Anda di halaman 1dari 17

CERITA GERHANA

Part 1

Pagi itu rintik hujan tidak mau berhenti menetes dari langit. Bahkan sudah semalaman
jatuh tanpa kompromi. Banyak orang berharap reda, karena hujan pagi hari selalu
menyiratkan suasana hati orang yang sendu, tidak bersemangat, bahkan layu.
Termasuk sosok laki-laki yang sedari tadi murung di pojok ruangan. Berharap tak
ingin meneteskan air mata, tetapi ternyata ia tak bisa membendungnya karena suasana
hatinya yang sedang tak karuan.

“Matahari kamu kenapa? Sedari tadi dirimu murung dan sekarang matamu sembab.”
Tanyaku

Dengan mengusap airmata dan nada yang terbata-bata Matahari menjawab,

“Aku sedih, karena tak ada orang yang memilihku. Bahkan seseorang yang
kudambakan lebih memilih orang lain daripada aku. Dia selalu mengabaikanku,
menjauhiku, dan tidak pernah memperhatikanku. Padahal kita pernah dekat tetapi
semakin lama dia meninggalkan ku.”

“Baik Matahari. Tak apa. Sedih boleh, jangan terlalu lama ya (?)” Bujukku

“Heem.” Jawab singkat Matahari

“Kamu percaya kan setiap orang bakal bertemu dengan orang yang tepat?”

“Iya percaya.”

“Aku yakin kamu akan bertemu dengan orang yang tepat nantinya.”

“Terimakasih.” Sahut Matahari.

Lalu, ketika pagi sendu berubah menjadi terang, hujan berhenti untuk jatuh ke bumi.
Kemudian dari belakang Matahari, datang sosok perempuan yang sangat menawan.

“Halo, kamu Matahari?”

“Iya benar. Dengan siapa?”


“Kenalin Matahari. Aku pelangi.” Dengan senyum menawan yang berhasil membuat
Matahari berseri kembali
Part 2

Setelah pagi itu, Matahari merasa adalah orang yang paling beruntung. Hari-hari
setelahnya banyak tersisipkan senyum yang mengembang, wajah yang berseri, dan
tubuh yang energik. Pelangi, wanita yang sukses membuatnya seperti itu. Mereka
bertambah dekat. Bahkan sepaket. Disitu ada Pelangi pasti ada Matahari. Berangkat
dan pulang sekolahpun selalu bersama. Sampai 2 tahun setelah itu, mereka harus
merelakan untuk berpisah. Karena mereka harus menimba ilmu di tempat yang
berbeda. Matahari di Bandung, Pelangi di Jogja. Hingga 3 tahun berpisah, kedekatan
mereka mulai memudar. Pesan suarapun tak bisa mengobati rindu keduanya. Alih-alih
ketemu, hari libur mereka selalu berbeda. Kesibukan masing-masing tampak tak ada
jeda.

“Matahari, ada yang mau kuomongin.”

“Iya. Ada apa?”

“Nampaknya hubungan kita harus berjarak.”

“Kenapa Pelangi? Bukannya kita hanya harus berkabar?”

“Iya. Tapi kita berada dalam keadaan ketidakpastian. Aku tidak mau hanya karena
ketidakpastian ini, semua sesuatu berantakan.”

(Matahari menghela nafas)

“Aku mohon Matahari. Kita sudah sama-sama dewasa. Yang kita butuhkan hanya
memperbaiki diri masing-masing. Jika takdirnya bersatu, tak ada yang menghalangi.”
Lanjut Pelangi

“Baik. Aku mengerti dan memahami. Semoga kita dipertemukan lagi.” Jawab
Matahari dengan berat hati.

