Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK

ANALISIS PROKSIMAT

“SILASE SINGKONG”

Oleh :
Kelompok 9
Kelas B

Rana Nabila 200110150223


Muhammad Syahid Panji 200110150224
Silalahi Maria Kristin 200110150226
Farhan Yodha Ramadani 200110150227
Aisyah Ananda Nugraha 200110150228

LABORATORIUM NUTRISI TERNAK RUMINANSIA


DAN KIMIA MAKANAN TENAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak

baik yang berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau semuanya

dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Bahan pakan merupakan salah

satu faktor yang paling penting untuk menunjang kehidupan ternak dalam

melakukan semua proses metabolisme dalam tubuh, mulai dari sistem digesti,

respirasi, sirkulasi, pertumbuhan dan perkembangan, sistem hormon, sistem

limfoid dan saraf, sistem gerak, sistem kekebalan tubuh (imun), ekskresi maupun

reproduksi.

Pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak yang nantinya

akan berpengaruh pada produktivitas ternak serta pertumbuhan dan perkembangan

ternak. Pakan yang dibutuhkan harus memiliki kualitas baik, yaitu pakan yang

mengandung seluruh nutrien yang dibutuhkan oleh ternak. Kandungan nutrisi dari
suatu bahan pakan dapat diketahui melalui beberapa analisis bahan pakan salah

satunya, yaitu analisis proksimat. Bahan pakan perlu dianalisa kandungan

nutrienya. Ada beberapa metode analisa yang digunakan menentukan kandungan

bahan pakan. Metode yang sering digunakan adalah metode analisis proksimat.

Disebut analisis proksimat karena nilai yang diperoleh mendekati nilai komposisi

yang sebenarnya.

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk

mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak, dan serat

pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Komponen fraksi yang

dianalisis masih mengandung komponen-komponen lain dengan jumlah yang


2

sangat kecil, yang seharusnya tidak masuk ke dalam fraksi yang dimaksud, itulah

sebabnya mengapa hasil analisis proksimat menunjukkan angka yang mendekati

angka fraksi atau nilai sesungguhnya.

Singkong merupakan tanaman tropis yang potensial untuk dimanfaatkan

sebagai pakan ternak karena menghasilkan biomassa sumber energi (umbi) dan

protein (daun) dalam jumlah besar. Silase adalah pakan produk fermentasi yang

diproses dari bahan baku yang berupa tanaman hijauan, limbah industri pertanian,

serta bahan pakan alami lainnya, dengan kadar air pada tingkat tertentu kemudian

dimasukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara. Silase singkong

dapat dijadikan pakan alternatif untuk ternak, maka dari itu pada praktikum ini

silase singkong dijadikan sebagai sampel.

Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrien dari sampel

bahan pakan dengan menggunakan metode analisis proksimat. Manfaat yang

dapat diperoleh dari praktikum analisis proksimat adalah dapat mempraktikkan

secara langsung prosedur analisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien

dari suatu sampel atau bahan pakan.

1.2 Identifikasi Masalah

(1) Apa yang dimaksud dengan silase singkong.

(2) Bagaimana nilai kandungan nutrisi dalam silase singkong.

(3) Bagaimana proses analisis kadar air dalam silase singkong.

(4) Bagaimana proses analisis kadar abu dalam silase singkong.

(5) Bagaimana proses analisis kadar lemak kasar dalam silase singkong.

(6) Bagaimana proses analisis energi bruto dalam silase singkong.

(7) Bagaimana proses analisis kadar serat kasar dalam silase singkong.

(8) Bagaimana proses analisis kadar protein kasar dalam silase singkong.
3

(9) Bagamaina kandungan BETN dalam silase singkong.

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Mengetahui pengertian tentang silase singkong.

(2) Mengetahui kandungan nutrisi dalam silase singkong.

(3) Mengetahui kandungan air dalam silase singkong.

(4) Mengetahui kandungan abu dalam silase singkong.

(5) Mengetahui kandungan lemak kasar dalam silase singkong.

(6) Mengetahui besar kandungan energi bruto dalam silase singkong.

(7) Mengetahui kandungan serat kasar dalam suatu silase singkong.

(8) Mengetahui kandungan protein kasar dalam silase singkong.

(9) Mengetahui besar kandungan BETN dalam silase singkong.

1.4 Waktu dan Tempat

(1) Analisis Air, Abu, dan Lemak Kasar

Hari/Tanggal : Rabu, 09 November 2016

Waktu : 12.30 – 14.30 WIB

Tempat : Labroratorium Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan

Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

(2) Analisis Serat Kasar dan Energi Bruto

Hari/Tanggal : Rabu, 16 November 2016

Waktu : 12.30 – 14.30 WIB

Tempat : Labroratorium Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan

Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran


4

(3) Analisis Protein Kasar

Hari/Tanggal : Rabu, 23 November 2016

Waktu : 12.30 – 14.30 WIB

Tempat : Labroratorium Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan

Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran


5

II

DESKRIPSI BAHAN

2.1 Silase Singkong

Pemberian kulit umbi singkong sebagai pakan ternak tidak dapat diberikan

dalam bentuk segar karena mengandung racun HCN, sehingga perlu dilakukan

pengolahan untuk mengurangi atau menghilangkan senyawa tersebut melalui

proses seperti pengeringan, perendaman, pengukusan dan fermentasi atau

pembuatan silase. Adanya komponen substansi toksik bagi ternak yang berupa

HCN atau asam sianida pada kulit singkong menyebabkan penggunaannya

menjadi terbatas. Salah satu cara untuk menurunkan kandungan HCN pada kulit

singkong dengan metode fermentasi atau pembuatan silase.

Silase adalah pakan ternak yang masih memiliki kadar air yang tinggi

sebagai hasil pengawetan hijauan makanan ternak atau bahan-bahan lain melalui

suatu proses fermentasi yang dibantu oleh jasad renik dalam kondisi anaerob

(tanpa oksigen) dengan penambahan atau tanpa penambahan zat pengawet.

2.2 Ketersediaan Singkong di Indonesia

Singkong merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh sepanjang

tahun di daerah tropis dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai

kondisi tanah. Meningkatnya populasi manusia, menyebabkan kebutuhan pangan

asal pertanian meningkat termasuk tanaman singkong sehingga memperluas area

penanaman di tempat lain yang sebelumnya tidak ditanam. Berkembangnya usaha

pertanian tanaman singkong, memberikan peluang terhadap peningkatan limbah

pertanian dan hasil ikutan industri yang dihasilkan.


6

Limbah agroindustri tanaman singkong yang dapat dimanfaatkan terdiri

atas batang, daun, dan kulit umbi singkong (Chuzaemi, 2002). Semakin tinggi

jumlah produksi singkong, semakin tinggi pula kulit yang dihasilkan.

Kecenderungan produksi singkong semakin meningkat, hal ini terlihat dari jumlah

produksi singkong di Indonesia tahun 2008 sebesar 21.756.991 ton dan tahun

2013 sebesar 70.866.571 ton (BPS Indonesia 2013). Potensi ketersediaan kulit

umbi singkong berdasarkan data terakhir tahun 2013, melalui perhitungan

diperkirakan sebesar 14.173.314 ton. Angka tersebut menunjukkan potensi kulit

umbi singkong ketersediaannya melimpah dan potensial untuk dijadikan sebagai

bahan pakan ternak.

2.3 Kandungan Nutrisi Silase Singkong

Telah banyak peneliti melaporkan tentang kandungan nutrien singkong

sebagai bahan pakan ternak. Bagian umbi, kulit dan onggok memiliki kandungan

karbohidrat yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi

bagi babi dan unggas. Umbi, kulit dan onggok bukan merupakan sumber lemak
dan protein karena kandungan protein dan lemak yang sangat rendah. Daun

singkong merupakan sumber protein, vitamin, mineral dan asam amino esensial

yang berguna untuk pertumbuhan ternak (Chauynarong dkk, 2009).


7

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Kadar Air

Air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada

pemanasan dalam beberapa waktu pada suhu 105⁰ – 110⁰C dengan tekanan udara

bebas sampai sisa yang tidak menguap mempunyai bobot tetap. Penentuan

kandungan kadar air dari suatu bahan sebetulnya bertujuan untuk menentukan

kadar bahan kering dari bahan tersebut (Kamal, 1998).

Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan

pakan tersebut dipanaskan pada suhu 105⁰C. Bahan kering dihitung sebagai

selisih antara 100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang

dipanaskan hingga ukurannya tetap (Anggorodi, 1994).

3.2 Metode Analisis Air

Metode oven biasa / pengeringan yang digunakan merupakan salah satu

metode pemanasan langsung dalam penetapan kadar air suatu bahan pakan. Bahan

pakan dipanaskan pada suhu tertentu sehingga semua air menguap yang

ditunjukkan oleh berat konstan bahan setelah periode pemanasan tertentu.

Kehilangan berat bahan yang terjadi menunjukkan jumlah air yang terkandung.

Metode ini utamanya digunakan untuk bahan – bahan yang stabil terhadap

pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang tidak atau rendah kandungan

sukrosa dan glukosanya seperti tepung-tepungan dan serealia (AOAC, 1984).


8

3.3 Kandungan Air

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat

dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis).

Metode pengeringan melalui oven sangat memuaskan untuk sebagian besar

makanan, akan tetapi beberapa makanan seperti silase banyak sekali bahan-bahan

atsiri (bahan yang mudah terbang) yang bisa hilang pada pemanasan tersebut

(Winarno, 1997). Menurut Defano (2000), bahwa ditiap bahan pakan yang paling

kering sekalipun, masih terdapat kandungan air walaupun dalam jumlah yang

kecil.
9

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Oven listrik, berfungsi untuk menguapkan air pada bahan.

(2) Timbangan analitik, berfungsi untuk menimbang bahan dan cawan

alumunium.

(3) Cawan alumunium, berfungsi sebagai wadah bahan sampel.

(4) Eksikator, berfungsi untuk mengeringkan dan mendinginkan sampel.

(5) Tang penjepit, berfungsi untuk memindahkan cawan yang berisi sampel.

4.2 Bahan

(1) Sampel silase singkong, berfungsi sebagai sampel pada percobaan.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama satu jam pada suhu

100 - 1050C.

(2) Didinginkan dengan eksikator selama 15 menit dan ditimbang beratnya

(mencatat sebagai A gram).

(3) Ditambahkan ke dalam cawan alumunium sejumlah sampel sebanyak 2-5

gram yang telah ditimbang dengan teliti, sehingga berat sampel diketahui

dengan tepat (mencatat sebagai B gram). Bila menggunakan timbangan

analitik, dapat langsung diketahui berat sampelnya dengan menset zero

balance, yaitu setelah ditimbang berat alumunium kemudian di-zero kan

kembali sehingga ditunjukkan angka nol. Lalu dimasukkan sampel ke

dalam cawan dan kemudian ditimbang beratnya (mencatat C gram).


10

(4) Dimasukan cawan dan sampel ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 100

- 1050C sehingga seluruh air menguap (dapat pula dimasukkan ke dalam

oven dengan suhu 600C selama 48 jam).

(5) Dimasukan cawan dan sampel ke dalam eksikator selama 15 menit dan

ditimbang. Kemudian diulangi pekerjaan ini dari tahap nomor 4 dan

nomor 5 sampai beratnya tidak berubah lagi (mencatat sebagai D gram).

Hitung kadar air yang terkandung pada bahan.


11

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar air pada silase singkong sebesar 54,89 %, untuk lebih

jelas dapat dilihat pada Tabel 1 yaitu sebagai berikut :

Tabel 1. Analisis Air


Berat cawan Berat cawan + Berat Berat cawan + Kadar
alumunium sampel sebelum sampel sampel sesudah Air
di oven di oven
...................................................... gram ............................................... .....%.....
4,298 49,327 45,029 24,638 54,89
Perlakuan :

Penambahan N = 0,75 dan S = 0,044

5.2 Pembahasan

Berdasarkan data yang telah tersedia dan telah dilakukan perhitungan,

diperoleh hasil bahwa kandungan air silase singkong yang diberi penambahan N
0,75 dan S 0,044 adalah 54,89 %. Kadar air tersebut lebih kurang sesuai dengan

pernyataan Firga (2014) bahwa kandungan air singkong varietas Bogor dengan

umur panen panjang (12 bulan) adalah 53,99%. Perbedaan tersebut karena sampel

yang digunakan untuk analisis kadar air adalah silase, sedangkan literatur

pembanding adalah kadar air singkong. Kadar air silase yang lebih tinggi daripada

singkong biasa (bukan silase) merupakan suatu kewajaran, karena menurut Risna

(2013) bahwa semakin tinggi kadar air bahan-bahan yang digunakan untuk

membuat silase, maka semakin tinggi juga kadar air silase yang dihasilkan.
12

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil dari pembakaran suatu bahan organik.

Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai

parameter nilai gizi dalam suatu bahan makanan juga untuk mengetahui baik

tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk mengetahui jenis bahan yang

digunakan (Sudarmadji dkk., 1996). Analisis kadar abu adalah usaha untuk

mengetahui kadar abu bahan baku pakan. Analisis kadar abu secara umum

ditentukan dengan membakar bahan baku pakan, biasanya hanya zat-zat organik,

selanjutnya ditimbang dan sisanya disebut abu (Murtidjo, 1987). Abu hasil

pembakaran dapat digunakan untuk determinasi persentase zat – zat tertentu

dalam bahan pakan, seperti mineral makro maupun mineral mikro (Anggorodi,

1994).

3.2 Metode Analisis Abu

Pengabuan ini menggunakan panas tinggi dan adanya oksigen. Biasanya

digunakan dalam analisis kadar abu. Metode pengabuan cara kering banyak

dilakukan untuk analisis kadar abu. Caranya adalah dengan mendestruksi

komponen organik, contoh dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur (furnace)

pengabuan, tanpa terjadi nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan

dan berat tetap (konstan) tercapai. Oksigen yang terdapat di dalam udara bertindak

sebagai oksidator. Oksidasi komponen organik dilakukan pada suhu tinggi 500 -
13

6000C. Residu yang tertinggal ditimbang dan merupakan total abu dari suatu

sampel (Fauzi, 2006).


3.3 Kandungan Abu

Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Kiston (2012) bahwa kadar

abu dalam silase singkong setelah fermentasi selama 6 minggu adalah 6,03%.

Tidak seluruhnya unsur utama pembentuk senyawa organik dapat terbakar dan

berubah menjadi gas. Oksigen ada yang masih tinggal dalam abu sebagai oksida

dan karbon sebagai karbonat. Sebagai mineral tertentu menguap menjadi gas

(Atun, 2016).
14

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Cawan porselen 30 ml, berfungsi sebagai wadah sampel saat analisis.

(2) Kompor listrik atau hot plate, berfungsi untuk menghilangkan senyawa

organik pada sampel.

(3) Tanur listrik, berfungsi untuk membakar sampel.

(4) Eksikator, berfungsi untuk mendinginkan dan mengeringkan alat dan

bahan.

(5) Tang penjepit, berfungsi untuk memindahkan alat dan bahan.

4.2 Bahan

(1) Sampel silase singkong, berfungsi sebagai sampel pada analisis.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 100 -

1050C.

(2) Didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan timbang, dicatat sebagai

A gram.

(3) Dimasukan sejumlah sampel kering oven 2 – 5 gram ke dalam cawan, di

catat sebagai B gram.

(4) Dipanaskan dengan hot plate atau pembakar bunsen l sampai tidak berasap

lagi.
15

(5) Dimasukan kedalam tanur listrik dengan temperatur 600 – 7000 C, biarkan

beberapa lama sampai bahan berubah menjadi abu putih betul. Lama

pembakaran sekitar 3 – 6 jam.

(6) Didinginkan dalam eksikator kurang lebih 30 menit dan timbang dengan

teliti, catat sebagai C gram.

(7) Hitung kadar abunya.


