Anda di halaman 1dari 10

Curah hujan ialah jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila

tidak terjadi penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan
tinggi. Tinggi air hujan 1mm berarti air hujan pada bidang seluas 1mm2 berisi 1 liter. Unsur-unsur hujan
yang harus diperhatikan dalam mempelajari curah hujan ialah : jumlah curah hujan, dan intensitas atau
kekuatan tetesan hujan(Prof. Dr. Ir. Arifin, MS ).

Air yang diatas permukaan tanah yang datar dianggap sama tinggi. Volume luas hujan pada luas
permukaan tertentu dengan mudah dapat dihitung bila tingginya dapat diketahui. Maka langkah
penting dalam pengukuran hujan ditujukan kearah pengukuran tinggi yang representatif dari hujan yang
jatuh selama jangka waktu tertentu. WMO menganjurkan penggunaan satuan milimeter sampai
ketelitian 0,2 mm. Dalam bidang klimatologi pertanian dilakukan pencatatan hujan harian(jumlah curah
hujan) setiap periode 24 jam dan jumlah hari hujan. Berdasarkan pengertian klimatologi, satu hari hujan
ialah periode selama 24 jam terkumpul curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih. Apabila kurang dari
ketentuan tersebut, maka hari hujan dianggap nol meskipun curah hujan tetap diperhitungkan(prof.
Dr.Ir. Syamsul Bahri, MS).

Teknologi modifikasi cuaca menjadi bagian dari pengelolaan sumber daya air. Mendambakan
turunnya hujan pada musim kering seperti sekarang, sering menjadi sebuah penantian panjang. Padahal,
sumber-sumber air telah mengering dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan kian mendesak.
Termasuk, misalnya, untuk pembangkit listrik. Untuk mempercepat turunnya hujan pada musim kering
yang berkepanjangan, tak ada jalan lain selain melakukan campur tangan terhadap alam yaitu dengan
mempercepat terjadinya hujan yang sudah secara luas dikenal sebagai hujan buatan.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Bagaimanakah siklus terjadinya hujan ?

1.2.2 Bagaimanakah pola hujan di indonesia ?

1.2.3 Bagaimana teknis dari hujan buatan ?

1.2.4 Apa saja jenis-jenis hujan di indonesia ?

1.2.5 Bahan apa yang digunakan dalam hujan buatan ?

1.3 Tujuan penulisan

1.3.1 Memahami bagaimana siklus terjadinya hujan

1.3.2 Mengerti pola hujan yang ada di indonesia

1.3.3 Memahami teknis dan mengetahui peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan hujan
1.3.4 Mengetahui bahan semai yang digunakan dalam cloud seeding & pengaruh bagi lingkungan

1.3.5 Mengetahui jenis-jenis hujan di indonesia

1.3.6 Mengetahui jenis-jenis hujan buatan secara umum

Bab 2

2. Pembahasan

2.1 Siklus terjadinya hujan

Hujan adalah peristiwa turunnya air dari langit ke bumi. Awalnya air hujan berasal dari air dari
bumi seperti air laut, air sungai, air danau, air waduk, air rumpon, air sawah, air comberan, air susu, air
jamban, air kolam, air ludah, dan lain sebagainya. Selain air yang berbentuk fisik, air yang menguap ke
udara juga bisa berasal dari tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, serta benda-benda lain yang
mengandung air.

Air-air tersebut umumnya mengalami proses penguapan atau evaporasi akibat adanya bantuan panas
matahari. Air yang menguap / menjadi uap melayang ke udara dan akhirnya terus bergerak menuju
langit yang tinggi bersama uap-uap air yang lain. Di langit yang tinggi uap tersebut mengalami proses
pemadatan atau kondensasi sehingga membentuk awan. Dengan bantuan angin awan-awan tersebut
dapat bergerak kesana-kemari baik vertikal, horizontal dan diagonal.

Akibat angin atau udara yang bergerak pula awan-awan saling bertemu dan membesar menuju langit /
atmosfir bumi yang suhunya rendah atau dingin dan akhirnya membentuk butiran es dan air. Karena
berat dan tidak mampu ditopang angin akhirnya butiran-butiran air atau es tersebut jatuh ke permukaan
bumi (proses presipitasi). Karena semakin rendah suhu udara semakin tinggi maka es atau salju yang
terbentuk mencair menjadi air, namun jika suhunya sangat rendah maka akan turun tetap sebagai salju.

