Rivai Kelas : 03
A. Farmakokinetik
1. Pengertian
Dalam praktik terapetik obat harus dapat mencapai tempat kerja yang
diinginkan. Dalam beberapa hal obat dapat diberikan langsung pada tempat
kerjanya, seperti pemberian topikal obat anti inflamasi pada kulit atau membrane
mukosa yang meradang, atau obat harus di Absorpsi dari tempat pemberiannya
ke dalam darah dan didistribusikan ke tempat bekerjanya, dan akhirnya setelah
memberikan efek obat harus dikeluarkan dengan kecepatan tertentu dengan cara
inaktivasi metabolik (Metabolisme), Ekskresi atau keduanya.
a. Absorbsi
• Besar partikel
• Bentuk sediaan obat
• Dosis
• Rute pemberian dan tempat pemberian
• Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
• Besarnya luas permukaan yang mengabsorbsi
• Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
• Integritas membran
• Aliran darah organ yang mengabsorbsi
b. Distribusi
Penetrasi dari dalam darah ke jaringan pada proses distribusi seperti pada
absorbsi juga sangat bergantung kepada beberapa hal, khususnya :
1. Ukuran molekul
2. Ikatan pada protein plasma
3. Kelarutan dan sifat kimia
4. Pasokan darah dari organ dan jaringan
5. Perbedaan pH antara plasma dan jaringan
Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan mencapai semua cairan
tubuh baik intra maupun ekstra sel, sedangkan obat yang sulit menembus
membran sel maka penyebarannya umumnya terbatas pada cairan ekstra sel.
Berdasarakan sifat fisiko kimianya, berdasarkan ruang distribusi yang dapat
dicapai, dibedakan 3 jenis bahan obat :
1. Obat yang hanya terdistribusi dalam plasma
2. Obat yang terdistribusi dalam plasma dan ruang ekstrasel sisa
3. Obat yang terdistribusi dalam ruang ekstra sel dan intra sel
c. Metabolisme
Pada dasarnya obat merupakan zat asing bagi tubuh sehingga tubuh akan
berusaha untuk merombaknya menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan
sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya oleh
ginjal. Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui
sistim pembuluh porta ke hati. Dalam hati seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis. Enzim yang berperan pada
proses biotransformasi ini adalah enzim mikrosom di retikulum endoplasma
sel hati. Perubahan kimiawi terhadap obat yang dapat terjadi setelah proses
metabolisme/biotransformasi adalah :
1. Molekul obat berubah menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofil)
sehingga mudah untuk diekskresikan melalui urin pada ginjal.
2. Molekul menjadi metabolit yang tidak/kurang aktif lagi
(bioinaktivasi/detoksifikasi), proses ini disebut juga first pass efect/ FPE
(efek lintas pertama). Untuk menghindari resiko FPE maka rute
pemberian secara sublingual, intrapulmonal, transkutan, injeksi dan rektal
dapat digunakan. Obat yang mengalami FPE besar, dosis oralnya harus
lebih tinggi dibandingkan dengan dosis parenteral.
3. Molekul obat menjadi metabolit yang lebih aktif secara farmakologi
(bioaktivasi) Contohnya adalah kortison yang diubah menjadi bentuk aktif
kortison, prednison menjadi prednisolon.
4. Molekul obat menjadi metabolit yang mempunyai aktifitas yang sama
(tidak mengalami perubahan). Contohnya adalah klorpromazin, efedrin,
dan beberapa senyawa benzodiazepin.
d. Eksresi
2) Efek lokal
Mukosa lambung-usus dan rektum, juga selaput lendir lainnya dalam tubuh,
dapat menyerap obat dengan baik dan menghasilkan terutama efek setempat.
a) Intranasal
Obat tetes hidung dapat digunakan pada selesma untuk menciutkan mukosa
yang bengkak (efedrin, xylometazolin). Kadang-kadang obat juga diberikan
untuk efek sistemisnya, misalnya vasopressin dan kortikosteroid
(beklometason, flunisonida).
b) Intra-okuler atau intra-aurikuler (dalam mata dan telinga)
Obat berbentuk tetes atau salepyang digunakan untuk mengobati penyakit
mata atau telinga. Pada penggunaan beberapa jenis obat tetes harus waspada
karena obat dapat diresorpsi dan menimbulkan efek toksis, misalnya atropine.
