BAB I
PENDAHULUAN
Jalur Kereta Api antara Padalarang – Purwakarta merupakan jalur penting dan
jalur utama yang menghubungkan antara Jakarta – Bandung. Kawasan studi masuk
Hal ini menjadi perhatian terutama pada kondisi prasarana Kereta Api, yaitu
jalan dan jembatan dimana pada lintas ini terdapat sungai dengan pola aliran deras,
curam dan dalam. Dengan kondisi topografi pegunungan dan berbukit, aliran air
akan sulit dikendalikan dan akan menimbulkan bahaya terhadap konstruksi pilar
jembatan. Keberadaan pilar pada aliran sungai dapat menyebabkan perubahan pola
aliran sungai. Perubahan pola aliran tersebut menyebabkan terbentuknya down flow
(aliran ke bawah) dan horseshoe (pusaran tapal kuda) yang menyebabkan dasar
mencegah atau mengurangi gerusan pada pilar jembatan maka di lokasi tersebut
hulu groundsill sehingga bangunan yang berada di bagian hulu sungai seperti pilar
jembatan aman terhadap gerusan. Salah satu software yang dapat digunakan untuk
dimensi pada sungai untuk dianalisis seberapa besar gerusan yang terjadi pada pilar
jembatan. Selain itu, dengan menggunakan HEC-RAS dapat dilihat dampak adanya
dimensi
4. Memberikan data dan informasi awal bagi para peneliti untuk melaksanakan
penelitian lanjutan.
2.1. Gerusan
terjadinya erosi di bawah permukaan alami atau datum yang diasumsikan. Gerusan
adalah proses semakin dalamnya dasar sungai akibat interaksi antara aliran dengan
disertai pemindahan material melalui aksi gerakan fluida. Gerusan lokal (local
scouring) terjadi pada suatu kecepatan aliran dimana sedimen ditranspor lebih besar
c. Besar gerusan akan sama selisihnya antara jumlah material yang diangkut keluar
daerah gerusan dengan jumlah material yang diangkut masuk ke dalam daerah
gerusan.
bertambah. Untuk kondisi aliran bergerak akan terjadi suatu keadaan gerusan
yang disebut gerusan batas yang besarnya akan asimtotik terhadap waktu.
Tipe gerusan menurut Rudkivi dan Ettema (1983) adalah sebagai berikut :
a. Gerusan umum di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali dengan ada tidaknya
bangunan sungai.
menjadi terpusat.
c. Gerusan lokal di sekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal di sekitar
bangunan sungai.
Gerusan dari jenis (2) dan (3) selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan
dengan air bersih (clear water scour) maupun gerusan dengan air bersedimen (live
bed scour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan suatu keadaan dimana dasar
sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang
terangkut) atau secara teoritik t0 < tc. Sedangkan gerusan dengan air bersedimen
