktu < 110 mg/dl) (Elizabeth 2015).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah (Lestari,
Purwanto dan Kaligis 2015).
a. Umur
Semakin tua umur seseorang maka resiko peningkatan kadar
glukosa darah dan gangguan toleransi glukosa akan semakin tinggi. Hal
ini disebabkan karena melemahnya semua fungsi organ tubuh termasuk
sel pankreas yang bertugas menghasilkan insulin. Sel pankreas bisa
mengalami degradasi yang menyebabkan hormon insulin yang
dihasilkan terlalu sedikit, sehingga kadar gula darah menjadi tinggi.
b. Berat Badan
Berat badan yang berlebihan atau obesitas menggambarkan gaya
hidup yang tidak sehat. Salah satu penyebab yang sering ditemukan
adalah karena makan berlebih. Pola hidup yang seperti ini dapat
memperberat kerja organ tubuh termasuk kerja sel pankreas yang
memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang banyak karena
banyaknya bahan makanan yang dikonsumsi. Suatu penelitian pada 167
anak dan remaja yang kegemukan untuk menentukan Gangguan
Toleransi Glukosa (GTG). Hasil penelitia didapatkan prevalensi GTG
mencapai 25% pada 55 anak yang kegemukan dan 21% pada remaja
yang kegemukan. Kasus GTG tinggi prevalensinya pada anak-anak dan
remaja yang mengalami kegemukan, tanpa tergantung kelompok
etnisnya. GTG dihubungkan dengan resistensi insulin walaupun fungsi
sel beta masih terpelihara.
c. Diet dan Susunan Makanan
Jenis diet dan komposisi makanan juga mempengaruhi kadar gula
darah. Diet dengan pola menu seimbang lebih dianjurkan untuk
menjaga kondisi kesehatan tubuh dan dapat menghindarkan dari
beberapa jenis penyakit-penyakit khususnya penyakit degeneratif.
Konsumsi makanan dalam jumlah yang tidak berlebihan dan teratur
dapat mencegah pelonjakan kadar glukosa darah secara tepat. Jumlah
total kalori seseorang dikategorikan baik adalah berkisar antara 80%-
100% dari total kalori yang dianjurkan. Cara menentukan jumlah
kalori yang dibutuhkan seseorang adalah dengan menggunakan rumus
Harris Beneict yang mempertimbangkan jenis kelamin, BB, TB, umur,
dan faktor aktifitas.
d. Jenis Makanan
Pemilihan jenis makanan sangat berperan dalam mengendalikan
kadar gula darah. Makanan yang tinggi serat dan pemilihan jenis
karbohidrat kompleks yang mempunyai indeks glikemik yang rendah
dapat mengendalikan kadar gula darah dengan cara yang lebih aman
dan sehat. Jenis makanan dengan indeks yang glikemik yang tinggi
dapat mempercepat kenaikan kadar gula darah dan jika dikonsumsi
dalam jangka panjang dapat mempercepat munculnya Gangguan
Toleransi Glukosa (GTG). Apabila individu mengkonsumsi makanan
indeks glikemik tinggi dalam jangka panjang, kebutuhan insulin
tentunya akan bertambah banyak, terjadi hiperinsulinemia yang
akhirnya muncul gangguan toleransi glukosa.
e. Jenis Kelamin
Kadar glukosa darah menurut jenis kelamin sangat bervariasi.
Kadar glukosa darah perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-
laki di Amrika. Hal ini berarti risiko gangguan toleransi glukosa pada
wanita Amerika lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sama halnya
dengan Amerika, wanita di Indonesia mempunyai risiko gangguan
toleransi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, hal ini
disebabkan karena tingkat aktivitas fisik wanita Indonesia lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki, serta pada wanita diketahui komposisi
lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Komposisi
lemak yang tinggi menyebabkan wanita akan cenderung lebih mudah
gemuk dan hal ini berkaitan dengan risiko GTG.
f. Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik secara teratur menambah sensitifitas insulin dan
menambah toleransi glukosa. Penelitian prospektif memperlihatkan
bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan berkurangnya risiko terhadap
gangguan toleransi glukosa terutama pada kelompok beresiko tinggi
yaitu wanita usia > 40 tahun dengan BB berlebih. Akttifitas fisik
mempunyai efek menguntungkan pada lemak tubuh, distribusi lemak
tubuh, dan kontrol glukosa darah sehingga dapat mencegah terjadinya
Gangguan Toleransi Glukosa (GTG). Olahraga dapat mencegah
peningkatan kadar gula darah disebabkan karena bertambahnya
sensitivitas insulin yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan
melalui bertambahnya aktifitas fisik.
3. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Macam-macam pemeriksaan glukosa darah (Kemenkes RI 2016):
a. Glukosa darah sewaktu. Pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan
setiap waktu setiap hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang
dimakan dan kondisi tubuh orang tersebut.
b. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan. Pemeriksaan glukosa
darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien
berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam
setelah makan adalah pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung
setelah pasien menyelesaikan makan.
C. Tinjauan Tentang Pola Makan
1. Pengertian
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai suatu
sistem, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian,
pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara atau usaha untuk
melakukan kegiatan makan secara sehat. Sedangkan yang dimaksud pola
makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan
jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan,
status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola
makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan
dengan kebiasaan makan setiap harinya. (Kemenkes RI 2016).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola makan seseorang,
antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan, status sosial ekonomi,
personal preference, rasa lapar, nafsu makan, rasa kenyang, dan kesehatan
(Kemenkes RI 2016).
a. Budaya
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering
dikonsumi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan
yang diinginkannya. Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan
Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, curry (kari) untuk orang-
orang India merupakan makanan pokok, selain makanan-makanan lain
yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat
sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian
Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan.
b. Agama/Kepercayaan
Agama/kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks
mengharamkan daging babi. Agama Roma Katolik melarang makan
daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang
pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi, atau alkohol.
c. Status Sosial Ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut
dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Salah satunya pekerjaan.
Pekerjaan disini memang tidak secara langsung mempengaruhi status
gizi, tetapi pekerjaan ini dihubungkan dengan pendapatan dalam
keluarga yang pada akhirnya akan mempengaruhi gaya hidup, dalam
hal ini terutama perubahan pada konsumsi yang menentukan status gizi
anak.
Sebagai contoh, orang kelas menengah ke bawah atau orang
miskin di desa tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan
sayuran yang mahal. pendapatan akan membatasi seseorang untuk
mengkonsumsi makanan yang mahal harganya. Kelompok sosial juga
berpengaruh terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput
disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok
masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza.
d. Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan menyerap
pengetahuan gizi yang diperoleh, tetapi perlu diikuti oleh kemauan
untuk menerapkan pengetahuan yang diperoolehnya dalam rangka
peningkatan status gizi. Sehingga pola makan dan status gizi disini
ditentukan juga oleh kemampuan seseorang untuk menerapkan
pengetahuan gizi ke dalam pemilihan pangan dan pengembangan cara
pemanfaatan pangan yang sesuai.
e. Personal preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh
terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang sering kali memulai
kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
Misalnya, ayah tidak suka makan kai, begitu pula dengan anak laki-
lakinya. Ibu tidak suka makan kerang, begitu pula anak perempuannya.
Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung
asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-anak yang suka
mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena
mereka sering dihidangkan acar. Lain lagi dengan anak yang suka
dimarahi bibinya, akan tumbu perasaan tidak suka pada daging ayam
dimasak bibinya.
f. Rasa lapar, nafsu makan, dan rasa kenyang
Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang
menyenangkan karena berhubungan dengan kekurangan makanan.
Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan
berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan rasa kenyang
merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk
makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu
makan, dan rasa kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu
hipotalamus.
g. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan
makan. Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu
memilih makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan
menelan, memilih menahan lapar dari pada makan.
3. Prinsip Pola Makan Pasien Diabetes Mellitus
Diet dan pengendalian berat badan merupakan prinsip dasar dalam
penatalaksanaan DM yang diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai
berikut (Amalsier 2016) yaitu:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan
mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-
cara yang aman dan praktis
e. Menurunkan kadar lemak darah
f. Menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia.
g. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal
4. Prinsip Pola Makan Dalam Diet Bagi Diabetes Mellitus
Prinsip diet bagi diabetes mellitus (Perkeni 2016), yaitu:
a. Energi disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor koreksi umur, jenis
kelamin, aktivitas dan berat badan
b. Karbohidrat 45-65% dari energi total
c. Protein 10-20% dari energi total
d. Lemak 20-25% dari energi total, penggunaan lemak jenuh <7%, lemak
tidak jenuh ganda <10%, selebihnya lemak tidak jenuh tunggal dan
kolesterol <300 mg/hari
e. Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang banyak
mengandung kolesterol, lemak trans, lemak jenuh serta makanan yang
banyak mengandung natrium.
f. Makanan yang dianjurkan adalah sumber karbohidrat kompleks,
makanan tinggi serat dan makanan yang diolah dengan sedikit minyak
g. Gula untuk bumbu diperbolehkan dengan ketentuan <5% dari
kebutuhan energi.
5. Jenis Makanan
Pada diabetisi terdapat beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan
tidak dianjurkan atau dibatasi (Almatsier 2016) yaitu:
a. Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi adalah:
1) Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang,
singkong, ubi dan sagu
2) Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu
skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan
3) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang
mudah dicerna dan mudah diolah dengan cara dipanggang,
dikukus, disetup, direbus, dan dibakar.
4) Penggunaan gula murni diperbolehkan hanya sebatas sebagai
bumbu
b. Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk
penyandang DM adalah (Dewi 2016):
1) Sumber karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula jawa, gula
batu, madu, sirup, cake, permen, minuman ringan, selai dan lain-
lain
2) Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis,
kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit, dan
bayam harus dibatasi tidak boleh dalam jumlah banyak.
3) Buah-buahan berkalori tinggi seperti nanas, anggur, mangga,
sirsak, pisang, alpukat dan sawo sebaiknya dibatasi
4) Mengandung asam lemak jenuh seperti mentega, santan, kelapa,
keju, krim, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit
5) Mengandung lemak trans seperti margarin
6) Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin, dan
makanan yang diawetkan
7) Makanan mengandung kolesterol tinggi seperti kuning telur,
jeroan, lemak daging, durian, dan susu full creami.
6. Jadwal Makan
Orang dengan diabetes hendaknya mengkonsumsi makanan dengan
jadwal waktu yang tetap sehingga reaksi insulin selalu selaras dengan
datangnya makanan dalam tubuh (Nurjannah & Julianti 2016). Jadwal
makan pada diabetisi dibagi ke dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi
(20%), makan siang (30%), makan malam (25%), dan 2-3 porsi kecil
untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%) dengan interval waktu 3
jam.
Tabel 2.2 Jadwal Makan Pasien Diabetes Mellitus Tipe II
No Jadwal Makan Jenis Makanan
1. Makan pagi jam 06.00-08.00 Makanan utama yang terdiri
dari: Makanan pokok (nasi),
lauk pauk, sayuran
2. Selingan I jam 10.00-11.00 Selingan
3. Makan siang jam 12.00-13.00 Makanan utama
4. Selingan II jam 16.00-17.00 Selingan
5. Makan malam jam 18.00-19.00 Makan utama
6. Selingan III jam 21.00-22.00 Selingan
Sumber: Kemenkes RI 2016