Setelah pesan sore itu, hubungan mereka putus tak ada kabar. Terjadi begitu saja.
Hilang tenggelam dalam kehidupan mereka masing-masing. Tapi, perasaan mereka
masih sama. Hanya saja mereka sepakat ingin menjaga agar tidak jatuh ke dalam
ekspresi rasa yang salah. Kemudian hari-hari setelah itu, Pelangi melanjutkan
kegiatannya yang sedari awal tertarik ikut LDK dan Matahari yang akhir-akhir ini
juga penasaran dengan kajian-kajian di sekitar kampus yang selalu mendatangkan
ketenangan, katanya.

Kemudian, 3 tahun berikutnya. Matahari sudah berumur 26 tahun. Bekerja di


perusahaan terkenal di salah satu perusahaan di kota metropolitan, Bandung. Sedang
duduk diam tertunduk dengan adanya secarik undangan pernikahan. Tertera di
undangan itu, Pelangi dan Angin. Bukan Pelangi dan Matahari. Spontan Matahari
menutup matanya, berharap tak salah melihat. Tapi, kali ini yang kesekian kalinya,
Matahari merasakan Kehilangan. Mungkin Pelangi ada bukan untuk dipersatukan
dengan dirinya, tapi sebagai ujian atas perasaannya. Matahari tertunduk dan
mengusap wajah dengan penuh lesu.

“Baik ya Allah jika ini sesuai dengan kehendak-Mu.” Hati Matahari menenangkan.

“Terimakasih Pelangi, aku bersyukur dirimu pernah ada. Mengajariku dewasa,


menikmati pagi yang sederhana, sampai mengajariku cara mengikhlaskan. Memang
benar kata orang, ungkapan cinta terbesar adalah mampu mengikhlaskan. Tak ada
alasan. Sekali lagi terimakasih.” Pesan yang dilontarkan agar hati Matahari sedikit
lega dalam luasnya sesak pada waktu itu.

Dan tanggal 22 April, hari pernikahan Pelangi diselenggarakan. Menyakitkan, tapi


harus diikhlaskan.
Part 3

“……. Kita tidak akan tahu, siapa yang akan menjadi teman hidup kita. Entah orang
dari masa lalu ataupun orang yang baru saja kita temui. Entah rumahnya jauh ataupun
dekat. Entah orang kaya ataupun cukup. Entah suka jalan-jalan ataupun suka berdiam
di rumah. Tapi, yang pasti orang itu sanggup menerima kita dengan bijaksana.
Sekian”

Teman satu kelas sontak memberi tepuk tangan dan sambutan meriah karena
penampilanku.

“Keren nih bulan!” Teriak salah satu temanku.

“Cocok jadi penulis nih”

“Hehe. Terimakasih.”

“Keren bulan, salut salut. Nanti aku dibuatin puisi khusus buat aku yaaaa!
Hahahaha.” Teriak salah satu temanku

“Hehe. Tapi bayar yaaaa.” Jawabku meledek

Perkenalkan namaku Bulan. Annisa Rembulan. Nama yang diberikan orangtuaku


tepat aku lahir saat malam hari dan bulan benar-benar bersinar terang pada malam itu.
Alhamdulillah Allah memberiku kelebihan dalam bidang sastra. Tak ayal ketika ada
tugas tentang sajak, puisi, gurindam, pantun atau yang lain aku selalu tampil. Sekolah
selalu mendorong ku untuk mengikuti kompetisi dalam bidang itu. Yah, bersyukur
selalu mendapatkan juara dalam kompetisi. Aku kelas 11 ipa 7. Orang-orang
menyebutku orang melankolis, tapi aku tak setuju. Karena melankolis identik dengan
selalu sedih, murung, lemot, dan introvert. Padahal aku suka bergaul. Temanku
kebanyakan perempuan. Karena aku selalu cuek kalo sudah berurusan dengan
laki-laki. Makhluk mars yang selalu jahil dan sedikit tak berperasaan, walaupun tak
semua. Meskipun aku menganggap laki-laki seperti itu, aku juga punya sahabat
laki-laki, namanya Matahari. Asyik, suka bercanda, pendengar yang setia, walaupun
kadang nyebelin juga.
Aku bertemu dengannya ketika berada dalam satu organisasi yang sama. Tak hanya
itu, kami berjuang bersama pada satu acara tahunan sekolah waktu itu.