terjadi ketika kondisi aliran dalam saluran menyebabkan material dasar bergerak.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa tegangan geser pada saluran lebih besar dari nilai
1⁄ 1
Neill : 𝑢𝑐𝑟 = 11,52𝑦1 6 . 𝑑50 ⁄3
1 1
Laursen : 𝑢𝑐𝑟 = 10,95𝑦1 ⁄6 . 𝑑50 ⁄3
Dimana:
𝑢𝑐𝑟 = Kecepatan kritis di upstream (ft/sec)
𝑦1 = Kedalaman air diupstream (ft)
𝑆 = Berat sepesifik relatif = 2,65
Berdasarkan perbedaan kondisi angkutan pada gerusan, terdapat 2 kondisi
yakni sebagai berikut :
a. Kondisi clear water scour dimana gerusan dengan air bersih terjadi jika
material dasar sungai di sebelah hulu gerusan dalam keadaan diam atau tidak
terangkut
𝑼
Untuk 𝑼 ≤ 0,5 gerusan lokasl tidak terjadi dan proses transportasi sedimen
𝒄𝒓
tidak terjadi
Dimana : 𝑼 : Kecepatan aliran rata-rata (m/dtk)
𝑼𝒄𝒓 : Kecepatan aliran kritis (m/dtk)
6
7
𝑦𝑠 𝑄
= 0,13 [ 2⁄ ] −1
𝑦1 3 7⁄6
𝑑𝑚 𝑦1 . 𝑊1
3
6 7
𝑦2 𝑊1 7 𝑢12
=( ) [ 1⁄ 2⁄ ]
𝑦1 𝑊2
120. 𝑦1 . 𝑑503
3
b. Kondisi live bed scour dimana gerusan yang disertai dengan terangkutnya
sedimen material dasar saluran, jika
𝑼
Untuk 𝟎, 𝟓 ≤ 𝑼 ≤ 1,0
𝒄𝒓
Dimana : 𝑼 : Kecepatan aliran rata-rata (m/dtk)
𝑼𝒄𝒓 : Kecepatan aliran kritis (m/dtk)
Berdasarkan rumus Laursen
6⁄
𝑦1 𝑄2 7 𝑊1 𝑘1 𝑛2 𝑘2
=( ) ( ) ( )
𝑦2 𝑄1 𝑊2 𝑛1
Persamaan HIRE
𝑦𝑠
= 4𝐹𝑟 1 0,33
𝑦1
𝑦𝑠 = Kedalaman scouring, ft
𝑦1 = Kedalaman aliran pada abumen, ft
𝐹𝑟 1 = Bilangan Froude didasarkan pada kecepatan dan kedalaman yang berhadapan dan
pada upstream abutmen
Persamaan CSU (Colorado State University) dapat digunakan untuk clear water dan Live-
bed scour
𝑦𝑠 𝑎 0,65 0,43
= 2,0𝐾1 𝐾2 𝐾3 ( ) 𝐹𝑟 1
𝑦1 𝑦1
𝑦𝑠 𝑦1 0,35 0,43
= 2,0𝐾1 𝐾2 𝐾3 ( ) 𝐹𝑟 1
𝑎 𝑎
Dimana:
𝑦𝑠 = Kedalaman scouring, ft
𝑦1 = Kedalaman aliran upstream (ft)
𝐾1 = Faktor Koreksi untuk bentuk ujung⁄hidung Pier (Gambar dibawah dan Tabel 2)
𝐾2 = Faktor Koreksi untuk sudut datang aliran, Tabel 3
𝐾3 = Faktor Koreksi untuk kondisi dasar saluran⁄sungai, Tabel 1
𝑎 = Lebar pier, ft
1⁄2
𝐿 = Angka Froude = 𝑢1 ⁄(𝑔𝑦1 )
𝑢1 = Kecepatan aliran rata − rata di upstream, ft/s
Local live-bed scour pada abudment vertical (Liu et all 1961 dan Gill, 1972)
𝑦𝑠 𝐿𝑎 0,4
= 2,15 ( ) . 𝐹𝑟 1 0,33
𝑦1 𝑦1
2.1.2. Mekanisme Gerusan
Struktur yang diletakkan pada suatu arus sungai mampu merubah aliran air
dan gradien kecepatan vertikal (vertical velocity gradient) pada permukaan ujung
struktur tersebut (Miller, 2003). Aliran bawah yang terjadi pada dasar struktur ini
membentuk pusaran yang akhirnya menyapu sekeliling dan bagian bawah struktur.
Kejadian ini dinamakan pusaran tapal kuda (horseshoe vortex) dikareakan apabila
dilihat dari atas maka bentuk pusaran ini mirip tapal kuda.