D. Tinjauan Tentang Aktivitas Fisik (Olahraga)


1. Pengertian
Aktivitas fisik dapat didefiniskan sebagai gerakan fisik yang
dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas fisik dibagi
menjadi dua yaitu aktivitas fisik internal dan aktivitas fisik eksternal.
Aktivitas fisik internal adalah suatu aktivitas fisik dimana proses
bekerjanya organ-organ dalam tubuh sewaktu istirahat, sedangkan aktivitas
fisik secara eksternal adalah aktivitas fisik yang dilakukan selama 24 jam
serta banyak mengeluarkan energi (Fatonah 2016). Aktivitas fisik adalah
pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran energi secara
sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental, dan
kualitas hidup sehat (Hudha 2016).
2. Nilai Energi Aktivitas Fisik
Nilai energi atau kalori yang dikeluarkan dipengaruhi oleh asupan
makanan dan aktivitas seseorang. Seseorang yang memiliki aktivitas yang
berat maka membutuhkan kalori yang cukup besar jumlahnya
dibandingkan seseorang yang memiliki aktivitas yang ringan maka asupan
makanan seseorang harus seimbang dengan tingkat aktivitas yang
dikerjakan karena didalam aktivitas akan meningkatkan proses
metabolisme. Pasien DM perlu mengetahui indeks glukosa sehingga dapat
menyeimbangkan antara pola makan, glukosa darah dan kalori yang akan
dikeluarkan didalam aktivitas fisik (Waspadji 2015).
Pasien diabetes mellitus yang ingin melakukan aktivitas seperti
olahraga yang banyak gerakan seperti berlari atau sepak bola maka kalori
yang akan digunakan 20 per menit, jika lama aktivitas berlari dalam sepak
bola 30 menit, maka kalori yang akan dipakai adalah 20x30 = 600 kalori.
Tambahkan kalori sebanyak 600 kalori tersebut yaitu untuk mencegah
terjadinya reaksi insulin selama melakukan olahraga. Disamping itu harus
disiapkan paket pencegah reaksi insulin, yaitu dengan menyuntikkan
glukagon. Jika hipoglikemia muncul maka perlu dilakukan cara seperti
diatas, dalam waktu 20-30 detik tanda-tanda hipoglikemia akan
menghilang (Asdie 2016).
3. Beban Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berdasarkan pengelompokan beban kerja dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Beban kerja ringan: aktivitas kantor tanpa olahraga dan aktivitas fisik
yang tidak menguras tenaga.
b. Beban kerja sedang: bekerja harus naik turun tangga, olahraga ringan,
dan pekerjaan rumah tangga.
c. Beban kerja berat: pekerjaan lapangan dan pekerjaan kuli bangunan.
Salah satu kebutuhan umum dalam aktivitas fisik adalah oksigen yang
dibawa oleh darah ke otot untuk pembakaran zat yang berguna untuk
menghasilkan energi.
Menteri tenaga kerja Indonesia melalui Kep. No 51 tahun 1999,
menetapkan beban kerja menurut kebutuhan kalori sebagai berikut:
a. Beban kerja ringan: 100-200 kilo kalori/ jam
b. Beban kerja sedang: 200-350 kilo kalori/ jam
c. Beban kerja berat: 350-500 kilo kalori/ jam
4. Kebutuhan Kalori
Menurut Grandjean (2016) bahwa kebutuhan kalori seseorang dalam
melakukan aktivitas fisik dibagi menjadi tiga hal:
a. Kebutuhan kalori untuk metabolisme basal. Keterangan kebutuhan
kalori untuk metabolisme seseorang laki-laki dewasa adalah 23,87 kilo
kalori per 24 jam per BB, sedangkan untuk wanita dewasa adalah
memiliki kebutuhan kalori 23,39 kilo kalori per 24 jam per BB.
b. Kebutuhan kalori untuk kerja. Kebutuhan kalori untuk kerja sanga
ditentukan oleh berat ringannya pekerjaan atau jenis aktivitas kerja
yang dilakukan.
c. Kebutuhan kalori untuk aktivitas lain diluar jam kerja. Rata-rata
kebutuhan kalori diluar jam kerja adalah 573 kilo kalori. Untuk laki-laki
dewasa sekitar (425-477 kilo kalori) per hari untuk wanita dewasa jadi
kebutuhan peningkatan kalori seseorang berbanding terbalik dengan
berat badan.
5. Efek Aktivitas Fisik Terhadap Penderita DM
Hipoglikemia pengidap DM khususnya DM tipe I perlu diwaspadai
bagi pengidap DM yang memiliki aktivitas fisik yang berat, untuk itu cara
pemberian makanan ekstra ini dibuat sedemikian rupa sehingga
penyerapan makanan ekstra kira-kira bertepatan dengan puncak terjadinya
hipoglikemi. Efek baik aktivitas untuk meningkatkan metabolism didalam
tubuh, semisal aktivitas fisik olahraga bagi penderita DM dapat
meningkatkan perbaikan ikatan insulin dengan reseptornya dan perbaikan
pada sensitifitas insulin hampir selalu proposional dengan kesegaran
jasmani yang dapat diukur dengan VO2 maksimum. Aktivitas fisik juga
mempengaruhi agregasi trombosit pada pengidap DM jika melakukan
aktivitas fisik olahraga dengan tepat, sehingga dapat mencegah penyakit
trombosis pada DM, terutama yang berkaitan dengan kebutaan. Penderita
diabetes mellitus lansia sangatlah diperlukan latihan aktivitas fisik untuk
memperbaiki peredaran darah di kaki (Asdie 2016).
Olahraga membantu penderita DM mengontrol berat badan yang
merupakan indikator penunjuk penderita DM. Penderita diabetes memiliki
terlalu banyak glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin, hormone
yang membantu menyerap glukosa. Olahraga dapat membantu melarutkan
pembekuan darah lebih mudah. Tingginya tingkat insulin dalam darah
memungkinkan terjadi pembekuan darah lebih mudah karena itu mengapa
diabetes erat kaitannya dengan penyakit Kardiovaskuler (Haznam 2016).
Kurang berolahraga merupakan salah satu faktor resiko utama
terjadinya DM. Menurut Haznam (2016) olahraga dianjurkan karena
bertambahnya kegiatan fisik menambah reseptor insulin dalam sel targe.
Dengan demikian insulin dalam tubuh bekerja lebih efektif. Latihan
olahraga merupakan modifikasi kedua pada pengobatan hiperglikemia
pada DM. Glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot yang aktif tanpa
bantuan insulin, dan kemudian dioksidasi menjadi karbondioksida dan air,
sehingga olahraga mempunyai aksi hipoglikemik. Olahraga juga mampu
untuk menurunkan resistensi insulin dan menurunkan berat badan pada
diabetik dengan obesitas ) kegemukan.
6. Hal Yang Diperhatikan Dalam Melakukan Aktivitas Fisik Bagi
Penderita Diabetes Mellitus
Penderita DM melakukan aktivitas fisik perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut (Waspadji 2015):
a. Jangan melakukan aktivitas fisik yang berat jika kadar glukosanya
rendah semisal sebelum makan
b. Memakai alas kaki yang pas dan benar, karena dapat menghindari luka
pada kaki
c. Pengidap DM harus selalu membawa permen jika melakukan aktivitas
fisik yang berat untuk menghindari terjadinya hipoglikemi.
E. Tinjauan Tentang Perawatan Kaki
1. Pengertian
Perawatan kaki pada penderita Diabetes Mellitus merupakan salah
satu pencegahan yan g dilakukan untuk menghindari terjadinya kaki