“Gimana matahari, dana kita sangat minim.”

“Hmm apa kita cari sponsor aja? Buat konsumnya. Lumayan.”

“Ide bagus tuh, tapi kemana?”

“Kita tanya kakel dulu aja, kayaknya mereka punya kenalan.”

“Yap. Oiya mbak Anin. Beliau sepertinya ada kenalan. Nanti kuhubungin.”

“Oke makasih bulan.”

Semakin hari komunikasi kita semakin sering. Mulai dari kabar gembira, buruk, kabar,
posisi, dan sharing apapun. Tak ada jeda waktu untuk menyudahi percakapan kita.
Meskipun aku merasa aneh dengan kehadiran Matahari. Yang diam-diam membuatku
sedikit berubah terhadap pandangan laki-laki. Ternyata mereka juga mempunyai sisi
lain dalam hal perasaan. Jahil? Karakteristik sebagian orang. Matahari? Ah sudahlah.
Semakin hari otak tak ada habisnya memikirkan acara itu. Belibet. Tapi… disisi lain
aku mulai memikirkan Matahari. Apakah dia sudah makan? Apakah dia sudah
istirahat? Kenapa aku peduli dengan hal itu? Apakah itu penting?

“Rembulan makasih ya sudah bersedia menjadi partner berjuangku, makasih udah


mau ikut andil acara ini, makasih byk buat semuanya. Udah H-2 acara yuk semangat!
Ini buat endorphinmu ehe.”

Tiba tiba ada surat di tasku. Dan ada coklat. What? Matahari? Sontak malam itu aku
tidak bisa tidur. Senyum mengembang menjadi hobi malam itu. Angin menjadi lawan
bicaraku yang sedari tadi aku ngobrol sendiri.

“Apakah dia menyukaiku? Ah apa sih.” Tanyaku dengan senyum tipis yang tak ada
habisnya.

Acara terlaksana. Benar-benar ajaib. Sangat lancar. Walaupun ada kendala tapi masih
bisa dikendalikan. Sukses besar. Waktu itu jam 5.30 sore. Senja mulai muncul, daun
mulai berubah warna menjadi kuning karena sinar senja, burung mulai berkejaran,
angin seperti biasa memberikan kesejukan, dan lagu dari langit sore entah dari mana
terputar sore itu,

…Senja adalah saat terbaik..

…Untuk kita jatuh cinta…

…Ketika langit pejamkan mata…

…Tuhan mendengar semua doa…

Mataku dan Matahari bertemu, indah. Dia tersenyum begitupun juga aku. Tak ada
jeda untuk berpaling. Benar-benar mirip drama Korea yang mengalami slow motion.
Kacau. Baru pertama kali aku mengalami ini. Apakah aku mulai menyukainya? Apa
secepat itu? Atau aku jatuh cinta? Dan dari jauh senja mulai berakhir, tapi perasaan
ini tidak.

“Makasih ya bulan. Maaf kalo selama ini aku ada salah sama kamu.”

“Iya aku juga Matahari. Maaf belum maksimal.”

Hari itu ditutup dengan lelah dan pipi yang merah. Ahh hari yang indah.

Kedekatan kita tak hanya sampai hari itu. Tambah dekat kita, sepaket. Bahkan diskusi
berdua, belajar berdua dan lainnya. Aku menikmatinya. Bahkan membuat hariku
selalu dipenuhi rasa suka, sama sekali tanpa duka. Tapi, suatu hari…

“Rembulan, doakan aku.”

“Doakan apa?”

“Doakan aku pengen nembak si Andrea. Aku sudah lama suka dengannya. Wish me
luck.”

