PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang
mempelajari sifat dan perubahan zat, hukum, dan prinsip yang berkaitan dengan
perubahan zat serta teori yang menafsirkan perubahan tersebut (Slaubaugh &
Parsons, 1976). Ilmu kimia juga bersifat konkret, abstrak, dan prosedural (Kean
& Middlecamp, 1985). Ilmu kimia bersifat konkret karena pada dasarnya
mempelajari hal – hal yang terkait dengan aktifitas manusia dan lingkungan.
Bersifat abstrak karena yang dipelajari adalah atom, molekul, dan ion yang tidak
tersebut. Bersifat prosedural karena konsep pada ilmu kimia didapatkan melalui
konseptual, abstrak dan prosedural adalah materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Contoh sifat abstrak pada materi ini berupa keadaan mikroskopis ion-
ion dalam larutan (Devetak, dkk, 2007). Sifat konseptual di antaranya mengenai
pengaruh pH dan ion senama terhadap kelarutan senyawa (BSNP, 2006), dan
bersifat prosedural yakni pengaruh penambahan ion senama pada kelarutan suatu
senyawa ionik. Selain itu materi kalarutan dan hasil kali kelarutan juga bersifat
algoritmik. Hal ini berkaitan dengan perhitungan kelarutan suatu senyawa, Ksp dan
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan diajarkan pada mata pelajaran
kimia pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI peminatan IPA.
Materi ini sangat penting untuk dipelajari peserta didik secara mendalam, karena
materi ini menunjang materi lainnya seperti materi kimia unsur. Pada materi kimia
NaOH dan Na2CO3. Jika terdapat endapan berwarna putih maka disimpulkan
Kelarutan dan hasil kali kelarutan penting dipahami peserta didik, namun
dalam kenyataanya masih ada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam
mempelajari materi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Krause & Tasooji (2007)
beranggapan bahwa Ksp senyawa tertentu pada suhu tertentu dapat berubah-ubah,
dalam larutan, serta di dalam larutan lewat jenuh masih terdapat endapan. Nisak
dalam menentukan kelarutan zat pada larutan yang mengandung ion senama.
Sebagian peserta didik juga kesulitan dalam menentukan terjadinya endapan suatu
reaksi serta membedakan larutan tak jenuh, tepat jenuh, dan lewat jenuh. Hal lain
yang menambah sulitnya materi ini dipelajari peserta didik adalah pengetahuan
awal. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Onder & Geban (2006)
yang menyatakan bahwa konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan
3
konsep yang sulit karena sebelum mempelajarinya peserta didik harus terlebih
mempelajari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan adalah model pembelajaran
(Slavin, 2009; Dahar, 2006; Maharani, dkk, 2013). Jika model pembelajaran yang
digunakan pada materi-materi yang abstrak seperti kelarutan dan hasil kali
kelarutan kurang sesuai dengan karakteristik materi, maka peserta didik yang
pembelajaran yang efektif pada materi ini sehingga dapat membantu peserta didik
mengkonstruksi konsep yang telah ada pada dirinya dengan konsep baru secara
aktif.
guru menerapkan model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Zoller
konseptual peserta didik dalam materi kimia. Dengan demikian perlu adanya
melibatkan peserta didik secara aktif atau yang dikenal sebagai model
yaitu daur belajar 6 fase (Iskandar, 2011). Model pembelajaran daur belajar 6 fase
aktif dalam membentuk konsep atau pemahaman tentang materi yang dipelajari.
peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, mendorong peserta didik
informasi yang dikumpulkan baik dengan cara kelompok maupun individu tanpa
telah dikuasainya dengan menerapkannya pada persoalan yang baru tetapi masih
tetap sesuai dengan konsep yang dipelajari. Dalam fase evaluasi akan diketahui
(1) sejauh mana pengalaman belajar yang telah diperoleh peserta didik dan (2)
refleksi untuk melakukan siklus lebih lanjut yaitu pembelajaran pada konsep
kelemahan yakni (1) pada fase undangan bagi peserta didik yang memiliki
(2) pada fase eksplorasi tidak menuntut peserta didik untuk saling berbagi dan
saling bekerja sama dengan teman sebaya, (3) dalam fase penjelasan tidak semua
yang dimilikinya. Selain itu pada fase elaborasi, ada kemungkinan peserta didik
peserta didik yakni dengan berdiskusi kelompok. Scaffolding ini diberikan sebagai
sarana untuk membantu peserta didik dalam memahami materi yang belum
dikuasai, menguatkan konsep yang benar dan memperbaiki konsep yang salah,
pembelajaran daur belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat bersinergi
kelompok kecil sehingga peserta didik bekerja dan belajar bersama untuk
sosial adalah model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran
TPS merupakan model pembelajaran yang memberikan waktu pada peserta didik
untuk berpikir, untuk merespon, dan saling membantu (Arends, 2007). Tahapan
yang ada pada model pembelajaran TPS diharapkan mampu sebagai scaffolding
pembelajaran yakni meliputi tahap think atau berpikir secara individual, tahap
pair atau berpasangan, dan tahap share atau berbagi dengan pasangan lain atau
seluruh kelas (Shoimin, 2014). Menurut Fernandez, dkk, (2001) tahap pair
bertindak sebagai scaffolding yang diberikan guru maupun teman sebaya kepada
diri peserta didik. Hal ini bertujuan agar mereka dapat memecahkan masalah yang
yaitu mudah diterapkan pada berbagai tingkat kemampuan berpikir dan setiap
kesempatan serta peserta didik lebih banyak diberikan waktu untuk berpikir,
menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Kagan & Kagan, 2009).
eksplorasi, penjelasan dan elaborasi pada model pembelajaran daur belajar 6 fase.
Tahap think dan pair dintegrasi pada fase eksplorasi, tahap share diintegrasi pada
7
Pengintegrasian dua model pembelajaran daur belajar 6 fase dan TPS dapat
menjadikan pola diskusi yang lebih terstruktur sehingga suasana kelas tetap
terjadinya interaksi positif, saling menghargai, dan kerja sama antar peserta didik.
