Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang

mempelajari sifat dan perubahan zat, hukum, dan prinsip yang berkaitan dengan

perubahan zat serta teori yang menafsirkan perubahan tersebut (Slaubaugh &

Parsons, 1976). Ilmu kimia juga bersifat konkret, abstrak, dan prosedural (Kean

& Middlecamp, 1985). Ilmu kimia bersifat konkret karena pada dasarnya

mempelajari hal – hal yang terkait dengan aktifitas manusia dan lingkungan.

Bersifat abstrak karena yang dipelajari adalah atom, molekul, dan ion yang tidak

nampak, sehingga menuntut peserta didik membayangkan keberadaannya

tersebut. Bersifat prosedural karena konsep pada ilmu kimia didapatkan melalui

metode ilmiah dimana terdiri dari tahapan proses ilmiah.

Salah satu materi kimia yang mengandung konsep-konsep yang bersifat

konseptual, abstrak dan prosedural adalah materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan. Contoh sifat abstrak pada materi ini berupa keadaan mikroskopis ion-

ion dalam larutan (Devetak, dkk, 2007). Sifat konseptual di antaranya mengenai

pengaruh pH dan ion senama terhadap kelarutan senyawa (BSNP, 2006), dan

bersifat prosedural yakni pengaruh penambahan ion senama pada kelarutan suatu

senyawa ionik. Selain itu materi kalarutan dan hasil kali kelarutan juga bersifat

algoritmik. Hal ini berkaitan dengan perhitungan kelarutan suatu senyawa, Ksp dan

Qc (Andrade & Schuiling, 2001).


1
2

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan diajarkan pada mata pelajaran

kimia pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI peminatan IPA.

Materi ini sangat penting untuk dipelajari peserta didik secara mendalam, karena

materi ini menunjang materi lainnya seperti materi kimia unsur. Pada materi kimia

unsur, konsep Ksp menunjang cara mengidentifikasi unsur atau senyawa.

Contohnya mengidentifikasi ion Mg2+ dalam air yakni mereaksikannya dengan

NaOH dan Na2CO3. Jika terdapat endapan berwarna putih maka disimpulkan

larutan yang diuji mengandung ion Mg2+.

Kelarutan dan hasil kali kelarutan penting dipahami peserta didik, namun

dalam kenyataanya masih ada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam

mempelajari materi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Krause & Tasooji (2007)

menunjukan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik dalam memahami materi

kelarutan dan hasil kali kelarutan, di antaranya sebagian peserta didik

beranggapan bahwa Ksp senyawa tertentu pada suhu tertentu dapat berubah-ubah,

penambahan garam pada larutan jenuh akan meningkatkan konsentrasi garam

dalam larutan, serta di dalam larutan lewat jenuh masih terdapat endapan. Nisak

(2010) mengungkapkan bahwa 45,23% peserta didik mengalami kesulitan dalam

menentukan kelarutan senyawa dan 75,5% peserta didik mengalami kesulitan

dalam menentukan kelarutan zat pada larutan yang mengandung ion senama.

Sebagian peserta didik juga kesulitan dalam menentukan terjadinya endapan suatu

reaksi serta membedakan larutan tak jenuh, tepat jenuh, dan lewat jenuh. Hal lain

yang menambah sulitnya materi ini dipelajari peserta didik adalah pengetahuan

awal. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Onder & Geban (2006)

yang menyatakan bahwa konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan
3

konsep yang sulit karena sebelum mempelajarinya peserta didik harus terlebih

dahulu menguasai beberapa konsep seperti materi kesetimbangan kimia, hukum

Le Chatelier, stoikiometri (konsep mol), dan persamaan kimia.

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab peserta didik kesulitan

mempelajari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan adalah model pembelajaran

(Slavin, 2009; Dahar, 2006; Maharani, dkk, 2013). Jika model pembelajaran yang

digunakan pada materi-materi yang abstrak seperti kelarutan dan hasil kali

kelarutan kurang sesuai dengan karakteristik materi, maka peserta didik yang

belum mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah akan semakin kesulitan

dalam memahami materi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan model

pembelajaran yang efektif pada materi ini sehingga dapat membantu peserta didik

mengkonstruksi konsep yang telah ada pada dirinya dengan konsep baru secara

aktif.

Keaktifan peserta didik dalam mengkonstruksi konsep dapat terjadi bila

guru menerapkan model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Zoller

dkk (2007) menyatakan bahwa model pembelajaran konvensional atau yang

terpusat pada guru kurang layak digunakan untuk meningkatkan pemahaman

konseptual peserta didik dalam materi kimia. Dengan demikian perlu adanya

penerapan model pembelajaran yang menekankan pada konstruksi konsep dan

melibatkan peserta didik secara aktif atau yang dikenal sebagai model

pembelajaran konstruktivistik. Salah satu model pembelajaran konstruktivistik

yaitu daur belajar 6 fase (Iskandar, 2011). Model pembelajaran daur belajar 6 fase

dikatakan bersifat konstruktivis karena pada tahapan pembelajaran fase


4

eksplorasi, penjelasan, dan elaborasi, peserta didik dituntut untuk berpartisipasi

aktif dalam membentuk konsep atau pemahaman tentang materi yang dipelajari.

Terdapat beberapa kelebihan daur belajar 6 fase yaitu mampu mendorong

peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, mendorong peserta didik

mengkonstruk pengetahuan yang sudah dimiliki sehingga terbentuk pengetahuan

baru, serta meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap pembelajaran

khususnya pembelajaran kimia (Supasorn & Promarak, 2015). Model

pembelajaran ini juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengeksplorasi sumber belajar, memperdalam materi, dan mengaplikasikannya

ke dalam situasi yang baru sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi

peserta didik (Sadi & Cankiroglu, 2010).

Dalam model pembelajaran daur belajar-6 fase terdapat 6 tahapan belajar

yaitu identifikasi (elicit), undangan (engagement), eksplorasi (exploration),

penjelasan (explanation), elaborasi atau penerapan (elaboration), dan evaluasi

(evaluation) (Iskandar, 2011). Kegiatan pada fase identifikasi yakni

mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang akan dipelajari. Fase undangan

bertujuan untuk mendapatkan perhatian peserta didik, mendorong kemampuan

berpikirnya dan membantu untuk menggali kembali pengetahuan yang

dimilikinya. Fase eksplorasi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk berpikir, merencanakan, meneliti, mengorganisasikan

informasi yang dikumpulkan baik dengan cara kelompok maupun individu tanpa

instruksi atau pengarahan langsung dari guru. Fase penjelasan mendorong

keterlibatan peserta didik dalam menganalisis hasil eksplorasinya guna

melengkapi, menyempurnakan, dan mengembangkan konsep yang sudah


5

diperoleh. Selanjutnya dalam fase elaborasi peserta didik diberikan kesempatan

untuk mengembangkan dan memantapkan pemahaman terhadap konsep yang

telah dikuasainya dengan menerapkannya pada persoalan yang baru tetapi masih

tetap sesuai dengan konsep yang dipelajari. Dalam fase evaluasi akan diketahui

(1) sejauh mana pengalaman belajar yang telah diperoleh peserta didik dan (2)

refleksi untuk melakukan siklus lebih lanjut yaitu pembelajaran pada konsep

berikutnya (Dasna, 2006).

Namun model pembelajaran daur belajar 6 fase sendiri memiliki beberapa

kelemahan yakni (1) pada fase undangan bagi peserta didik yang memiliki

kemampuan kurang akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan ide-idenya,

(2) pada fase eksplorasi tidak menuntut peserta didik untuk saling berbagi dan

saling bekerja sama dengan teman sebaya, (3) dalam fase penjelasan tidak semua

peserta didik mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan konsep pengetahuan

yang dimilikinya. Selain itu pada fase elaborasi, ada kemungkinan peserta didik

akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh

karena itu, diperlukan scaffolding dengan melibatkan interaksi sosial di antara

peserta didik yakni dengan berdiskusi kelompok. Scaffolding ini diberikan sebagai

sarana untuk membantu peserta didik dalam memahami materi yang belum

dikuasai, menguatkan konsep yang benar dan memperbaiki konsep yang salah,

serta membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan yang sulit (Palmer,

2005). Dengan adanya kelemahan tersebut, maka diperlukan upaya untuk

mengkombinasikan model pembelajaran lain yang bersinergi dengan model

pembelajaran daur belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat bersinergi

dengan model pembelajaran daur belajar yaitu model pembelajaran kooperatif.


6

Model pembelajaran kooperatif merupakan cara belajar menggunakan kelompok-

kelompok kecil sehingga peserta didik bekerja dan belajar bersama untuk

mencapai tujuan bersama (Johnson & Johnson, 1991).

Salah satu model pembelajaran kooperatif yang menekankan interaksi

sosial adalah model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran

TPS merupakan model pembelajaran yang memberikan waktu pada peserta didik

untuk berpikir, untuk merespon, dan saling membantu (Arends, 2007). Tahapan

yang ada pada model pembelajaran TPS diharapkan mampu sebagai scaffolding

bagi peserta didik, karena memungkinkan peserta didik untuk mengekspresikan

penalarannya, merefleksikan pemikiran dan memperoleh umpan balik secara

langsung terhadap pemahaman yang mereka peroleh ketika berdiskusi dengan

pasangannya (Kothiyal, 2013). Model pembelajaran TPS memiliki tiga langkah

pembelajaran yakni meliputi tahap think atau berpikir secara individual, tahap

pair atau berpasangan, dan tahap share atau berbagi dengan pasangan lain atau

seluruh kelas (Shoimin, 2014). Menurut Fernandez, dkk, (2001) tahap pair

bertindak sebagai scaffolding yang diberikan guru maupun teman sebaya kepada

diri peserta didik. Hal ini bertujuan agar mereka dapat memecahkan masalah yang

belum terpecahkan. Model pembelajaran TPS juga memiliki beberapa keunggulan

yaitu mudah diterapkan pada berbagai tingkat kemampuan berpikir dan setiap

kesempatan serta peserta didik lebih banyak diberikan waktu untuk berpikir,

menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Kagan & Kagan, 2009).

Tahapan model pembelajaran TPS dapat diintegrasikan ke dalam fase

eksplorasi, penjelasan dan elaborasi pada model pembelajaran daur belajar 6 fase.

Tahap think dan pair dintegrasi pada fase eksplorasi, tahap share diintegrasi pada
7

fase penjelasan, dan tahap think-pair-share diintegrasi pada fase elaborasi.

Pengintegrasian dua model pembelajaran daur belajar 6 fase dan TPS dapat

menjadikan pola diskusi yang lebih terstruktur sehingga suasana kelas tetap

kondusif serta meminimalisir peserta didik bekerja secara kompetitif dan

individualis. Adanya interaksi antar peserta didik ini menguntungkan dalam

mencapai tujuan pembelajaran (Fernandez, dkk, 2001). Pengintegrasian model

pembelajaran TPS dalam daur belajar 6 fase diharapkan dapat mengoptimalkan

terjadinya interaksi positif, saling menghargai, dan kerja sama antar peserta didik.

Penelitian terkait penerapan daur belajar 6 fase-TPS telah dilakukan oleh

Umam (2010) pada materi zat aditif pada psikotropika, Jatmiko (2014) pada

materi asam basa dan Putri (2014) pada materi reaksi redoks. Ketiga penelitian

tersebut (Umam, 2010, Jatmiko, 2014 & Putri, 2014) menyatakan bahwa nilai

rata-rata peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran daur belajar

6 fase-TPS lebih tinggi daripada peserta didik yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran daur belajar 6 fase. Ada penelitian lain yang dilakukan oleh

Suindarti (2015) pada materi bentuk dan kepolaran molekul menggunakan daur

belajar 6 fase-TPS dan daur belajar 6 fase-STAD. Suindarti (2015) menemukan

bahwa hasil belajar peserta didik yang dibelajarkan menggunakan daur belajar 6

fase-TPS lebih baik dari daur belajar 6 fase-STAD.