Deg! Jantung tak karuan, tangan tiba-tiba dingin. Perkataan itu menjadi tonjokan yang
sangat keras di kepala. Suasana hati tak karuan. Apa benar dia ingin menyatakan ke
orang lain? Padahal ada yang punya perasaan itu dan dia tepat dihadapannya. Dan hari
itu berubah 180° parah dan pasrah. Aku ingin tetap bersedia menjadi sahabatnya. Tapi,
hari itu aku mulai menjaga jarak dengannya. Dan stigma ku ke laki-laki berubah
seperti semula. Tak berperasaan.
Keesokan harinya, langit benar-benar sedang sendu. Meneteskan air hujan sejak
semalam. Tak berhenti. Bisingnya pun sama. Tak bisa diredam. Membuat jari
menggigil dan gigi yang berulang kali bergemeletuk. Jaket dan jas hujan kupakai
untuk menerjang hujan pagi itu. Perasaan semalam masih tinggal. Masih utuh dengan
kekecewaan.

Dari jauh pojok ruangan terlihat Matahari sedang murung dan merenung. Aku merasa
ingin tau. Meskipun dia sudah membuatku kecewa tapi dia masih sahabatku.

“Matahari kamu kenapa? Sedari tadi dirimu murung dan sekarang matamu sembab.”
Tanyaku dengan hati-hati.

Dengan mengusap airmata dan nada yang terbata-bata Matahari menjawab,

“Aku sedih, karena tak ada orang yang memilihku. Bahkan seseorang yang
kudambakan lebih memilih orang lain daripada aku. Dia selalu mengabaikanku,
menjauhiku, dan tidak pernah memperhatikanku. Padahal kita pernah dekat tetapi
semakin lama dia meninggalkan ku.”

“Baik Matahari. Tak apa. Sedih boleh, jangan terlalu lama ya (?)” Bujukku

“Heem.” Jawab singkat Matahari

“Kamu percaya kan setiap orang bakal bertemu dengan orang yang tepat?”

“Iya percaya.”

“Aku yakin kamu akan bertemu dengan orang yang tepat nantinya.”

“Terimakasih.” Sahut Matahari

Matahari ditolak oleh Andrea. Tapi, aku sudah terlanjur kecewa dengannya. Dan
berjanji untuk menjaga jarak. Bukankah hati yang patah tak bisa kembali seperti
semula? Awalnya utuh, lalu dipecahkan, lalu disusun kembali dengan tidak sempurna.

Hari-hari setelah itu aku jarang untuk berkomunikasi dengan Matahari. Kabarnya dia
sedang dekat dengan Pelangi. Gadis cantik yang kabarnya sudah berstatus pacaran
dengan Matahari. Sedih? Pasti. Kecewa? So exactly. Tapi bagaimana lagi? Allah
sedang menegurku lewat dia. Tak ingin Dia cemburu hanya gara-gara mementingkan
cintaku pada makhluk-Nya. Kelas 3 aku mulai memantapkan diriku untuk masuk ke
universitas favorit di Jogja. Di jurusan kedokteran. Selain itu, aku ingin mulai
memperbaiki lagi hati yang sempat berantakan dengan mengikuti apapun kegiatan
yang bersifat positif. Dan akhirnya aku masuk. Dan Matahari? Masih dengan Pelangi
dan kabarnya mereka LDR-an. Matahari di Bandung dan Pelangi di Jogja.

3 tahun sesudahnya. Kehidupan ku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang tidak


pernah selesai, skripsi yang mulai menakuti, ujian-ujian yang selalu menguras tenaga
dan pikiran. Waktu-waktu di kuliah aku habiskan dengan senang hati. Selain kuliah?
Organisasi mungkin. Lumayan buat nambah temen. Asmara? Tidak bisa suka dengan
laki-laki semenjak itu. Oiya, Matahari? Kabarnya dia sudah tidak dengan Pelangi.
Kabarnya dia menjadi alim. Menjadi ketua kajian se-Bandung raya, bahkan ketua
LDK fakultas setelah itu. Bodo amat dah. Tapi, otak tiba-tiba berpikir tentang masa
lalu. Ketika aku berjuang dengannya, lelah bersamanya, dan dikecewakan olehnya.
Hisssh, gimana kabarmu sekarang Matahari? Kabarnya kalau cinta pertama kadang
sulit dilupakan. Aku tidak terlalu setuju, tapi aku tidak bisa mengelak dari itu.

