Anda di halaman 1dari 8

ajian Kloning dalam Hukum Islam

            Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur
klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis
kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama
kontemporer. Untuk menetapkan hukum Kloning, para ulama kentemporer menggunakan ijtihad insya’I
karena persoalan tersebut belum dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik.

1.    Ditinjau dari sisi hifzh al-din (memelihara agama), kloning manusia tidak membawa dampak negative
terhadap keberadaan agama.

2.    Ditinjau dari sisi hifzh al-nafs (memelihara jiwa), kloning tidak menghilangkan jiwa bahkan justru
melahirkan jiwa yang baru.

3.    Dilihat dari sisi hifzh al-‘aql (memelihara akal), memelihara manusia kloning juga tidak mengancam
eksistensi akal, bahkan keberhasilan Kloning yang sempurna dapat membuat manusia mempunyai akal
cerdas.

4.    Namun jika dilihat dari sisi hifzh al-nasl (memelihara keturunan), kloning manusia dipertanyakan.
Dalam pandangan islam, masalah keturunan merupakan sesuatu yang sangat essensial, karena
keturunan mempunyai hubungan erat dengan hukum yang lain seperti pernikahan, warisan, muhrim,
dan sebagainya. Dan apabila ditinjau dari sisi hifzh al-mal (memelihara harta), akan terkait dengan
mashlahat dan mafsadat yang diperoleh dai usaha pengkloningan. Andaikata Kloning terhadap manusia
hanya kan menghambur-hamburkan harta, tanpa adanya keseimbangan dengan manfaat yang
diperoleh, maka Kloning menjadi terlarang.

Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut :

…  ‫ق ُّر ِفي‬ ْ ُ ‫ن لَك‬


ِ ُ ‫م وَن‬ َ ِّ ‫مخَلَّقَةٍ لِنُبَي‬ ُ ِ‫مخَلَّقَةٍ وَغَيْر‬
ُ ٍ‫ضغَة‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫م‬ َّ ُ ‫ن عَلَقَةٍ ث‬
ِ ‫م‬ ْ ‫م‬ َّ ُ ‫ن نُطْفَةٍ ث‬
ِ ‫م‬ ْ ‫م‬ َّ ُ ‫اب ث‬
ِ ‫م‬ ٍ ‫ن ت ُ َر‬
ْ ‫م‬ ْ ُ ‫فَإِنَّا خَلَقْنَاك‬
ِ ‫م‬
)5 :‫ما نَشَ اءُ … (الحج‬ َ ْ
َ ِ ‫حام‬ َ ‫األ ْر‬.
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-
Hajj: 5).

Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut
menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan yang
mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan.
Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.

Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning
manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan
“tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-Qur’an bahwa Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As.
tanpa ayah dan ibu, dan Nabi ‘Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:

ُ ‫ن فَيَكُو‬
):‫ن (ال عمران‬ ُ َ‫ل ل‬
ْ ُ‫ه ك‬ َ ‫م قَا‬
َّ ُ ‫اب ث‬
ٍ ‫ن ت ُ َر‬
ْ ‫م‬ ُ َ‫م خَلَق‬
ِ ‫ه‬ َ َ ‫َل ءَاد‬ َ َ ‫سى عِنْد َ اللهِ ك‬
ِ ‫مث‬ َ َ ‫مث‬
َ ‫ل عِي‬ َ ‫ن‬
َّ ِ ‫إ‬.
“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia),
maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59).

Pada surat yang sama juga dikemukakan:

‫جيهًا فِي الدُّنْيَا‬ِ َ‫م و‬


َ َ ‫م ْري‬
َ ‫ن‬ُ ْ ‫س ى اب‬ َ ‫ح عِي‬ُ ‫سي‬ِ ‫م‬َ ْ ‫ه ال‬ ُ ‫م‬
ُ ‫س‬ ْ ‫ها‬ ُ ْ ‫من‬
ِ ٍ ‫مة‬َ ِ ‫ك بِكَل‬ ِ ‫ه يُبَشِّ ُر‬
َ ‫ن الل‬
َّ ِ ‫م إ‬ ُ َ ‫م ْري‬ ُ َ ‫مالَئ ِك‬
َ ‫ة يَا‬ َ ْ ‫ت ال‬
ِ َ ‫إِذ ْ قَال‬
َ َ َ َ ْ ِّ ْ
‫م‬
ْ ‫ن ل ِي وَلد ٌ وَل‬ُ ‫ب أنَّى يَكُو‬ ِّ ‫ت َر‬ْ ‫ قَال‬.‫ِين‬
َ ‫صالِح‬ َّ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ ِ َ‫مهْدِ وَكَهْال ً و‬ َ ‫س فِي ال‬ َ ‫م النَّا‬ ُ ‫ وَيُكَل‬.‫ين‬ َ ِ ‫مق ََّرب‬ ُ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ َ ‫وَاآْل خ‬
ِ َ‫ِرةِ و‬
َ
-45 :‫ن (ال عمران‬ ُ ‫ن فَيَكُو‬ ُ َ‫ل ل‬
ْ ُ‫ه ك‬ َ َّ ‫م ًرا فَإِن‬
ُ ‫ما يَقُو‬ ْ ‫ضى أ‬ َ َ‫ما يَشَ اءُ إِذ َا ق‬ َ ُ‫ه يَخْلُق‬ ُ ‫ِك الل‬ ِ ‫ل كَذَل‬ َ ‫سن ِي بَشَ ٌر قَا‬ ْ ‫س‬ َ ‫م‬ْ َ‫ي‬
)47.