Interaksi aliran dan struktur pada permukaan air membentuk busur imbak
(bow wave) yang disebut dengan gulungan permukaan (surface roller). Saat terjadi
pemisahan aliran pada struktur bagian dalam akan mengalami wake vortices.
bagian depan struktur. Apabila dasar saluran mudah tergerus maka lubang gerusan
akan terbentuk di sekitar struktur. Hal inilah yang disebut dengan gerusan lokal
mengikuti pola aliran dari hulu ke bagian hilir saluran. Pada saat kecepatan tinggi,
partikel yang terbawa akan semakin banyak dan membuat ukuran dan kedalaman
water scour dan live-bed scour merupakan fungsi dari kecepatan geser. Terjadinya
kesetimbangan gerusan tergantung pada kondisi yang ditinjau yaitu gerusan dengan
air tanpa sedimen (clear- water scour) atau gerusan dengan air bersedimen ( live-
bed scour). Gerakan dasar sungai pada clear- water scour) diasumsikan terjadi pada
sekitar pilar, sedangkan pada live-bed scour gerakan dasar sungai hamper terjadi di
menutupi pilar jembatan serta degradasi dasar sungai yang mengikuti pola alira.
Seiring bertambahnya waktu maka lubang gerusan akan semakin besar dan
mencapai kedalaman maksimum.
2003) :
b. Pemisahan aliran dan peningkatan pusaran tapal kuda secara intensif sehingga
bentang antara dua buah abutment dan memiliki fungsi sebagai pemikul beban-
beban bangunan atas dan bangunan lainnya yang selanjutnya diteruskan ke pondasi
terganggunya aliran baik besar maupun arahnya yang menimbulkan turbulensi air
ini dapat terjadi secara langsung oleh kecepatan aliran sedemikian rupa sehingga
Menurut Ariyanto (2010), gerusan lokal yang terjadi di sekitar pilar akan
membentuk suatu pola gerusan yang dapat diamati setelah proses gerusan terjadi.
Gambar 2.8. Pola Kedalaman Gerusan Lokal pada Pilar Jajar Genjang
Debit 848 cm3/dtk (Sumber : Ariyanto, 2010)
Gambar 2.9. Pola Kedalaman Gerusan Lokal pada Pilar Bulat
Debit 848 cm3/dtk (Sumber : Ariyanto, 2010)
Gambar 2.10. Pola Kedalaman Gerusan Lokal pada Pilar Bujur Sangkar
Debit 848 cm3/dtk (Sumber : Ariyanto, 2010)
Dilihat dari ketiga gambar di atas bahwa pola kedalaman gerusan lokal di
sekitar pilar adalah sama untuk posisi pilar yang sejajar dengan arah aliran datang
yaitu terjadi proses gerusan di depan dan belakang pilar yangmana di bagian depan
pilar terjadi gerusan maksimum. Namun pada Gambar 2.8 pilar jajar genjang
memiliki karakter yang berbeda dengan bentuk pilar bulat dan bujur sangkar. Hal
ini dikarenakan pada pilar jajar genjang membentuk sudut terhadap arah aliran yang
datang sehinga proses kedalaman maksimum terjadi pada sisi pilar. Semakin besar
bentuk sudut terhadap aliran, maka akan semakin besar pula kedalaman gerusan
dan penyempitan air dipengaruhi beberapa faktor antara lain sebagai berikut :
Kedalaman maksimum rata-rata gerusan lokal yang terjadi di sekitar pilar sangat
tergantung pada nilai relative kecepatan alur sungai (perbandingan antara kecepatan
geser dengan kecepatan rerata aliran), nilai diameter butiran (Seragam/ tidak
Gradasi sedimen pada sedimen transpor merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi kedalaman gerusan pada kondisi air bersih (Clear Water Scour).