Umam (2010) pada materi zat aditif pada psikotropika, Jatmiko (2014) pada
materi asam basa dan Putri (2014) pada materi reaksi redoks. Ketiga penelitian
tersebut (Umam, 2010, Jatmiko, 2014 & Putri, 2014) menyatakan bahwa nilai
rata-rata peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran daur belajar
6 fase-TPS lebih tinggi daripada peserta didik yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase. Ada penelitian lain yang dilakukan oleh
Suindarti (2015) pada materi bentuk dan kepolaran molekul menggunakan daur
bahwa hasil belajar peserta didik yang dibelajarkan menggunakan daur belajar 6
Auliawati (2015) pada materi kesetimbangan dan Pertiwi (2016) pada materi
(2016) mengatakan bahwa hasil belajar peserta didik yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS lebih baik dari daur belajar 6 fase.
8
mengingkatkan hasil belajar peserta didik pada materi kimia yang bersifat
kualitas proses pembelajaran. Penelitian yang dilakukan Dasna & Fajaroh (2003),
Odom & Kelly (2000) model pembelajaran daur belajar dapat meningkatkan
kualitas proses dan hasil belajar, karena peserta didik terlibat langsung dalam
diagram alir terhadap kualitas proses, hasil belajar dan kemampuan metakognitif
pembelajaran materi laju reaksi pada peserta didik yang belajar dengan daur
belajar dan peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran daur belajar
pembelajaran yang secara umum untuk kelas yang diajarkan menggunakan model
pembelajaran daur belajar 6 fase dipadu dengan diagram alir lebih tinggi dari
kelas yang diajarkan menggunakan model pembelajran daur belajar 6 fase tanpa
diagram alir.
hasil yang baik pada materi kesetimbangan (Auliawati, 2015), larutan elektrolit-
nonelektrolit dan redoks (Pratiwi, 2015), dan bentuk dan kepolaran molekul
(Suindarti, 2015), akan tetapi belum diketahui apakah model pembelajaran daur
belajar 6 fase-TPS juga baik pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.
9
Belajar dan Hasil Belajar Kognitif Dilihat dari Kemampuan Awal Peserta didik
B. Rumusan Masalah
berikut.
2. Apakah ada perbedaan hasil belajar kognitif peserta didik yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran daur belajar 6 fase pada materi kelarutan dan
3. Adakah perbedaan hasil belajar kognitif antar peserta didik yang memiliki
kemampuan awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal
C. Hipotesis Penelitian
1. H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang
daur belajar 6 fase pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan
(Ksp).
2. H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan
awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah yang
3. H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model
pembelajaran terhadap hasil belajar peserta didik pada materi kelarutan dan
hasil kelarutan.
D. Manfaat Penelitian
mata pelajaran kimia bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara
Pair Share dalam mengajarkan materi yang serupa agar dapat meningkatkan
belajarnya.
11
3. Peneliti lain, dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih
Share.
E. Asumsi Penelitian
Agar penelitian sesuai dengan tujuan penelian yang telah ditentukan, maka
1. Selama penelitian berlangsung tidak terjadi interaksi antar peserta didik yang
2. Hasil post tes benar-benar menunjukan hasil belajar kognitif peserta didik.
1. Penelitian ini dilakukan pada peserta didik kelas XI MIPA SMAN 8 Malang
2. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI MIPA SMAN 8 Malang
4. Pokok bahasan yang diteliti hanya mencakup materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan.
G. Definisi Operasional
12
(evaluasi).
tahap pada think pair ke dalam fase exploration, fase share ke dalam fase
explaination dan fase think pair share ke dalam fase elaboration (penerapan).
4. Hasil belajar kognitif adalah hasil tes pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan yang diukur melalui butir soal objektif dengan tingkat C1 hingga
C5.
mengerjakan laporan, dan tanya jawab yang diamati dengan instrumen lembar
observasi.
13
6. Kemampuan awal adalah pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh peserta
didik untuk dapat mempelajari materi Ksp. Pengetahuan yang harus dikuasai
7. Ksp (kelarutan dan hasil kali kelarutan) adalah materi kimia yang mempelajari
terbentuknya endapan dari suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan dan hasil
kali kelarutan.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada kurikulum 2013 materi kelarutan dan hasil kali kelarutan diajarkan di
kelas XI bidang peminatan IPA pada semester genap maupun ganjil. Kompetensi
inti dari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dapat dilihat pada lampiran 1
berdasarkan prinsip kelarutan dan data hasil kali kelarutan (Ksp), dan dari beberapa
Adapun kompetensi dasar dan indikator dari materi kelarutan dan hasil kali
14
15
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan membahas tentang konsep larutan
elektrolit maupun non elektrolit yang dapat larut dalam pelarut tertentu pada suhu
constant) dan hanya berlaku pada larutan jenuh. Ksp didefinisikan sebagai hasil
kesetimbangan.