Hujan tidak hanya turun berbentuk air dan es saja, namun juga bisa berbentuk embun dan kabut. Hujan
yang jatuh ke permukaan bumi jika bertemu dengan udara yang kering, sebagian hujan dapat menguap
kembali ke udara. Bentuk air hujan kecil adalah hampir bulat, sedangkan yang besar lebih ceper seperti
burger, dan yang lebih besar lagi berbentuk payung terjun. Hujan besar memiliki kecepatan jatuhnya air
yang tinggi sehingga terkadang terasa sakit jika mengenai anggota badan kita.
2.2 Pola hujan di indonesia

Tjasyono (1999) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama
dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian dan Susanto (2003) yang
telah mengklasifikasi Iklim Indonesia sebagai berikut: Pola curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola Moonson dicirikan oleh bentuk
pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam
bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah
(bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai
September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan
dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober
saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak
hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson. Wilayah Indonesia
disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan
moonson terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah
mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).

Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci
pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pantai sebelah barat setiap pulau
memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.

Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh,
deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah
hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat .

Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada
pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut. Di daerah pedalaman, di semua pulau
musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.

Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:


1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November.

2) Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.

3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.

Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu
bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan
Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola
curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup
banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat
yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.

Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat
curah hujan tinggi:

Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas
wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).

Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa
Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.

Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur,
Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya,
Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.

Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di
Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa,
Bali, Lombok, dan Sumba.

Perlu ketahui pula bahwa hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah
hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang
paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun.

Sebagai bahan perbandingan curah hujan di daerah lain : 540 mm/tahun di Eropa sedangkan
dipedalaman 1250 mm/tahun, di Pegunungan Rocky 3400 mm/tahun, di pedalaman Amerika 400
mm/tahun. Daerah yang memiliki curah hujan tertinggi di Cherrapunji 10820 mm/tahun ( selama 1860-
Juli 1861 memiliki curah hujan 2646,12 mm/tahun dan selama 5 hari berturut-turut dibulan Agustus
1841 sebesar 38000 mm/tahun atau setara dengan curah hujan selama 4 tahun di New York), sedangkan
di Puncak Gunung Waialeale di Kanai Tengah, Kepulauan Hawaii sebesar 1175,84 mm/tahun.
2.3 Hujan buatan

Penyemaian awan (cloud seeding) merupakan kegiatan untuk membuat hujan buatan. Cloud seeding
modern diawali setelah penemuan Schaever pada laboratorium milik General Electric di Amerika serikat
pada tahun 1946. Tidak lama kemudian, peneliti dari CSIRO Australia melakukan penelitian lapangan
secara intensif dengan menggunakan peralatan yang lebih baik. Kegiatan cloud seeding pertama kali
dilakukan pada tahun 1950 pada beberapa negara di dunia.

Percobaan penyemaian awan telah dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai negara yang memiliki
berbagai tipe iklim. Evaluasi untuk mengetahui efeknya biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan metode statistik dan metode fisik.

Cloud seeding dilakukan dengan cara memodifikasi atau menginterupsi proses hujan yang terjadi di
dalam awan dengan cara memasukkan langsung material atau bahan seeding (bahan semai) ke dalam
awan.

Hal ini dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, yaitu dengan pesawat terbang, roket, GBG
(Ground Base Generator) atau meriam (canon).

Pilot terbang di bawah dasar awan dan dengan cermat mencari medan up-draft untuk kemudian
melepas bahan seeding dengan jumlah tertentu sehingga terhisap oleh up-draft. Cara lainnya adalah
terbang di atas awan atau punggung awan dan melepas bahan semai pada daerah awan yang memiliki
banyak air lewat-dingin (supercooled water). Pemberian bahan semai ke dalam awan mempengaruhi
proses hujan atau proses presipitasi sehingga jumlah hujan dari awan meningkat.