16

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar abu pada silase singkong sebesar 2,047 %, untuk lebih

jelas dapat dilihat pada Tabel 2 yaitu sebagai berikut :

Tabel 2. Analisis Abu


Berat crussible Berat crussible + Berat Berat crussible + Kadar
sampel sebelum sampel sampel sesudah Abu
di tanur di tanur
...................................................... .....%.....
gram ...............................................
24,32 25,785 45,029 24,35 2,047
Perlakuan :

Penambahan N = 0,75 dan S = 0,044

5.2 Pembahasan

Berdasarkan data yang telah tersedia dan telah dilakukan perhitungan,


diperoleh hasil bahwa kandungan abu silase singkong yang diberi penambahan N

0,75 dan S 0,044 adalah 2,047 %. Kandungan abu yang diperoleh tersebut tidak

sesuai dengan hasil percobaan Kiston (2012) bahwa kadar abu dalam silase

singkong setelah fermentasi selama 6 minggu adalah 6,03%. Perbedaan tersebut

disebabkan karena pada literatur pembanding bahan sampel yang digunakan

adalah silase biomassa singkong (kulit, umbi, batang, dan daun) sedangkan pada

praktikum digunakan umbi singkong saja, sehingga sangat dimungkinkan bahwa

kandungan mineral pada biomassa singkong lebih banyak daripada umbi

singkong. Pada analisis abu penambahan N dan S tidak berpengaruh karena pada
17

prinsipnya seluruh unsur utama pembentuk senyawa organik (C, H, O, dan N)

akan habis terbakar dan berubah menjadi gas.


18

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Lemak Kasar

Lemak kasar yang dihasilkan dari penentuan lemak kasar adalah ekstraksi

dari klorofil, santofil, dan karoten. Bahan yang mengandung banyak lemak kasar

adalah tepung kedelai. Tepung kedelai merupakan sumber lemak nabati (Khairul,

2009). Lemak kasar terdiri dari lemak dan pigmen. Zat – zat nutrien yang bersifat

larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K diduga terhitung sebagai lemak

kasar. Pigmen yang sering terekstrak pada analisis lemak kasar, seperti klorofil

atau santofil. Analisis lemak kasar pada umumnya menggunakan senyawa eter

sebagai bahan pelarutnya, maka dari itu analisis lemak kasar juga sering disebut

sebagai ether extract (Cherney, 2000).

Kandungan lemak suatu bahan pakan dapat ditentukan dengan metode

soxhlet, yaitu proses ekstraksi suatu bahan dalam tabung soxhlet (Siregar, 1994).

Lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan lemak murni. Selain
mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung wax (lilin),

asam organik, alkohol, dan pigmen oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan

lemak tidak sepenuhnya benar. Penetapan kandungan lemak dilakukan dengan

larutan heksan sebagai pelarut. Fungsi dari n-heksan adalah untuk mengekstraksi

lemak atau untuk melarutkan lemak, sehingga merubah warna dari kuning

menjadi jernih (Mahmudi, 1997).


19

3.2 Metode Analisis Lemak Kasar

Analisis kadar lemak dilakukan untuk mengetahui kandungan lemak dari

masing-masing sampel. Analisis kadar lemak dengan metode soxhlet

menggunakan alat ekstraksi yang terdiri atas kondensor dan pemanas listrik untuk

mengekstrak kandungan lemak yang terdapat dalam bahan. Metode hidrolisis

dilakukan sampel karena mengandung kadar air yang besar. Hidrolisis ini

bertujuan mempermudah mengekstrak lemak yang terikat dalam matriks – matriks

sampel. Sampel yang telah dihaluskan, ditimbang sebanyak 1 – 2 g, dimasukkan

ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang

berisi sampel tersebut disumbat dengan kapas pada kedua ujungnya. Selongsong

tersebut dikeringkan dalam oven sebelum disuling pada suhu tidak lebih dari 80 0C

selama kurang lebih 1 jam. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat

penyulingan soxhlet setelah dioven, yang telah dirangkai dengan labu lemak berisi

labu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel tersebut

diekstrak dengan pelarut heksan selama kurang lebih 6 jam. Selesai di suling

selama 6 jam, heksan disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven
pengering pada suhu 1050C. Ekstrak tersebut didinginkan di dalam desikator dan

ditimbang bobotnya. Pengeringan ini diulangi terus hingga tercapai bobot yang

relatif tetap. Pengukuran kadar lemak dilakukan dengan tiga ulangan (Dewi,

1996).

Metode Soxhlet termasuk jenis ekstraksi menggunakan pelarut

semikontinu. Ekstraksi dengan pelarut semikontinu memenuhi ruang ekstraksi

selama 5 - 10 menit dan secara menyeluruh memenuhi sampel, kemudian kembali

ke tabung pendidihan. Kandungan lemak diukur melalui berat yang hilang dari

contoh atau berat lemak yang dipindahkan. Metode ini menggunakan efek

perendaman sampel dan tidak menyebablan penyaluran (Winarno,1993).


20

3.3 Kandungan Lemak Kasar

Kandungan lemak kasar adalah persentase banyaknya kandungan lemak

yang terdapat dalam suatu bahan pakan dalam bentuk bahan kering. Siti Unayah

melakukan percobaan pada limbah tanaman singkong menggunakan suplemen

sebagai akselerator. Percobaan tersebut didapatkan hasil bahwa silase singkong

memiliki kandungan lemak kasar sebesar 15,25 ± 4,25 % (Siti Unayah, 2015).
21

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Satu set alat soxhlet, berfungsi untuk pengekstrasian lemak.

(2) Kertas saring bebas lemak, berfungsi untuk membuat selongsong dan

tempat sampel.

(3) Kapas dan biji hekter, berfungsi untuk menutup sampel yang berada pada

selongsong.

(4) Eksikator, berfungsi untuk menyerap sisa air.

(5) Timbangan analitik, berfungsi untuk menyerap sisa air.

4.2 Bahan

(1) Kloroform, berfungsi untuk menyerap lemak.

(2) Silase singkong, berfungsi sebagai sampel yang akan di uji.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Disiapkan kertas saring yang telah kering oven (gunakan kertas saring

bebas lemak).

(2) Dibuat selongsong penyaring yang dibuat dari kertas saring, menimbang

dan dicatat beratnya sebagai A gram. Dimasukkan sampel sekitar 2 – 5

gram dalam selongsong kemudian ditimbang dan dicatat beratnya sebagai

B gram. Ditutup dengan kapas kemudian dihekter, lalu ditimbang dan

dicatat beratnya sebagai C gram. Berat sampel = (B - A) gram.

(3) Dimasukkan selongsong penyaring berisi sampel ke dalam alat soxhlet.

Dimasukan pelarut lemak (kloroform) sebanyak 100 – 200 ml ke dalam


22

labu didihnya. Dilakukan ekstraksi (dinyalakan pemanas hot plate dan

alirkan air pada bagian kondensornya).

(4) Dilakukan ekstraksi selama lebih kurang 6 jam. Diambil selongsong yang

berisi sampel yang telah diekstraksi dan dikeringkan didalam oven selama

1 jam pada suhu 1050C. Kemudian dimasukan ke dalam eksikator 15 menit

dan kemudian ditimbang, dan dicatat beratnya sebagai D gram.

(5) Didestilasi kloroform yang terdapat dalam labu didih sehinga tertampung

di penampung sokhlet. Kloroform yang tertampung disimpan untuk

digunakan kembali.
23

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar lemak kasar pada silase singkong sebesar 2,685 %,

untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu sebagai berikut :

Tabel 3. Analisis Lemak Kasar


Berat Berat Berat selongsong Berat selongsong Kadar
selongsong selongsong + sampel + + sampel + Lemak
+ sampel kapas + hekter kapas + hekter Kasar
sebelum sesudah
diekstraksi diekstraksi
...................................................... .....%.....
gram ...............................................
0,753 1,684 1,706 1,681 2,685
Perlakuan :

Penambahan N = 0,75 dan S = 0,044

5.2 Pembahasan

Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan, kadar lemak yang diperoleh

adalah sebesar 2,685 %. Kadar lemak kasar yang diperoleh tidak sesuai dengan

percobaan Siti Unayah (2015) yang disebutkan bahwa kadar lemak pada silase

singkong adalah sebesar 15,25 ± 4,26 %. Perbedaan nilai kadar lemak tersebut

bisa disebabkan oleh banyak faktor, contohnya : (1) ada fosfolipid dan lipoprotein

yang tidak larut dalam lemak, (2) ekstraksi lemak tidak benar, dan (3) kesalahan

praktikan dalam melakukan perhitungan dan percobaan.