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan menunjang materi kimia yang
lainnya yakni materi sifat koligatif dan kimia unsur. Pada materi kimia unsur,
mengidentifikasi ion Mg2+ dalam air dengan cara mereaksikannya dengan NaOH
dan Na2CO3. Jika terdapat endapan berwarna putih maka disimpulkan larutan
yang diuji mengandung ion Mg2+. Materi Ksp juga diperlukan dalam penentuan
dan pelunakan kesadahan air dalam proses industri. Selain itu materi Ksp menjadi
penunjang dalam materi pemisahan dengan cara pengendapan pada mata kuliah
16
analitik. Oleh karena itu materi Ksp sangat penting untuk dipelajari. Namun dalam
penelitian yang dilakukan Maharani (2013) materi ini tergolong sulit bagi peserta
didik. Hal ini disebabkan oleh karena karakteristik dari materi kelarutan dan hasil
kali kelarutan yang berisi konsep konkrit, abstrak, dan algoritmik. Konsep konkrit
dari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan yaitu pembentukan batu ginjal yang
ada dalam tubuh manusia, pembentukan stalaktid dan stalakmit pada gua kapur,
dan proses pengidentifikasian sidik jari manusia. Konsep abstrak, misalnya pada
molekul-molekul AgCl yang mengendap tidak dapat diamati secara langsung serta
Konsep yang bersifat algoritmik pada materi ini yaitu menghitung harga kelarutan
belum jenuh, jenuh, dan lewat jenuh. Materi ini dianggap sulit oleh peserta didik
fisika, hukum Le Chatelier, kimia larutan, dan persamaan kimia (Onder & Geban,
terjadi pada peserta didik antara lain: (1) garam yang larut dalam air akan
terionisasi menjadi ion-ion yang jumlahnya sama, (2) nilai kelarutan dihitung dari
mol garam pada kondisi jenuh, (3) Ksp merupakan hasil kali konsentrasi ion-ion
17
pada reaksi kesetimbangan dari garam yang sukar larut pada suhu tertentu tanpa
dipangkatkan koefisien, (4) garam yang memiliki nilai Ksp lebih kecil akan lebih
sulit mengendap karena kelarutannya kecil, (5) pada sistem kesetimbangan jika
reaktan, (6) pada keadaan setimbang konsentrasi ion akan tetap atau tidak berubah
walaupun ditambah ion senama, (7) ion hidroksida yang digunakan untuk
menghitung nilai Ksp larutan basa berasal dari antilog negatif pH. Konsep yang
benar adalah untuk menghitung nilai Ksp suatu larutan basa perlu diketahui
terlebih konsentrasi OH-, dan (8) penambahan sedikit garam yang sukar larut ke
dalam larutan jenuh garam tersebut akan menaikkan konsentrasi larutan jenuh
Sejalan dengan hal di atas, Onder & Geban (2006) menemukan bahwa
didik beranggapan bahwa (1) proses pelarutan akan berhenti pada saat larutan
kelarutan tidak mempunyai arti dalam menentukan kelarutan, (3) tidak ada
hubungan antara Ksp dan kelarutan, (4) suhu tidak mempengaruhi kelarutan, dan
(5) konsentrasi ion akan tetap konstan meskipun ion senama ditambahkan ke
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan selain bersifat konkrit, abstrak,
dan algoritmik juga dapat direpresentasikan dalam tiga tingkat pemahaman yang
dengan indera seperti proses terbentuknya endapan pada pelarutan garam dan basa
fenomena tersebut dapat terjadi. Hal ini berhubungan dengan susunan dan
pergerakan partikel pada fenomena tesebut dapat terjadi, karena itu tingkat
seperti persamaan reaksi, lambang dan rumus kimia. Ketiga representasi tersebut
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dinggap sulit bagi peserta didik,
oleh karena itu dibutuhkan model pembelajaran yang tepat dalam penyampaian
materi tersebut. Menurut Onder & Geban (2006) dan Maharani (2013)
ekspositori atau ceramah dianggap kurang memberi dampak yang baik dalam
yang harus diatasi sebab konsep-konsep yang ada pada materi ini tidak dapat
untuk dapat mencari makna atau suatu konsep secara mandiri dengan cara
Awalnya model pembelajaran daur belajar hanya terdiri dari 3 fase, dan
belajar 5 fase yang terdiri dari fase undangan, fase eksplorasi, fase penjelasan,
fase penerapan, dan fase evaluasi. Johntson menambahkan satu fase pada daur
belajar lima fase yaitu fase identifikasi kompetensi dasar oleh pengajar
(guru/dosen) di awal pembelajar sehingga disebut daur belajar enam fase yang
(KD) oleh pengajar yang merupakan titik tolak dari keseluruhan pembelajaran; (ii)
bertujuan untuk mengecek apakah pengetahuan yang dimiliki peserta didik sudah
benar atau salah; (iv) explanation (penjelasan) dalam fase ini guru memberi
dimiliki pebelajar benar atau salah; (v) elaboration (penerapan konsep) guru
pada konteks yang berbeda; dan (vi) evaluation (evaluasi) (Iskandar, 2004)
bertujuan untuk melihat apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum
dikemukakan oleh Piaget. Tahap eksplorasi pada model pembelajaran daur belajar
merupakan tahap asimilasi pada teori Piaget, dimana pada tahap ini peserta didik
merupakan tahap akomodasi, dimana pada tahap ini peserta didik menemukan
atas, model pembelajaran ini memiliki keunggulan antara lain: (1) membuat
peserta didik aktif sebab peserta didik diajak berpikir untuk memperoleh
pengetahuan baru, (2) peserta didik tertarik pada materi pelajaran sebab terjadi
komunikasi timbal balik antara guru dan peserta didik, (3) hasil evaluasi kognitif
didik belajar lebih bermakna. Adapun kelemahan dari model pembelajaran daur
belajar adalah: (1) waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena peserta didik diajak
peserta didik diberi kebebasan yang cukup luas mengemukakan pengetahuan yang
maka diperlukan persiapan bagi guru secara matang agar peran guru sebagai
motivator dan fasilitator dapat berjalan dengan baik, (3) guru menyediakan waktu
yang lebih banyak untuk menyusun perangkat dan instrumen yang dibutuhkan
kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman (Lie, 2010). Menurut Shoimin
(2014) Think Pair Share adalah model pembelajaran yang memberi peserta didik
waktu untuk berpikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain. Model
serta bekerja sama dengan orang lain sehingga diharapkan peserta didik menjadi
berfikir, sehingga kualitas jawaban juga dapat meningkat. Selain itu, kegiatan
didik yang antusias saat proses belajar mengajar berlangsung (Aisiyah, 2010). Di
sisi lain model pembelajaran ini melatih peserta didik untuk berani berpendapat
eksplisit memberi waktu kepada peserta didik untuk berfikir, menjawab dan saling
membantu satu sama lain. Dengan demikian, diharapkan peserta didik mampu
bekerja sama, saling menumbuhkan, dan saling tergantung positif antar anggota
(Shoimin, 2014). Hal ini sesuai dengan lima unsur model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran Think Pair Share memiliki tiga tahap utama. Pertama,
tahap think (berfikir) guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan
atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Kedua, tahap pair
(berpasangan) guru meminta peserta didik berpasangan dengan peserta didik lain
untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi
pada tahap ini diharapkan peserta didik dapat berbagi jawaban jika telah diajukan
suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu masalah khusus telah diidentifikasi.