diabetik (Waspandji, 2016). Sedangkan menurut World Diabetes
Foundation (WDF) 2016 perawatan kaki Diabetes Mellitus adalah
tindakan untuk mencegah luka pada kaki klien Diabetes Mellitus yang
meliputi tindakan seperti pemeriksaan kaki, mencuci kaki dengan air
dengan benar, mengeringkan kaki, menggunakan pelembab, memakai alas
kaki, dan melakukan pertolongan pertama jika terjadi cedera.
2. Cara Perawatan Kaki
Menurut WDF (2016), National Diabetes Education Program
(NDEP) (2015), dan ADA (2015) penderita Diabetes Mellitus perlu
melakukan perawatan kaki untuk mencegah terjadinya kaki diabetik.
Beberapa cara melakukan perawatan kaki Diabetes Mellitus meliputi :
a. Memeriksa keadaan kaki setiap hari :
1) Melihat dan perhatikan keadaan kaki setiap hari. Periksa adanya
luka, lecet, kemerahan, bengkak atau masalah pada kuku.
2) Menggunakan kaca untuk mengecek keadaan kaki, bila terdapat
tanda-tanda tersebut segera hubungi dokter.
b. Menjaga kebersihan kaki :
1) Bersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air
hangat (bukan air panas)
2) Bersihkan menggunakan sabun lembut sampai ke sela-sela jari kaki
3) Keringkan kaki menggunakan kain atau handuk bersih yang lembut
sampai ke sela jari kaki.
4) Berikan pelembab pada kaki, tetapi tidak pada celah jari-jari kaki.
Pemberian bertujuan untuk mencegah kulit kering. Pemberian
pelembab pada celah jari tidak dilakukan karena akan beresiko
terjadinya infeksi oleh jamur.
c. Memotong kuku jari dengan benar
1) Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu
kuku lembut
2) Gunakan gunting kuku yang dikhususkan untuk memotong kuku
3) Memotong kuku kaki secara lurus, tidak melengkung mengikuti
bentuk kaki, kemudian mengikir bagian ujung kuku kaki.
4) Bila terdapat kuku kaki yang menusuk jari kaki dan kapalan segera
hubungi dokter
d. Memilih dan memakai alas kaki
1) Memakai sepatu atau alas kaki yang sesuai dan nyaman dipakai
2) Gunakan kaos kaki saat memakai alas kaki. Hindari pemakaian
kaos kaki yang salah, kaos kaki ketat akan mengurangi atau
mengganggu sirkulasi, jangan pula menggunakan kaos kaki tebal
karena dapat mengiritasi kulit ataupun kaos kaki yang terlalu besar
karena ukurannya tidak pas pada kaki. Sepatu harus terbuat dari
bahan yang baik untuk kaki/tidak keras.
e. Pencegahan Cedera
1) Selalu memakai alas kaki baik di dalam ruangan maupun di luar
ruangan
2) Selalu memeriksa bagian dalam sepatu atau alas kaki sebelum
memakainya
3) Bila terdapat corns dan kalus di kaki gunakan batu pomice untuk
menghilangkannya
4) Selalu mengecek suhu air ketika akan membersihkan kaki
5) Hindari merokok untuk mencegah kurangnya sirkulasi darah ke
kaki
6) Melakukan senam kaki secara rutin
7) Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki
setiap kontrol
f. Pertolongan pertama pada cedera di kaki :
1) Jika ada luka/lecet, tutup luka/lecet tersebut dengan kasa kering
setelah diberikan antiseptik di area yang cedera
2) Bila luka tidak sembuh, segera mencari tim kesehatan khusus yang
ahli dalam menangani luka diabetes
3. Penatalaksanaan Perawatan Kaki
Menurut Waspandji (2016) penatalaksanaan ada tiga pada perawatan
kaki diabetes mellitus yaitu :
a. Pencegahan Primer (Pencegahan terjadinya kaki diabetik atau ulkus
pada kaki).
Pencegahan primer dilakukan dengan cara memberikan
penyuluhan atau sosialisasi mengenai terjadinya komplikasi diabetes
mellitus yaitu kaki diabetik. Penyuluhan atau sosialisasi dapat
dilakukan saat bertemu dengan klien. Periksalah kaki klien selanjutnya
berikan penyuluhan bagaimana pencegahan dan perawatan kaki sepatu
atau alas kaki, dan latihan kaki untuk vaskularisasi kaki. Salah satu
latihan fisik yaitu dengan senam kaki diabetes mellitus.
b. Pencegahan Sekunder (Pencegahan dan pengelolahan ulkus saat sudah
terjadi).
Pencegahan sekunder termasuk upaya-upaya yang meliputi :
mechanical control (pressure control), wound control, microbiological
control (infection control), metabolic control, and education control.
Pencegahan ini dilakukan khususnya pada klien diabetes mellitus yang
sudah mengalami komplikasi pada kaki atau sensitivitasnya, iskemia
dana atau deformitas serta adanya riwayat tukak, deformitas charcot.
c. Pencegahan Tersier (Pencegahan agar tidak terjadi kecacatan lebih
lanjut).
Pencegahan tersier dilakukan dalam pencegahan lebih lanjut
terjadinya kecacatan, penyulit sudah terjadi seperti amputasi tungkai
bawah. Pengelolahan konservatif dengan medikametosa, debridement
dan mengatasi infeksi.
4. Pedoman Dasar Perawatan Kaki dan Pemilihan Alas Kaki
Menurut National Institutes of Health dan America Diabetes
Association untuk mencegah terjadinya cidera (Haiztman, 2015) :
a. Kaki bersih kering dan lembut
Mencuci ka ki dan diantara jari-jari dengan air hangat dan tidak
panas, menggunakan sabun, kemudian dikeringkan dengan kain lembut.
Lotion dapat digunakan pada atas atau bawah kaki, tidak diantara jari-
jari kaki, san bedak di taruh diantara jari-jari kaki supaya kulit terjaga
tetap kering.
b. Perawatan kaki
Klien diabetes mellitus menggunakan alas kaki, baik didalam
ruangan maupun diluar ruangan. Menggunakan pakaian hangat, pada
musim dingin menggunakan kaos kaki katun untuk melindungi kulit
dari cuaca dingin dan basah. Kaos kaki tidak memiliki lubang atau
bersambung. Memiliki jahitan tebal, atau memiliki band elastis yang
tidak menyebabkan cidera pada kulit. Kaos kaki wajib diganti setiap
hari untuk mencegah kelembaban dari keringat yang bisa menyebabkan
iritasi kulit.
c. Perawatan kuku
Kuku harus dipotong lurus bukan melengkung untuk menghindari
lesi. Klien yang mengalami kesulitan melihat, atau kesulitan mencapai
jari-jari kaki mereka, memiliki kuku kaki yang menebal harus dibantu
oleh orang lain atau perawat kesehatan untuk memotong kuku kaki.
5. Hal yang Mendukung Keberhasilan Perawatan Kaki Diabetes
Beberapa hal yang mendukung keberhasilan perawatan kaki DM yaitu :
a. Diet yang baik dan terukur agar berat badan tidak berlebihan. Usahakan
untuk dapat mencapai dan mempertahankan berat badan normal atau
bahkan berat badan ideal. Jangan makan makanan dalam porsi yang
berlebihan, dan kurangi makan gula atau makanan yang manis serta
berlemak tinggi.
b. Olahraga secara teratur dan terukur, agar kelebihan gula dan lemak di
dalam tubuh dapat berkurang (diubah menjadi energi gerak). Olahraga
yang mendukung perawatan kaki diabetes misalnya adalah senam kaki
diabetes.
c. Monitor kadar gula darah. Penderita diabetes perlu melakukan monitor
kadar gula darah secara rutin
