Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Perkembangan Jalan


Sejarah perkembangan jalan raya yang pada mulanya dari berupa bekas jejak
kemudian berubah menjadi jalan raya modern. Perkembangan jalan dimulai dengan
hasrat manusia itu sendiri yang ingin mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi
dengan sesama. Awalnya jalan hanya berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan
hidup. Setelah manusia hidup berkelompok, jejak-jejak tersebut berubah menjadi jalan
setapak yang masih belum berbentuk. Jalan dibuat karena manusia perlu bergerak dan
berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat lain untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Jejak jalan tersebut berfungsi sebagai penuntun arah dan menjadikan jejak
jalan semakin melebar dikarenakan seringanya digunakan untuk berpindah-pindah.
Perkembangan jalan di Indonesia diawali pembangunan jalan Daendles pada
zaman Belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Banyuwangi
Jawa Timur yang diperkirakan 1000 km. Jalan Daendles tersebut belum direncanakan
secara teknis baik geometrik maupun perkerasannya. Konstruksi perkerasan jalan
berkembang pesat pada jaman keemasan Romawi. Pada saat itu telah mulai dibangun
jalan-jalan yang terdiri dari beberapa lapis perkerasan.
Pada abad 18 para ahli dari Perancis, skotlandia menemukan bentuk perkerasan
yang sebagian sampai saat ini umum digunakan di Indonesia dan merupakan awal dari
perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia yang antara lain konstruksi perkerasan
batu belah (Telford) yang diciptakan oleh Thomas Telford (1757-1834), dan konstruksi
perkerasan Macadam oleh Jhon Londer MacAdam (1756-1836).
Perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat ditemukan
pertama kali di Babylon pada tahun 625 SM. Di Indonesia perkembangan perkerasan
aspal dimulai pada tahap awal berupa konstruksi Telford dan Macadam yang kemudian
diberi lapisan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan ditaburi pasir
kasar yang kemudian berkembang menjadi lapisan penetrasi (Lapisan Brutu, Burda,
Buras).
Konstruksi perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah
ditemukan pada tahun 1828 di London tetapi konstruksi perkerasan ini mulai
berkembang awal tahun 1900. Konstruksi Perkerasan dengan menggunakan semen
atau 'concrete pavement' mulai dipergunakan di Indonesia secara besar besaran pada
awal tahun 1970 yaitu pada pembangunan jalan tol Prof. Sediyatmo.

1.2 Definisi-Definisi Jalan


Dalam undang-undang jalan raya no. 13/1980 bahwa jalan adalah :
 Suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang di peruntukkan bagi lalu lintas.
 Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
 Jalan khusus adalah jalan selain daripada yang termasuk di atas.
 Jalan tol adalah jalan umum yang kepada para pemakainya dikenakan kewajiban
membayar tol.

1.3 Klasifikasi dan Fungsi Jalan


Klasifikasi jalan berdasarkan Peraturan Dirjen BIMA No. 13/1970 adalah sebagai
berikut.
a. Kelas jalan menurut fungsi
Menurut fungsi kelas jalan dibagi menjadi beberapa kelas sebagai berikut:
 Jalan utama adalah jalan-jalan yang melayani lalu lintas tinggi antara kota-kota
penting
 Jalan sekunder adalah jalan-jalan yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi
antara kota-kota penting dan kota-kota yang lebih kecil, serta melayani daerah-
daerah sekitarnya
 Jalan penghubung adalah jalan-jalan untuk keperluan aktifitas daerah yang juga
dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau
berlainan
b. Kelas jalan menurut pengelola
Menurut pengelola kelas jalan dibagi menjadi beberapa kelas sebagai berikut:
 Jalan arteri adalah jalan-jalan yang terletak di luar pusat perdagangan
 Jalan kolektor adalah jalan-jalan yang terletak di pusat perdagangan
 Jalan lokal adalah jalan-jalan yang terletak di daerah perumahan
 Jalan negara adalah jalan-jalan yang menghubungkan antara ibukota propinsi
 Jalan kabupaten adalah jalan-jalan yang menghubungkan ibukota propinsi dengan
ibukota kabupaten atau jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
ibukota kecamatan
c. Kelas jalan menurut tekanan gandar
Menurut tekanan gandar kelas jalan dibagi menjadi beberapa kelas sebagai
berikut:
Tabel 1.1. Kelas Jalan Menurut Tekanan Gandar

No Kelas Jalan Tekanan Gandar Tunggal


1. Kelas I 7 Ton
2. Kelas II 5 Ton
3. Kelas III 3,5 Ton
4. Kelas Ma 2,75 Ton
5. Kelas N 2 Ton
6. Kelas V 1,50 Ton

d. Kelas jalan menurut besarnya volume dan sifat –sifat lalu lintas
Menurut besarnya volume dan sifat-sifat lalu lintas kelas jalan dibagi menjadi
beberapa kelas sebagai berikut:
 Jalan kelas I adalah jalan yang mencakup semua jalan utama, yang melayani lalu
lintas cepat dan berat
 Jalan kelas II adalah jalan yang mencakup semua jalan sekunder, walau komposisi
lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat
 Jalan kelas III adalah jalan yang mencakup jalan-jalan penghubung dan
merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua
BAB II
PERMASALAHAN