Ketiga, tahap share (berbagi pendapat berpasangan) pada tahap akhir, guru
menunjuk pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas, tentang apa yang telah
model pembelajaran daur belajar 6 fase. Tahapan model pembelajaran TPS akan
dapat menjadi scaffolding bagi peserta didik yang mengalami kesulitan pada fase
karena tidak menyita waktu untuk mengatur tempat duduk peserta didik; 2)
peserta didik menjadi lebih aktif dalam berpikir; 4) peserta didik dapat belajar dari
peserta didik lain; dan 5) peserta didik dapat berbagi atau menyampaikan idenya.
23
telah tercantum pada latar belakang dan kajian teori yakni peserta didik
yang diberikan oleh guru terutama bagi peserta didik yang memiliki keterampilan
berpikir ilmiah yang rendah pada tahap exploration, explaination dan elaboration.
Apabila peserta didik tidak dapat mengatasi permasalahan tersebut, maka mereka
membutuhkan bantuan (scaffolding) dari teman sebaya atau orang lain yang lebih
sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir ilmiah tinggi dapat
Tabel 2.2 Perbandingan Model Pembelajaran Daur Belajar 6 Fase dan Daur Belajar 6 Fase-
Think Pair Share
Daur Belajar 6 Fase Daur Belajar 6 Fase-Think Pair Share
Fase 1: Identifikasi Fase 1: Identifikasi
Guru menginformasikan materi pembelajaran Guru menginformasikan materi pembelajaran
kepada peserta didik yaitu tentang kelarutan kepada peserta didik yaitu tentang kelarutan
dan hasil kali kelarutan dan hasil kali kelarutan
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai. akan dicapai.
Fase 2: Engagement Fase 2: Engagement
Guru menggali pengetahuan awal peserta didik Guru menggali pengetahuan awal peserta didik
dengan memberikan pertanyaan seputar materi dengan memberikan pertanyaan seputar materi
yang akan dipelajari. yang akan dipelajari.
Fase 3: Exploration Fase 3: Exploration-Think Pair
Peserta didik melakukan percobaan, Guru memberikan masalah lalu meminta
mengumpulkan data, menganalisis data hasil peserta didik untuk menyelesaikan secara
percobaan dan membuat kesimpulan berpasangan. Pembelajaran Think Pair
berdasarkan percobaan yang telah dilakukan. terintegrasi pada fase exploration.
Selain itu peserta didik dapat melakukan kajian Think: guru memberikan waktu kepada peserta
pustaka dari berbagai sumber. didik melakukan percobaan, mengumpulkan
data, menganalisis data hasil percobaan dan
membuat kesimpulan berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan. Selain itu peserta didik
dapat melakukan kajian pustaka dari berbagai
sumber.
Pair: guru meminta peserta didik untuk
mendiskusikan segala sesuatu yang telah
mereka pikirkan secara berpasangan.
Fase 4: Explanation Fase 4: Explanation- Share
Peserta didik menjelaskan hasil ekplorasinya Share: Guru meminta pasangan-pasangan
sehingga dihasilkan pengetahun yang baru. peserta didik menjelaskan hasil ekplorasinya
sehingga dihasilkan pengetahun yang baru.
Fase 5: Elaboration-Think Pair Share Fase 5 : Elaboration-Think Pair Share
Guru memberikan masalah baru dan meminta Guru memberikan masalah baru dan meminta
peserta didik menyelesaikannya secara mandiri peserta didik menyelesaikannya secara
(individu), kemudian melakukan diskusi kelas. berpasangan (2 orang)
Pembelajaran Think Pair Share terintegrasi
pada fase Elaboration sebagai scaffolding.
Think: Guru memberikan waktu kepada peserta
didik untuk berpikir.
Pair: Guru meminta peserta didik berpasangan,
dan mendiskusikan segala yang sudah mereka
pikirkan. Interaksi selama periode ini dapat
bertukar ide atau berupa transfer pengetahuan
yang telah peserta didik dapatkan pada tahap
sebelumnya secara individu.
Share: guru meminta pasangan-pasangan
peserta didik untuk berbagi sesuatu yang telah
didiskusikan bersama pasangannya masing-
masing dengan seluruh kelas.
Fase 6: Evaluation Fase 6: Evaluation
Peserta didik mengerjakan soal post test. Peserta didik mengerjakan soal post test.
25
proses pembelajaran adalah sejauh mana peserta didik dapat menguasai materi
pelajaran (Suyanti, 2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan kualitas
proses belajar mengajar. Tujuan dari perbaikan kualitas proses ini adalah untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar secara mandiri dan kreatif sehingga
berdasarkan aspek kognitif, namun juga pada aspek afektif dan psikomotorik.
pembelajaran dilakukan pada tiga aspek yakni aspek afektif, dan psikomotor.
26
F. Kemampuan Awal
Definisi belajar banyak dikemukakan oleh ahli di antaranya menurut Suyono dan
Hariyanto (2014) belajar adalah salah satu aktifitas atau suatu proses untuk
seseorang dan berkaitan dengan domain pengetahuan (Algarabel dan Dasi, 2001).
Hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik setelah
didik berkaitan dengan perubahan tingkah laku yang mencakup aspek kognitif,
Pada penelitian ini aspek hasil belajar yang akan diukur adalah hasil
belajar kognitif. Hasil belajar kognitif merupakan hasil belajar yang berkenaan
didik dapat diukur melalui tes hasil belajar. Tes hasil belajar tersebut dapat
digunakan untuk keberhasilan yang dicapai oleh peserta didik dan guru dalam
terhadap materi yang telah diajarkan. Sedangkan bagi guru, untuk mengevaluasi
Taksonomi Bloom. Setiap klasifikasi diurut secara hirarkis dari yang paling
ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih besar, kaitannya dengan bagian yang
Pada akhir dari peneltian ini akan dilakukan tes tertulis untuk mengetahui
hasil belajar kognitif peserta didik. Hasil tes ini juga digunakan untuk mengetahui
pembelajaran daur belajar 6 fase. Karena seperti yang telah disinggung di atas,
28
hasil tes dapat digunakan untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang telah
dilangsungkan.