24

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Serat Kasar

Serat merupakan zat non gizi, dimana dibagi kedalam dua jenis, yaitu serat

makanan (dietry fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat makanan adalah bagian

dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan,

sedangkan serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat terhidrolisis

oleh bahan kimia. Serat kasar dapat diartikan sebagai sisa-sisa skeletal sel

tanaman yang tahan terhadap hidrolisa oleh enzim pencernaan manusia. Sering

pula serat disebut sebagai “unavailable carbohydrate”, yang terdiri dari dinding

sel tanaman yang sebagaian besar mengandung tiga macam polisakarida. Tiga

macam polisakarida tersebut adalah selulosa, zat pektin, dan hemiselulosa, serta

terkandung pula zat bukan karbohidrat yakni lignin (Piliang dan Djojosoebagio,

2002).

3.2 Metode Analisis Serat Kasar

Serat kasar umumnya digunakan dalam analisis proksimat bahan pakan

yang menggunakan Asam Sulfat (H2SO4 1,25%) dan Natrium Hidroksida (NaOH

1,25%) untuk menentukan kandungan serat kasar pada pakan. Serat kasar

merupakan sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan

asam dan basa kuat selama 30 menit. Proses ini dapat merusak beberapa macam

serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat diketahui komposisi

kimia tiap-tiap bahan yang membentuk dinding sel. Kerusakan beberapa macam

serat tersebut membuat berkurangnya perkiraan jumlah kandungan serat kasar


25

sebesar 80% untuk hemiselulosa, 50 - 90% untuk lignin, dan 20 - 50% untuk

selulosa (Piliang dan Djojosoebagio, 2002).

Karbohidrat yang tidak larut dimasak berturut-turut dalam larutan Asam

Sulfat dan Natrium Hidroksida merupakan serat kasar (Sudarmadji, 1996). Bagian

yang tidak larut dibakar sesuai dengan analisis abu. Selisih antara bagian yang

tidak larut dibakar dengan abu tersebut adalah nilai dari serat kasarnya (Rasyaf,

2001). Metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua

bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan dengan Asam Sulfat bahan

yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan. Residu

yang tidak larut merupakan serat kasar (Soejono, 1990).

3.3 Kandungan Serat Kasar

Analisis kadar serat kasar adalah usaha untuk mengetahui kadar serat kasar

bahan baku pakan. Zat-zat yang tidak larut selama pemasakan bisa diketahui

karena terdiri dari serat kasar dan zat-zat mineral, kemudian disaring, dikeringkan,

ditimbang dan kemudian dipijarkan lalu didinginkan dan ditimbang sekali lagi.

Perbedaan berat yang dihasilkan dari penimbangan menunjukkan berat serat kasar

yang ada dalam makanan atau bahan baku pakan (Murtidjo, 1987).
26

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Gelas piala khusus 600 ml, berfungsi sebagai tempat untuk melarutkan zat

yang tidak butuh ketelitian tinggi.

(2) Cawan porselen 30 ml, berfungsi untuk mereaksikan zat dalam suhu tinggi

dan sebagai wadah untuk menempatkan sampel.

(3) Corong Buchner berdiameter 4.5 cm, berfunsi untuk menyaring larutan

dengan dengan bantuan pompa vakum.

(4) Satu set alat pompa vakum, berfungsi untuk menyedot angin/udara pada

suatu alat tertentu.

(5) Eksikator, berfungsi untuk menyerap air.

(6) Tanur listrik, berfungsi untuk memanaskan pada suhu tinggi.

(7) Hot plate, berfungsi untuk memanaskan larutan.

(8) Tang penjepit, berfungsi untuk menjepit atau mengantil tabung reaksi, dan
lain-lain.

(9) Timbangan analitik, berfungsi untuk menimbang sampel.

4.2 Bahan

(1) Kertas saring bebas abu (Whatman No. 41), berfungsi untuk menyaring

sampel.

(2) H2SO4 1,25% berfungsi untuk menghidrolisisi kandungan protein dan

karbohidrat dalam sampel.

(3) NaOH 1,25%, berfungsi untuk penyabunan lemak.

(4) Aseton, berfungsi untuk melarutkan lemak dalam sampel.


27

(5) Aquades panas, berfungsi untuk membilas sampel.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Disiapkan kertas saring kering oven dengan diameter 4,5 cm, catat sebagai

A gram.

(2) Disiapkan cawan porselen kering oven.

(3) Dimasukkan residu/sisa ekstraksi lemak ke dalam gelas piala khusus

sebanyak 1 gram, mencatat sebagai B gram.

(4) Ditambahkan asam sulfat 1,25% sebanyak 100 ml kemudian memasang

pada alat pemanas khusus tepat dibawah kondensor (reflux).

(5) Dialirkan airnya dan menyalakan pemanas listrik tersebut.

(6) Dididihkan selama 30 menit dihitung saat mulai mendidih.

(7) Setelah cukup pemanasan, diambil dan disaring dengan menggunakan

corong buchner yang telah dipasang kertas saring (kertas saring ini tidak

perlu diketahui beratnya).

(8) Penyaringan menggunakan pompa vakum (pompa isap) dan dicuci/dibilas

dengan mempergunakan aquades panas sebanyak 100 ml.

(9) Dikembalikan residu yang terdapat dalam corong buchner kepada beaker

glass semula.

(10) Ditambahkan NaOH 1,25% sebanyak 100 ml, kemudian pasang kembali

pada alat pemanas khusus seperti semula.

(11) Dilakukan seperti pada 6 – 7. Tetapi digunakan kertas saring yang telah

diketahui beratnya (lihat no 1).

(12) Dicuci/ membilas pada penyaringan ini berturut-turut dengan:

a. Air panas 100 ml

b. Asam sulfat panas 0,3 N (1,25%) 50 ml


28

c. Air panas 100 ml

d. Aseton 50 ml

(13) Dimasukkan kertas saring dan isinya (residu) ke dalam cawan porselen

gunakan pinset.

(14) Dikeringkan dalam oven 1000C – 1050C selama 1 jam.

(15) Didinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu timbang, dicatat sebagai

C gram.

(16) Dipanaskan dalam hot plate sampai tidak berasap lagi, kemudian

dimasukkan dalam tanur listrik 6000C – 7000C selama 3 jam sampai

abunya berwarna putih. Dibakar serat kasar sampai habis.

(17) Didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, lalu ditimbang dan dicatat

sebagai D gram.
29

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar serat kasar pada silase singkong sebesar 4,762 %,

untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4 yaitu sebagai berikut :

Tabel 4. Analisis Serat Kasar


Berat Berat cawan + Berat Berat cawan + Kadar
kertas residu sebelum di sampel residu sesudah di Serat
saring tanur tanur Kasar
...................................................... .....%.....
gram ...............................................
0,45 29,790 0,214 29,554 4,762
Perlakuan :

Penambahan N = 0,75 dan S = 0,044

5.2 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kadar serat kasar yang

terdapat dalam silase singkong adalah sebesar 4,762%. Kadar serat kasar yang

diperoleh tidak begitu sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sandi,

dkk (2010) yang menyatakan bahwa kadar serat kasar pada silase singkong

sebesar 5,05%. Perbedaan angka yang tidak jauh berbeda ini disebabkan oleh

adanya perbedaan perlakuan antara yang dilakukan dalam penelitian dengan yang

dipraktikumkan. Perbedaan angka tersebut juga dapat disebabkan oleh bedanya

umur singkong pada saat pembuatan silase yang menyebabkan perbedaan kadar

lemak yang terkandung.


30

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Energi

Energi sangat dibutuhkan oleh mahluk hidup, diantaranya tanaman,

hewan, dan manusia. Tanaman dalam proses fotosintesis membutuhkan energi

panas dari matahari. Ternak atau umumnya hewan membutuhkan energi untuk

menjalankan fungsi-fungsi tubuhnya, seperti kerja mekanik (aktifitas) otot dan

kerja kimia dalam peredaran zat – zat didalam sel, dan untuk sintesa katalis reaksi

kimia tubuh penting seperti enzim dan hormon atau pembentukan molekul-

molekul barn dan pembentukan energi listrik dalam urat saraf (Mc. Donald dkk.,

1975).

Energi adalah suatu kemampuan untuk melakukan pekerjaan dan berbagai

bentuk kegiatan (kimia, elektrik, radiasi, dan termal) dan dapat diubah – ubah.