2.1. Data Perencanaan


Pada suatu daerah, ingin dirancang suatu perkerasan jalan yang mana telah
didapatkan data-data hasil survei pada tahun 2020 sebagai berikut :
1. Data Volume Lalu Lintas (Tahun Survei 2020)
a. Mobil penumpang = 2009 kend/hari
b. Mobil pick up (6 ton) = 108 kend/hari
c. Bus sedang (6 ton) = 47 kend/hari
d. Bus besar (9 ton) = 53 kend/hari
e. Truck sedang ( 13 ton) = 78 kend/hari
f. Truck 2 as (18 ton) = 95 kend/hari
g. Truck 3 as (25 ton) = 111 kend/hari
h. Trailler (40 ton) = 58 kend/hari
2. Tekanan Angin Ban Kendaraan Rata-Rata (Ta) = 5,25
3. Pertumbuhan Lalu Lintas
a. Selama masa perencanaan dan pembangunan = 5%
b. Selama masa layan (mulai tahun 2021) = 3%
4. Data Tanah
a. Nilai CBR
5.4% 2.8% 2.6% 3.4% 4.7% 7.1% 8.0% 4.7%
3.7% 2.3% 4.6% 6.0% 4.2% 4.7% 7.2% 8.2%
3.4% 4.3% 5.2% 3.4% 4.5% 3.8% 4.0% 7.5%

b. Jenis tanah = Butir Kasar


c. Nilai PI tanah = 18 %
5. Curah Hujan = 404 mm/tahun
6. Kondisi Air Tanah = tinggi
2.2 Perencanaan Perkerasan Jalan
Akan dibuat perkerasan jalan pada daerah tersebut, maka direncanakan:
1. Tebal konstruksi perkerasan dengan metode CBR untuk umur rencana 10 tahun!
2. Tebal konstruksi perkerasan dengan metode analisa komponen Bina Marga konstruksi
langsung untuk umur rencana 10 tahun!
3. Tebal konstruksi perkerasan dengan metode analisa komponen Bina Marga konstruksi
bertahap, umur rencana 10 tahun dan konstruksi tahap kedua pada tahun ke 5!
4. Perencanaan konstruksi perkerasan kaku dengan umur rencana 20 tahun!
5. Hasil perencanaan dilengkapi dengan gambar sket tebal konstruksi perkerasan!
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Perkerasan Lentur


Konstrukti perkerasan lentur (flexible pavement) adalah perkerasan jalan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Bagian perkerasan lentur umumnya meliputi
: lapis pondasi bawah (sub base course), lapis pondasi (base course), dan lapis
permukaan (surface course).

Gambar 3-1. Susunan Lapis Perkerasan Jalan


1. Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-
sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar
adalah sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban
lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah
dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat
pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam
tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak dipadatkan
secara baik pada saat pelaksanaan.
2. Lapis Pondasi Bawah
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan
beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan
selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap
roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR ≥
20%, PI ≤ 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan
pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland
dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.

3. Lapis Pondasi
Fungsi lapis pondasi antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda,
b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga
dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-
baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam / bahan
setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara
lain : batu pecah, kerikil pecah dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

4. Lapis Permukaan
Fungsi lapis permukaan antara lain :
a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda
b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan akibat cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course).
Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapis
pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar
lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan
tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu
lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur
rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari
biaya yang dikeluarkan.

3.2 Perkerasan Kaku


Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis :
 Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
 Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
 Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan
 Perkerasan beton semen pra-tegang
Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen yang
bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau menerus dengan tulangan,
terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah dasar, tanpa atau dengan lapis permukaan
beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara tipikal sebagaimana terlihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 3-2. Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen

Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari
pelat beton. Sifat, daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi
keawetan dan kekuatan perkerasan beton semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
adalah kadar air pemadatan, kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan.
Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan merupakan bagian
utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut :
 Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
 Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi pelat.
 Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
 Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.
Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan
beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-
lapisan dibawahnya.
1. Tanah dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan
SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-1989, masing-
masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila
tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi
bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap
mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5 %.
2. Pondasi bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
 Bahan berbutir.
 Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete)
 Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan beton
semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan penentuan
lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan pengembangan yang mungkin
timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan
salah satu cara untuk mereduksi prilaku tanah ekspansif. Tebal lapisan pondasi minimum
10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan
AASHTO M-155 serta SNI 03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen
bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus
(CBK).
3. Pondasi bawah material berbutir
Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI-
03-6388-2000. Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B.
Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya dan harus
memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan penyimpangan ijin 3% - 5%.
Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5%
adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100%, sesuai dengan
SNI 03-1743-1989.
4. Pondasi bawah dengan bahan pengikat (Bound Sub-base)
Pondasi bawah dengan bahan pengikat (BP) dapat digunakan salah satu dari :
a. Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai dengan hasil
perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan ketahanan terhadap erosi. Jenis
bahan pengikat dapat meliputi semen, kapur, serta abu terbang dan/atau slag yang
dihaluskan.
b. Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt).
c. Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan karakteristik
pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm2 ).
5. Pondasi bawah dengan campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete)
Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton karakteristik
pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa menggunakan abu terbang, atau 7
MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal minimum 10 cm.

Anda mungkin juga menyukai