Selang 3 tahun kemudian. Aku resmi menyandang gelar dokter. Yang sedang
melakukan internship di salah satu rumah sakit di Jogja. Suatu hari, ada undangan
pernikahan di meja ruang tamu. Pelangi dan Angin. Pelangi? Dengan orang lain?
Bagaimana perasaan Matahari? Matahari kamu pasti sedang kecewa, tapi maaf aku
tidak disisimu. Semoga kamu kuat. Dan kamu pasti akan dipertemukan dengan yang
terbaik nantinya, seperti doaku dulu kepadamu. Maaf aku ikut sedih.

22 April, pernikahan Pelangi diselenggarakan.

Matahari dan Rembulan sekarang sama-sama. Sama-sama mencari tambatan hati.


Hanya saja menyisakan pertanyaan. Apakah Matahari dan Rembulan bisa bersatu?
Bukannya tugas mereka hanya saling menggantikan peran? Matahari dengan paginya
dan Rembulan dengan malamnya. Fajar dan senja yang menjadi saksi pergantian
mereka. Menyapa sebentar, mungkin dengan senyum mungkin tidak, melambaikan
tangan kalau tidak capek, lalu salah satu tenggelam. Terus menerus seperti itu sampai
akhirnya….
Part 4
Allah menciptakan kecewa agar kita bisa kembali kepada-Nya, Allah menciptakan
kesedihan agar kita bisa kembali kepada-Nya, Allah menciptakan keraguan agar kita
bisa kembali kepada-Nya, Allah menciptakan itu semua karena Dia cemburu. Cinta
kita kepada makhluk-Nya, melebihi cinta kita kepada-Nya.

“Woi bengong aja, bro. Apakabar?” Kaget Fajar kepada Matahari

“Allahuakbar. Kamu, Jar. Hish. Ngangetin aja. Alhamdulillah sehat. Kamu? Lama ya
gak ketemu kita. Udah…. 4 tahun bosq.”

“Alhamdulillah baik. Iya euy. Lama amat. Gilak. Btw kamu… Yang sabar yak. Pasti
diganti yang lebih baik.”

“Iya santai. Alhamdulillah udah ikhlas juga bro. Ngeliat Pelangi seneng aku juga
ikut seneng. Gatau kenapa.”

“Ya namanya cinta hiya hiya hiya.”

Fajar adalah salah satu kawan baik Matahari di SMA. Sangat modis. Keren. Rambut
klimis. Brewokan. Tinggi. Pemain basket. Ketua OSIS. Ketua event acara olahraga
nasional dan yang paling penting adalah salah satu pendengar yang baik. Dia yang
paham dengan keadaan Matahari di SMA. Intrik dan dinamika saat SMA. Semuanya
tentangnya. Pokoknya best friend banget lah. Tapi, selain itu dia juga punya sahabat
namanya….

“Masih kontak dengan Bulan?” Tanya Fajar mengagetkan.

“Hm? Rembulan? Oh. Enggak. Udah lama banget. Cuman tau kabar dia udah lulus
dan sekarang jadi dokter. Kenapa bro?”

Fajar memperbaiki posisinya.

“Mau aku ceritain sesuatu tentangnya? Pas SMA. Dia best friend ku pas SMA. Dan
selalu curhat ke aku. Entah apapun itu. Dari agama, keseharian, hobi, pr, dan…
termasuk kamu Har.”

“Aku? Kenapa Jar?


"Kamu inget dulu pas dia berjuang denganmu pas event Ramadhan itu? Mulai dari
situ.”