Energi radiasi dari matahari yang digunakan tanaman untuk membentuk zat – zat

makanan majemuk dapat digunakan ternak untuk menghasilkan kerja mekanik


atau menghasilkan panas yang diperlukan bagi hewan homeoterm. Unit panas

adalah gram kalori (cal.) yang dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang

dapat perlukan untuk menaikkan temperatur dari satu gram air setinggi satu

derajat (10) Celcius (C) dari 14,50C ke 15,50C. Unit ini terlalu kecil untuk

percobaan kalorimeter pada ternak sehingga kilogram adalah unit dasar dari Kkal

sama dengan 1000 kal. Mkal adalah sama dengan 1.000.000 kal atau sama dengan

1.000 Kkal. Beberapa Sarjana lebih suka memakai joule, yang merupakan unit

internasional dari suatu pekerjaan (kerja) atau energi. Satu Kkal = 4.185 kilojoule

(Tillman, 1998).
31

3.2 Metode Analisis Energi

Prinsip dari energi bruto adalah sampel dimasukkan bejana bomb dan

dibakar sempurna. Panas yang timbul akan memanaskan air dalam bejana air.

Selisih suhu awal dan akhir dikonversi ke nilai kalori (Sutardi, 2004).

Suatu nutrien organik dibakar sempurna sehingga menghasilkan oksida

(CO2 dan air), maka panas yang dihasilkan disebut energi bruto. Guna

menentukan besarnya energi bruto bahan pakan dapat digunakan suatu alat bomb

kalorimeter. Besarnya nilai energi bahan pakan tidak sama tergantung dari macam

nutrient dan bahan pakan (Soejono, 2004).

Energi total makanan adalah jumlah energi kimia yang ada dalam

makanan, dengan mengubah energi kimia menjadi energi panas dan diukur jumlah

panas yang dihasilkan. Panas ini diketahui sebagai sumber energi total atau panas

pembakaran dari makanan, bomb kalorimeter digunakan untuk menentukan energi

total dan sampel makanan dipijarkan dengan aliran listrik. Metode ini dipakai

untuk energi total makanan dan produk ekskretori (Tillman, 1993).

3.3 Energi Bruto

Banyaknya kandunagan energi bruto didalam bahan makanan sangat

tergantung pada komposisi dari karbohidrat, protein, dan lemak yang terdapat

dalam bahan makanan tersebut. Nilai energi bruto dari berbagai bahan makanan

bermacam – macam dan tidak menentu, akan tetapi secara umum telah ditetapkan

nilai energi bruto untuk karbohidrat = 4,15 kkal/kg, protein = 5,65 kkal/kg, dan

lemak = 9,45 kkal/kg. (Hendalia, et.al. 2008).

Bila suatu nutrien organik dibakar sempurna sehingga menghasilkan

oksida (CO2, H2, gas dan oksida lainnya) maka panas yang dihasilkan disebut

energi bruto. Untuk menentukan besarnya energi bruto dari nutrien atau bahan
32

pakan dapat digunakan bomb kalorimeter. Besarnya nilai energi bahan pakan tidak

sama tergantung dari macam nutrien dari bahan pakan (Rahardjo (2002).
33

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Seperangkat alat bomb kalori meter

 Bejana bomb digunakan untuk menentukan energi total dan sampel

makanan, yang terdiri dari :

a. Wadah, berfungsi sebagai tempat akan dilakukannya pengujian

b. Tutup yang dilengkapi,

 Elektroda dan kabel elektroda, berfungsi sebagai media

untuk menghantarkan elektroda

 Katup inlet, berfungsi sebagai saluran masuknya oksigen

 Katup outlet, berfungsi sebagai saluran keluar oksigen

 Cawan/mangkuk pembakaran, berfungsi sebagai tempat

untuk meletakan sampel

 Sumbu pembakar, berfungsi sebagai media pembakar


sampel

 Drat pengunci, berfungsi untuk menutup secara sempurna

 Bejana air, berfungsi sebagai wadah pengisi air.

 Jacket, yang terdiri dari

a. Wadah, berfungsi sebagai tempat akan dilakukannya pengujian

b. Tutup yang dilengkapi

 Batang pengaduk air, berfungsi untuk mengaduk air

 Electromotor, berfungsi untuk mengalirkan elektroda


34

 Termometer skala kecil yang dilengkapi teropong

pembacaan, berfungsi untuk melihat perubahan suhu yang

terjadi

 Tabung gas oksigen yang dilengkapi regulator dan selang

inlet, berfungsi untuk memberikan tekanan oksigen

sekaligus membantu proses penge-bomb-an

 Statif/standar, berfungsi untuk tutup jaket dan atau tutup

bejana bomb, menutup bejana bomb

(2) Catu daya 23 volt, berfungsi sebagai sumber listrik selama proses

pembakaran.

4.2 Bahan

(1) Oksigen, berfungsi untuk memberikan oksigen pada saat pembakaran

sampel dalam bejana bomb.

(2) Kawat sumbu pembakar, berfungsi sebagai bahan pada saat pembakaran

sampel.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Dihubungkan ujung elektroda dengan kawat sumbu pembakar.

(2) Ditimbang 1 gram sampel dan dimasukannya ke dalam cawan, kemudian

disimpan tepat di bawah sumbu pembakaran.

(3) Dimasukkan tutup bomb ke wadahnya, lalu dikencangkan drat pengunci.

(4) Diisi bejana bomb dengan oksigen sebesar 30 atmosfir melalui katup elang

inlet kekatup inlet.

(5) Diisi bejana air dengan aquades sebanyak 2 kg.

(6) Dimasukkan bejana bomb ke bejana air yang telah diisi aquades.
35

(7) Dimasukkan bejana air berisi bejana bomb kedalam wadah jacket, lalu

ditutup dengan penutup jacketnya.

(8) Disambungkan kabel elektroda ke catudaya 23 volt.

(9) Dinyalakan motor listrik yang kemudian akan dijalankan pengaduk air

yang terhubung kebejana air. Dilalukan pengadukan selama 5 menit. Pada

menit ke 6, dicatat suhunya sebagai T1.

(10) Tombol catu daya ditekan sebagai pemicu pembakaran di dalam bomb.

(11) Diamati suhu sampai suhu tidak naik lagi (konstan) dan dicatat sebagai

data T2.

(12) Dicabut elektro catu daya.

(13) Diangkat tutup jacket.

(14) Dikeluarkan bejana air dan bejana bomb.

(15) Dikeluarkan gas pembakaran melalui katup outlet.

(16) Dibuka drat pengunci dan tutup bom.


36

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar energi bruto pada silase singkong sebesar 3442,5

Cal/gram, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu sebagai berikut :

Tabel 5. Analisis Energi Bruto

Berat sampel Suhu awal (T1) Suhu akhir (T2) Hasil Perhitungan

.......gram........ ......⁰C..... ⁰C Cal/gram

0,667 28,41 29,36 3442,5

Perlakuan :

Penambahan N = 0,75 dan S = 0,044

5.2 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kandungan energi bruto

dalam sampel adalah 3442,5 cal/g, hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Devandra (1997) yang menyatakan bahwa hasil energi yang

terdapat pada silase singkong adalah sebesar 2700 cal/g.

Perbedaan perlakuan yang menyebabkan perbedaan tersebut, karena pada

praktikum ini dilakukan perlakuan penambahan nitrogen (N) sebesar 0,75% dan

sulfur (S) sebesar 0,044 hal ini menyebabkan kandungan energi bruto pada

praktikum lebih besar dibandngkan dengan penelitian. Penambahan nitrogen

menambah kandungan bahan organik pada sampel. Kandungan energi bruto di

pengaruhi oleh kandungan karbohidrat, lemak, dan protein pada sampel.


37

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Protein Kasar

Protein adalah zat makanan yang sangat penting untuk tubuh. Protein

berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan

pengatur tubuh. Protein merupakan polimer asam amino yang dihubungkan

dengan ikatan polipeptida yang dimana protein tersusun oleh unsur C, H, O, N, P,

S, dan terkadang mengandung unsur logam, seperti besi dan tembaga (Tillman

dkk, 2005).

Kadar protein pada analisis proksimat bahan pakan pada umunya

mengacu pada istilah protein kasar. Protein kasar memiliki pengertian banyaknya

kandungan nitrogen (N) yang terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25.

Definisi tersebut berdasarkan asumsi bahwa rata-rata kandungan N dalam bahan

pakan adalah 16 gram per 100 gram protein (NRC, 2011). Protein kasar terdiri

dari protein dan nitrogen bukan protein (NPN) (Cherney, 2000).