H. Kerangka Teori
Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang
mempelajari sifat dan perubahan zat, hukum, dan prinsip yang berkaitan dengan
perubahan zat serta teori yang menafsirkan perubahan tersebut (Slaubaugh &
Parsons, 1976). Ilmu kimia juga bersifat konkret, abstrak, dan prosedural (Kean &
Middlecamp, 1985). Salah satu materi pada ilmu kimia yang bersifat konkret,
abstrak dan algoritmik adalah materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan selain bersifat konkrit, abstrak, dan algoritmik
juga dapat direpresentasikan dalam tiga tingkat pemahaman yang saling berkaitan
Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan materi yang sulit bagi
peserta didik karena sebelum mempelajarinya peserta didik harus terlebih dahulu
menyebutkan bahwa masih ada peserta didik yang mengalami miskonsepsi pada
materi ini. Onder & Geban (2006) menemukan bahwa miskonsepsi peserta didik
pada materi kesetimbangan kelarutan, yakni peserta didik beranggapan bahwa (1)
proses pelarutan akan berhenti pada saat larutan telah mencapai kesetimbangan,
29
dalam menentukan kelarutan, (3) tidak ada hubungan antara Ksp dan kelarutan, (4)
suhu tidak mempengaruhi kelarutan, dan (5) konsentrasi ion akan tetap konstan
mempelajari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan adalah model pembelajaran
(Slavin, 2009; Dahar, 2006; Maharani, dkk, 2013). Model pembelajaran yang
Menurut Onder & Geban (2006) dan Maharani (2013) peyampaian materi
kurang memberi dampak yang baik dalam mengurangi kesulitan belajar, peserta
dimana pada model pembelajaran ini peserta didik diarahkan untuk dapat mencari
makna atau suatu konsep secara mandiri dengan cara mengkaitkan pengetahuan
lama dengan pengetahuan baru (Iskandar, 2011). Salah satu model pembelajaran
Sintaks model pembelajaran daur belajar-6 fase terdiri dari 6 fase atau
memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan yaitu pada fase elaborasi,
pembelajaran daur belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat bersinergi
kelompok kecil sehingga peserta didik bekerja dan belajar bersama untuk
sosial yaitu Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran TPS memiliki ciri khas
pada tiga langkah pembelajarannya seperti dikemukakan oleh Shoimin (2014) dan
Lie (2010) meliputi tahap think atau berpikir secara individual, tahap pair atau
berpasangan, dan tahap share atau berbagi dengan pasangan lain atau seluruh
kelas. Model pembelajaran TPS juga memiliki beberapa keunggulan yaitu mudah
diterapkan pada berbagai tingkat kemampuan berpikir dan setiap kesempatan serta
peserta didik lebih banyak diberikan waktu untuk berpikir, menjawab, dan saling
dapat meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik. Adapun skema berpikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
model pembelajaran daur belajar 6 fase-think pair share terhadap kualitas proses
belajar dan hasil belajar kognitif peserta didik pada materi kelarutan dan hasil kali
mengetahui kualitas proses belajar dan hasil belajar kognitif peserta didik yang
Share pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan berdasarkan kemampuan
tersebut menggunakan desain faktorial 2x2, yang terlihat pada Tabel 3.2.
X1Y2 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS.
X2Y1 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase
X2Y2 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase
dengan kebutuhan untuk penyampaian materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
Dalam penelitian ini populasi adalah seluruh peserta didik kelas XI-MIPA
SMA Negeri 8 Malang pada tahun ajaran 2016/2017. Sampel dari penelitian ini
adalah kelas XI MIPA 6 sebagai kelas eksperimen dan XI MIPA 4 sebagai kelas
didik. Berdasarkan data hasil ulangan harian topik stoikiometri, laju reaksi, dan
dikatakan memiliki kemampuan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3…..
Eksperimen 35
Kontrol 35
34
kemampuan awal peserta didik juga diuji menggunakan uji t, hal ini dilakukan
untuk memastikan kedua kelas yang digunakan memiliki kemampuan awal yang
setara. Sebelum dilakukan uji t, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji
sebesar…… dan …… Kedua nilai ini menunjukan bahwa signifikansi lebih besar
dari 0,005 sehingga data kemampuan awal peserta didik dinyatakan terdistribusi
nirmal dan mempunyai varian yang homogen. Hasil uji t menunjukan nilai
D. Variabel Penelitian
penelitian ini adalah (1) variabel bebas yakni model pembelajaran yang terdiri
dari daur belajar 6 fase dan daur belajar 6 fase-Think Pair Share, (2) variabel
terikat yakni kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar kognitif, dan (3)
variabel kontrol yakni materi pembelajaran, jumlah pertemuan, alokasi waktu tiap
pertemuan, dan karakteristik guru serta (4) variabel maderator yakni kemampuan
E. Instrumen Penelitian
35
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen perlakuan
1. Instrumen Perlakuan
pembelajaran di kelas dan tidak diukur secara statistik. Instrumen perlakuan yang
Pembelajaran (RPP), dan Lembar Kerja Peserta didik (LKS). Sebelum digunakan
validator.
2. Instrumen Pengukuran
Instrumen ini digunakan untuk mengukur proses belajar peserta didik dan
yang digunakan oleh guru telah sesuai dengan langkah-langkah pada model daur
belajar 6 fase-TPS maupun model pembelajaran daur belajar 6 fase dan (2)
dan lembar penilaian afektif sisiwa sebelum digunakan akan divalidasi oleh
validator.
didik yaitu soal tes materi kelarutan dan hasil kelarutan. Tes diberikan diakhir
materi berupa soal pilihan ganda sebanyak 25 butir soal dengan lima alternatif
jawaban. Sebelum tes diberikan kepada sampel, tes akan divalidasi, direvisi, dan
diujikan serta dipilih berdasarkan uji validitas, uji tingkat kesukaran, daya beda,
a. Uji Validitas
instrumen (Arikunto, 2013). Uji Validitas yang digunakan ada dua macam, yaitu
validitas isi oleh ahli dan validitas butir soal yang diperoleh dari hasil uji coba
butir soal.