Penelitian mengenai penerapan daur belajar-TPS juga dilakukan oleh

Auliawati (2015) pada materi kesetimbangan dan Pertiwi (2016) pada materi

larutan elektrolit-nonelektrolit dan reaksi redoks. Auliawati (2015) dan Pertiwi

(2016) mengatakan bahwa hasil belajar peserta didik yang dibelajarkan dengan

model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS lebih baik dari daur belajar 6 fase.
8

Penerapan model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS dinilai efektif dalam

mengingkatkan hasil belajar peserta didik pada materi kimia yang bersifat

kontekstual, abstrak dan prosedural serta algoritmik.

Penerapan model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS selain dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik ternyata juga dapat meningkatkan

kualitas proses pembelajaran. Penelitian yang dilakukan Dasna & Fajaroh (2003),

Odom & Kelly (2000) model pembelajaran daur belajar dapat meningkatkan

kualitas proses dan hasil belajar, karena peserta didik terlibat langsung dalam

melakukan kegiatan pembelajaran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suryati

(2011) mengenai pengaruh model pembelajaran daur belajar dipadu dengan

diagram alir terhadap kualitas proses, hasil belajar dan kemampuan metakognitif

kimia peserta didik mengatakan bahwa secara deskriptif kualitas proses

pembelajaran materi laju reaksi pada peserta didik yang belajar dengan daur

belajar dan peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran daur belajar

dipadu diagram alir sama-sama berlangsung baik tetapi kualitas proses

pembelajaran yang secara umum untuk kelas yang diajarkan menggunakan model

pembelajaran daur belajar 6 fase dipadu dengan diagram alir lebih tinggi dari

kelas yang diajarkan menggunakan model pembelajran daur belajar 6 fase tanpa

diagram alir.

Paduan antara model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS memberikan

hasil yang baik pada materi kesetimbangan (Auliawati, 2015), larutan elektrolit-

nonelektrolit dan redoks (Pratiwi, 2015), dan bentuk dan kepolaran molekul

(Suindarti, 2015), akan tetapi belum diketahui apakah model pembelajaran daur

belajar 6 fase-TPS juga baik pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.
9

Sehingga penting dilakukannya penelitian tentang “Pengaruh Model

Pembelajaran Daur Belajar 6 Fase-Think Pair Share terhadap Kualitas Proses

Belajar dan Hasil Belajar Kognitif Dilihat dari Kemampuan Awal Peserta didik

Pada Materi Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Bagaimanakah kualitas proses belajar menggunakan model pembelajaran daur

belajar 6 fase-Think Pair Share dengan model pembelajaran daur belajar 6

fase pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan?

2. Apakah ada perbedaan hasil belajar kognitif peserta didik yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran daur belajar 6 fase- Think Pair Share

dengan model pembelajaran daur belajar 6 fase pada materi kelarutan dan

hasil kali kelarutan?

3. Adakah perbedaan hasil belajar kognitif antar peserta didik yang memiliki

kemampuan awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal

rendah yang dibelajarkan dengan model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS

dan model pembelajaran daur belajar 6 fase?

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


10

1. H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS,

dengan peserta didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

daur belajar 6 fase pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan

(Ksp).

2. H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan

awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS dan model

pembelajaran daur belajar 6 fase.

3. H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model

pembelajaran terhadap hasil belajar peserta didik pada materi kelarutan dan

hasil kelarutan.

D. Manfaat Penelitian

Pemilihan model pembelajaran dalam mengajarkan materi tertentu pada

mata pelajaran kimia bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara

sembarangan, melainkan harus didasarkan kriteria dan karakteristik tertentu.

Dengan demikian penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi :

1. Guru, dapat menggunakan strategi pembelajaran daur belajar 6 fase-Think

Pair Share dalam mengajarkan materi yang serupa agar dapat meningkatkan

kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar kognitif peserta didik.

2. Peserta didik, dapat mengemukakan pendapat dan meningkatkan hasil

belajarnya.
11

3. Peneliti lain, dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih

lanjut menggunakan strategi pembelajaran daur belajar 6 fase-Think Pair

Share.

E. Asumsi Penelitian

Agar penelitian sesuai dengan tujuan penelian yang telah ditentukan, maka

penelitian didasarkan pada asumsi sebagai berikut.

1. Selama penelitian berlangsung tidak terjadi interaksi antar peserta didik yang

diajarkan menggunakan model pembelajaran daur belajar 6 fase-Think Pair

Share dengan peserta didik yang diajarkan menggunakan model pembelajaran

daur belajar 6 fase.

2. Hasil post tes benar-benar menunjukan hasil belajar kognitif peserta didik.

F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan pada peserta didik kelas XI MIPA SMAN 8 Malang

pada semester ganjil tahun ajaran 2016/2017.

2. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI MIPA SMAN 8 Malang

yang terdiri dari dua kelas.

3. Kelas eksperimen akan diajarkan menggunakan model pembelajaran daur

belajar 6 fase-TPS dan kelas kontrol akan diajarkan menggunakan model

pembelajaran daur belajar 6 fase.

4. Pokok bahasan yang diteliti hanya mencakup materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan.

G. Definisi Operasional
12

1. Model pembelajaran daur belajar 6 fase adalah model pembelajaran yang

berorientasi pada teori konstruktivistik sebagaimana yang dikembangkan oleh

Johnston. Langkah-langkah pembelajarannya meliputi beberapa fase yaitu

elicit (identifikasi), engagement (undangan), exploration (eksplorasi),

explanation (penjelasan), elaboration (penerapan konsep), dan evaluation

(evaluasi).

2. Model pembelajaran think pair share (TPS) adalah pembelajaran kooperatif

dengan skenario pembelajaran yang memungkinkan peserta didik

memanfaatkan sebaik-baiknya waktu tunggu untuk mempertajam logika

berpikir dari permasalahan yang disampaikan guru. Langkah-langkah

pembelajarannya meliputi fase think, fase pair, dan fase share.

3. Pengintegrasian model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS adalah

perpaduan antara model pembelajaran daur belajar 6 fase dengan model

pembelajaran think pair share. Perpaduan dilakukan dengan mengitegrasikan

tahap pada think pair ke dalam fase exploration, fase share ke dalam fase

explaination dan fase think pair share ke dalam fase elaboration (penerapan).

4. Hasil belajar kognitif adalah hasil tes pada materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan yang diukur melalui butir soal objektif dengan tingkat C1 hingga

C5.

5. Kualitas proses adalah merupakan aktivitas peserta didik selama proses

pembelajaran yang meliputi kegiatan praktikum, mengerjakan tugas, diskusi,

mengerjakan laporan, dan tanya jawab yang diamati dengan instrumen lembar

observasi.
13

6. Kemampuan awal adalah pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh peserta

didik untuk dapat mempelajari materi Ksp. Pengetahuan yang harus dikuasai

oleh peserta didik antara lain kesetimbangan kimia, hukum Le Chatelier,

stoikiometri (konsep mol), kimia larutan dan persamaan kimia.

7. Ksp (kelarutan dan hasil kali kelarutan) adalah materi kimia yang mempelajari

kesetimbangan pada larutan jenuh dengan kompetensi dasar memprediksi

terbentuknya endapan dari suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan dan hasil

kali kelarutan.
14

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Problematika Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

Pada kurikulum 2013 materi kelarutan dan hasil kali kelarutan diajarkan di

kelas XI bidang peminatan IPA pada semester genap maupun ganjil. Kompetensi

inti dari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dapat dilihat pada lampiran 1

silabus. Dari kompetensi inti tersebut, dijabarkan menjadi beberapa kompetensi

dasar salah satunya memprediksi terbentuknya endapan dari suatu reaksi

berdasarkan prinsip kelarutan dan data hasil kali kelarutan (Ksp), dan dari beberapa

kompetensi dikembangakan lagi menjadi beberapa indikator dalam materi ini.

Adapun kompetensi dasar dan indikator dari materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Indikator Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan


Kompetensi dasar Indikator
3. Memprediksi terbentuknya endapan dari 3.1 Menjelaskan kesetimbangan dalam larutan
suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan jenuh atau larutan garam yang sukar larut
dan data hasil kali kelarutan (Ksp). 3.2 Menjelaskan pengertian hasil kali kelarutan
(Ksp)
3.3 Menghubungkan tetapan hasil kali kelarutan
dengan tingkat kelarutan atau
pengendapannya
3.4 Menuliskan ungkapan berbagai Ksp elektrolit
yang sukar larut dalam air
3.5 Menghitung kelarutan suatu elektrolit yang
sukar larut berdasarkan data harga Ksp atau
sebaliknya
3.6 Menjelaskan pengaruh penambahan ion
senama dalam larutan
3.7 Menentukan pH larutan dari harga Ksp-nya
3.8 Memperkirakan terbentuknya endapan
berdasarkan harga Ksp
4. Mengolah dan menganalisis data hasil 4.1 Melakukan percobaan kelarutan
percobaan untuk memprediksi suatu garam (NaCl dan CaCO3)
terbentuknya endapan. 4.2 Menuliskan hasil pengamatan
percobaan kelarutan garam
4.3 Mengidentifikasi hasil

14
15

Kompetensi dasar Indikator


pengamatan kelarutan garam
4.4 Menentukan larutan jenuh,
larutan tak jenuh dan larutan lewat
jenuh.
4.5 Menghitung nilai kelarutan
garam dari hasil percobaan
4.6 Mengamati tabel nilai kelarutan
beberapa garam dan basa sukar larut
4.7 Membandingkan hasil
perhitungan dengan tabel nilai kelarutan
garam dan basa

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan membahas tentang konsep larutan

jenuh dan lewat jenuh, meramalkan pengendapan, faktor-faktor yang

mempengaruhi kelarutan, dan fenomena kelarutan di kehidupan. Kelarutan

dengan lambang s dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum suatu zat

elektrolit maupun non elektrolit yang dapat larut dalam pelarut tertentu pada suhu

tertentu. Hasil kali kelarutan dilambangkan dengan Ksp (solubility product

constant) dan hanya berlaku pada larutan jenuh. Ksp didefinisikan sebagai hasil

kali konsentrasi molar dari ion-ion penyusunnya, dimana masing-masing

dipangkatkan dengan koefisien stoikiometrinya di dalam persamaan

kesetimbangan.

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan menunjang materi kimia yang

lainnya yakni materi sifat koligatif dan kimia unsur. Pada materi kimia unsur,

materi Ksp sangat menunjang pengidentifikasian unsur atau senyawa. Contohnya

mengidentifikasi ion Mg2+ dalam air dengan cara mereaksikannya dengan NaOH

dan Na2CO3. Jika terdapat endapan berwarna putih maka disimpulkan larutan

yang diuji mengandung ion Mg2+. Materi Ksp juga diperlukan dalam penentuan

dan pelunakan kesadahan air dalam proses industri. Selain itu materi Ksp menjadi

penunjang dalam materi pemisahan dengan cara pengendapan pada mata kuliah
16

analitik. Oleh karena itu materi Ksp sangat penting untuk dipelajari. Namun dalam

mempelajarinya masih ada peserta didik yang mengalami kesukaran.

Dari pemaparan materi kelarutan dan hasil kelarutan di atas serta

penelitian yang dilakukan Maharani (2013) materi ini tergolong sulit bagi peserta

didik. Hal ini disebabkan oleh karena karakteristik dari materi kelarutan dan hasil

kali kelarutan yang berisi konsep konkrit, abstrak, dan algoritmik. Konsep konkrit

dari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan yaitu pembentukan batu ginjal yang

ada dalam tubuh manusia, pembentukan stalaktid dan stalakmit pada gua kapur,

dan proses pengidentifikasian sidik jari manusia. Konsep abstrak, misalnya pada

proses pengidentifikasian sidik jari manusia meliputi pengendapan AgCl. Proses

molekul-molekul AgCl yang mengendap tidak dapat diamati secara langsung serta

penjelasannya mengenai konsep kesetimbangan yang terjadi pada larutan jenuh.