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu
(dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya,
namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-
orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika
sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: “Ya Tuhanku,
betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”.
Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
“Jadilah”, lalu jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 45-47).

Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut
kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak
boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut,
seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi
kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini
berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai
Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum
dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.

Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan
masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan
membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang
memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi
genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua,
dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan
merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang
waris yang didasarkan pada pertalian darah.

            Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris
dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya mempunyai DNA dari
donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleusberasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada
dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah,
hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih
saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa
beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan
kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent,
barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung
bukan ibunya.

Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:

1.    Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.

2.    Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri Cina
sekalipun).

3.    Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat QS.
96/al-’Alaq).

4.    Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat Kursi
pada QS. 2/al-Baqarah: 255).

Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi
tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan
dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.

            Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan,
namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang
dikemukakan sebagai berikut:

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifattentative, bahwa
argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu
sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang
mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang
menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di
laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan
logika tersendiri pula.

            Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut
penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan
tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan
dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang
diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal,
keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.

Daulay, Saleh Partaonan dkk 2005. Kloning Dalam Perspektif Islam. Bandung:  Teraju.


 Pandangan Islam mengenai Rekayasa Genetika
Menurut syara’ hokum Kloning pada tumbuhan dan hewan tidak apa-apa untuk dilakukan dan
termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Dari hal itu memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses
Kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia, terutama yang kronis
adalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya
sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga
sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Anas RA yang telah berkata, bahwa Rasulullah SAW
berkata:
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya.
Maka berobatlah kalian !”
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik RA, yang berkata:
”Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah orang-orang Arab Badui. Mereka berkata,’Wahai Rasulullah,
bolehkah kami berobat ?”
Maka Nabi SAW menjawab :
“Ya. Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, sebab sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah
menciptakan penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya…”
Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses Kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan
mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba, onta, kuda, dan
sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses Kloning untuk  mempertinggi produktivitas hewan-hewan
tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama
penyakit-penyakit yang kronis. Demikianlah hukum syara’ untuk Kloning manusia, tanaman dan hewan.
Kloning pada manusia haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil
keharamannya adalah sebagai berikut :
Anak-anak produk proses Kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru
cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah
untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah SWT berfirman :
ُ‫ َوأَنَّه‬ ‫ق‬ ْ ُ‫ن‬ ‫إِ َذا‬ ‫تُ ْمنَى‬
َّ  ‫ َوااْل ُ ْنثَى‬ ‫ ِم ْن‬ ‫طفَ ٍط‬
َ َ‫خَ ل‬ ‫ال َّزوْ َجي ِْن‬ ‫الذك ََر‬
“dan Bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani
apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46).

Gadjahnata. Mukjizat Al-Qur’an & As-Sunnah. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.


HUKUM BAYI TABUNG MENURUT ISLAM

Menurut data yang penulis dapatkan, berikut ini dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi
landasan hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai
berikut:

1.  Al-Qur’an

Surat Al-Isra ayat 70 :

“Dan sesungguhnya telah Kami meliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di


daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.

Surat At-Tin ayat 4 :


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”.

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakanmanusia, maka
sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga
menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi buatan dengan donor
itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity) sejajar dengan
hewan yang diinseminasi.

2.    Hadits Nabi :

“Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istriorang lain)’’.

(Hadits riwayat Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan Hadits ini dipandang sahih oleh
Ibnu Hibban)

3.   Hasil ijtihad para ulama

a. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari
pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar
yang berdasarkan kaidah-kaidah agama. Namun, para ulama melarang penggunaan
teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan
lain. “Itu hukumnya haram,” papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal? Para ulama
menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan. Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi
tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram. “Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya
dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan,” tulis fatwa itu. Lalu bagaimana
dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-
istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya
haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar
penikahan yang sah alias zina.

b. Nahdlatul Ulama (NU)

NU juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di
Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait
masalah bayi tabung:

Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu
didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam
rahim perempuan yang tidak halal baginya.

Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,”
papar ulama NU dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para
ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang
lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya,
maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.” Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani
suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam
rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

c. Majelis Tarjih dan Tajdid PP  Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid PP  Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa


terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam
fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengungkapkan, berdasarkan ijitihad jama’i yang
dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia
yang diwakili Muhammadiyah, hukum inseminasi buatan seperti itu termasuk yang
dilarang. “Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga
dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung),” papar
fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya, “cara kelima inseminasi itu
dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada
rahim istri yang lain (dari suami itu) … hal itu dilarang menurut hukum Syara’

d. Lembaga Fiqh Islam OKI(Organisasi Konferensi Islam)

Organisasi Konferensi Islam mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986


untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan / bayi tabung, dan mengharamkan
bayi tabung dengan sperma dan/atau ovum donor.

Referensi :

Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor Chuzaimah. T. Yanggo,


Hafiz Anshry, Buku Keempat, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus)

http://health.kompas.com/read/2011/06/21/08585086/Peluang.dan.Risiko
.Bayi.Tabung

Anda mungkin juga menyukai