1) Validitas Isi
sudah teruji kevalidan isinya. Penentuan nilai validitas isi dilakukan oleh 2
mengukur hasil belajar kognitif divalidasi isi dan direvisi, instrumen ini akan
37
divalidasi butir soal. Validitas butir soal dilakukan dengan cara instrumen
diujicobakan pada peserta didik selain kelas kontrol dan kelas eksperimen. Dalam
menentukan validitas butir soal digunakan korelasi product moment Pearson pada
program SPSS 23 for windows. Dalam pengujian ini butir soal dikatakan valid
apabila rxy > rtabel dengan rtabel diperoleh dari nilai koefisien “r” product moment
b. Reliabilitas Tes
Uji reliabilitas soal bentuk pilihan ganda dapat dilakukan dengan menggunakan
n s 2 − ∑ pq
r 11 = ( n−1 )( s
2 )
2
2 (∑ x )
∑x −
N
S2 =
N
Keterangan:
r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 – p)
pq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
n = banyak item soal
S2 = varians
N = banyaknya peserta didik pengikut tes
c. Tingkat Kesukaran
38
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar atau tidak terlalu
mudah. Bilangan untuk menunjukan sukar dan mudahnya suatu soal disebut
B
P¿
JS
Keterangan:
P = tingkat kesukaran
B = Banyaknya peserta didik yang menjawab benar
JS = Jumlah peserta didik yang mengikuti tes
d. Daya Beda
antara peserta didik yang berkemampuan tinggi dengan peserta didik yang
berkemampuan rendah. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya beda butir
BA BB
D= D= −
JA JB
Keterangan:
D = daya beda butir soal
JA = jumlah seluruh peserta didik kelompok atas
JB = jumlah seluruh peserta didik kelompok bawah
BA = jumlah seluruh peserta didik kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = jumlah seluruh peserta didik kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
F. Tahap Penelitian
Tahapan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan
1. Tahap persiapan
a. Analisis standar isi dan kompetensi dasar materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan.
2. Tahap pelaksanaan
dilakukan
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis
1. Analisis Deskriptif
rumus :
kriteria penilaian afektif karena dihitung dengan teknik yang sama yaitu teknik
2. Analisis Inferensial
penelitian ini. Analisis inferensial dalam penelitian ini terdiri dari uji prasyarat
analisis yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis.
a. Uji Prasyarat
dilakukan uji prasyarat agar kesimpulan yang diambil memenuhi persyaratan. Uji
1) Uji Normalitas
suatu populasi terdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini uji normalitas
dilakukan dengan bantuan program SPSS 23 for Windows, yaitu melalui uji
signifikansi uji normalitas > α yang ditentukan, maka sebaran data terdistribusi
normal. Nilai signifikansi α = 0,05, sehingga sebaran data hasil uji Kolmogorov-
2) Uji Homogenitas
SPSS 23 for Windows. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Levene pada
taraf kepercayaan 95%. Data dikatakan homogen jika nilai signifikansinya > 0,05.
b. Uji Hipotesis
42
Uji hipotesis dalam penelitian ini digunakan untuk menguji ada tidaknya
perbedaan hasil belajar peserta didik kelas kontrol dan eksperimen. Adapun
a) Hipotesis pertama,
H0a: Tidak ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang
LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).
H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang
LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).
b) Hipotesis kedua,
H0b: Tidak ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki
H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan
awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah
pembelajaran LC6E.
c) Hipotesis ketiga,
43
H0c: Tidak ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model
H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model
Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS 23 for Windows yaitu
metode anova dua jalur dengan taraf signifikan α=0,05 kriteria hasil pengujian,
BAB IV
HASIL ANALISIS
diperoleh data peneltian yang meliputi (1) kemampuan awal peserta didik; (2)
Kemampuan awal peserta didik diperoleh dari nilai ulangan harian peserta
didik pada kompetensi dasar yang telah dipelajari sebelumnya. Kemampuan awal
peserta didik ini merupakan rata-rata tiga nilai ulangan harian. Data kemampuan
peserta didik pada kelas kontrol yaitu 83,2 dengan nilai minimum 79,0 dan nilai
maksimum 90,3. Sedangkan rata-rata kemampuan awal peserta didik pada kelas
eksperimen yaitu 85,5 dengan nilai minimum 79,0 dan nilai maksimum 90,0.
Rata-rata nilai kemampuan awal peserta didik juga telah melewati KKM (>79).
Standar deviasi nilai kemampuan awal pada kedua kelas ini juga tidak jauh
berbeda, yakni pada kelas kontrol sebesar 3,173 dan kelas eksperimen 3,172 Data
kemampuan awal lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 11A dan 11B.
45
digolongkan menjadi kemampuan awal peserta didik tinggi dan kemampuan awal
peserta didik rendah. Penggolongan kemampuan awal peserta didik dapat dilihat
didik tinggi pada kelas kontol 85,8 dan kelas eksperimen yakni 87,3. Standar
deviasi peserta didik kemampuan awal tinggi pada kelas kontrol dan eksperimen
yaitu 2,50 dan 1,60. Rata-rata kemampuan awal peserta didik rendah pada kelas
kontrol 80,8 dan eksperimen yakni 81,7. Standar deviasi peserta didik
kemampuan awal rendah pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yaitu 1,31 dan
didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk data selengkapnya dapat
92
90
88
86
84 Nilai Maks
82 Nilai Min
80 Nilai Rata-rata
78
76
74
72
Gambar 4.1 Penggolongan Kemampuan Awal
afektif, penilaian diskusi, dan penilaian psikomotor peserta didik. Lembar RTOP
mencakup 5 aspek penilian (setiap aspek terdiri dari 5 item) yakni (1) desain dan
(4) interaksi yang komunikatif; dan (5) hubungan peserta didik dan guru. Hasil
pada kelas control (LC6E) dan eksperimen (LC6E-TPS) dapat dilihat pada Tabel
4.3 berikut.