Konsep yang bersifat algoritmik pada materi ini yaitu menghitung harga kelarutan

suatu elektrolit berdasarkan data harga Ksp atau sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Krause & Tasooji (2007) mengungkapkan

bahwa peserta didik cenderung mengalami kesulitan dalam memahami larutan

belum jenuh, jenuh, dan lewat jenuh. Materi ini dianggap sulit oleh peserta didik

karena harus menguasai materi-materi prasyarat terlebih dahulu sebelum

mempelajari materi tersebut yakni materi kelarutan, kesetimbangan kimia dan

fisika, hukum Le Chatelier, kimia larutan, dan persamaan kimia (Onder & Geban,

2006). Maharani (2013) dalam penelitiannya menemukan miskonsepsi yang

terjadi pada peserta didik antara lain: (1) garam yang larut dalam air akan

terionisasi menjadi ion-ion yang jumlahnya sama, (2) nilai kelarutan dihitung dari

mol garam pada kondisi jenuh, (3) Ksp merupakan hasil kali konsentrasi ion-ion
17

pada reaksi kesetimbangan dari garam yang sukar larut pada suhu tertentu tanpa

dipangkatkan koefisien, (4) garam yang memiliki nilai Ksp lebih kecil akan lebih

sulit mengendap karena kelarutannya kecil, (5) pada sistem kesetimbangan jika

konsentrasi reaktan bertambah maka pergeseran kesetimbangan juga ke arah

reaktan, (6) pada keadaan setimbang konsentrasi ion akan tetap atau tidak berubah

walaupun ditambah ion senama, (7) ion hidroksida yang digunakan untuk

menghitung nilai Ksp larutan basa berasal dari antilog negatif pH. Konsep yang

benar adalah untuk menghitung nilai Ksp suatu larutan basa perlu diketahui

terlebih konsentrasi OH-, dan (8) penambahan sedikit garam yang sukar larut ke

dalam larutan jenuh garam tersebut akan menaikkan konsentrasi larutan jenuh

garam tersebut sehingga nilai Ksp garam tersebut berubah.

Sejalan dengan hal di atas, Onder & Geban (2006) menemukan bahwa

miskonsepsi peserta didik pada materi kesetimbangan kelarutan, yakni peserta

didik beranggapan bahwa (1) proses pelarutan akan berhenti pada saat larutan

telah mencapai kesetimbangan, (2) koefisien dalam persamaan kesetimbangan

kelarutan tidak mempunyai arti dalam menentukan kelarutan, (3) tidak ada

hubungan antara Ksp dan kelarutan, (4) suhu tidak mempengaruhi kelarutan, dan

(5) konsentrasi ion akan tetap konstan meskipun ion senama ditambahkan ke

dalam larutan pada saat kesetimbangan.

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan selain bersifat konkrit, abstrak,

dan algoritmik juga dapat direpresentasikan dalam tiga tingkat pemahaman yang

saling berkaitan yaitu tingkat pemahaman makroskopik, mikroskopik, dan

simbolik. Tingkat pemahaman makroskopik berhubungan dengan kemampuan

dalam mengidentifikasi fenomena-fenomena di kehidupan yang dapat diamati


18

dengan indera seperti proses terbentuknya endapan pada pelarutan garam dan basa

yang sukar larut. Tingkat pemahaman mikroskopik menjelaskan bagaimana

fenomena tersebut dapat terjadi. Hal ini berhubungan dengan susunan dan

pergerakan partikel pada fenomena tesebut dapat terjadi, karena itu tingkat

mikroskopik tidak dapat diamati menggunakan indera. Tingkat pemahaman yang

terakhir yaitu tingkat pemahaman simbolik merupakan kemampuan

menyampaikan hasil pengamatan dengan menggunakan simbol-simbol kimia

seperti persamaan reaksi, lambang dan rumus kimia. Ketiga representasi tersebut

digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan.

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dinggap sulit bagi peserta didik,

oleh karena itu dibutuhkan model pembelajaran yang tepat dalam penyampaian

materi tersebut. Menurut Onder & Geban (2006) dan Maharani (2013)

peyampaian materi kelarutan dan hasil kali kelarutan menggunakan model

ekspositori atau ceramah dianggap kurang memberi dampak yang baik dalam

mengurangi kesulitan belajar, karena peserta didik terkesan hanya menghafalkan

rumus-rumus atau konsep yang diberikan. Hal tersebut menjadi permasalahan

yang harus diatasi sebab konsep-konsep yang ada pada materi ini tidak dapat

dipelajari hanya dengan menghafal tanpa terlebih dahulu memahami secara

mendalam. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model pembelajaran yang

meningkatkan kemandirian peserta didik dalam menemukan konsep-konsep yang

ada. Model pembelajaran seperti ini merupakan model pembelajaran berbasis

konstruktivistik, dimana pada model pembelajaran ini peserta didik diarahkan

untuk dapat mencari makna atau suatu konsep secara mandiri dengan cara

mengkaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru (Iskandar, 2011). Salah


19

satu model pembelajaran berbasis konstruktivistik adalah model pembelajaran

daur belajar 6 fase.

B. Model Pembelajaran Daur Belajar 6 fase

Model pembelajaran daur belajar dikembangkan oleh Karplus dan Their.

Awalnya model pembelajaran daur belajar hanya terdiri dari 3 fase, dan

mengalami perkembangan menjadi 7 fase. Bybee dkk mengembangkan daur

belajar 5 fase yang terdiri dari fase undangan, fase eksplorasi, fase penjelasan,

fase penerapan, dan fase evaluasi. Johntson menambahkan satu fase pada daur

belajar lima fase yaitu fase identifikasi kompetensi dasar oleh pengajar

(guru/dosen) di awal pembelajar sehingga disebut daur belajar enam fase yang

tahapannya yaitu: (i) elicit (identifikasi) yaitu mengidentifikasi kompetensi dasar

(KD) oleh pengajar yang merupakan titik tolak dari keseluruhan pembelajaran; (ii)

engagement (undangan) yang bertujuan untuk mengakses pengetahuan yang

dimiliki peserta didik sebelum pembelajaran; (iii) exploration (eksplorasi) yang

bertujuan untuk mengecek apakah pengetahuan yang dimiliki peserta didik sudah

benar atau salah; (iv) explanation (penjelasan) dalam fase ini guru memberi

kesempatan kepada peserta didik agar menjelaskan mengapa pengetahuan yang

dimiliki pebelajar benar atau salah; (v) elaboration (penerapan konsep) guru

memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan pemahaman baru

pada konteks yang berbeda; dan (vi) evaluation (evaluasi) (Iskandar, 2004)

bertujuan untuk melihat apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum

dengan cara membandingkannya dengan KD.


20

Model pembelajaran daur belajar sesuai dengan teori konstruktivisme yang

dikemukakan oleh Piaget. Tahap eksplorasi pada model pembelajaran daur belajar

merupakan tahap asimilasi pada teori Piaget, dimana pada tahap ini peserta didik

dapat memperkaya pengetahuan yang sudah dimilikinya. Tahap penemuan konsep

merupakan tahap akomodasi, dimana pada tahap ini peserta didik menemukan

konsep-konsep baru, sedangkan tahap penerapan merupakan tahap organisasi

pada teori Piaget (Iskandar, 2011).

Berdasarkan tahap-tahap dalam model pembelajaran daur belajar 6 fase di

atas, model pembelajaran ini memiliki keunggulan antara lain: (1) membuat

peserta didik aktif sebab peserta didik diajak berpikir untuk memperoleh

pengetahuan baru, (2) peserta didik tertarik pada materi pelajaran sebab terjadi

komunikasi timbal balik antara guru dan peserta didik, (3) hasil evaluasi kognitif

lebih baik, karena dengan membangun pengetahuannya sendiri membuat peserta

didik belajar lebih bermakna. Adapun kelemahan dari model pembelajaran daur

belajar adalah: (1) waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena peserta didik diajak

untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannya sendiri, (2) dalam pendekatan ini

peserta didik diberi kebebasan yang cukup luas mengemukakan pengetahuan yang

dimiliki, membuktikan hipotesis sehingga kreatifitas peserta didik sangat tampak,

maka diperlukan persiapan bagi guru secara matang agar peran guru sebagai

motivator dan fasilitator dapat berjalan dengan baik, (3) guru menyediakan waktu

yang lebih banyak untuk menyusun perangkat dan instrumen yang dibutuhkan

oleh peserta didik (Kartini & Budiasih).


21

C. Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS)

Model pembelajaran Think Pair Share merupakan model pembelajaran

kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman (Lie, 2010). Menurut Shoimin

(2014) Think Pair Share adalah model pembelajaran yang memberi peserta didik

waktu untuk berpikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain. Model

pembelajaran ini memberikan peserta didik kesempatan untuk bekerja sendiri

serta bekerja sama dengan orang lain sehingga diharapkan peserta didik menjadi

lebih aktif dalam proses pembelajaran di kelas (Lie, 2010).

Kegiatan pembelajaran dengan model Think Pair Share dapat

mengembangkan pemikiran peserta didik secara individu karena adanya waktu

berfikir, sehingga kualitas jawaban juga dapat meningkat. Selain itu, kegiatan

pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan karena banyak peserta

didik yang antusias saat proses belajar mengajar berlangsung (Aisiyah, 2010). Di

sisi lain model pembelajaran ini melatih peserta didik untuk berani berpendapat

dan menghargai pendapat teman.

Model pembelajaran Think Pair Share mempunyai prosedur yang secara

eksplisit memberi waktu kepada peserta didik untuk berfikir, menjawab dan saling

membantu satu sama lain. Dengan demikian, diharapkan peserta didik mampu

bekerja sama, saling menumbuhkan, dan saling tergantung positif antar anggota

(Shoimin, 2014). Hal ini sesuai dengan lima unsur model pembelajaran kooperatif

yakni saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka,

komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok (Lie, 2010).


22

Model pembelajaran Think Pair Share memiliki tiga tahap utama. Pertama,

tahap think (berfikir) guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan

dengan pelajaran kemudian peserta didik diminta untuk memikirkan pertanyaan

atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Kedua, tahap pair

(berpasangan) guru meminta peserta didik berpasangan dengan peserta didik lain

untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi

pada tahap ini diharapkan peserta didik dapat berbagi jawaban jika telah diajukan

suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu masalah khusus telah diidentifikasi.

Ketiga, tahap share (berbagi pendapat berpasangan) pada tahap akhir, guru

menunjuk pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas, tentang apa yang telah

mereka diskusikan. Kegiatan ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran

pasangan sampai sekitar seperempat dari total pasangan telah mendapat

kesempatan untuk presentasi (Shoimin, 2014; Lie, 2010).

Pada penelitian ini model pembelajaran TPS akan dipadukan dengan

model pembelajaran daur belajar 6 fase. Tahapan model pembelajaran TPS akan

diintegrasikan ke dalam fase exploration (eksplorasi), explanation (penjelasan),

dan elaboration (penerapan konsep). Tahapan model pembelajaran diharapkan

dapat menjadi scaffolding bagi peserta didik yang mengalami kesulitan pada fase

eksplorasi, penjelasan, dan penerapan konsep. Pemilihan model pembelajaran

TPS dikarenakan memiliki beberapa kelebihan yakni 1) relatif lebih sederhana

karena tidak menyita waktu untuk mengatur tempat duduk peserta didik; 2)

menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respon peserta didik; 3)

peserta didik menjadi lebih aktif dalam berpikir; 4) peserta didik dapat belajar dari

peserta didik lain; dan 5) peserta didik dapat berbagi atau menyampaikan idenya.
23

D. Model Pembelajaran Daur Belajar 6 Fase-TPS

Kelemahan dalam model pembelajaran daur belajar 6 fase seperti yang

telah tercantum pada latar belakang dan kajian teori yakni peserta didik

mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri (individu)

yang diberikan oleh guru terutama bagi peserta didik yang memiliki keterampilan

berpikir ilmiah yang rendah pada tahap exploration, explaination dan elaboration.

Apabila peserta didik tidak dapat mengatasi permasalahan tersebut, maka mereka

membutuhkan bantuan (scaffolding) dari teman sebaya atau orang lain yang lebih

mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bantuan atau scaffolding yang

dapat diberikan kepada peserta didik yaitu dengan menerapkan pembelajaran

kooperatif think pair share.

Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada peserta didik

dengan kemampuan heterogen untuk bekerja bersama teman-teman sebayanya

dalam mengkonstruksikan konsep dan berbagi pemahaman dalam kelompok kecil,

sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir ilmiah tinggi dapat

berbagi pengetahuan dengan peserta didik yang kemampuan berpikir ilmiahnya

rendah dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru (Arends, 2007).