d. Monitor tekanan darah secara rutin. Sekitar 73% orang dewasa dengan
diabetes ternyata juga menderita tekanan darah tinggi.
F. Tinjauan Tentang Terapi Pengobatan
1. Terapi Non Farmakologi
Pengelolaan pasien Diabetes mellitus tipe II secara umum dapat
berupa terapi non farmakologi dan farmakologi. Terapi non farmakologi
meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan
(diet), meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang
berkaitan dengan penyakit diabetes mellitus.
2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian obat antidiabetik,
baik berupa obat antidiabetik oral maupun insulin. Terapi farmakologi
pada prinsipnya diberikan jika terapi non farmakologi yang telah
dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar gula darah hingga mendekat
batas kadar normal. Akan tetapi pemberian terapi ini tetap tidak
meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.
Obat anti diabetik yang sering digunakan adalah obat hipoglikemik oral
(OHO) dan insulin, baik secara tunggal maupun kombinasi. OHO yang
digunakan adalah Metformin, Glikazid, dan Akarbose. Sedangkan insulin
yang digunakan pada umumnya adalah Novorapid dan Levemir. Selain itu
juga ada Humulin R, Humulin N dan Novomix pada sejumlah kecil pasien.
Pemilihan obat untuk pasien DM bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien. Penggunaan obat hipoglikemik oral dapat
dilakukan secara tunggal atau kombinasi dari dua atau tiga jenis obat.
Pemilihan obat yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi.
Penentuan regimen obat yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (tingkat glikemi) serta kondisi kesehatan pasien secara
umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Secara umum obat ini, bekerja meningkatkan sekresi insulin dan
hanya efektif pada DM tipe II yang tidak kelebihan berat badan.
Metmorfin yang termasuk golongan biguanid bekerja memperbaiki
sensitivitas insulin, menghambat pembentukan glukosa dalam hati, dapat
menurunkan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan trigliserida
serta berdaya menekan nafsu makan sehingga menjadi obat pilihan utama.
Akarbose bekerja menghambat enzim glucosidase dengan demikian
pembentukan dan penyerapan glukosa diperlambat, sehingga fluktuasi gula
darah menjadi kecil.
Ketika upaya diet dan obat hipoglikemik oral gagal mengendalikan
kadar gula darah hingga mendekati normal, insulin dapat digunakan.
Penggunaan insulin ini ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
kadar gula darah mendekati batas normal untuk mencegah dan menunda
komplikasi jangka panjang. Selain itu juga diberikan jika pasien
mengalami ketoasidosis, mendapatkan nutrisi parenteral atau memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat atau mengalami
kontraindkasi atau alergi terhadap obat antidiabetik oral. Insulin yang
digunakan dapat berupa insulin dengan masa kerja cepat (rapid-acting)
atau yang mempunyai masa kerja panjang (long-acting), baik secara
tunggal atau kombinasi. Selain terapi insulin dengan dosis yang memadai,
mengurangi semua faktor resiko kardiovaskuler sangat perlu pada
penanganan pasien DM tipe II.
G. Tinjauan Tentang Self care (Perawatan Diri)
1. Aplikasi Teori Orem pada DM
Klien dewasa dengan Diabete Mellitus menurut teori self care
Orem dipandangan sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk
merawat dirinya sendiri untuk melakukan perawatan diri, memelihara
kesehatan dan mencapai kesejahteraan. Klien diabetes mellitus mampu
mencapai kesejahteraan atau kesehatan yang optimal dengan mengetahui
perawatan yang sesuai dengan kondisi penyakitnya (Afelya 2015). Oleh
karena itu, perawat berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien
dewasa dengan diabetes mellitus terkontrol untuk tetap mempertahankan
kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera (Afelya 2015). Self
Care merupakan perilaku yang dipelajari dan merupakan suatu tindakan
sebagai respon atau suatu kebutuhan (Chaidir & Wahyuni, 2017). Peran
perawat dalam aplikasi teori self care Orem adalah membantu
meningkatkan kemampuan pasien untuk mandiri pada area klinis yang
akan meningkatkan kualitas hidup saat pasien berada pada area komunitas.
(Nursalam, 2014).
2. Deskripsi Konsep Sentral Self Care (Dorothea E Orem)
a. Manusia
Suatu kesatuan yang dipandang sebagai berfungsinya secara
biologis simbolik dan sosial serta berinisiasi dan melakukan kegiatan
asuhan/perawatan mandiri untuk mempertahankan kehidupan,
kesehatan, dan kesejahteraan. Kegiatan asuhan keperawatan mandiri
terkait dengan udara, air, makanan, eliminasi, kegiatan dan istirahat,
interkasi sosial, pencegahan terhadap bahaya kehidupan, kesejahteraan
dan peningkatan fungsi manusia.
b. Masyarakat/Lingkungan
Lingkungan disekitar individu yang membentuk sistem
terintegrasi dan intraktif.
c. Sehat/Kesehatan
Suatu keadaan yang didirikan oleh keutuhan struktur manusia
yang berkembang secara fisik dan jiwa yang meliputi aspek fisik,
psikologik, interpersonal, dan sosial. Kesejahteraan digunakan untuk
menjelaskan tentang kondisi persepsi individu terhadap keberadaannya.
Kesejahteraan merupakan suatu keadaan yang dicirikan oleh
pengalaman yang menyenangkan dan berbagai bentuk kebahagiaan
lain., pengalaman spiritual gerakan untuk memenuhi ideal diri dan
melalui personalisasi berkesinambungan. Kesejahteraan berhubungan
dengan kesehatan, keberhasilan dalam berusaha dan sumber yang
memadai.
d. Keperawatan
Pelayanan yang membantu manusia dengan tingkat
ketergantungan sepenuhnya atau sebagian, ketika mereka tidak lagi
mampu merawat dirinya. Keperawatan merupakan tindakan yang
dilakukan dengan sengaja, suatu fungsi yang dilakukan perawat k arena
memiliki kecerdasan serta tindakan yang meluluhkan kondisi secara
manusiawi.
3. Theory Self Care (Dorothea Orem)
Pandangan teori menurut Orem dalam tatanan pelayanan
keperawatan yang ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan
tindakan keperawatan mandiri serta mengatur kebutuhannya. Dalam
konsep praktik keperawatan Orem mengembangkan dua bentuk teori self
care , yaitu:
a. Perawatan diri sendiri
1) Self care merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu dalam
memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan, serta
kesejahteraan.
2) Self care agency merupakan suatu kemampuan individu dalam
melakukan perawatan diri sendiri yang dapat dipengaruhi oleh usia,
perkembangan sosiokultural, kesehatan dan lain-lain.
3) Therapeutic self care demand merupakan tuntutan atau permintaan
dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan mandiri
yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri
dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat.
4) Self care requsites (kebutuhan self care) merupakan suatu tindakan
yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang
bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan
manusia serta dalam upaya mempertahankan fungsi tubuh.
b. Self Care Deficit
Self care defisit merupakan bagian penting dalam keperawatan
secara umum dimana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat
perawat dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak
mampu atau terbatas untuk melakukan self care deficit, dapat diterapkan
pada anak yang belum dewasa, atau kebutuhan yang melebihi kemampuan
serta adanya perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan
tuntutan dalam peningkatan self care, baik secara kualitas dan kuantitas.
Dalam pemenu han keperawatan diri sendiri atau berbuat untuk orang
lain., sebagai pembimbing orang lain, memberi support, meningkatkan
pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta
mengajarkan atau mendidik pada orang lain.
H. Tinjauan Tentang Faktor-Faktor Intrinsik Yang Mempengaruhi Self
Care
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi klien dalam melakukan self
care diabetes yaitu :
1. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi pada pasien DM
biasanya terjadi pada usia diatas 30 tahun dan banyak dialami oleh usia
dewasa diatas 40 tahun karena resistensi insulin pada penderita DM
meningkat pada usia 40-60 tahun. Usia sangat erat kaitannya dengan
kenaikan kadar gula darah sehingga semakin meningkatnya usia maka
prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan
anatomis, fisiologi dan biokimia (Smeltzer & Bare, 2010). Beberapa hasil
penelitian menjelaskan hubungan antara usia dengan perawatan diri pada
penyandang diabetes. Penelitian Souza (2011) menjelaskan bahwa
semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin bertambah tingkat
kedewasaan seseorang, sehingga seorang pasien mampu berfikir secara
rasional mengenai manfaat yang akan diterima apabila melakukan
manjemen diri diabetes (Yuanita 2018, dalam Ningrum 2019). Toobert
(2013) menyimpulkan bahwa usia tidak mempengaruhi seseorang dalam
melakukan manajemen diri atau perawatan diri. Penelitian ini menjelaskan
bahwa klien yang berusia muda maupun lansia menunjukkan perilaku
manajemen diri diabetes yang sama.
2. Jenis Kelamin
Berbagai hasil penelitian menunjukka bahwa jenis kelamin
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan aktivitas
perawatan diri. Laki-laki lebih cenderung melakukan aktivitas fisik dan
olahraga secara teratur dibanding perempuan (Ortiz et al, 2015). Hal ini
disebabkan karena laki-laki memiliki fisik dan kekuatan otot yang lebih
besar dibanding perempuan. Penelitian lain menyatakan bahwa klien
dengan jenis kelamin perempuan menunjukkan bahwa manajemen diri
yang lebih baik dibandingkan dengan klien berjenis kelamin laki-laki.
Manajemen diri diabetes dapat dilakuka n oleh siapa saja yang menderita
diabetes baik laki-laki maupun perempuan, namun pada kenyataannya
perempuan tampak lebih peduli terhadap kesehatannya sehingga ia
berupaya secara optimal untuk melakukan manajemen diri terhadap
penyakit yang dialaminya (Sousa 2011, dalam Ningrum 2019).
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah
menempuh jenjang pendidikan formal dibidang tertentu, namun bukan
indikator bahwa seseorang telah menguasai bidang ilmu (Notoadmodjo
2011, dalam Ningrum 2019). Pendidikan yang baik akan menghasilkan
perilaku positif sehingga lebih terbuka dan obyektif dalam menerima
informasi, khususnya informasi tentang penatalaksanaa DM.
Keterbukaan pasien DM terhadap informasi kesehatan akan
menuntun pasien untuk aktif menjalankan aktifitas manajemen diri,
sehingga kadar glukosa darah dapat terkendali (Rantung 2015 dalam
Ningrum 2019). Seseorang dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki
pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan
memiliki keterampilan manajemen diri yang baik untuk menggunakan
informasi tentang diabetes yang diperoleh melalui media dibandingkan
dengan tingkat pendidikan yang rendah (Bai, Chiou & Chang 2009, dalam
Ningrum 2019).
4. Lama Menderita DM
Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama memiliki pengalaman
dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan perilaku perawatan diri
yang lebih baik (Yoo, Kim, Jang & You, 2011 dalam Ningrum 2019).
Lama seseorang menderita DM berpengaruh terhadap perawatan diri
diabetes dimana durasi DM yang lebih lama memiliki pengalaman yang
lebih bahwa penting nya perilaku manajemen diri diabetes sehingga
mereka dapat dengan mudahnya mencari informasi terkait dengan
perawatan diabetes yang dilakukan (Bai, Chiou & chang 2009, dalam
Ningrum 2019).
Seseorang yang telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun
dapat meneriman diagnosis penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta
memiliki adaptasi yang lebih baik terhadap penyakitnya dengan
mengintegrasikan gaya hidup baru dalam kehidupan mereka sehari-hari
(Xu, Pan & Liu, 2010 dalam Ningrum 2019).
5. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan proses yang menjalin hubungan antar
keluarga melalui sikap, tindakan dan penerimaan keluarga yang terjadi
selama masa hidup. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan dari
internal dan juga berupa dukungan eksternal dari keluarga inti (Friedman
2010, dalam Ningrum 2019). Dukungan keluarga seperti kepedulian,
bantuan, memberikan usulan, nasehat serta informasi penting dalam
meningkatkan self care pasien diabetes mellitus, pengontrolan glukosa
darah serta mampu meningkatkan kesadaran pasien dalam melakukan
tindakan perawatan diri (Sabil et al 2019). Saat seseorang mengalami
diabetes maka membutuhkan bantuan dari sekitar terutama keluarga,
dengan menceritakan kondisi DM pada orang terdekat, maka akan
membantu dalam kontrol diet dan pengobatan. Oleh karena itu, keluarga
dapat mengingatkan ataupun mengontrol manajemen diri penderita
diabetes (Wardani 2014, dalam Ningrum 2019).
G. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau yang ingin diukur melalui penelitian-penelitian yang
akan dilakukan (Notoatmodjo 2015). Kera ngkan konsep faktor-faktor yang
mempengaruhi self care pada pasien Diabates Mellitus Tipe II di Rumah
Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi Tengah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Usia