Bahan semai yang digunakan pada kegiatan cloud seeding terdiri dari dua kategori dan disesuaikan
dengan mekanisme presipitasi yang terjadi pada awan yang menjadi obyek. Kategori pertama
merupakan bahan glasiogenik (kristal es) seperti perak iodida (AgI), dry ice (CO2 padat), larutan CO2,
dan cairan propane yang digunakan untuk proses hujan pada lingkungan atmosfer dengan suhu di
bawah level beku atau disebut "awan dingin". Kategori kedua adalah bahan yang digunakan untuk
proses hujan yang terjadi pada sistem awan yang berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di atas
level beku atau disebut "awan hangat". Pada lingkungan yang hangat ini diperlukan bahan yang bersifat
higroskopis (mengikat air) seperti garam dapur (NaCl), campuran pupuk urea dengan amonium nitrat,
dan kalsium klorida (CaCl2).

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti atas pemakaian bahan-bahan tersebut pada
kegiatan cloud seeding, ditegaskan bahwa tidak ada pengaruh nyata dampak buruknya atas lingkungan,
dan juga pengaruh tambahan hujan yang turun atas iklim atau cuaca pada daerah lain di sekitarnya.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsentrasi perak iodida (AgI) dalam
air hujan atau salju adalah sangat kecil, yaitu kurang dari 0.1 mikrogram per liter.
2.3.4 Jenis-jenis hujan di indonesia

Untuk kepentingan kajian atau praktis, hujan dibedakan menurut terjadinya, ukuran butirannya, atau
curah hujannya.

Jenis-jenis hujan berdasarkan terjadinya diantaranya sebagai berikut :

Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.

Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat
Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-
gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.

Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak
horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi
kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.

Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara
yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa
udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut
hujan frontal.

Hujan muson atau hujan musiman, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson).
Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara
Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April.
Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus. Siklus muson inilah yang
menyebabkan adanya musim penghujan dan musim kemarau.

Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya :

Hujan gerimis / drizzle, diameter butirannya kurang dari 0,5 mm

Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0° Celsius

Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan yang suhunya dibawah 0°
Celsius

Hujan deras / rain, curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas 0° Celsius dengan diameter ±7
mm.

Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG)

hujan sedang, 20 - 50 mm per hari


hujan lebat, 50-100 mm per hari

hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari

2.3.5 Hujan asam

Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara alami
bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan
memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu
melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.

Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil serta
nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat
ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang
mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan.

Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang
terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang
gencar dilaksanakan.

Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari proses biologis di
tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama
amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di
atmosfer sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah.

Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik Rakyat Cina, Eropa
Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya. Hujan asam dari pembangkit tenaga listrik di
Amerika Serikat bagian Barat telah merusak hutan-hutan di New York danNew England. Pembangkit
tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.

Proses yang terlibat dalam pemecahan Asam ( catatan: bahwa hanya SO2 dan NOX memegang peran
penting dalam hujan asam).

Pembentukan hujan asam Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam sebagai berikut:

Bukti terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisa es kutub. Terlihat turunnya kadar pH
sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain diperoleh dari organisme
yang dikenal sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah bertahun-tahun, organisme-
organisme yang mati akan mengendap dalam lapisan-lapisan sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan
diatom akan meningkat pada pH tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar kolam akan
memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke masing-masing lapisan tersebut.
Sejak dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer turut
meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara, merupakan sumber
utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri kadang-kadang tercatat hingga
2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh transportasi, merupakan penyumbang-
penyumbang utama hujan asam.

Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri tetapi
telah berkembang menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi polusi
lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke
sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali, hujan asam terjadi di daerah
yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak
karena tingginya curah hujan di sini.

Terdapat hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di danau-danau.
pH di bawah 4,5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi akan
membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat produksi enzim dari larva
ikan trout untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperi alumunium di danau.
Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya
sehingga ikan sulit bernafas. Pertumbuhan Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga
dihambat oleh tingginya kadar pH.

Tanaman dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada daun rusak
sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan
serangga. Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa diambil, dan
mineral-mineral penting menjadi hilang.

Ion-ion beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi manusia. Tembaga
di air berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air tercemar alumunium dapat
menyebabkan penyakit Alzheimer.

5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka

Ø Prof. Dr. Ir. Arifin, MS, 2010. Modul klimatologi. Fakultas pertanian: Universitas brawijaya

Ø Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, MS,2010. Modul klimatologi. Faklutas pertanian : Universitas brawijaya

Anda mungkin juga menyukai