Pembelajaran Think Pair Share terintegrasi sebagai scaffolding pada model

pembelajaran daur belajar 6 fase pada tahap elaboration (penerapan). Berikut

merupakan perbandingan tahapan model pembelajaran daur belajar 6 fase dan

daur belajar 6 fase- think pair share.


24

Tabel 2.2 Perbandingan Model Pembelajaran Daur Belajar 6 Fase dan Daur Belajar 6 Fase-
Think Pair Share
Daur Belajar 6 Fase Daur Belajar 6 Fase-Think Pair Share
Fase 1: Identifikasi Fase 1: Identifikasi
Guru menginformasikan materi pembelajaran Guru menginformasikan materi pembelajaran
kepada peserta didik yaitu tentang kelarutan kepada peserta didik yaitu tentang kelarutan
dan hasil kali kelarutan dan hasil kali kelarutan
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai. akan dicapai.
Fase 2: Engagement Fase 2: Engagement
Guru menggali pengetahuan awal peserta didik Guru menggali pengetahuan awal peserta didik
dengan memberikan pertanyaan seputar materi dengan memberikan pertanyaan seputar materi
yang akan dipelajari. yang akan dipelajari.
Fase 3: Exploration Fase 3: Exploration-Think Pair
Peserta didik melakukan percobaan, Guru memberikan masalah lalu meminta
mengumpulkan data, menganalisis data hasil peserta didik untuk menyelesaikan secara
percobaan dan membuat kesimpulan berpasangan. Pembelajaran Think Pair
berdasarkan percobaan yang telah dilakukan. terintegrasi pada fase exploration.
Selain itu peserta didik dapat melakukan kajian Think: guru memberikan waktu kepada peserta
pustaka dari berbagai sumber. didik melakukan percobaan, mengumpulkan
data, menganalisis data hasil percobaan dan
membuat kesimpulan berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan. Selain itu peserta didik
dapat melakukan kajian pustaka dari berbagai
sumber.
Pair: guru meminta peserta didik untuk
mendiskusikan segala sesuatu yang telah
mereka pikirkan secara berpasangan.
Fase 4: Explanation Fase 4: Explanation- Share
Peserta didik menjelaskan hasil ekplorasinya Share: Guru meminta pasangan-pasangan
sehingga dihasilkan pengetahun yang baru. peserta didik menjelaskan hasil ekplorasinya
sehingga dihasilkan pengetahun yang baru.
Fase 5: Elaboration-Think Pair Share Fase 5 : Elaboration-Think Pair Share
Guru memberikan masalah baru dan meminta Guru memberikan masalah baru dan meminta
peserta didik menyelesaikannya secara mandiri peserta didik menyelesaikannya secara
(individu), kemudian melakukan diskusi kelas. berpasangan (2 orang)
Pembelajaran Think Pair Share terintegrasi
pada fase Elaboration sebagai scaffolding.
Think: Guru memberikan waktu kepada peserta
didik untuk berpikir.
Pair: Guru meminta peserta didik berpasangan,
dan mendiskusikan segala yang sudah mereka
pikirkan. Interaksi selama periode ini dapat
bertukar ide atau berupa transfer pengetahuan
yang telah peserta didik dapatkan pada tahap
sebelumnya secara individu.
Share: guru meminta pasangan-pasangan
peserta didik untuk berbagi sesuatu yang telah
didiskusikan bersama pasangannya masing-
masing dengan seluruh kelas.
Fase 6: Evaluation Fase 6: Evaluation
Peserta didik mengerjakan soal post test. Peserta didik mengerjakan soal post test.
25

E. Kualitas Proses Pembelajaran

Selama ini proses pembelajaran banyak diarahkan kepada proses

menghafal informasi yang disajikan guru, sehingga ukuran keberhasilan suatu

proses pembelajaran adalah sejauh mana peserta didik dapat menguasai materi

pelajaran (Suyanti, 2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan kualitas

proses belajar mengajar. Tujuan dari perbaikan kualitas proses ini adalah untuk

membantu peserta didik agar dapat belajar secara mandiri dan kreatif sehingga

peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Berdasarkan hal tersebut, penilaian proses belajar tidak hanya dinilai

berdasarkan aspek kognitif, namun juga pada aspek afektif dan psikomotorik.

Menurut Sulistina (2009) kualitas proses pembelajaran merupakan kondisi dari

keterlaksanaan aspek-aspek yang berlangsung dalam suatu proses belajar

mengajar di kelas. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1) keaktifan peserta didik

selama kegiatan pembelajaran dan 2) bagaimana keterampilan guru dalam

mengajar. Kualitas proses pembelajaran dapat diukur dari lembar observasi

keterlaksanaan pembelajaran, dokumentasi, lembar aktifitas peserta didik, hasil

diskusi Lembar Kerja Peserta didik, RTOP (Reformed Teaching Observation

Protocol), penilaian aspek afektif, dan penilaian psikomotorik pada saat

pembelajaran di kelas berlangsung (Suryati, 2011; Solihin, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kulitas proses pembelajaran daur

belajar 6 fase-TPS dan daur belajar 6 fase. Pengukuran kualitas proses

pembelajaran dilakukan pada tiga aspek yakni aspek afektif, dan psikomotor.
26

Kualitas proses pembelajaran akan diukur menggunakan RTOP, lembar observasi

keterlaksanaan pembelajaran, dan lembar penilaian afektif peserta didik.

F. Kemampuan Awal

G. Hasil Belajar Kognitif Peserta didik

Belajar adalah suatu proses yang dialami manusia sepanjang hidupnya.

Definisi belajar banyak dikemukakan oleh ahli di antaranya menurut Suyono dan

Hariyanto (2014) belajar adalah salah satu aktifitas atau suatu proses untuk

memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku,

sikap, dan mengokohkan kepribadian. Hitipeuw (2009) belajar adalah proses

perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.

Sedangkan Degeng (2013) belajar adalah pengaitan pengetahuan baru pada

struktur kognitif yang sudah dimiliki peserta didik. Berdasarkan pengertian-

pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses

perubahan pengetahuan atau pengalaman. Perubahan tersebut dapat berupa

perubahan perilaku, sikap, pola berpikir, dan mental.

Hasil dari sebuah proses belajar adalah kemampuan yang dimiliki

seseorang dan berkaitan dengan domain pengetahuan (Algarabel dan Dasi, 2001).

Hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik setelah

mengalami pengalaman belajar tertentu (Mahardika, 2010). Hasil belajar peserta

didik berkaitan dengan perubahan tingkah laku yang mencakup aspek kognitif,

afektif, dan psikomotorik (Sudjana, 2005).

Pada penelitian ini aspek hasil belajar yang akan diukur adalah hasil

belajar kognitif. Hasil belajar kognitif merupakan hasil belajar yang berkenaan

dengan kemampuan intelektual (Mahardika, 2010). Hasil belajar kognitif peserta


27

didik dapat diukur melalui tes hasil belajar. Tes hasil belajar tersebut dapat

digunakan untuk keberhasilan yang dicapai oleh peserta didik dan guru dalam

proses pembelajaran. Bagi peserta didik, untuk mengukur tingkat pemahamannya

terhadap materi yang telah diajarkan. Sedangkan bagi guru, untuk mengevaluasi

proses pembelajaran yang telah dilakukan di kelas sehingga dapat meningkatkan

proses pembelajaran yang lebih baik lagi (Arikunto, 2013).

Aspek kognitif diklasifikasikan menjadi enam bagian berdasarkan

Taksonomi Bloom. Setiap klasifikasi diurut secara hirarkis dari yang paling

sederhana sampai yang paling kompleks. Keenam klasifikasi aspek kognitif

Bloom yakni: 1) pengetahuan (C1), klasifikasi ini menekankan pada mengingat;

2) pemahaman (C2), klasifikasi ini menekankan pada pengubahan informasi

kebentuk yang lebih mudah dipahami; 3) penerapan (C3), klasifikasi ini

menekankan pada pemecahan suatu masalah; 4) analsis (C4), memilah informasi

ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih besar, kaitannya dengan bagian yang

lebih besar, serta organisasi keseluruhan bagian; 5) sintesis (C5), penyatuan

bagian-bagian untuk membentuk suatu kesatuan yang unik; 6) penilaian (C6),

pertimbangan-pertimbangan tentang nilai dari suatu tujuan tertentu (Mahardika,

2010; Degeng, 2013).

Pada akhir dari peneltian ini akan dilakukan tes tertulis untuk mengetahui

hasil belajar kognitif peserta didik. Hasil tes ini juga digunakan untuk mengetahui

model pembelajaran mana yang lebih baik diterapkan, apakah model

pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS yang lebih baik ataukah model

pembelajaran daur belajar 6 fase. Karena seperti yang telah disinggung di atas,
28

hasil tes dapat digunakan untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang telah

dilangsungkan.

H. Kerangka Teori

Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang

mempelajari sifat dan perubahan zat, hukum, dan prinsip yang berkaitan dengan

perubahan zat serta teori yang menafsirkan perubahan tersebut (Slaubaugh &

Parsons, 1976). Ilmu kimia juga bersifat konkret, abstrak, dan prosedural (Kean &

Middlecamp, 1985). Salah satu materi pada ilmu kimia yang bersifat konkret,

abstrak dan algoritmik adalah materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Materi

kelarutan dan hasil kali kelarutan selain bersifat konkrit, abstrak, dan algoritmik

juga dapat direpresentasikan dalam tiga tingkat pemahaman yang saling berkaitan

yaitu tingkat pemahaman makroskopik, mikroskopik, dan simbolik. Ketiga

representasi tersebut digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep kelarutan dan

hasil kali kelarutan.

Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan materi yang sulit bagi

peserta didik karena sebelum mempelajarinya peserta didik harus terlebih dahulu

menguasai beberapa konsep seperti materi kelarutan, kesetimbangan kimia,

hukum Le Chatelier, kimia larutan dan persamaan kimia. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa masih ada peserta didik yang mengalami miskonsepsi pada

materi ini. Onder & Geban (2006) menemukan bahwa miskonsepsi peserta didik

pada materi kesetimbangan kelarutan, yakni peserta didik beranggapan bahwa (1)

proses pelarutan akan berhenti pada saat larutan telah mencapai kesetimbangan,
29

(2) koefisien dalam persamaan kesetimbangan kelarutan tidak mempunyai arti

dalam menentukan kelarutan, (3) tidak ada hubungan antara Ksp dan kelarutan, (4)

suhu tidak mempengaruhi kelarutan, dan (5) konsentrasi ion akan tetap konstan

meskipun ion senama ditambahkan ke dalam larutan pada saat kesetimbangan.

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab peserta didik kesulitan

mempelajari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan adalah model pembelajaran

(Slavin, 2009; Dahar, 2006; Maharani, dkk, 2013). Model pembelajaran yang

dipakai di SMAN 9 Malang yaitu model pembelajaran eksporitori atau ceramah.

Menurut Onder & Geban (2006) dan Maharani (2013) peyampaian materi

kelarutan dan hasil kali kelarutan menggunakan model ekspositori diaanggap

kurang memberi dampak yang baik dalam mengurangi kesulitan belajar, peserta

didik terkesan hanya menghafalkan rumus-rumus atau konsep yang diberikan.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu model pembelajaran yang meningkatkan

kemandirian peserta didik dalam menemukan konsep-konsep yang ada. Model

pembelajaran seperti ini merupakan model pembelajaran berbasis konstruktivistik,

dimana pada model pembelajaran ini peserta didik diarahkan untuk dapat mencari

makna atau suatu konsep secara mandiri dengan cara mengkaitkan pengetahuan

lama dengan pengetahuan baru (Iskandar, 2011). Salah satu model pembelajaran

berbasis konstruktivistik adalah model pembelajaran daur belajar 6 fase.

Sintaks model pembelajaran daur belajar-6 fase terdiri dari 6 fase atau

tahapan yaitu identifikasi, engagement (undangan), exploration (eksplorasi),

explanation (penjelasan), elaboration (penerapan konsep), dan evaluation

(evaluasi) (Iskandar, 2011). Kelebihan daur belajar 6 fase di antaranya:

mendorong peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, mendorong


30

peserta didik mengkonstruk pengetahuan yang sudah dimiliki sehingga terbentuk

pengetahuan baru, serta meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap

pembelajaran khususnya pembelajaran kimia (Supasorn & Promarak, 2015).