Jenis Kelamin

Tingkat Pendidikan Self Care

Lama Menderita

Status Pernikahan

H. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan. Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan
baru didasarkan pada teori (Sugiyono 2016). Hipotesis alternatif (Ha) dan
hipotesis nol (nihil) dalam penelitian ini adalah:
1. Ha:
a. Ada hubungan antara usia dengan self care pasien diabetes mellitus tipe
II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi Tengah
b. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan self care pasien diabetes
mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi
Tengah
c. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
d. Ada hubungan antara lama menderita dengan self care pasien diabetes
mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi
Tengah
e. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
2. H0:
a. Tidak ada hubungan antara usia dengan self care pasien diabetes
mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi
Tengah
b. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
c. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
d. Tidak ada hubungan antara lama menderita dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
e. Tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan self care pasien
diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi
Sulawesi Tengah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu penelitian yang data-datanya
berhubungan dengan angka-angka baik yang diperoleh dari pengukuran
maupun dari nilai suatu data yang diperoleh dengan jalan mengubah kualitatif
ke dalam data kuantitatif (Sugiyono 2017). Penelitian ini menggunakan
metode cross sectional dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran
variabel pada satu saat. Variabel yang akan diteliti adalah fakto-faktor
intrinsik yang mempengaruhi self care pada pasien Diabetes Mellitus tipe II
di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi Tengah
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Anutapura Palu Provinsi Sulawesi
Tengah
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal...
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan suatu objek/subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo 2015).
Populasi dalam penelitian ini adalah rata-rata kunjungan pasien dengan
Diabetes Mellitus Tipe II di RS Anutapura Palu pada bulan....
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiyono 2017). Penentuan jumlah sampel dalam penelitian
ini menggunakan rumus estimasi proporsi dimana populasi tidak diketahui.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental
sampling. Accidental sampling adalah teknik penetuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel (Sugiyono 2017).
a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Semua pasien diabetes mellitus tipe II yang di rawat di RS
Anutapura Palu
2) Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi adalah:
1) Pasien diabetes mellitus tipe I
2) Usia < 18 tahun
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hasil tersebut, kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono 2017)
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel dependen (terikat). Maka dalam penelitian ini variabel independen
atau variabel bebas adalah faktor-faktor intrinsik yaitu: usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, lama menderita, dan dukungan keluarga.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Maka
dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah Self Care pada
pasien diabetes mellitus tipe II.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati dari suatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat
diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat
diamati artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang
kemudian dapat diulangi oleh orang lain (Nursalam 2013).
1. Variabel Independen
a. Usia
Definisi : Masa hidup pasien yang dihitung sejak dilahirkan sampai
usia saat dilakukannya penelitian
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Dewasa (19-59 tahun)
2. Lansia (>59 tahun)
b. Jenis Kelamin
Definisi : Karakteristik biologis yang dilihat dari penampilan luar
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Laki-laki
2. Perempuan
c. Tingkat Pendidikan
Definisi : Jenjang pendidikan formal yang diselesaikan oleh
responden berdasarkan ijasah terakhir yang dimiliki
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : 1. SD
2. SMP
3. SMA
4. Perguruan Tinggi
d. Lama Menderita
Definisi : Lama menderita diabetes sejak pertama kali didiagnosis
oleh dokter dinyatakan dalam tahun
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Baru (< 5 tahun)
2. Lama (> 5 tahun)
e. Dukungan Keluarga
Definisi : Dukungan keluarga merupakan proses yang menjalin
hubungan antar keluarga melalui sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga yang terjadi selama masa hidup
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Baik
2. Kurang
2. Variabel Dependen
Self Care pasien diabetes mellitus tipe II
Definisi : Kegiatan memenuhi kebutuhan dalam mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan individu baik
dalam keadaan sehat maupun sakit yang dilakukan oleh
individu itu sendiri
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Baik
2. Kurang baik
F. Instrumen Penelitian
Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Tujuan
pembentukan kuesioner sebagai alat memperoleh data yang sesuai dengan