Kebutuhan protein pada ternak dapat disebut dalam bentuk protein kasar,

yang dimana kebutuhannya dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, unsur dan

ukuran ternak, kebuntingan, laktasi, dan kondisi tubuh. Ternak yang mengalami

defisiensi protein akan memperlambat pengosongan perut sehingga menurunkan

konsumsi (Rangkuti, 2011) sehingga perlu diketahui kadar protein yang

dibutuhkan oleh ternak dalam pakannya.

Menurut Siregar (1994) senyawa – senyawa non protein nitrogen dapat

diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat

meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen tergantung jenis

makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Ternak yang konsumsi N makanannya


38

rendah, maka N yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Nilai hayati protein

dari makanan sangat tinggi memungkinan protein tersebut didegradasi di dalam

rumen menjadi protein berkualitas rendah.

3.2 Metode Analisis Protein Kasar

Secara umum, analisis protein dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu

kualitatif (reaksi santoprotein dan reaksi biuret) dan kuantitatif (metode kjeldahl).

Kuantitatif merupakan penentuan kadar dalam analisis protein. Kadar protein

yang dilakukan berdsar pada metode kjeldahl yang disebut sebagai kadar protein

kasar (crude protein) karena ikutnya senyawa nitrogen bukan protein seperti urea,

amonia, dan purin (Sudarmadji dkk, 1996).

Prinsip kerja dari metode kjeldahl adalah protein dan komponen organik

dalam sampel di destruksi (dihancurkan/dipecah) dengan menggunakan larutan

asam sulfat dan katalis. Hasil destruksi dinetralkan dengan melalui proses destilasi

yang menggunakan larutan alkali. Destilat ditampung dalam larutan asam borak.

Lalu ion borak yang terbentuk dititrasi dengan menggunakan larutan HCl
(Hafiludin, 2011).

Dasar perhitungan penentuan protein menurut kjeldahl adalah hasil

penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah

mengandung unsur nitrogen rata-rata 16% (protein murni). Senyawa protein

tertentu yang diketahui kadar unsur nitrogennya, maka angka yang lebih tepat

yang dipakai. Metode kjeldahl dapat digunakan dalam skala makro (bahan yang

sulit dihomogenisasi dan ukuran sampel 1 - 3 gram) dan skala semi mikro (bahan

yang mudah dihomogenisasi dan ukuran sampel < 300mg) (Riyanto, 2006).
39

3.3 Kandungan Protein Kasar

Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan

produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan

nitrogen bahan pakan kemudian dikali dengan faktor protein 6,25. Angka 6,25

diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen. Kelemahan

analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada asumsi dasar yang

digunakan. Pertama, dianggap bahwa semua nitrogen bahan pakan merupakan

protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein dan kedua, bahwa

kadar nitrogen protein 16%, tetapi kenyataannya kadar nitrogen protein tidak

selalu 16% (Soejono, 1990).


40

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Labu Kjeldahl 300 ml, berfungsi untuk destruksi bahan makanan,

khususnya yang berbentuk padat.

(2) Satu set alat destilasi, berfungsi sebagai alat pada tahap destilasi.

(3) Erlenmeyer 250 cc, berfungsi untuk menampung larutan yang akan

dititrasi.

(4) Buret 50 cc skala 0,1 ml, berfungsi untuk titrasi, tapi pada keadaan tertentu

dapat pula digunakan untuk mengukut volume suatu larutan.

(5) Timbangan analitik, berfungsi untuk menimbang sampel.

4.2 Bahan

(1) Asam Sulfat Pekat (97%), berfungsi untuk mendestruksi protein menjadi

unsur – unsurnya.
(2) Asam Chlorida (yang sudah diketahui normalitasnya), berfungsi untuk

proses titrasi.

(3) Natrium Hydroxida 40%, berfungsi sebagai titran agar tercapainya kondisi

ekuivalen dari larutan.

(4) Katalis campuran (yang dibuat dari CuSO4.5H2O dan K2SO4 dengan

perbandingan 1 : 5), berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat

proses destruksi dan mempertinggi titik didih asam sulfat.

(5) Asam borax 5%, berfungsi untuk menangkap gas amonia.


.
41

(6) Indikator campuran (Brom Cresol Green : Methyl merah = 4 : 5. sebanyak

0,9 gram campuran dilarutkan dalam alkohol 100 ml), berfungsi sebagai

indikator pada tahap destruksi.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Destruksi

a. Ditimbang contoh sampel kering oven sebanyak  1 gram (Catat

sebagai A gram).

b. Dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dengan hati-hati, dan

ditambahkan 6 gram katalis campuran.

c. Ditambah 20 ml asam sulfat pekat 97%.

d. Dipanaskan dengan pembakar bunsen dengan nyala api kecil di lemari

asam. Diteruskan destruksi dengan nyala api yang besar, bila sudah

tidak berbuih lagi.

e. Destruksi sudah dianggap selesai bila larutan sudah berwarna hijau

jernih. Setelah itu matikan api pembakar bunsen dan biarkan larutan

hasil destruksi menjadi dingin.

(2) Destilasi

a. Disiapkan alat destilasi selengkapnya (yang terdiri dari labu didih,

pemanas listrik, corong samping yang dilengkapi kran, labu penahan

percik, kondensor, dan erlenmeyer 300 ml). Dipasang dengan hati-hati

jangan lupa batu didih, vaselin, dan tali pengaman.

b. Dipindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu didih, kemudian

bilas dengan aquades sebanyak lebih kuran 50 ml.

c. Dipasangkan erlenmeyer yang telah diisi asam borax 5% sebanayk 15

ml telah diberi indikator campuran sebanyak 2 tetes di bagian ujung


42

kondensor (Catatan: Posisi ujung kondensor terendam asam borax).

Asam borax berfungsi untuk menangkap gas amonia hasil destilasi.

d. Larutan bahan dibasakan dari destruksi dengan menambah 40 – 60 ml

NaOH 40% melalui corong samping. Tutup kran corong segera

setelah larutan tersebut masuk ke labu didih.

e. Dinyalakan pembakar bunsen dan alirkan air ke dalam kondensor.

f. Dilakukan destilasi sampai semua N dalam larutan dianggap telah

tertangkap oleh asam borax yang ditandai dengan menyusutnya

larutan labu didih sebanyak 2/3 bagian (atau sekurang-kurangnya

sudah tertampung dalam erlenmeyer sebanyak 15 ml)

(3) Titrasi

a. Erlenmeyer berisi sulingan tadi diambil (jangan lupa membilas bagian

yang terendam dalam air sulingan).

b. Kemudian dititrasi dengan HCl yang sudah diketahui normalitasnya

catat sebagai B, titik titrasi dicapai dengan ditandai dengan perubahan

warna hijau ke abu – abu. Catat jumlah larutan HCl yang terpakai

sebagai C ml.
43

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil analisis kadar protein kasar pada silase singkong sebesar 9,81 %,

untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6 yaitu sebagai berikut :

Tabel 6. Analisis Protein Kasar


Mililiter HCL (yang Kadar Protein
Berat sampel Normalitas
terpakai) Kasar
…gram… ...N... ...mL... ...%...
0,598 0,1395 N 4,81 9,81

Perlakuan :

Penambahan N = 1 dan S = 0,058

5.2 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kandungan protein kasar


yang terkandung dalam sampel adalah 9,81%. Kandungan protein kasar yang
diperoleh tidak sesuai dengan penelitian Kiston (2012) yang didapatkan bahwa
kadar protein kasar silase biomassa tanaman ubi kayu setelah 2 minggu proses
fermentasi sebesar 12,89%. Perbedaan data yang tidak sesuai antara penelitian dan
yang dilakukan saat praktikum karena terdapat perlakuan dan sampel yang
digunakan. Sampel yang digunakan pada penelitian adalah keseluruhan dari
tanaman ubi kayu, jadi didapatkan hasilnya lebih besar karena kandungan protein
banyak terdapat pada daunnya, sedangkan pada praktikum yang digunakan adalah
umbinya.
Hasil yang dihasilkan saat praktikum bisa dikatakan cukup tinggi karena
terdapat penambahan N (Nitrogen) = 1 dan S (Sulfur) = 0.058. Penambahan
tersebut dapat meningkatkan kandungan protein pada sampel.
44

III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen)

Bahan organik utamanya berasal dari golongan karbohidrat, yaitu BETN

dengan komponen penyusun utama pati dan gula yang digunakan oleh bakteri

untuk menghasilkan asam laktat. Bahan organik yang terkandung dalam bahan

pakan, protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan

anorganik seperti kalsium, fosfor, magnesium, kalium, dan natrium. Kandungan

bahan organik ini dapat diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan

analisis terhadap vitamin dan mineral untuk masing masing komponen vitamin

dan mineral yang terkandung didalam bahan yang dilakukan di laboratorium

dengan teknik dan alat yang spesifik (Muhtaruddin, 2007).