Disamping memiliki kelebihan, model pembelajaran daur belajar 6 fase juga

memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan yaitu pada fase elaborasi,

ada kemungkinan peserta didik akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi. Mengingat kelemahan tersebut diperlukan upaya untuk

mengkombinasikan model pembelajaran lain yang sinergi dengan model

pembelajaran daur belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat bersinergi

dengan model pembelajaran daur belajar yaitu model pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif merupakan cara belajar menggunakan kelompok-

kelompok kecil sehingga peserta didik bekerja dan belajar bersama untuk

mencapai tujuan bersama (Johnson & Johnson, 1991).

Salah satu model pembelajaran kooperatif yang menekankan interaksi

sosial yaitu Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran TPS memiliki ciri khas

pada tiga langkah pembelajarannya seperti dikemukakan oleh Shoimin (2014) dan

Lie (2010) meliputi tahap think atau berpikir secara individual, tahap pair atau

berpasangan, dan tahap share atau berbagi dengan pasangan lain atau seluruh

kelas. Model pembelajaran TPS juga memiliki beberapa keunggulan yaitu mudah

diterapkan pada berbagai tingkat kemampuan berpikir dan setiap kesempatan serta

peserta didik lebih banyak diberikan waktu untuk berpikir, menjawab, dan saling

membantu satu sama lain (Kagan & Kagan, 2009).

Tahapan model pembelajaran TPS dapat diintegrasikan ke dalam fase

exploration, explaination dan elaboration pada model pembelajaran daur belajar 6


31

fase. Dengan mengintegrasikan model pembelajaran TPS ke dalam fase

exploration, explaination dan elaboration pada model pembelajaran daur belajar 6

fase diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan akhirnya

dapat meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik. Adapun skema berpikir

dalam penelitian ini.

Problematika Materi Kelarutan dan


Hasil Kali Kelarutan
Bersifat konkret, abstrak dan
algoritmik
Harus menguasai beberapa materi
Daur belajar 6 Fase-think pair
terlebih dahulu
share
Model pembelajaran yang kurang
Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5 Fase 6
efektif
Identifi Engage Explora Explain Elabora Evaluat
kasi ment FastionFas ation
Fas Fas tion
Fas Fas ion
TPK e e e e e e
Thi Pai Sha Thi Pai Sha
nk Kualitas
r re
Proses nk r re
Pembelajaran meningkat
Hasil Belajar Kognitif
meningkat
Gambar 2.1 Skema kerangka berpikir model pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS
32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh

model pembelajaran daur belajar 6 fase-think pair share terhadap kualitas proses

belajar dan hasil belajar kognitif peserta didik pada materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan

eksperimental semu (Quasy Experimenial Design) dengan Postest Only Controled

Group Design. Rancangan penelitian eksperimental semu ini digunakan untuk

mengetahui kualitas proses belajar dan hasil belajar kognitif peserta didik yang

diajarkan menggunakan model pembelajaran daur belajar 6 fase-Think Pair

Share pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan berdasarkan kemampuan

awal peserta didik. Kemampuan awal peserta didik dibedakan menjadi

kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah, Sedangkan rancangan

penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kualitas proses

pembelajaran. Adapun rancangan penelitian berdasarkan variabel moderator

tersebut menggunakan desain faktorial 2x2, yang terlihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Faktorial 2x2


Kemampuan Awal Peserta didik Model Pembelajaran
Daur Belajar 6 Fase-TPS Daur Belajar 6 Fase
(X1) (X2)
Tinggi (Y1) X1Y1 X2Y1
Rendah (Y2) X1Y2 X2Y2
Keterangan :
X1Y1 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS.
33

X1Y2 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS.
X2Y1 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase
X2Y2 : Hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah dengan model
pembelajaran daur belajar 6 fase

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8 Malang. Penelitian

dilakukan pada bulan Oktober-November 2016. Penelitian ini dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan untuk penyampaian materi kelarutan dan hasil kali kelarutan

dan satu kali pertemuan post test.

C. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini populasi adalah seluruh peserta didik kelas XI-MIPA

SMA Negeri 8 Malang pada tahun ajaran 2016/2017. Sampel dari penelitian ini

adalah kelas XI MIPA 6 sebagai kelas eksperimen dan XI MIPA 4 sebagai kelas

kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu cluster random

sampling. Jumlah peserta didik untuk masing-masing kelas adalah 32 peserta

didik. Berdasarkan data hasil ulangan harian topik stoikiometri, laju reaksi, dan

kesetimbangan reaksi, kedua kelas yang digunakan sebagai sampel penelitian

dikatakan memiliki kemampuan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3…..

Tabel 3. Deskripsi data kemampuan awal

Kelas N Mean Minimum Maksimum Standar


Deviasi

Eksperimen 35

Kontrol 35
34

Nilai kemampuan awal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Nilai

kemampuan awal peserta didik juga diuji menggunakan uji t, hal ini dilakukan

untuk memastikan kedua kelas yang digunakan memiliki kemampuan awal yang

setara. Sebelum dilakukan uji t, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji

homogenitas terhadap kemampuan awal peserta didik. Hasil analisis uji

normalitas dan homogenitas secara berturut-turut diperoleh signifikansi

sebesar…… dan …… Kedua nilai ini menunjukan bahwa signifikansi lebih besar

dari 0,005 sehingga data kemampuan awal peserta didik dinyatakan terdistribusi

nirmal dan mempunyai varian yang homogen. Hasil uji t menunjukan nilai

signifikansi sebesar….. > 0,05 sehingga kedua kelompok dinyatakan tidak

terdapat perbedaan. Data hasil pengujian normalitas, homogenitas, dan uji t

kemampuan awal peserta didik selengkapnya dapat dilihat pada lampiran…..

D. Variabel Penelitian

Berdasarkan rancangan penelitian di atas variabel yang terlibat dalam

penelitian ini adalah (1) variabel bebas yakni model pembelajaran yang terdiri

dari daur belajar 6 fase dan daur belajar 6 fase-Think Pair Share, (2) variabel

terikat yakni kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar kognitif, dan (3)

variabel kontrol yakni materi pembelajaran, jumlah pertemuan, alokasi waktu tiap

pertemuan, dan karakteristik guru serta (4) variabel maderator yakni kemampuan

awal peserta didik.

E. Instrumen Penelitian
35

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen perlakuan

dan instrumen pengukuran.

1. Instrumen Perlakuan

Instrumen perlakuan adalah instrumen yang digunakan dalam proses

pembelajaran di kelas dan tidak diukur secara statistik. Instrumen perlakuan yang

digunakan dalam penelitian ini berupa Silabus, Rancangan Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), dan Lembar Kerja Peserta didik (LKS). Sebelum digunakan

sebagai instrumen penelitian, semua instrumen tersebut akan divalidasi oleh

validator.

2. Instrumen Pengukuran

a. Instrumen untuk Mengukur Kualitas Proses Pembelajaran

Instrumen ini digunakan untuk mengukur proses belajar peserta didik dan

mengetahui kualitas proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Instrumen ini

terdiri dari RTOP (Reformed Teaching Observation Protocol), lembar observasi

keterlaksanaan pembelajaran, dan lembar penilaian afektif peserta didik.

Instrumen tersebut digunakan untuk memonitor dan mendeskripsikan jalannya

proses pembelajaran yang mencakup (1) apakah langkah-langkah pembelajaran

yang digunakan oleh guru telah sesuai dengan langkah-langkah pada model daur

belajar 6 fase-TPS maupun model pembelajaran daur belajar 6 fase dan (2)

bagaimana kegiatan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. RTOP

dan lembar penilaian afektif sisiwa sebelum digunakan akan divalidasi oleh

validator.

b. Instrumen untuk Mengukur Hasil Belajar Kognitif


36

Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif peserta

didik yaitu soal tes materi kelarutan dan hasil kelarutan. Tes diberikan diakhir

materi berupa soal pilihan ganda sebanyak 25 butir soal dengan lima alternatif

jawaban. Sebelum tes diberikan kepada sampel, tes akan divalidasi, direvisi, dan

diujikan serta dipilih berdasarkan uji validitas, uji tingkat kesukaran, daya beda,

dan realibilitas soal tes.

3. Uji Coba Instrumen

a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kesahihan

instrumen (Arikunto, 2013). Uji Validitas yang digunakan ada dua macam, yaitu

validitas isi oleh ahli dan validitas butir soal yang diperoleh dari hasil uji coba

butir soal.

1) Validitas Isi

Validitas isi diperlukan untuk menentukan presentasi instrumen yang

sudah teruji kevalidan isinya. Penentuan nilai validitas isi dilakukan oleh 2

validator ahli. Nilai yang diberikan oleh validator dihitung kevalidannya

menggunakan rumus persentase validitas isi yakni sebagai berikut:

Jumlah skor penilai


% validitas isi instrumen= x 100 %
Jumlah skor maksimum

Tabel 3.2 Kriteria hasil validasi instrumen


%Validitas Isi Kategori
0 - 20% sangat rendah (Arikunto, 2013)
21% - 40% rendah
41% - 60% cukup
61% - 80% tinggi 2) Validitas Butir Soal
81% - 100% sangat tinggi
Setelah instrumen untuk

mengukur hasil belajar kognitif divalidasi isi dan direvisi, instrumen ini akan
37

divalidasi butir soal. Validitas butir soal dilakukan dengan cara instrumen

diujicobakan pada peserta didik selain kelas kontrol dan kelas eksperimen. Dalam

menentukan validitas butir soal digunakan korelasi product moment Pearson pada

program SPSS 23 for windows. Dalam pengujian ini butir soal dikatakan valid

apabila rxy > rtabel dengan rtabel diperoleh dari nilai koefisien “r” product moment

dengan derajat kebebasan (dk) = N – 2 dan taraf nyata ( α ) = 0,05.

b. Reliabilitas Tes

Uji reliabilitas soal diperlukan untuk mengukur tingkat kepercayaan soal.

Uji reliabilitas soal bentuk pilihan ganda dapat dilakukan dengan menggunakan

persamaan KR-20 (Arikunto, 2013).

n s 2 − ∑ pq
r 11 = ( n−1 )( s
2 )
2
2 (∑ x )
∑x −
N
S2 =
N
Keterangan:
r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 – p)
pq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
n = banyak item soal
S2 = varians
N = banyaknya peserta didik pengikut tes

Tabel 3.3 Kriteria reliabilitas instrumen secara keseluruhan


Skor Keseluruhan Kategori
0,00 – 0,20 tidak reliabel
0,20 – 0,40 kurang reliabel
0,40 – 0,60 cukup reliabel
0,60 – 0,80 reliabel
0,80 – 1,00 sangat reliabel
(Arikunto, 2013)

c. Tingkat Kesukaran
38

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar atau tidak terlalu

mudah. Bilangan untuk menunjukan sukar dan mudahnya suatu soal disebut

tingkat kesukaran. Tingkat kesukaran (P) dihitung dengan rumus:

B
P¿
JS
Keterangan:
P = tingkat kesukaran
B = Banyaknya peserta didik yang menjawab benar
JS = Jumlah peserta didik yang mengikuti tes

Tabel 3.4 Kriteria tingkat kesukaran


Nilai P Kategori
0 – 0,30 Sukar
0,31 – 0,70 Sedang
0,71 – 1,00 Mudah
(Arikunto, 2013)

d. Daya Beda

Daya beda soal merupakan kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara peserta didik yang berkemampuan tinggi dengan peserta didik yang

berkemampuan rendah. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya beda butir

soal (D) adalah:

BA BB
D= D= −
JA JB
Keterangan:
D = daya beda butir soal
JA = jumlah seluruh peserta didik kelompok atas
JB = jumlah seluruh peserta didik kelompok bawah
BA = jumlah seluruh peserta didik kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = jumlah seluruh peserta didik kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar

Tabel 3.5 Kriteria daya beda butir soal


Nilai D Kategori
< 0,00 sangat jelek
39

0,00 – 0,20 jelek


0,21 – 0,40 cukup
0,41 – 0,70 baik
0,71 – 1,00 baik sekali
(Arikunto, 2013)

F. Tahap Penelitian

Tahapan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan

tahap pengumpulan data yakni sebagai berikut.

