Anda di halaman 1dari 4

Masalah Klasik Overload LAPAS

Menambah Masalah Baru Ditengah Covid-19

Overload (kelebihan beban) LAPAS adalah masalah lama yang tak kunjung selesai.

Overload terjadi karena semakin tingginya tindak kejahatan yang mengakibatkan semakin

banyak terpidana yang harus menjalani hukuman yang mengakibatkan hilang

kemerdekaannya di LAPAS. Overload adalah masalah serius yang kurang diperhatikan yang

berdampak buruk terhadap proses pemulihan narapidana. Dengan overload LAPAS, seolah

mengartikan hukuman pidana penjara adalah hukuman yang semata-mata diberikan

sebagai pembalasan bukan sebagai upaya pemulihan. Diantara akibat dari overload ini

adalah, kurangnya pengawasan dari petugas LAPAS dan memicu konflik antar warga binaan

pemasyarakatan. Kedua hal tersebut diatas menjadi pokok permasalahan yang mengakibatkan

tidak tercapainya tujuan dari sitem pemasyarakatan.

Adapun tujuan dari sistem pemasyarakatan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan adalah ”Sistem pemasyarakatan diselenggarakan

dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Overload mengakibatkan tujuan untuk mencapai hal tersebut sulit tercapai, karena

dalam proses pemulihannya selalu terbentur dengan hal-hal yang bersifat pokok dan

mendasar yang menjadi kebutuhan primer warga binaan pemasyarakatan. Dengan overload

maka hak-hak warga binaan pemasyarakatn tidak akan dapat difasilitasi secara efektif,
sehingga wajar saja pada banyak kasus, hukuman pidana yang telah dijatuhkan tidak

memberi efek jera terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.

Adapun hak-hak narapidana menurut Pasal 14 UU NO. 12/1995 Tentang

Pemasyarakatan adalah a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b.

mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan

dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e.

menyampaikan keluhan;f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i.

mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi

termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l.

mendapatkan cuti menjelang bebas; m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang kemasyarakatan telah mengakomodir hak-hak yang seharusnya

diperoleh oleh narapidana didalam LAPAS, tapi masalahnya adalah hak-hak itu tidak akan

mungkin terlaksana jika kapasitas atau daya tampung LAPAS yang sudah membludak tetap

dijadikan tempat yang disebut-sebut sebagai tempat pembinan dengan tujuan pemulihan

kembali narapidana dan anak didik pemasyarakatan, bahkan LAPAS terus memaksakan

diri menambah jumlah beban tanpa diikuti fasilitas dan prosedur yang memadai.

Overload LAPAS yang tidak dapat dihindari, dikhawatirkan memperluas

perkembangan virus. Sehingga ditengah wabah covid-19, pemerintah memberikan kebijakan

terkait pemberian asimilasi dan pembebasan bersyarat sebagai upaya meminimalisir dampak

penyebaran covid-19, pemberian asimilasi dan bebas bersyarat tentunya telah melalui

pertimbangan dan pembahasan yang matang sehingga hal ini dianggap pemerintah perlu
untuk dilakukan. Pemberian asimilasi dan bebas bersyarat tentunya tetap mengikuti syarat

dan prosedur yang telah ditetapkan dalam “Peraturan Menteri Dan Hak Asasi Manusia

(Permenkumham) No 03 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi,

Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan

Cuti Bersyarat”.

Akan tetapi, muncul masalah baru setelah narapidana ini diberikan kelonggaran dalam

menjalankan masa pidananya. Beberepa diantara mereka seolah mempermainkan

kebijakan yang diberikan dan menunjukkan sikap tak jera sehingga berani melakukan

tindak pidana lagi. Padahal, hukuman pidana yang mereka jalani sebelumya belum

dinyatakan selesai. Yang paling dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat luas yang telah

berusaha menerima kedatangan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kembali ditengah-

tengah mereka, tetapi kemudian kembali ditakuti dan dikhawatirkan atas keadaan tidak aman

karena kembali mengulang tindak pidana yang mengganggu masyarakat sekitar dan

ketertiban umum.

Masalah utamanya terletak pada proses pembinaan dan fasilitas LAPAS yang masih

jauh dari kata mumpuni. Selain itu, aturan-aturan karet didalam LAPAS yang menyebabkan

sulitnya mencapai persamaan didepan hukum (equality before the law) antar sesama

penghuni LAPAS menjadi bagian yang tak terpisahkan sebagai pemicu bobroknya sistem

pemasyarakatan di Indonesia. Harapan untuk mengurangi overload didalam LAPAS sebagai

upaya memutus rantai penyebaran covid-19 disatu sisi adalah hal yang sewajarnya dilakukan

pemerintah. Tetapi disisi lain, upaya menguranai overload atau overcapacity tidak bisa

dilakukan hanya dengan memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat saja. Overload

harus ditanggulangi dengan melakukan perubahan sistem pemasyarakatan secara mendasar


dan integral, untuk melakukan perubahan ini, harus ada kerjasama yang terukur antar sesama

penegak hukum dengan Lembaga Pemasyarakatan.

Profil Penulis

Saima Yanti Br Lubis, Mahasiswi Magister Hukum Universitas Airlangga (Unair)

No Hp : 081332906405
Nama Bank : BRI
No Rekening : 026901020746501

Anda mungkin juga menyukai