“Iya inget. Terus?” Tanya Matahari penasaran.

“Mulai dari situ dia ada perasaan denganmu. Dia suka Har sama kamu. Kagum
dengan semua pemikiranmu. Apa yang kamu lakukan, apa yang kamu katakan, dan
semua tentangmu. Mungkin kamu cinta pertamanya, Har. Belum pernah dia
mengalami itu. Belum pernah seseneng itu. Dan dia selalu membahas tentang mu kalo
ketemu denganku. Sampek bosen aku dengernya.

"Seriusan kamu, Jar?”

“Dua rius. Aku sahabatnya bro. Kalo dia cerita apapun ke aku.”

“Kenapa kamu gak bilang dari dulu? Aku benar-benar gatau kalo dia seperti itu.”

“Bro, dia yang minta. Kalo aku gak boleh bocorin ceritanya ke siapapun termasuk
kamu. Dan pas kamu sama Pelangi. Dia bener-bener shock. Gatau mau ngapain,
matanya sembab, murung. Dan dari situ dia mulai batesin pergaulannya dengan
cowok. Dia gak bisa lagi suka sama cowok gitu aja. Takut kecewa lagi, katanya.”

Matahari merenung sejenak. Dia mulai memutar pikirannya saat dia berjuang dengan
Rembulan. Mulai bersama, bertukar pikiran, bercanda, cari dana, bertemu pembina,
dan semua yang pernah dilakukan bersama. Menunduk. Matahari menyia-nyiakan
seseorang yang benar-benar tulus dengannya. Mengecewakan begitu saja orang yang
dulu ikut memperjuangkan eventnya dan… juga dirinya.

“Bener apa yang kamu bilang barusan, Jar?”

“Iya, Har. Kurang lebih itu semua yang dia bilang ke aku. Beberapa tahun dulu.”

Angin berhembus disela-sela wajah Matahari, nekat menembus masuk ke dalam mata.
Berharap tak terjadi apa-apa, tetapi angin itu berdesakan keluar dengan membawa air
mata. Pedih rasanya. Lalu, tetes itu berangsur mengikuti wajah Matahari yang
memerah karena merasa bersalah. Turun begitu saja. Melewati mandibula dan
akhirnya menetes ke dalam lantai. Kemudian dia mengusap lembut jejak air matanya.
Sangat pilu. Tapi, sudah terjadi. Mau bagaimana lagi?
“Maafkan aku, Bulan. Sudah membuatmu kecewa. Aku terlalu bodoh. Sampai tidak
melihatmu mempunyai perasaan itu. Kamu dimana sekarang? Apakah perasaan mu
masih sama? Tentu saja tidak, kan?” Ucap hati Matahari.

******************

Deras hujan yang turun mengingatkan ku pada dirimu

Aku masih disini untuku setia …

Selang waktu berganti aku tak tau engkau dimana

Tapi, aku mencoba untuk setia …

Sesaat malam datang menjemput kesendirianku

Dan bila pagi datang, kutauuu kau tak disampingku

Aku masih disini untuk setia …

Lagu klasik yang menurutku masih bagus hingga sekarang. Jikustik-setia. Ah..
mungkin abangnya buat lagu buat kekasihnya kalik ya. Udah beberapa tahun gak
ketemu, tapi dia masih setia dengan kekasihnya. Dan akhirnya mereka bertemu. Aku
juga ingin. Tapi.. aku gak punya kekasih. Yasudah lah. Tak kusadari mobil yang
kukemudikan menuju pernikahan Pelangi akhirnya sampai.

Seperti biasa, aku memakai kebaya serba biru. Tepatnya biru donker. Alis yang tidak
terlalu tebal, gincu merah muda, rona merah pipi yang tipis. Hijab yang menutup dada,
arloji Daniel Wellington yang sudah 3 tahun masih awet bertengger di lenganku, dan
kacamata minus bulat trend anak jaman sekarang. Pelangi menyelenggarakan
pernikahan di gedung Wanitatama Jogja, yang menurutku wow itu mewah.