47
Tabel 4.3
RPP Kelas Eksperimen
RPP Kelas Kontrol (LC6E)
Item Yang Dinilai (LC6E-TPS)
1 2 3 4 1 2 3 4
Desain Pembelajaran 2,87 3,60 3,27 3,33 2,93 3,60 3,47 3,33
dan Implementasi
Proporsi Pengetahuan 2,93 3,53 3,13 3,23 3,0 3,60 3,53 3,40
Prosedur Pengetahuan 2,47 3,4,0 3,13 3,00 3,13 3,67 3,47 3,13
Interaksi yang 2,6 3,13 3,00 3,07 2,93 3,47 3,40 3,13
Komunikatif
Hubungan Peserta Didik 2,93 3,33 3,20 3,07 3,07 3,67 3,40 3,20
dan Guru
Rata-Rata 2,76 3,40 3,15 3,14 3,01 3,60 3,45 3,24
Rata-Rata 3,11 3,33
RPP 1-4
Rata-rata penilaian RTOP RPP 1-4 kelas kontrol (LC6E) berdasarkan pengamatan
observer pada Tabel 4.3 sebesar 3,11 sedangkan kelas eksperimen (LC6E-TPS)
sebesar… Untuk data selenngkapnya dapat dilihat pada lampiran 12. Berikut
4
3.5
3 Desain Pembelajaran
dan Implementasi
2.5
Proporsi
2 Pengetahuan
1.5 Prosedur
Pengetahuan
1
Interaksi yang
0.5 Komunikatif
0 Hubungan Peserta
Didik dan Guru
Gambar 4.2 Perbandingan Penilaian RTOP Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
48
kesesuaian antara RPP dengan proses pembelajaran yang terjadi. Hasil penilaian
(LC6E) sebesar 79,96 dan kelas eksperimen (LC6E-TPS) sebesar 81,00% Hal ini
Penilaian afektif peserta didik mencakup tujuh aspek yaitu (1) kehadiran
dan keaktifan peserta didik; (2) keseriusan atau motivasi; (3) kemandirian dan
49
langsung dengan teman; (6) kerja sama dan saling membantu; dan (7) komunikasi
sosial, saling menghargai, dan toleransi. Berikut hasil penilaian afektif kelas
Rata-rata nilai afektif kelas kontrol 85,75 dan kelas eksperimen 85,88 Jumlah
peserta didik yang mencapai ketuntasan untuk aspek afektif baik pada kelas
kontrol maupun kelas eksperimen adalah 100%, artinya seluruh peserta didik
mencapai ketuntasan. Data nilai afektif peserta didik selengkapnya dapat dilihat
Penilaian diskusi pada penelitian ini meliputi beberapa aspek yaitu (saling
dilakukan berdasarkan pedoman penilaian pada lampiran 15. Untuk setiap aspek
akan diberikan nilai 3-1, dengan nilai 3 jika semua deskriptor muncul, nilai 2 jika
2-3 deskriptor muncul, dan nilai 1 diberikan jika 0-1 deskriptor muncul. Hasil
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, rata-rata nilai diskusi kelas eksperimen sebesar
87,43 lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 83,24.
beberapa aspek yaitu (1) ketertiban; (2) kebersihan alat; (3) penggunaan alat; dan
(4) pembacaan alat ukur. Skala penilaian psikomotor 1-3 yakni 3 untuk kategori
sangat baik, 2 untuk kategori cukup, dan 1 untuk kategori kurang. Tata cara
penilaian psikomotor dan pemberian skor tiap aspek dapat dilihat pada pedoman
psikomotor kelas kontrol dan kelas eksperimen terdapat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Penilaian Psikomotor Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Kelas Rata-Rata Nilai Ketuntasan
Kelas Kontrol (LC6E) 84,00 100%
Kelas Eksperimen (LC6E-TPS) 86,24 100%
sehingga penilaian ini hanya dilakukan pada RPP I dan RPP III. Pada RPP I
dilakukan praktikum materi kelarutan suatu garam dalam pelarut air. Sedangkan
RPP III dilakukan praktikum pengaruh ion senama tehadap kelarutan suatu garam.
Pada tabel 4.7 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai psikomotor kelas kontrol sebesar
84,00 dan kelas eksperimen sebesar 86,24. Data selengkapnya mengenai penilaian
kelarutan dan hasil kali kelarutan dibelajarkan yakni pada pertemuan V. Sebelum
penilaian kognitif dilakukan, instrumen yang digunakan telah divalidasi oleh ahli
penilaian yang digunakan dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 18 butir soal.
Soal yang disusun tingkatannya dari C1 sampai dengan C5. Adapun perolehan
hasil belajar kognitif peserta didik yang belajarkan dengan model pembelajaran
LC6E dan LC6E-TPS secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Hasil Belajar Kognitif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Nilai
Jumlah Nilai Standsar
Kelas Rata-Rata Maksimu
Peserta Didik Minimum Deviasi
m
LC6E 35 72,4 94,44 50,00 9,67
LC6E-TPS 35 81,11 100 55,56 11,21
Berdasarkan Tabel 4.8, nilai maksimum hasil belajar kognitif peserta didik
sebesar 100 dan nilai minimumnya 55,56 sehingga rata-rata kelasnya 81,11.
maksimum hasil belajar kognitif peserta didik yakni sebesar 94,44 dan nilai
kedua kelas terdapat perbedaan, rata-rata hasil belajar kognitif pada kelas yang
LC6E.
52
belajar kognitif peserta didik berdasarkan kemampuan awal dapat dilihat pada
Tabel 4.9 Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik Berdasarkan Kemampuan Awal
Kemampuan Jumlah Nilai Nilai
Kelas Rata-Rata
Awal Peserta Didik Maksimum Minimum
LC6E Tinggi 17 75,2 94,44 61,11
Rendah 18 69,8 77,78 50
LC6E-TPS Tinggi 17 86,3 100 61,11
Rendah 18 76,24 88,89 55,56
LC6E-TPS sebesar 86,3 lebih tinggi bila dibandingkan dengan dengan peserta
pembelajaran LC6E yakni sebesar 75,2. Senada dengan hal di atas, rata-rata hasil
Perbandingan nilai rata-rata hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki
kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah pada kelas yang
dibelajarkan menggunakan LC6E dan LC6E-TPS dapat dilihat pada Gambar 4.3
berikut.