c) Inhalasi (intrapulmonal)
Gas, zat terbang atau larutan sering diberikan sebagai inhalasi (aerosol),
yaitu obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. Semprotan
obat dihirup dengan udara dan resorpsi terjadi melalui mukosa mulut,
tenggorokan, dan saluran napas. Tanpa melalui hati, obat dengan cepat melalui
peredaran darah dan menghasilkan efeknya. Yang digunakan secara inhalasi
adalah anestetika umum (halotan) dan obat-obat asma (isoprenalin,
budesonide, dan beklometason) dengan maksud mencapai kadar setempat yang
tinggi dan memberikan efek terhadap bronkhia. Untuk maksud ini, selain
larutan obat juga dapat digunakan zat padatnya (turbuhaler) dalam keadaan
sangat halus (microfine), misalnya natrium kromoglikat, budesonide, dan
beklometason.
d) Intravaginal
Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal tersedia salep, tablet atau
sejenis suppositoria vaginal (ovula) yang harus dimasukkan kedalam vagina
dan melarut di situ. Contohnya ialah metronidazole pada vaginitis (radang
vagina). Obat dapat pula digunakan sebagai cairan bilasan, penggunaan lain
adalah untuk mencegah kehamilan dimana zat spermisid (dengan daya
mematikan sperma) dimasukkan dalam bentuk tablet, busa atau krem.
e) Kulit (topical)
Pada penyakit kulit obat yang digunakan berupa salep, krem atau lotion
(kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali ditembus obat, tetapi
resorpsi berlangsung lebih mudah bila ada kerusakan. Efek sistemis yang
menyusul kadang-kadang berbahaya, seperti dengan kortikosteroida (kortison,
betametason, dan lain-lain) terutama bila digunakan dengan cara oklusi artiny
ditutup dengan plastik. Resorpsi dapat diperbaiki dengan tambahan zat
keratolitis dengan daya melarutkan lapisan tanduk dari kulit, misalnya asam
salisilat, urea, dan resorsin. Salep dan linimen (obat gosok) banyak digunakan
untuk meringankan rasa nyeri atau kaku otot akibat rematik atau gangguan
lain. Obat ini biasanya mengandung analgetika (metilsalisilat, diklofenak,
benzidamin, fenilbutason) dan zat terbang (mentol, kanfer, minyak permen,
minyak kayu putih).
Subcutan Intramuskular Intraperitoneal
Oral Peranal Intravena
Inhalasi Intraorbitalis Intraauricularis
3. Biovailabilitas
Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau
aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah
terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
4. Biotransformasi
Obat dapat mengalami reaksi fase I atau fase II saja, atau reaksi fase I diikuti oleh
reaksi fase II.
B. Farmakodinamik
1. Pengertian
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang memelajari efek
biokimiawi, isiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan memelajari
mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dengan sel dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek
dan respons yang terjadi.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai
berikut.
a. Secara fisis c/: anastetika terbang, laksansia, diuretika osmotik Contoh
aktivitas anastetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya, obat
ini diperkirakan melarut dalam membran sel dan memengaruhi eksitabilitas
membrane, diuretic osmotic (urea, manitol), katartik osmotic MgSO4, pengganti
plasma (polivinil-pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravascular.
b. Secara kimiawi c/: antasida, zat chelator Zat-zat chelator mengikat ion logam
berat sehingga tidak toksik lagi dan mudah diekskresikan oleh ginjal. Misalnya,
penisilamin mengikat Cu2+ bebas yang menumpuk dalam hati dan otak pasien
penyakit Wilson menjadi kompleks yang larut dalam air, dimerkaprol (BAL =
British antilewisite) untuk mengikat logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi) yang bebas
maupun dalam kompleks organic menjadi kompleks yang larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin.
c. Melalui proses metabolisme
Amoksisilin mengganggu pembentukan dinding sel kuman, 6-merkaptopurin
berinkorporasi dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya, detergen
sebagai antiseptic-desinfektan merusak integritas membrane lipoprotein.
d. Secara kompetisi Kompetisi untuk reseptor spesifik atau enzim.
2. Reseptor
Protein merupakan reseptor obat yang penting, misalnya reseptor fisiologis,
asetilkolinesterase, Na+, K+ -ATPase, tubulin, dan lain-lain. Reseptor fisiologik
merupakan protein seluler yang secara normal berfungsi sebagai reseptor bagi
ligan endogen, seperti hormon, neurotransmiter, dan growth factor. Ikatan obat
dengan reseptor dapat berbentuk ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Walls,
atau kovalen. Tetapi,pada umumnya merupakan campuran berbagai ikatan di atas.
Suatu zat (obat/ligan endogen) dapat mengenali reseptornya dengan tepat karena
hanya obat dengan bentuk molekul tertentu saja yang dapat berikatan dengan
reseptor, seperti kunci dengan gemboknya (key and lock).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis efektif
median. Dosis toksik median 50 adalah dosis yang menimbulkan efek toksik
pada 50% individu.
4. Kerja obat yang tidak diperantarakan resptor
DAFTAR PPUSTAKA
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta.
Gaya Baru:1995