Dan di sudut ruangan aku melihat sosok dari masa lalu. Gaya rambutnya yang khas
dengan belahan kiri, matanya yang tajam, menyunggingkan bibirnya yang tak asing,
dan warna kesukaannya yang sama denganku. Biru donker. Itu Matahari. Sedang
berbincang dengan Fajar, sahabatku SMA. Yang kebetulan juga sahabat dari Matahari.
Tapi, dia terlihat murung menundukkan kepalanya. Mungkin sedih karena Pelangi
sudah mendahuluinya dan tidak jadi bersanding dengannya.

Akhirnya mata kita bertemu. Dunia melambat. Aku pernah merasakan seperti ini dulu.
Saat masa berjuangku dengannya. Bahkan suara penyanyi yang merdu tiba-tiba tidak
terdengar begitu saja. Jantung yang biasanya baik-baik saja, tiba-tiba merangsang
epinephrin untuk bekerja lebih cepat. Hippocampusku yang mengingat momen dahulu
ikut membuat semuanya jelas. Aku masih ada perasaan dengan Matahari. Cinta
pertama, walau tak berbalas.

“Matahari, lama ya tidak bertemu.” Ucapku dalam hati.

Segera ku mengalihkan langkahku menuju kamar kecil untuk tidak mengeluarkan air
mata. Dan membasuhnya. Mengapa momen ini terjadi lagi. Dan disaat aku tidak siap
untuk menghadapinya. Akhirnya aku memberanikan keluar kamar kecil untuk
mengambil ice cream agar tidak terlalu panik dan mendinginkan pikiranku. Lalu …

“Assalamualaikum Rembulan. Apa kabar?” Tiba-tiba Matahari menghampiriku.

“Eh, Waalaikumussalam. Alhamdulillah. Kamu?” Jawabku kaget.

“Baik Alhamdulillah.”

Tak bisa ku menahan gugup ku. Yang biasanya aku percaya diri, baru kali ini aku
tidak seperti itu.

“Sendiri kesini?”

“Aku? Eh, iya sendiri.” Kupalingkan mukaku.

Ternyata aku terlalu gugup untuk bertemu dengannya. Rona merah pipi berubah
menjadi merah tua. Kuhembuskan nafas dalam lalu mencoba tenang.

“Udah ketemu temen-temen? Tadi aku ketemu Fajar, Shidiq, Karen, Mia, Zahra,
Fatimah, dan masih banyak lagi.”

“Udah kok. Iya tadi aku udah sempet nyapa mereka.”

Tiba-tiba hening beberapa saat.


“Rembulan, maafin aku ya.”

“Maksudnya?” Tanyaku kaget.

“Beberapa tahun kebelakang. Pas SMA. Ternyata pernah membuatmu kecewa dan
aku tidak tau itu.”

“Em… Udah gakpapa. Santai. Lagian…”

Tiba-tiba pembicaraan ku terhenti karena Matahari menyahut

“Kamu ada waktu habis ini? Sebentar saja. Aku ingin mengobrol denganmu.”

“Emm.. punya sih. Dimana?”

“Cafe seberang jalan aja.”

“Oke baik.”

Tidak tau apa yang ingin Matahari bicarakan. Apa ingin membuatku kecewa lagi?
Pasti mau ngasih undangan nikah. Yasudahlah tak apa. Aku tidak ingin berharap lagi
dengannya.

Jalan raya semakin terik. Membakar para pengendara motor dan tukang becak
disekitar gedung itu. Jogja terasa sesak saat jam-jam seperti ini. Bagaimana lagi? Tak
punya pilihan. Sudah banyak orang bermobil. Jalan tidak bertambah lebar. Tak apa.
Tetapi, Jogja selalu punya kejutan.