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) dalam arti umum adalah

sekelompok karbohidrat yang kecernaannya tinggi, sedangkan dalam analisis

proksimat yang dimaksud Ekstrak Tanpa Nitrogen adalah sekelompok karbohidrat


yang mudah larut dengan perebusan menggunakan asam sulfat 1,25% atau 0,255

N dan perebusan dengan menggunakan larutan NaOH 1,25% atau 0,313 N yang

berurutan masing – masing selama 30 menit (Kamal, 1998).

3.2 Metode Analisis BETN

Ekstrak tanpa nitrogen mengandung mono-, di-, tri- dan tetra-sakarida

ditambah pati dan beberapa bahan zat yang termasuk hemiselulosa. Kadar BETN

adalah 100% dikurangi dari presentase dari kadar air, abu, protein,  lemak, dan

serat kasar, maka nilainya tidak tepat dan dapat berubah. Kesalahan – kesalahan

tidak begitu mengkhawatirkan pada analisis – analisis yang telah rutin dikerjakan,
45

terutama karena selulosa dan pati adalah komponen utama bahan makanan dan

tidak memisahkan zat-zat ini (Hartadi dkk., 1999).

Penentuan kadar Ekstrak Tanpa Nitrogen hanya berdasarkan perhitungan

100% - ( % air + % abu + % serat kasar + % protein kasar + % lemak kasar ).

Ekstrak Tanpa Nitrogen dipengaruhi oleh kandungan nutien lainnya, yaitu protein

kasar, air, abu, lemak kasar dan serat kasar (Kamal, 1998).

3.3 Kandungan BETN

Kandungan BETN suatu bahan pakan sangat tergantung pada komponen

lainnya, seperti abu, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar. Jumlah abu,

protein kasar, esktrak eter, dan serat kasar dikurangi dari 100 merupakan

perbedaan yang disebut dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Soejono,

1990). BETN merupakan karbohidrat yang dapat larut meliputi monosakarida,

disakarida, dan polisakarida yang mudah larut dalam larutan asam dan basa serta

memiliki daya cerna yang tinggi (Anggorodi, 1994).


46

IV

ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

4.1 Alat

(1) Alat tulis, berfungsi untuk menulis hasil pengamatan

(2) Kalkulator, berfungsi untuk menghitung data hasil pengamatan

(3) Hasil Analisis Proksimat, berfungsi untuk memperoleh hasil pengamatan.

4.2 Bahan

(1) Data hasil analisis kadar air.

(2) Data hasil analisis kadar abu.

(3) Data hasil analisis kadar lemak kasar.

(4) Data hasil analisis kadar serat kasar.

(5) Data hasil analisis kadar protein kasar.

4.3 Prosedur Kerja

(1) Disiapkan alat tulis, alat hitung, dan hasil analisis proksimat

(2) Dihitung kadar BETN bahan dengan dikurangkan 100% dengan kadar air,

kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, dan kadar serat kasar

yang sudah didapatkan


47

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan

Dari hasil praktikum mengenai analisi Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

sebesar 25,867 %, untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Kandungan Nutrisi Silase Singkong

Kandungan Nutrisi Hasil Praktikum Literatur

......................................… …%...
gram............................................
Kadar Air 54,829 % 43,77 %
Kadar Abu 2,047 % 0,30 %
Kadar Protein Kasar 9,81 % 4,00 %
Kadar Lemak Kasar 2,685 % 20,86 %
Kadar Serat Kasar 4,762 % 0,21 %
Kadar BETN 25,867 % 30,86 %

Sumber : Putri., 2015

Data pengamatan dan perhitungan dapat diketahui bahwa kadar bahan

ekstrak tanpa nitrogen adalah sebesar 25,867 % (hasil perhitungan ada pada

lampiran).

5.2 Pembahasan

Hasil BETN diperoleh dengan cara menghitung, dari seratus persen

kandungan zat dikurangi dengan fraksi zat yang telah diketahui sebelumnya, hasil

BETN tersebut adalah 25,867 %. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan

literatur yang di dapatkan pada penelitian Putri (2015) ia melakukan penelitian

pada singkong dan didapatkan kadar BETN sebesar 30,86 %. Kadar BETN
48

berbeda karena pada penelitian dari litelatur dia melalukan analisis proksimat

pada tepung singkong sedangkan pada analisis yang kami lakukan, digunakan

silase singkong, karena dalam pembuatan silase kandungan air akan berubah

sehingga mempengaruhi kadar nutrisi lainnya juga.


49

VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

(1) Silase singkong adalah pakan ternak yang masih memiliki kadar air yang

tinggi sebagai hasil pengawetan umbi singkong melalui suatu proses

fermentasi yang dibantu oleh jasad renik dalam kondisi anaerob (tanpa

oksigen) dengan penambahan atau tanpa penambahan zat pengawet.

(2) Kandungan nutrisi silase singkong dengan penambahan N= 0,75 dan

S=0,044 dan penambahan N= 1, S= 0,058 pada analisis kadar protein kasar

adalah sebagai berikut Kadar protein adalah 9,81 %, kadar lemak 2,685m

%, kadar air 54,829 %, kadar abu 2,047 %, kadar serat kasar 4,762 %,

kandungan energy bruto 3442,5 kal/g Dan kandungan bahan ekstrak tanpa

nitrogen ( BETN ) sebesar 25,867 %.

6.2 Saran

Sebaiknya praktikan lebih memperhatikan alat-alat yang akan digunakan,

baik dari kebersihannya maupun kemampuan alat itu untuk digunakan. Serta perlu

adanya perhatian khusus untuk suhu, waktu, maupun faktor lain yang dapat

menyebabkan ketidaksesuaian pada literatur.


50

DAFTAR PUSTAKA

Deskripsi Bahan
Chauynarong, N., Elangovan, A. V., Iji, P. A. 2009. The Potential of Cassava
Products in Diets For Poultry. World Poult. Sci. J., 65 (1) : 23-36.

Chuzaemi, S. 2002. Arah dan Sasaran Penetilian Nutrien Sapi Potong di


Indonesia. Workshop Sapi Potong. Lolit Sapi Potong Grati : Pasuruan.

Badan Pusat Statistika. 2013. Tanaman Pangan. BPS Indonesia : Jakarta.

Analisis Air
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia : Jakarta.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official


Analytical Chemistry. 14th Ed. AOC, Inc.: Virginia

Defano. 2000. Ilmu Makanan Ternak. Gajah Mada University Press Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Firga F., Abd H. L. dan Fatmah Dhafir. 2014. Kandungan Gizi Dua Jenis
Varietas Singkong (Manihotesculenta) Berdasarkan Umur Panen Di Desa
Siney Kecamatan Tinombo Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Volume 2
No 3

Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan


Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Risna E. M., Suwarno dan Nur Hidayat. 2013. Kadar Air Dan Ph Silase Rumput
Gajah Pada Hari Ke - 21 Dengan Penambahan Jenis Additive Dan
Bakteri Asam Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1) : 201-207. Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman : Purwokerto

Winarno., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Analisis Abu
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia : Jakarta.

Atun, B. 2016. Modul Praktikam Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas


Padjadjaran : Sumedang.

Fauzi, M. 2006. Analisa Pangan dan Hasil Pertanian. Handout. FTP UNEJ :
Jember.
51

Kiston S., Juniar Sirait dan Muhammad Syawal. 2012. Penggunaan Silase
Biomassa Tanaman Ubi Kayu (Kulit Umbi, Batang, Dan Daun) Sebagai
Pakan Kambing Peranakan Etawah (Pe). Lokal Penelitian Kambing
Potong Sei Putih. 2 (2) : 79 – 83.

Murtidjo, B.A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius : Yogyakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. PAU Pangan dan Gizi. UGM : Yogyakarta.