1. Tahap persiapan

a. Analisis standar isi dan kompetensi dasar materi kelarutan dan hasil kali

kelarutan.

b. Menyiapkan instrumen penelitian

c. Validasi dan revisi instrumen

d. Melakukan uji coba instrumen

e. Mengurus perijinan dan mengatur jadwal pelaksanaan penelitian

2. Tahap pelaksanaan

a. Mengumpulkan informasi dan menentukan pembagian peserta didik

menjadi dua kelompok, yaitu kelompok peserta didik berkemampuan awal

tinggi dan kelompok peserta didik berkemampuan awal rendah pada

masing-masing kelas sebelum diberikan perlakuan.

b. Memperkenalkan dan membimbing peserta didik dalam model

pembelajaran daur belajar 6 fase-TPS untuk kelas eksperimen dan daur

belajar 6 fase untuk kelas kontrol


40

c. Mengamati kegiatan peserta didik oleh pengamat dengan lembar observasi

untuk kedua kelas yang digunakan dalam penelitian

d. Melaksanakan post test untuk mengetahui hasil pembelajaran yang telah

dilakukan

e. Mengumpulkan data yang diperoleh

f. Menganalisis data dan penulisan laporan

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis

deskriptif dan inferensial.

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kualitas proses belajar

kelas eksperimen dan kelas kontrol yang diukur menggunakan lembar

keterlaksanaan proses pembelajaran, RTOP, dan penilaian afektif. Penilaian

keterlaksanaan pembelajaran dihitung menggunakan teknik persentase dengan

rumus :

Jumlah skor yang diperoleh


% Keterlaksanaan= × 100%
Jumlah skor total

Penilaian keterlaksanaan pembelajaran, RTOP, dan afektif dilakukan pada saat

pembelajaran berlangsung. Kriteria keterlaksanaan pembelajaran sama dengan

kriteria penilaian afektif karena dihitung dengan teknik yang sama yaitu teknik

persentase. Penilaian afektif peserta didik juga dilakukan setiap proses

pembelajaran berlangsung dan nilainya dihitung dengan menggunakan teknik

persentase dengan rumus:

Jumlah skor yang diperoleh


% Nilai afektif = ×100 %
Jumlah skor total
41

2. Analisis Inferensial

Analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis yang ada dalam

penelitian ini. Analisis inferensial dalam penelitian ini terdiri dari uji prasyarat

analisis yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis.

a. Uji Prasyarat

Sebelum dilakukannya analisa data untuk menguji hipotesis, terlebih dahulu

dilakukan uji prasyarat agar kesimpulan yang diambil memenuhi persyaratan. Uji

prasyarat meliputi uji normalitas dan uji homogenitas.

1) Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sebaran data pada

suatu populasi terdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini uji normalitas

dilakukan dengan bantuan program SPSS 23 for Windows, yaitu melalui uji

Kolmogorov-Smirnov. Adapun dasar pengambilan keputusan adalah jika nilai

signifikansi uji normalitas > α yang ditentukan, maka sebaran data terdistribusi

normal. Nilai signifikansi α = 0,05, sehingga sebaran data hasil uji Kolmogorov-

Smirnov ini dikatakan normal jika nilai signifikansinya > 0,05.

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan ragam kedua

sampel penelitian dalam populasi. Analisis dilakukan dengan bantuan program

SPSS 23 for Windows. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Levene pada

taraf kepercayaan 95%. Data dikatakan homogen jika nilai signifikansinya > 0,05.

b. Uji Hipotesis
42

Uji hipotesis dalam penelitian ini digunakan untuk menguji ada tidaknya

perbedaan hasil belajar peserta didik kelas kontrol dan eksperimen. Adapun

rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Hipotesis pertama,

H0a: Tidak ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS, dengan

peserta didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).

H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS, dengan

peserta didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).

b) Hipotesis kedua,

H0b: Tidak ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki

kemampuan awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan

awal rendah yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E-TPS

dan model pembelajaran LC6E.

H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan

awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah

yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E -TPS dan model

pembelajaran LC6E.

c) Hipotesis ketiga,
43

H0c: Tidak ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model

pembelajaran terhadap hasil belajar peserta didik pada materi kelarutan

dan hasil kelarutan.

H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model

pembelajaran terhadap hasil belajar peserta didik pada materi kelarutan

dan hasil kelarutan.

Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS 23 for Windows yaitu

metode anova dua jalur dengan taraf signifikan α=0,05 kriteria hasil pengujian,

jika nilai signifikansinya > 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima.


44

BAB IV
HASIL ANALISIS

A. Deskripsi Data Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di SMA Negeri 8 Malang,

diperoleh data peneltian yang meliputi (1) kemampuan awal peserta didik; (2)

kualitas proses pembelajaran; dan (3) hasil belajar kognitif.

1. Data Kemampuan Awal Peserta didik

Kemampuan awal peserta didik diperoleh dari nilai ulangan harian peserta

didik pada kompetensi dasar yang telah dipelajari sebelumnya. Kemampuan awal

peserta didik ini merupakan rata-rata tiga nilai ulangan harian. Data kemampuan

awal secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Data Kemampuan Awal Peserta didik


Nilai Kemampuan Awal Standar
Kelas N
Maksimum Minimum Rata-rata Deviasi
Kontrol 35 90,3 79,0 83,2 3,17
Eksperimen 35 90,0 79,0 84,5 3,17

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa rata-rata kemampuan awal

peserta didik pada kelas kontrol yaitu 83,2 dengan nilai minimum 79,0 dan nilai

maksimum 90,3. Sedangkan rata-rata kemampuan awal peserta didik pada kelas

eksperimen yaitu 85,5 dengan nilai minimum 79,0 dan nilai maksimum 90,0.

Rata-rata nilai kemampuan awal peserta didik juga telah melewati KKM (>79).

Standar deviasi nilai kemampuan awal pada kedua kelas ini juga tidak jauh

berbeda, yakni pada kelas kontrol sebesar 3,173 dan kelas eksperimen 3,172 Data

kemampuan awal lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 11A dan 11B.
45

Data kemampuan awal peserta didik masing-masing kelas lebih lanjut

digolongkan menjadi kemampuan awal peserta didik tinggi dan kemampuan awal

peserta didik rendah. Penggolongan kemampuan awal peserta didik dapat dilihat

pada tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.2 Penggolongan Kemampuan Awal Peserta didik


Kemampuan Nilai Standar
Kelas
awal Maks Min Rata-rata Deviasi
Kontrol Tinggi 90,3 83,0 85,8 2,50
Rendah 82,7 79,0 80,8 1,31
Eksperimen Tinggi 90,0 84,7 87,3 1,60
Rendah 84,3 79,0 81,7 1,45

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat rata-rata kemampuan awal peserta

didik tinggi pada kelas kontol 85,8 dan kelas eksperimen yakni 87,3. Standar

deviasi peserta didik kemampuan awal tinggi pada kelas kontrol dan eksperimen

yaitu 2,50 dan 1,60. Rata-rata kemampuan awal peserta didik rendah pada kelas

kontrol 80,8 dan eksperimen yakni 81,7. Standar deviasi peserta didik

kemampuan awal rendah pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yaitu 1,31 dan

1,45. Berikut perbandingan penggolongan rata-rata kemampuan awal peserta

didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk data selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran 11A dan 11B.


46

92
90
88
86
84 Nilai Maks
82 Nilai Min
80 Nilai Rata-rata

78
76
74
72
Gambar 4.1 Penggolongan Kemampuan Awal

2. Data Kualitas Proses dan Keterlaksanaan Pembelajaran

Data kualitas proses pembelajaran didapatkan melalui lembar RTOP

(Reformed Teaching Observation Protocol) dan keterlaksanaan pembelajaran

diperoleh melalui lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, penilaian

afektif, penilaian diskusi, dan penilaian psikomotor peserta didik. Lembar RTOP

mencakup 5 aspek penilian (setiap aspek terdiri dari 5 item) yakni (1) desain dan

implementasi pembelajaran; (2) proporsi pengetahuan; (3) prosedur pengetahuan;

(4) interaksi yang komunikatif; dan (5) hubungan peserta didik dan guru. Hasil

penelitian mengenai kualitas proses pembelajaran yang terukur melalui RTOP

pada kelas control (LC6E) dan eksperimen (LC6E-TPS) dapat dilihat pada Tabel

4.3 berikut.
47

Tabel 4.3
RPP Kelas Eksperimen
RPP Kelas Kontrol (LC6E)
Item Yang Dinilai (LC6E-TPS)
1 2 3 4 1 2 3 4
Desain Pembelajaran 2,87 3,60 3,27 3,33 2,93 3,60 3,47 3,33
dan Implementasi
Proporsi Pengetahuan 2,93 3,53 3,13 3,23 3,0 3,60 3,53 3,40
Prosedur Pengetahuan 2,47 3,4,0 3,13 3,00 3,13 3,67 3,47 3,13
Interaksi yang 2,6 3,13 3,00 3,07 2,93 3,47 3,40 3,13
Komunikatif
Hubungan Peserta Didik 2,93 3,33 3,20 3,07 3,07 3,67 3,40 3,20
dan Guru
Rata-Rata 2,76 3,40 3,15 3,14 3,01 3,60 3,45 3,24
Rata-Rata 3,11 3,33
RPP 1-4

Rata-rata penilaian RTOP RPP 1-4 kelas kontrol (LC6E) berdasarkan pengamatan

observer pada Tabel 4.3 sebesar 3,11 sedangkan kelas eksperimen (LC6E-TPS)

sebesar… Untuk data selenngkapnya dapat dilihat pada lampiran 12. Berikut

perbandingan penilaian RTOP yang digambarkan pada diagram.

4
3.5
3 Desain Pembelajaran
dan Implementasi
2.5
Proporsi
2 Pengetahuan
1.5 Prosedur
Pengetahuan
1
Interaksi yang
0.5 Komunikatif
0 Hubungan Peserta
Didik dan Guru

Gambar 4.2 Perbandingan Penilaian RTOP Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
48

Penilaian keterlaksanaan pembelajaran dapat dilihat dari lembar observasi

keterlaksanaan pembelajaran, penilaian afektif, diskusi, dan psikomotor. Seperti

pada penilaian kualitas proses pembelajaran, keterlaksanaan pembelajaran dinilai

oleh tiga orang observer. Penilaian lembar keterlaksanaan pembelajaran dilakukan

selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian ini membandingkan

kesesuaian antara RPP dengan proses pembelajaran yang terjadi. Hasil penilaian

lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran terdapat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Penilaian Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran


Nilai per Pertemuan Nilai per Pertemuan
Aspek yang
Aspek yang pada Kelas Kontrol pada Kelas Eksperimen
dinilai
dinilai (LC6E) (LC6E-TPS)
1 2 3 4 1 2 3 4
Pendahuluan 3 3.67 3.67 3.33 Pendahuluan 3,00 3,67 3,33 3,67
Elicit 2.67 3.33 3.33 3.33 Elicit 3,67 3,67 3,33 3,33
Enggagement 3 3.67 3.67 3 Enggagement 3,00 3,33 3,33 3,33
Exploration 2.67 3 3.67 3 Exploration- 2,67 3,33 3,00 3.33
Think Pair
Explanation 2.67 3 3 3 Explanation- 3,00 3,33 3,00 3,00
Share
Elaboration 2.33 3 3 3 Elaboration- 2,67 3,33 3,33 3,00
TPS
Evaluation 3 3.33 3.33 3 Evaluation 3,00 3,67 3,00 3,00
Penutup 3 3.67 3.33 3.67 Penutup 3,33 3,67 3,00 3,33
Rata-Rata % Rata-Rata %
79,96% 80,46%
Keterlaksanaan Keterlaksanaan

Tabel 4.4 menjelaskan bahwa rata-rata persentasi keterlaksanaan kelas kontrol

(LC6E) sebesar 79,96 dan kelas eksperimen (LC6E-TPS) sebesar 81,00% Hal ini

menunjukan pembelajaran menggunakan model pembelajaran LC6E atau LC6E-

TPS berlangsung dengan baik. Data selengkapnya mengenai keterlaksanaan

pembelajaran lampiran 13.