30 menit kemudian kita sudah duduk berhadapan di cafe siang itu. Dia bercerita
tentang kehidupan sehari-hari nya selepas lulus SMA. Dan aku sama. Menceritakan
kehidupan ku menjadi mahasiswa kedokteran dan sesudah menyandang gelar dokter.
Tiba-tiba Matahari mengalihkan topiknya.

“Aku sudah denger semua dari Fajar, Bulan.”

“Denger apa?” Tanyaku kaget.

“Tentang dirimu saat SMA. Pas kita ….”

“Yasudah tak usah dibahas. Lagian udah masa lalu. Tidak penting.”
“Tapi bagiku penting. Seumur aku tidak pernah mengecewakan seseorang. Terutama
yang pernah berjuang untukku.”

“Lalu?”

“Apa kamu masih punya perasaan yang sama?”

Aku tidak menjawab. Hening. Aku menunduk? Perasaan yang sama? Aku tidak bisa
berbohong. Tapi, itu benar. Aku tidak bisa mengelak. Aku tidak pernah lagi
mengagumi seseorang selepas mengagumi Matahari. Perasaan ku terlalu tulus. Dan
terlalu innocent. Kepalaku mendadak pening. Pertanyaan itu seperti menghujani
kepalaku dengan batu. Dan merusak Area Broca lalu mengunci mulutku. Tidak bisa
berkata apapun.

“Kalau iya. Izinkan aku untuk meminta restu orang tua mu. Aku ingin serius. Sudah
waktunya.”

Batu yang menghujani tiba-tiba seperti membuat perdarahan di otak. Semua tubuh ku
tidak bisa bergerak. Diam. Aku tidak tau akan merespon apa. Ini terlalu
mengagetkanku. Ruangan yang dingin pun, seketika panas. Epinephrin ku dilepas lagi
oleh tubuh. Takikardia tidak terkendali. Menelan ludah pun terasa sulit bagiku.
Hormon tiroid ku bekerja dengan maksimal. Tubuhku sulit dikendalikan. Benar. Jogja
selalu punya kejutan. Tapi, ini terlalu mendadak.

“Lagi-lagi Allah mengejutkan ku.” Ucapku dalam hati.

“Baik, Rembulan. Berikan aku kesempatan untuk tidak mengecewakan mu kedua


kalinya.”

Entah kenapa aku hanya merespon dengan senyum. Tapi, ini benar-benar senyum
yang tulus seperti perasaan itu yang sudah bertahun-tahun tidak hilang. Hinggap pada
ingatan terlama dan keluar diam-diam untuk mengenang semua tanpa permisi.
Ternyata Allah hanya mengganti waktunya saja. Disaat semua sudah siap.
Menurut-Nya.

Apakah kamu pikir Matahari dan Rembulan hanya bergantian menggantikan tugas
satu sama lain saja? Apakah tidak ada kesempatan untuk Matahari dan Rembulan
untuk bersatu? Ada. Allah menciptakan Gerhana untuk mempertemukan mereka
berdua. Entah siang atau malam. Bintang, satelit, komet, planet, dan bumi menjadi
saksi mereka berdua untuk bertemu. Matahari dan Rembulan butuh beberapa waktu
untuk menjadikan Gerhana. Mereka tidak pernah mengeluh. Pada dasarnya
masing-masing sedang mempersiapkan diri dan berjuang. Lalu ketika masing-masing
sudah siap, maka Allah terbitkan Gerhana untuk mereka bertemu. Se simple itu Allah
mengatur semuanya. Dan kita hanya perlu menunggunya.

Dan selang 3 bulan dari pertemuan siang itu. Aku dan Matahari melepas tugas
masing-masing. Yang awalnya sahabat menjadi teman. Teman makan, teman
menonton, teman bercengkrama, teman bercanda, teman meminum teh, teman melihat
senja, teman berkendara, teman sholat, dan teman hidup.

6 Juli pernikahan mereka diselenggarakan.

Anda mungkin juga menyukai