Kedalaman gerusan maksimum pada media alir clear water scour juga dipengaruhi
Ukuran dan bentuk pilar berpengaruh pada kedalaman gerusan lokal. Ukuran pilar
mempengaruhi waktu yang diperlukan gerusan lokal pada kondisi clear water
sampai dengan kedalaman terakhir sedangkan bentuk pilar yang tidak bulat akan
memberikan sudut yang lebih tajam terhadap aliran datang yang diharapkan dapat
berkurang.
kedudukan atau posisi pilar terhadap sudut arah aliran serta panjang dan lebarnya
pilar. Hal ini dikarenakan bahwa gerusan merupakan rasio dari panjang, lebar dan
sudut dari tinjauan terhadap arah aliran. Masing-masing bentuk pilar mempunyai
faktor koefisien bentuk Ks menurut Breuser dan Raudkivi (1991) yang dilampirkan
gerusan di sekitar pilar dan abutmen Jembatan yang terjadi pada dasar sungai (Flat
bed).
Untuk Abutmen:
1⁄
𝑑𝑠 1 𝑏𝑎 3
= 0,47𝑀 ⁄3 (1 + 𝛼𝑎 ) −1
ℎ ℎ
Untuk Pier:
1⁄
𝑑𝑠 1 𝑏𝑝𝑝 3 ℎ
= 0 [, 47𝑀 ⁄3 (1 + 𝛼𝑝 ) − 1] × ( )
ℎ ℎ 𝑏𝑝
Dimana:
𝑏𝑎 = Lebar abutmen
𝑏𝑝 = Diameter Pier
𝑏𝑠 = Fungsi kedalaman aliran
ℎ = 𝛼𝑝 . 𝑏𝑠
Untuk Abutmen:
1⁄
𝑑𝑠 1 𝑏𝑎 3
= 0,47𝑀 ⁄3 (1 + 1,5 ) −1
ℎ ℎ
Untuk Pier:
1
𝑑𝑠 1 𝑏𝑝𝑝 ⁄3 ℎ
= [0,47𝑀 ⁄3 (1 + 4,5 ) − 1] × ( )
ℎ ℎ 𝑏𝑝
Dimana:
𝑦1 = Kedalaman air di upstream
𝑦1 = Kedalaman air di daerah kontraksi
𝑊1 = Lebar dasar di upstream
𝑊2 = Lebar dasar di daerah kontraksi
𝑄1 = Debit di upstream
𝑄2 = Debit di daerah kontraksi
𝑑𝑚 = Diameter sedimen efektif rata − rata = 1,25 𝑑50 (𝑓𝑡)
𝑛1 = Koefisien Manning di upstream
𝑛2 = Koefisien Manning di daerah kontraksi
𝑘1 dan 𝑘2 = Eksponen yang tergantung pada mekanisme transport sedimen
Nilai 𝑘1 dan 𝑘2
𝑢 𝑘1 𝑘2 Mekanisme transport sedimen
<50 0,59 0,066 Dominan Bed load
0,50 s/d 0,64 0,64 0,21 Beberapa Suspended load
>2,0 0,64 0,37 Dominan Suspended load
Dimana:
𝑢 ∗= (𝑔. 𝑦1 . 𝑆1 )1⁄2 , kecepatan geser di upstream (𝑓𝑡⁄𝑠)
𝜔 = 𝐹𝑎𝑙𝑙 𝑉𝑒𝑙𝑜𝑐𝑖𝑡𝑦 𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 berdasarkan 𝑑50 (𝑓𝑡⁄𝑠)
𝑆1 = Kemiringan garis energi di saluran(𝑓𝑡⁄𝑓𝑡)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
500 m ke arah hulu dan 200 m ke arah hilir dengan jembatan BH. 337 Km.
Gambar 3.1. Foto Satelit Lokasi Titik Acuan Jembatan BH. 337 Km. 105+392
(Sumber : Google Earth)
69
Gambar 3.2. Foto Udara Titik Acuan Jembatan BH. 337 Km. 105+392
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa
data topografi sungai, data geoteknik, data sedimen, data sungai, dan data curah
hujan. Sub DAS yang berada pada lokasi penelitian yakni, sub DAS Cikao. Data
b. Mengumpulkan data primer atau sekunder yang terdiri dari data topografi
sungai, data geoteknik, peta geologi, data sedimen, data sungai dan data curah
hujan.