53
100
90
80
70
60 Rata-Rata
50 Nilai Maksimum
Nilai Minimum
40
30
20
10
0
Gambar 4.3 Perbandingan Nilai Rata-Rata Hasil Belajar Kognitif Siswa yang
Memiliki Kemampuan Awal Tinggi dan Kemampuan Awal Rendah
analisis data. Uji prasyarat analisis data meliputi uji normalitas, uji homogenitas,
dan uji kesamaan dua rata-rata terhadap kemampuan awal dan uji normalitas serta
uji homogenitas.
1) Uji Normalitas
Hasil uji normalitas terhadap kemampuan awal kedua kelas yang digunakan
sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.10 dan data selengkapnya dapat dilihat
Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas terhadap Kemampuan Awal Peserta Didik
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Kelas
Statistik Df Sig
Kontrol (LC6E) 0,095 35 0,200
Eksperimen (LC6E-TPS) 0,110 35 0,200
Data dikatakan terdistribusi normal jika angka signifikan (Sig) > 0,05.
Berdasarkan Tabel 4.10 mengenai hasil uji normalitas terhadap kemampuan awal
2) Uji Homogenitas
digunakan yaitu Lavene’s Test dengan bantuan SPSS 23 for windows. Hasil uji
homogenitas terhadap kemampuan awal peserta didik kedua kelas yang digunakan
debagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.11 dan data selengkapnya dapat dilihat
Data dikatakan terdistribusi homogen jika angka signifikan (Sig) > 0,05.
awal peserta didik dapat ditarik kesimpulan kemampuan awal peserta didik baik
pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E dan LC6E-TPS
55
memiliki varian yang identik atau homogen. Hal ini ditunjukan dengan nilai
test dengan bantuan program SPSS 23 for windows. Hasil analisis uji kesamaan
dua rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.12 dan selengkapnya pada lampiran 18c.
Tabel 4.12 Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Kemampuan Awal Peserta Didik
Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence
Sig.
Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df (2-
Difference Difference Difference
tailed)
Lower Upper
Kemampuan Equal variances
.395 .532 -1.652 68 .103 -1.25143 .75765 -2.76330 .26044
_Awal assumed
Equal variances
-1.652 68.000 .103 -1.25143 .75765 -2.76330 .26044
not assumed
0,103. Nilai signifikansi (0,103) > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Artinya tidak ada perbedaan kemampuan awal peserta didik yang dibelajarkan
1) Uji Normalitas
Analisis uji normalitas terhadap hesil belajar kognitif peserta didik yang
Hasil uji normalitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik kedua kelas yang
digunakan sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan data selengkapnya
Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas terhadap Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Kelas
Statistik Df Sig
Kontrol (LC6E) 0,145 35 0,062
Berdasarkan Tabel 4.10 mengenai hasil uji normalitas terhadap hasil belajar
0,05.
> 0,05.
2) Uji Homogenitas
Analisis uji homogenitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik yang
digunakan yaitu Lavene’s Test dengan bantuan SPSS 23 for windows. Hasil uji
homogenitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik kedua kelas yang
digunakan sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan data selengkapnya
Tabel 4.15 Hasil Uji Homogenitas Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1,609 1 68 0,209
Data dikatakan terdistribusi homogen jika nilai signifikan (Sig) > 0,05.
Berdasarkan Tabel 4.15 mengenai hasil uji homogenitas terhadap hasil belajar
kognitif peserta didik dapat ditarik kesimpulan hasil belajar kognitif peserta didik
57
baik pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E dan LC6E-
TPS memiliki varian yang identik atau homogen. Hal ini ditunjukan dengan nilai
2. Uji Hipotesis
normal dan memiliki variansi yang homogen, maka dilanjutkan dengan uji
hipotesis. Adapun pasangan hipotesis nihil (H0) dan hipotesis alternatif (H1) yang
a) Hipotesis pertama,
H0a: Tidak ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang
LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).
H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang
LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).
b) Hipotesis kedua,
H0b: Tidak ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki
H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan
awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah
pembelajaran LC6E.
c) Hipotesis ketiga,
H0c: Tidak ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model
H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model
dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Penelitian ini menggunakan analisis varian
dua jalur (two way anova) dengan bantuan SPSS 16 for windows. Hasil uji
hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4.16 dan secara lengkap pada lampiran 19c.
a) Tulisan “Kelas” menunjukan hasil belajar kognitif siswa yang ditinjau dari
signifikansi (0,000) < 0,05, sehingga H0a ditolak dan H1a diterima artinya
dari kemampuan awal peserta didik. Hasil yang diperoleh adalah nilai
signifikansi (0,003) > 0,05, sehingga H0b ditolak dan H1b diterima artinya ada
perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan awal tinggi
dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah yang dibelajarkan
Hasil yang diperoleh adalah nilai signifikansi (0,338) > 0,05, sehingga H0c
diterima dan H1c ditolak artinya tidak ada interaksi antara kemampuan awal
BAB V
PEMBAHASAN
61
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I. 2007. Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh. Terjemahan Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. 2008. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dasna, I Wayan. 2006. Model Siklus Belajar (Learning Cycle) Kajian Teoritis
dan Implementasinya dalam Pembelajaran Kimia. Malang: Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Negeri Malang.
44
62
Fernandez, M., Wegerif, R., Mercer, N., dan Drummond-Rojas, S. 2001. Re-
conceptualizing “Scaffolding” and the Zone Proximal Development in the
Context of Symetrical Collaborative Learning. Journal of Classroom
Interaction, (Online) 36 (2): 40-54, (http://cetedra.ruv.itesm.mx).
Odom, A. L. & Kelly, P. V. 2001. Integrating Concept Mapping and The Learning
Cycle to Teach Diffusion and Osmosis Concept to High School Biology
Students. Science Education, 85(6): 615-635.
Onder, I. & Geban, O. 2006. The effect of conceptual change texts oriented
instruction on students’ understanding of the solubility equilibrium
concept. Journal of Education, 30: 166-173.
Slavin, Robert E. 2009. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan
Jilid 2. Jakarta: PT Indeks.
Suyono & Haryanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.