tujuan penelitian dan penjabaran dari hipotesis. Tujuan dari penggunaan alat
tulis (bolpoin/pensil) dalam penelitian adalah sebagai media dalam menjawab
dari kuesioner yang akan diberikan kepada responden. Penggunaan kamera
bertujuan untuk mendokumentasikan rangkaian kegiatan penelitian.
Kuesioner Self Care yang digunakan yaitu kuesioner Summary of
Diabetes Self-Care Activity (SDSCA) terdiri dari 8 alternatif jawaban yaitu 0
hari sampai 7 hari. Pertanyaan pavourable terdiri dari 12 pertanyaan, yaitu
pada pertanyaan nomor 1-4 dan 7-14 nilai yang diberikan yaitu 0 tidak pernah
melakukan ; nilai 1 melakukan dalam 1 hari; nilai 2 melakukan dalam 2 hari;
nilai 3 melakukan dalam 3 hari; nilai 4 melakukan dalam 4 hari; nilai 5
melakukan dalam 5 hari; nilai 6 melakukan dalam 6 hari; nilai 7 melakukan
dalam 7 hari. Untuk pertanyaan unpavourable pada nomor 5 dan 6, nilai skor
yang diberikan yaitu nilai 7 tidak pernah melakukan; nilai 6 melakukan dalam
1 hari; nilai 5 melakukan dalam 2 hari; nilai 4 melakukan dalam 3 hari; nilai 3
melakukan dalam 4 hari; nilai 2 melakukan dalam 5 hari; nilai 1 melakukan
dalam 6 hari; nilai 0 melakukan dalam 7 hari : tidak pernah. Nilai responden
didapatkan dengan menjumlahkan nilai dari seluruh pertanyaan dibagi 14.
Nilai terendah adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 7.
G. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Arikunto (2015) teknik pengumpulan data adalah cara yang
digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Dalam
penggunaan teknik pengumpulan data, peneliti memerlukan instrumen yaitu
alat bantu agar pengerjaan pengumpulan data menjadi lebih mudah.
H. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dengan mbenggunakan
kuesioner yang dibagikan kepada responden. Kuesioner Summary of
Diabetes Self Care Activity (SDSCA) yang dikembangkan oleh Toobert,
Hampson & Glasgow (2000) dan telah diterjemahkan dan dimodifikasi
oleh Kusniawati (2011).
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data rekam medik pasien yang berkaitan
diabetes mellitus di RSU Anutapura Palu, Kemenkes RI.
I. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnyaakan diolah melalui beberapa
tahapan yaitu (Notoadmojo 2014):
1. Editing
Peneliti melakukan pemeriksaan lembar jawaban terhadap kuesioner
yang telah dibagikan kepada responden pada saat penelitian berlangsung,
peneliti memeriksa data atau identitas responden serta pengisian lembar
jawaban pertanyaan yang diajukan kemungkinan adanya kesalahan dalam
pengisian kuesioner.
2. Coding
Coding adalah melakukan pengkodean data agar tidak terjadi
kekeliruan dalam melakukan tabulasi data.
3. Tabulating
Tabulating data adalah penyusunan data kedalam master tabel dan
dijumlah serta diberikan keterangan
4. Entry Data
Entry data yaitu memasukkan data ke komputer
5. Cleaning
Setelah semua data diperoleh dari responden, peneliti melakukan
pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan.
6. Describing
Describing yaitu menggambarkan atau menjelaskan data yang sudah
dikumpulkan.
J. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari masing-masing
variabel, variabel independen (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
lama menderita dan dukungan keluarga) dan variabel dependen (self care
pasien diabetes mellitus). Pada umumnya analisis ini diperoleh hasil dalam
bentuk presentase dengan rumus sebagai berikut:
Rumus:
f
P= x 100 %=… %
N
Keterangan:
P : Persentase
f : Jumlah subjek yang ada pada kategori tertentu
N : Jumlah atau keseluruhan responden
(Machfoedz 2013)
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel
bebas dengan terikat. Nilai kemaknaan 0,05 dengan tingkat kepercayaan
95%. Tingkat signifikan 5% atau 0,05 artinya kita mengambil risiko salah
dalam mengambil keputusan untuk menolak hipotesis yang benar
sebanyak-banyaknya 5% dan benar dalam mengambil keputusan
sedikitnya 95% (tingkat kepercayaan). Uji yang digunakan pada penelitian
ini adalah uji Chi-Square dengan rumus sebagai berikut:
Rumus:
N {( ad−bc ) −½ N }2
x 2=
( a+b )( c +d ) ( a+c ) (b +d )
Keterangan:
x 2 : Chi Square
N : Sampel
¿Notoatamodjo 2015)
Apabila nilai α < 0,05 maka H0 ditolak artinya signifikan
Apabila nilai α > 0,05 maka H0 diterima artinya tidak signifikan
Uji Chi-Square merupakan uji non parametris yang paling banyak
digunakan. Aturan yang berlaku untuk uji Chi-Square sebagai berikut
(Hastono 2017):
a. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai harapan (expexted count) kurang dari
5, maka yang digunakan adalah fisher exact test.
b. Bila tabel 2x2 dan tidak ada nilai harapan (expected count)< 5 maka uji
yang digunakan sebaiknya contuity corecction.
c. Bila tabelnya lebih 2x2 , misalnya 3x2, 3x3 dan sebagainya, maka
digunakan uji pearson chi square
d. Uji likelihood ratio dan linier by linear association biasanya digunakan
untuk keperluan lebih spesifik, misalnya analisis strafikasi pada bidang
epidemiologi dan juga untuk mengetahui hubungan linier dua variabel,
kategorik, sehingga kedua jenis ini jarang digunakan.
K. Bagan Alur Penelitian
Proses pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Direktur


Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Anutapura Palu

Mendapat ijin dari Direktur Rumah Sakit Umum Anutapura


Palu

Menjelaskan tujuan dan manfaat dari penelitian dan peneliti


mulai melakukan penelitian

Peneliti melakukan penelitian dengan memeriksa catatan


rekam medis yang ada

Melakukan analisa data

Anda mungkin juga menyukai