Pengumpulan
Data Penelitian
Diterima
Kondisi Kondisi
Ya
Groundsill Groundsill
CH Jam-jam an & Eksisting Alternatif
Intensitas Hujan
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3.3. Diagram Alir Penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari uraian hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Besar debit banjir rancangan di sungai Cikao untuk kala ulang 2 tahun 5 tahun,
10 tahun, 20 tahun, 25 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun secara berturut- turut
sungainya.
groundsill eksisting untuk debit banjir kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun,
20 tahun, 25 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun berturut-turut adalah 3,03 m, 3,28
berfungsi sebagai salah satu alternatif dalam mengurangi gerusan pada pilar
jembatan.
5.2. Saran
menggunakan cara yang lain, sehingga didapat hasil upaya yang efektif dan
Adiputra M.W, Daniel. 2012. Pengaruh Groundsill terhadap perubahan profil aliran
sungai porong. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Jember.
Ariyanto, Anton. Analisis Bentuk Pilar Jembatan Terhadap Potensi Gerusan Lokal.
2010. Jurnal APTEK Vol. 2 No. 1 Juli 2010.
Arsyad Sitanala, (2010). Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua, IPB Press.
Bogor
Breuser. H.N.C. and Raudkivi. A.J. 1991. Scouring IAHR Hydraulic Structure
Design Manual. Rotterdam : AA Balkema
Chow, V.T., Maidment D.R., Mays L.W. 1988. Applied Hydrology. Mc. Graw- Hill
Book Company. Singapore.
Foster, G.R., Meyer, L.D., and Onstad, C. A. 1977. A Run off erosivity factor and
variable slope length exponent for soil loss estimates. Transactions of the
ASAE, Vol. 20. Pp. 683-687.
Hapsari, Mulat Widhi. 2016. Kajian Kedalaman Gerusan pada Pilar Jembatan Tipe
Tiang Pancang Bersusun. Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Laursen, E.M. and Toch, A. Scour around bridge piers and abutments, Bulletin
No.4, Iowa Highways Research Board, Ames, Iowa, U.S.A, 1956.
Legono, D. 1990. Gerusan pada Bangunan Sungai. PAU Ilmu-Ilmu Teknik UGM,
Yogyakarta.
Miller Jr, W. 2003. Model For The Time Rate Of Local Sediment Scour At A
Cylindrical Structure. Disertasi. Florida : PPS Universitas Florida.
Mukti, Aditya Wibawa. 2016. Pengaruh Bentuk Pilar Jembatan Terhadap Gerusan
Lokal Menggunakan Software iRIC: Nays2DH 1.0. Teknik Sipil Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Pudyono, Sunik. 2013. Penentuan Kedalaman dan Pola Gerusan Akibat Aliran
Superkritik di Hilir Pintu Air Menggunakan End Sill. Skripsi. Universitas
Brawijaya : Malang.
Rahmadani, Sarra. 2014. Mekanisme Gerusan Lokal dengan Variasi Bentuk Pilar
(Eksperimen). Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara
Raudviki A.J and Ettema R.. 1983. Clear Water Scour at Cylindrical Piers.
Journal Hydraulic Engineering Volume 103.
Richardson, E.V. and Abed, L. 1990. Estimating Scour at Bridges. Transportation
Research Record 1290. Resource Consultants Inc., FL. Collins CO, 80522.
Simon, D. dan Senturk F., 1992, Sediment Transport Technology: Water and
Sediment Dynamic. Water Resources Pubns., New-York.
Sri Harto, Br. 1981. Mengenal Dasar Hidrologi Terapan. Keluarga Mahasiswa
Teknik Sipil. Yogyakarta.
Yuliana, Ade. 2002. Perencanaan Sistem Drainase dengan Sumur Resapan dan
Kolam Retensi dalam Rangka Konservasi Air di Perumahan Katumiri
Cihanjun. Laporan Tugas Akhir. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
Institut Teknologi Bandung.