Penilaian afektif peserta didik mencakup tujuh aspek yaitu (1) kehadiran

dan keaktifan peserta didik; (2) keseriusan atau motivasi; (3) kemandirian dan
49

pertanggungjawaban individu; (4) kejujuran; (5) komunikasi dan interaksi

langsung dengan teman; (6) kerja sama dan saling membantu; dan (7) komunikasi

sosial, saling menghargai, dan toleransi. Berikut hasil penilaian afektif kelas

kontrol dan kelas eksperimen yang terangkum pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Penilaian Afektif


Rata-Rata Nilai Ketuntasan
Kelas Kontrol (LC6E) 85,75 100%
Kelas Eksperimen (LC6E-TPS) 85,88 100%

Rata-rata nilai afektif kelas kontrol 85,75 dan kelas eksperimen 85,88 Jumlah

peserta didik yang mencapai ketuntasan untuk aspek afektif baik pada kelas

kontrol maupun kelas eksperimen adalah 100%, artinya seluruh peserta didik

mencapai ketuntasan. Data nilai afektif peserta didik selengkapnya dapat dilihat

pada lampiran 14.

Penilaian diskusi pada penelitian ini meliputi beberapa aspek yaitu (saling

ketergantungan positif; (2) interaksi langsung antar peserta didik; (3)

pertanggungjawaban individu; (4) keterampilan berinteraksi antar individu dan

kelompok; dan (5) keefektifan proses kelompok. Kriteria penilaian diskusi

dilakukan berdasarkan pedoman penilaian pada lampiran 15. Untuk setiap aspek

akan diberikan nilai 3-1, dengan nilai 3 jika semua deskriptor muncul, nilai 2 jika

2-3 deskriptor muncul, dan nilai 1 diberikan jika 0-1 deskriptor muncul. Hasil

penilaian diskusi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil Penilaian Diskusi Kelas


Kelas Rata-Rata Nilai
Kelas Kontrol (LC6E) 83,24
Kelas Eksperimen (LC6E- 87,43
TPS)
50

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, rata-rata nilai diskusi kelas eksperimen sebesar

87,43 lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 83,24.

Penilaian psikomotor dalam penelitian ini merupakan penilaian

keetrampilan kinerja pada proses praktikum berlangsung. Penilaian ini meliputi

beberapa aspek yaitu (1) ketertiban; (2) kebersihan alat; (3) penggunaan alat; dan

(4) pembacaan alat ukur. Skala penilaian psikomotor 1-3 yakni 3 untuk kategori

sangat baik, 2 untuk kategori cukup, dan 1 untuk kategori kurang. Tata cara

penilaian psikomotor dan pemberian skor tiap aspek dapat dilihat pada pedoman

penilaian keterampilan kinerja praktikum (lampiran 14). Berikut hasil penilaian

psikomotor kelas kontrol dan kelas eksperimen terdapat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil Penilaian Psikomotor Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Kelas Rata-Rata Nilai Ketuntasan
Kelas Kontrol (LC6E) 84,00 100%
Kelas Eksperimen (LC6E-TPS) 86,24 100%

Penilaian psikomotor dilakukan pada saat proses praktikum sedang berlangsung

sehingga penilaian ini hanya dilakukan pada RPP I dan RPP III. Pada RPP I

dilakukan praktikum materi kelarutan suatu garam dalam pelarut air. Sedangkan

RPP III dilakukan praktikum pengaruh ion senama tehadap kelarutan suatu garam.

Pada tabel 4.7 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai psikomotor kelas kontrol sebesar

84,00 dan kelas eksperimen sebesar 86,24. Data selengkapnya mengenai penilaian

psikomotor dapat dilihat pada lampiran 16.

3. Data Hasil Belajar Kognitif


51

Penilaian aspek kognitif peserta didik dilakukan setelah seluruh materi

kelarutan dan hasil kali kelarutan dibelajarkan yakni pada pertemuan V. Sebelum

penilaian kognitif dilakukan, instrumen yang digunakan telah divalidasi oleh ahli

dan diujicobakan pada peserta didik yang telah mempelajarinya. Instrumen

penilaian yang digunakan dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 18 butir soal.

Soal yang disusun tingkatannya dari C1 sampai dengan C5. Adapun perolehan

hasil belajar kognitif peserta didik yang belajarkan dengan model pembelajaran

LC6E dan LC6E-TPS secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Hasil Belajar Kognitif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Nilai
Jumlah Nilai Standsar
Kelas Rata-Rata Maksimu
Peserta Didik Minimum Deviasi
m
LC6E 35 72,4 94,44 50,00 9,67
LC6E-TPS 35 81,11 100 55,56 11,21

Berdasarkan Tabel 4.8, nilai maksimum hasil belajar kognitif peserta didik

pada kelas yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS

sebesar 100 dan nilai minimumnya 55,56 sehingga rata-rata kelasnya 81,11.

Sedangkan kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E nilai

maksimum hasil belajar kognitif peserta didik yakni sebesar 94,44 dan nilai

minimumnya 50 sehingga rata-rata kelasnya 72,4. Rata-rata hasil belajar kognitif

kedua kelas terdapat perbedaan, rata-rata hasil belajar kognitif pada kelas yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS lebih tinggi

dibandingkan dengan kelas yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E.
52

Hasil belajar kognitif peserta didik kemudian dikelompokan berdasarkan

kemampuan awal peserta didik. Setiap kelasnya dikelompokan menjadi

kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah. Pengelompokan hasil

belajar kognitif peserta didik berdasarkan kemampuan awal dapat dilihat pada

Tabel 4.9 berikut.

Tabel 4.9 Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik Berdasarkan Kemampuan Awal
Kemampuan Jumlah Nilai Nilai
Kelas Rata-Rata
Awal Peserta Didik Maksimum Minimum
LC6E Tinggi 17 75,2 94,44 61,11
Rendah 18 69,8 77,78 50
LC6E-TPS Tinggi 17 86,3 100 61,11
Rendah 18 76,24 88,89 55,56

Berdasarkan Tabel 4.9, rata-rata hasil belajar kognitif peserta didik

berkemampuan awal tinggi yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E-TPS sebesar 86,3 lebih tinggi bila dibandingkan dengan dengan peserta

didik berkemampuan awal tinggi yang dibelajarkan menggunakan model

pembelajaran LC6E yakni sebesar 75,2. Senada dengan hal di atas, rata-rata hasil

belajar kognitif peserta didik berkemampuan awal rendah yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS sebesar 76,24 lebih tinggi bila

dibandingkan dengan dengan peserta didik berkemampuan awal tinggi yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E yakni sebesar 69,8.

Perbandingan nilai rata-rata hasil belajar kognitif peserta didik yang memiliki

kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah pada kelas yang

dibelajarkan menggunakan LC6E dan LC6E-TPS dapat dilihat pada Gambar 4.3

berikut.
53

100
90
80
70
60 Rata-Rata
50 Nilai Maksimum
Nilai Minimum
40
30
20
10
0
Gambar 4.3 Perbandingan Nilai Rata-Rata Hasil Belajar Kognitif Siswa yang
Memiliki Kemampuan Awal Tinggi dan Kemampuan Awal Rendah

B. Uji Hipotesis Hasil Belajar Kognitif

1. Uji Prasyarat Analisis Data

Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat

analisis data. Uji prasyarat analisis data meliputi uji normalitas, uji homogenitas,

dan uji kesamaan dua rata-rata terhadap kemampuan awal dan uji normalitas serta

uji homogenitas.

a) Kemampuan Awal Peserta Didik

1) Uji Normalitas

Analisis uji normalitas terhadap kemampuan awal peserta didik yang

digunakan yaitu uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS 23 for windows.

Hasil uji normalitas terhadap kemampuan awal kedua kelas yang digunakan

sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.10 dan data selengkapnya dapat dilihat

pada lampiran 18a.


54

Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas terhadap Kemampuan Awal Peserta Didik
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Kelas
Statistik Df Sig
Kontrol (LC6E) 0,095 35 0,200
Eksperimen (LC6E-TPS) 0,110 35 0,200

Data dikatakan terdistribusi normal jika angka signifikan (Sig) > 0,05.

Berdasarkan Tabel 4.10 mengenai hasil uji normalitas terhadap kemampuan awal

peserta didik dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

 Kemampuan awal kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E

terdistribusi normal karena nilai signifikansi (0,200) > 0,05.

 Kemampuan awal kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran

LC6E-TPS terdistribusi normal karena nilai signifikansi (0,200) > 0,05.

2) Uji Homogenitas

Analisis uji homogenitas terhadap kemampuan awal peserta didik yang

digunakan yaitu Lavene’s Test dengan bantuan SPSS 23 for windows. Hasil uji

homogenitas terhadap kemampuan awal peserta didik kedua kelas yang digunakan

debagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.11 dan data selengkapnya dapat dilihat

pada lampiran 18b.

Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Awal Peserta Didik


Levene Statistic Df1 Df2 Sig.
0.395 1 68 0.532

Data dikatakan terdistribusi homogen jika angka signifikan (Sig) > 0,05.

Berdasarkan Tabel 4.11 mengenai hasil uji homogenitas terhadap kemampuan

awal peserta didik dapat ditarik kesimpulan kemampuan awal peserta didik baik

pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E dan LC6E-TPS
55

memiliki varian yang identik atau homogen. Hal ini ditunjukan dengan nilai

signifikansi (0,532) > 0,05.

3) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata

Uji kesamaan dua rata-rata yang digunakan yaitu Independent Sample t-

test dengan bantuan program SPSS 23 for windows. Hasil analisis uji kesamaan

dua rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.12 dan selengkapnya pada lampiran 18c.

Tabel 4.12 Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Kemampuan Awal Peserta Didik
Levene's
Test for
t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
95% Confidence
Sig.
Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df (2-
Difference Difference Difference
tailed)
Lower Upper
Kemampuan Equal variances
.395 .532 -1.652 68 .103 -1.25143 .75765 -2.76330 .26044
_Awal assumed
Equal variances
-1.652 68.000 .103 -1.25143 .75765 -2.76330 .26044
not assumed

Nilai signifikansi yang diperoleh berdasarkan Tabel 4.12 yaitu sebesar

0,103. Nilai signifikansi (0,103) > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Artinya tidak ada perbedaan kemampuan awal peserta didik yang dibelajarkan

dengan model pembelajaran LC6E dan model pembelajaran LC6E-TPS.

b) Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik.

1) Uji Normalitas

Analisis uji normalitas terhadap hesil belajar kognitif peserta didik yang

digunakan yaitu uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS 23 for windows.

Hasil uji normalitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik kedua kelas yang

digunakan sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan data selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 19A.


56

Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas terhadap Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Kelas
Statistik Df Sig
Kontrol (LC6E) 0,145 35 0,062

Eksperimen (LC6E-TPS) 0,130 35 0,140

Berdasarkan Tabel 4.10 mengenai hasil uji normalitas terhadap hasil belajar

kognitif peserta didik dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

 Hasil belajar kognitif peserta didik yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran LC6E terdistribusi normal karena nilai signifikansi (0,062) >

0,05.

 Hasil belajar kognitif peserta didik yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran LC6E-TPS terdistribusi normal karena nilai signifikansi (0,140)

> 0,05.

2) Uji Homogenitas

Analisis uji homogenitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik yang

digunakan yaitu Lavene’s Test dengan bantuan SPSS 23 for windows. Hasil uji

homogenitas terhadap hasil belajar kognitif peserta didik kedua kelas yang

digunakan sebagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan data selengkapnya

dapat dilihat pada lampiran 18b.

Tabel 4.15 Hasil Uji Homogenitas Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1,609 1 68 0,209

Data dikatakan terdistribusi homogen jika nilai signifikan (Sig) > 0,05.

Berdasarkan Tabel 4.15 mengenai hasil uji homogenitas terhadap hasil belajar

kognitif peserta didik dapat ditarik kesimpulan hasil belajar kognitif peserta didik
57

baik pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E dan LC6E-

TPS memiliki varian yang identik atau homogen. Hal ini ditunjukan dengan nilai

signifikansi (0,209) > 0,05.

2. Uji Hipotesis

Setelah mengetahui data hasil belajar kognitif peserta didik terdistribusi

normal dan memiliki variansi yang homogen, maka dilanjutkan dengan uji

hipotesis. Adapun pasangan hipotesis nihil (H0) dan hipotesis alternatif (H1) yang

akan diuji adalah sebagai berikut.

a) Hipotesis pertama,

H0a: Tidak ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS, dengan

peserta didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).