Analisis Lemak Kasar


Cherney, D. J. R. 2000. Characterization of Forage by Chemical Analysis. Dalam
Given, D. I., I. Owen., R. F. E. Axford., H. M. Omed. Forage Evaluation
in Ruminant Nutrition. Wollingford: CABI Publishing : 281-300.

Dewi, UN. 1996. Isolasi Asam Lemak Omega-3 Dari Minyak Hasil Limbah
Penepungan dan Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella Longiceps).
Skripsi. FTP IPB : Bogor.

Khairul. 2009 .Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Penerbit Angkasa : Bandung.

Mahmudi, S.P dkk. 1997. Pembuatan Pakan Ternak Unggas. Penerbit CV


Amisco : Jakarta.

Siregar, S. B.,1994. Ransum Ternak Ruminansia, Penebar Swadaya : Jakarta.

Siti Unayah. 2015. Efek Suplementasi Sebagai Akseleratorkualitas Nutrisi Silase


Limbah Tanaman Singkong. 3 (2) : 1 – 5.

Winarno F.G., 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta.

Analisis Serat Kasar


Murtidjo. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius : Yogyakarta.

Piliang, W. G dan S. Djojosoebagio. 2002. Fisiologi Nutrisi : Edisi Keempat. IPB


Press : Bogor

Rasyaf. 2001. Metode Kuantitatif Industri Ransum Ternak, Programa Linier.


Kanisius : Yogyakarta.

Sandi, E. B. dan Laconi Sudarman. 2010. Kualitas Silase Singkong yang Diberi
Enzim Cairan Rumen Sapi dan Leuconotos Menteroides. IPB : Bogor.
52

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas


Peternakan Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. Prosedur Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty : Yogyakarta.

Analisis Energi Bruto


Devendra, C. 1997. Cassava As Feed Source for Ruminant. In : Cassava As
AnimalFeed.

Hendalia, dkk. 2008. Biokimia Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Jambi :


Jambi.

Mc Donald P, Edwards RA, Greenhalg JFD, Morga CA. 2002. Animal Nutrition.
Ed ke-6. Imprint Pearson Education Prontice Hill : England.

Rahardjo. 2002. Ilmu Teknologi Bahan Pakan. UNSOED : Purwokerto.

Soejono, M. 2004.Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Bumi Aksara: Jakarta.

Sutardi, T., 2004, Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan
Ternak. Fakultas Pertanian IPB : Bogor.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S.


Lepdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta.

Analisis Protein Kasar


Cherney, D. J. R. 2000. Characterization of Forage by Chemical Analysis. Dalam
Given, D. I., I. Owen., R. F. E. Axford., H. M. Omed. Forage Evaluation
in Ruminant Nutrition. Wollingford:CABI Publishing : 281-300.

Hafiludin. 2011. Karakteristik Proksimat dan Kandungan Senyawa Kimia Daging


Putih dan Daging Merah Ikan Tongkol (euthymnus affinis). Jurnal
Kelautan. 4 (1) : 1-10. Universitas Trunojoyo : Madura

Kiston S., Juniar Sirait dan Muhammad Syawal. 2012. Penggunaan Silase
Biomassa Tanaman Ubi Kayu (Kulit Umbi, Batang, Dan Daun) Sebagai
Pakan Kambing Peranakan Etawah (Pe). Lokal Penelitian Kambing
Potong Sei Putih. 2 (2) : 79 – 83.

NRC. 2011. Nutrient Reguirements of Poultry, 9th. National Academy od Science


: Yogyakarta.
53

Rangkuti, J. H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah


(PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor :
Bogor.

Riyanto, I. 2006. Analisis Kadar, Daya Cerna, dan Karakteristik Protein Daging
Ayam kampung dan Hasil Olahannya. Skripsi. Program Studi Teknologi
Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB : Bogor

Rungkuh, J.H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah
pada Kondisi Tata Laksana yang Berbeda. Jurnal Ilmiah. 3 : 7-10.
Fakultas Peternakan IPB : Bogor

Siregar, S. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penerbit Swadaya : Jakarta.

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas


Peternakan Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Sudarmadji, S, Haryono, B, Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan


Pertanian. Liberty : Yogyakarta

Tillman, A, D, H, Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusumo dan


S.Lebdosoekojo. 2005. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press :
Yogyakarta.

Analisis BETN
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak. PT Gramedia Pustaka Utama :
Jakarta.

Hartadi, S.Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo,  Tillman, A.D,H. S.


Lebdosoekojo. 1999. Tabel Komposisi Pakan Untuk
Indonesia.  Universitas Gadjah Mada Press : Yogyakarta.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah


Mada : Yogyakarta.

Putri Agustina. 2015. Uji Proksimat dan Organoleptik Brownies dengan


Substitusi Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour). Indo. J. Chem.
Sci. 4 (3). Indonesian Journal of Chemical Science : Semarang.

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas


Peternakan Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.
54

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bagan Bahan Pakan (Silase Singkong) dalam Keadaan Bahan

Kering

Bahan Pakan

Air 54,83 % BK 45,17 %

Abu 2,047 % BO 43,123 %

PK 9,81 % BOTN 33,313 %

LK 2,685 % KH 30,628 %

SK 4,762 % BETN 25,866 %


55

Lampiran 2. Bagan Bahan Pakan (Silase Singkong) dalam Keadaan Asfed

Bahan Pakan

Air 0 % BK 100 %

Abu 0,93 % BO 99,07 %

PK 4,43 % BOTN 94,64 %

LK 1,21 % KH 93,43 %

SK 2,15 % BETN 91,28 %

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Air

Kadar Air

x 100 %
Air (%) = %

49,327−24,638x 100 %
=
45,029 %

= 54,829 %
56

Lampiran 4. Perhitungan Kadar Abu

Kadar Abu

x 100 %
Abu (%) =

24,35−24,32
= x 100 %
25,785−24,32

= 2,047 %

Lampiran 5. Perhitungan Kadar Lemak Kasar

Lemak Kasar

x 100 %
Kadar Lemak Kasar (%) =

1,706−1,681
= x 100 %
1,684−0,753

= 2,685 %

Lampiran 6. Perhitungan Kadar Serat Kasar

Serat Kasar

Kadar serat kasar (%) = (C - D –A)


B x 100 % x 100
100%-LK
29,790−29,554−0,214
= 100 %
0,045 x x 100 %
100 %−2,685 %
= 4,762 %

Lampiran 7. Perhitungan Energi Bruto

Energi Bruto

T akhir−Tawal ℃
Energi Bruto (cal/gr) = x2417
berat sampel

39,36−28,41 ℃
= x 2417
0,667 gram
57

= 3442,5 Cal/g

= 3,4425 kkal/kgram

Lampiran 8. Perhitungan Kadar Protein Kasar

Protein Kasar

N HCl x V HCl ( ml ) x 0,014 x Faktor protein


PK % = x 100 %
berat sampel ( gram)

0,1395 x 4,81 x 0,014 x 6,25


= x 100
0,598

= 9,81 %

Lampiran 9. Perhitungan BETN

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

BETN = 100 – Air – Abu – PK – LK - SK

= 100 – 54,829 – 2,047 – 9,81 – 2,685 – 4,762

= 25,867 %

Lampiran 10. Gambar Alat-Alat Analisis Proksimat dan Bahan

Gambar 1. Oven Gambar 2. Eksikator


58

Gambar 3. Timbangan Analitik Gambar 4. Cawan Alumunium

Gambar 5. Tang Penjepit Gambar 6. Tanur / Furnace

Gambar 7. Cawan Porselen Gambar 8. Selongsong

Gambar 9. Kompor Listrik Gambar 10. Seperangkat alat ekstraksi


Sokhlet
59

Gambar 11. Gelas Piala Gambar 12. Gelas Piala dengan


Kondensor Refluks

Gambar 13. Bejana Bomb Gambar 14. Bejana Air

Gambar 15. Jacket Gambar 16. Kawat Sumbu Pembakar


60

Gambar 17. Seperangkat Alat Gambar 18. Corong Buchner


Penyaring

Gambar 19. Labu Kjeldahl 300 ml Gambar 20. Satu set Alat Destilasi
61

Gambar 21. Buret 50ml Skala 0.1 ml Gambar 22. Labu Erlenmeyer 250 ml

Gambar 23. Silase Singkong

Anda mungkin juga menyukai