H1a: Ada perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS, dengan

peserta didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran

LC6E pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).

b) Hipotesis kedua,

H0b: Tidak ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki

kemampuan awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan

awal rendah yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E-TPS

dan model pembelajaran LC6E.


58

H1b: Ada perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan

awal tinggi dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah

yang dibelajarkan dengan model pembelajaran LC6E -TPS dan model

pembelajaran LC6E.

c) Hipotesis ketiga,

H0c: Tidak ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model

pembelajaran terhadap hasil belajar kognitif peserta didik pada materi

kelarutan dan hasil kelarutan.

H1c: Ada interaksi antara kemampuan awal peserta didik dengan model

pembelajaran terhadap hasil belajar kognitif peserta didik pada materi

kelarutan dan hasil kelarutan.

Uji hipotesis dilakukan dengan metode analysis of varian atau anova

dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Penelitian ini menggunakan analisis varian

dua jalur (two way anova) dengan bantuan SPSS 16 for windows. Hasil uji

hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4.16 dan secara lengkap pada lampiran 19c.

Tabel 4.16 Uji Hipotesis Analisis Varian Dua Jalur


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2383.735a 3 794.578 7.922 .000


Intercept 411392.068 1 411392.068 4101.496 .000
Kelas 1352.631 1 1352.631 13.485 .000
Kemampuan_Awal 956.676 1 956.676 9.538 .003
Kelas * Kemampuan_Awal 93.595 1 93.595 .933 .338
Error 6619.994 66 100.303
Total 419598.124 70
Corrected Total 9003.729 69
59

Berdasarkan Tabel 4.16 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

a) Tulisan “Kelas” menunjukan hasil belajar kognitif siswa yang ditinjau dari

perbedaan perlakuan model pembelajaran. Hasil yang diperoleh adalah nilai

signifikansi (0,000) < 0,05, sehingga H0a ditolak dan H1a diterima artinya

terdapat perbedaan hasil belajar kognitif antara peserta didik yang

dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E-TPS dengan peserta

didik yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran LC6E pada pokok

bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp).

b) Tulisan “Kemampuan_Awal” menunjukan hasil belajar kognitif yang ditinjau

dari kemampuan awal peserta didik. Hasil yang diperoleh adalah nilai

signifikansi (0,003) > 0,05, sehingga H0b ditolak dan H1b diterima artinya ada

perbedaan hasil belajar peserta didik yang memiliki kemampuan awal tinggi

dan peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah yang dibelajarkan

dengan model pembelajaran LC6E -TPS dan model pembelajaran LC6E.

c) Tulisan “Kelas*Kemampuan_Awal” menujukan pengaruh interaksi antara

kemampuan awal peserta didik dengan model pembelajaran yang diterapkan.

Hasil yang diperoleh adalah nilai signifikansi (0,338) > 0,05, sehingga H0c

diterima dan H1c ditolak artinya tidak ada interaksi antara kemampuan awal

peserta didik dengan model pembelajaran terhadap hasil belajar kognitif

peserta didik pada materi kelarutan dan hasil kelarutan.


60

BAB V
PEMBAHASAN
61

DAFTAR PUSTAKA

Aisiyah, S. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS)


dengan Pemberian Reward untuk Meningkatkan Motivasi dan Keaktifan
Belajar Siswa Pokok Bahasan Segi Empat Kelas VII MTs Negeri Susukan
Tahun 2009/2010. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: FKIP UMM
Surakarta.

Algarabel, S. & Dasi, C. 2001. The Definition of Achievement and the


Contruction of Test for Its Measurement: A Review of The Main Trens.
Psicologica, 22: 43-66.

Andrade, A., Schuiling, R.D. 2001. The Chemistry of Struvite Cristallization


Mineral Journal, (Online), Vol.23(5/6), (http://archive.nbuv.gov.ua)

Arends, R.I. 2007. Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh. Terjemahan Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. 2008. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Arikunto, S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Auliawati. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 6 Fase-Think


Pair Share terhadap Hasil Belajar dan Retensi Siswa pada Materi
Kesetimbangan Kimia. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.

BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Dahar, R. W. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Dasna, I W. & Fajaroh, F. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar


(Learning Cycle). (Online), (http://lubisgrafura.wordpress.com)

Dasna, I Wayan. 2006. Model Siklus Belajar (Learning Cycle) Kajian Teoritis
dan Implementasinya dalam Pembelajaran Kimia. Malang: Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Negeri Malang.

Degeng, N. S. 2013. Ilmu Pembelajaran: Klasifikasi Variabel untuk


Pengembangan Teori dan Penelitian. Bandung: Aras Media.

Devetak, I., Vogrinic, J., Glazar, S. A. 2007. Assessing 16-Years-Old students’


Understanding of Aqueous Solution at Submicroscopic Level. Research
Science Education, (Online), (http://www.researchgate.net)

44
62

Fernandez, M., Wegerif, R., Mercer, N., dan Drummond-Rojas, S. 2001. Re-
conceptualizing “Scaffolding” and the Zone Proximal Development in the
Context of Symetrical Collaborative Learning. Journal of Classroom
Interaction, (Online) 36 (2): 40-54, (http://cetedra.ruv.itesm.mx).

Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan


Universitas Negeri Malang.

Iskandar, S. M. 2004. Strategi Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Kimia


(Suhadi Ibnu, Ed). Malang: Jurusan Kimia FMIPA UM.

Iskandar, S. M. 2011. Pendekatan Pembelajaran Sains Berbasis Konstruktivis.


Malang: Bayumedia Publishing

Jatmiko, H. S. 2014. Perbedaan Hasil Belajar Materi Asam-Basa antara Siswa


yang Dibelajarkan dengan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E
dengan Learning Cycle 5E-Think Pair Share pada Siswa Kelas XI SMAN
1 Gondang Tulungagung. Skripsi tidak diterbitkan: FMIPA Universitas
Negeri Malang

Johnson, D. W. & Johnson, R. T. 1991. Learning Together and Alone:


Cooperation Competition and Individualization. Third Edition. New
Jersey: Pretince Hill, Inc. Egglewood Cliffts.

Kagan, S. & Kagan, M. 2009. Kagan Cooperative Learning. Kagan Publishing.

Kartini & Budiasih, E. 2003. Penerapan Model Daur Belajar dalam


Pembelajaran Kimia di Kelas II SMU Laboratorium Universitas Negeri
Malang. Makalah Seminar Nasional Kimia. Universitas Negeri malang.
21-23 Juli 2003.

Kean, B. & Middlecamp, C. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Terjemahan


oleh Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: PT Gramedia.

Khotiyal, A., Majumdar, R. Murthy, S. & Iyer, S. 2013. Effect of Think-Pair-


Share in a Large CS 1 Class:83% Sustained Engagement. (Online)
(http: //www.it.iitb.ac.in)

Krause, S., Tasooji,A. 2007. Diagnosinf student’s Misconcepcion on Solubility


and Saturation for Understanding of Phase Diagram. American Society for
Engineering Education, (Online), (http://icee.usm.edu)

Lie, A. 2010. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning di


Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
63

Maharani, T. Y. Prayitno & Yahmin. 2013. Menggali Pemahaman Siswa SMA


pada Konsep Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dengan Menggunakan
Tes Diagnostik Two-Tier. (online) http://jurnal-
online.um.ac.id/data/artikel/artikel6DD5292F2EA988FB46FC08A2F9857
9A9.pdf

Mahardika, I M. S. 2010. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Surabaya: Unesa


University Press.

Nisak, K. 2010. Identifikasi Kesulitan Belajar Siswa Kelas XI IPA Semester II


SMA Laboratorium UM dalam Memahami Materi Kelarutan dan Hasil
Kelarutan. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM.

Odom, A. L. & Kelly, P. V. 2001. Integrating Concept Mapping and The Learning
Cycle to Teach Diffusion and Osmosis Concept to High School Biology
Students. Science Education, 85(6): 615-635.

Onder, I. & Geban, O. 2006. The effect of conceptual change texts oriented
instruction on students’ understanding of the solubility equilibrium
concept. Journal of Education, 30: 166-173.

Palmer, D. 2005. A Motivational View of Constructivist-Informed Teaching.


International Journal of Science Education, (online), Vol. 27, No. 15
(http://www.csun.edu)

Pertiwi, H. 2016. Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 6P-Think Pair


Share terhadap Hasil Belajar Siswa Ditinjau dari Keterampilan Berpikir
Ilmiah Berbeda pada Materi Larutan Elektrolit-Nonelektrolit dan Reaksi
Redoks. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri
Malang.

Putri, S. S. 2014. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Daur Belajar 6 Fase


berbantuan Think Pair Share terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X
SMAN 5 Malang pada Materi Reaksi Redoks. Skripsi tidak diterbitkan:
FMIPA Universitas Negeri Malang

Sadi, O., & Cangkiroglu,J. 2010. Effects of 5E Learning Cycle on Students’


Human Circulatory System Achievment. Journal of Applied Biological
Science, (Online) 4 (3): 63-67, (http://www.nobel.gen.tr).

Slaubaugh, W. H. & Parsons, T. D. 1976. General Chemstry. 3rd Edition. New


York: McGraw-Hill Book Company.

Slavin, Robert E. 2009. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan
Jilid 2. Jakarta: PT Indeks.

Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
64

Solihin, I. 2010. Keefektifan Model Pembelajaran Inkuiri Terbuka dan Learning


Cycle dalam meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia
Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Bontang. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang:
Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Sudjana, N. 2005. Penilaian Proses Hasil Belajar Mengajar. Bandung: PT


Remadja Rosdakarya.

Suindarti, Atmi. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 6E-STAD


dan Learning Cycle 6E Think Pais Share Terhadap Hasil Belajar dan
Motivasi Siswa Pada Materi Bentuk dan Kepolaran Molekul. Tesis Tidak
Diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Sulistina, O. 2009. Keefektifan Penggunaan Metoda Pembelajaran Inkuiri


Terbuka dan Inkuiri Terbimbing dalam Meningkatkan Kualitas Proses
Pembelajaran dan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Laboratorium
Malang. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.

Suryati. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle Dipadu dengan


Diagram Alir terhadap Kualitas Proses, Hasil Belajar, dan Kemampuan
Metakognitif Kimia Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Malang. Tesis Tidak
Diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Suyanti, R. D. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Supasorn, S. & Promarak, V. 2015. Implementation of 5E Inquiry Incorporated


with Analogy Learning Aproach to Enchance Conceptual Understanding
of Chemical Reaction Rate for Grade 11 students. Chemistry Education
Research and Practice, (Online) 16: 121-132, (http://pubs.rsc.org)

Suryati. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle Dipadu dengan


Diagram Alir terhadap Kualitas Proses, Hasil Belajar, dan Kemampuan
Metakognitif Kimia Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Malang. Tesis Tidak
Diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Suyono & Haryanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Umam, Y.I. 2010. Perbandingan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E (LC


5E) dengan Think Pair Share (TPS) dalam Materi Zat Aditif Makanan dan
Zat Aditif Psikotropika pada Siswa Kelas VIII SMPN 11 Malang Tahun
Ajaran 2009/2010. Skripsi tidak diterbitkan: FMIPA Universitas Negeri
Malang.
65

Zoller, U., Pushkin, D. 2007. Matching Higher-Order Cognitive Skills (HOCS)


promotion goal with problem-based laboratory practice in a fressman
organioc chemistry course. The Royal Society of Chemistry, (online), Vol.
8, No.2 (http://www.rsc.org)
66

Rancangan eksperimental semu digunakan karena tidak melakukan randomisasi


sampel, sehingga sampel yang digunakan merupakan kelompok yang telah ada
(Fraenkel & Wallen, 2003:266)
Fraenkel, J.R. & Wallen, N. E. 2003. How to Design and Evaluate
Research in Education: Seventh Edition. USA.: McGraw-Hill Higher
Education.
Rancangan eksperimen semu dimaksudkan untuk mengungkapkan hubungan
sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok control di samping kelompok
eksperimen (Ibnu, dkk., 2003:50)
Ibnu, S., Mukhadis, A., & Dasna, I W. 2003. Dasar-dasar Metodologi
Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang.
Adanya perbedaan perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari
perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas pembanding.

Anda mungkin juga menyukai