Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang dan Definisi tentang Ideologi

Jika ditelusuri secara filosofis, etimologi “ideologi” berasal dari pemikiran filsuf Yunani
Kuno, Plato (428/427 atau 424/423-348/347 SM) tentang dunia ide, eidos atau idea. Dalam
pandangan Plato2, misalnya dalam dialog-dialog yang termaktub dalam bukunya Phaedo,
Symposium, Republic, dan Timaeus, ada dunia ide atau bentuk yang keberadaanya
independen dari siapapun yang memikirkannya. Dunia ide ini merupakan cetak-biru
sempurna (dalam arti tidak mengalami perubahan) dari benda-benda material yang ada di
dunia ini, yang berubah-ubah bentuk atau penampakannya. Sementara itu, dunia yang tampak
pada kita dunia yang kita alami dan serap dengan indera ini, adalah dunia yang jauh dari kata
sempurna, penuh kekurangan dan kekeliruan, sehingga tidak bisa diandalkan sebagai ‘sumber
pengetahuan yang sejati’.

Secara modern, telusur tentang dunia ide ini dilanjutkan dengan telaah saintifik dari
filsuf Inggris yang dikenal sebagai peletak dasar sains modern, Francis Bacon (1561-1626),
dalam bukunya Novum Organum (1620) dengan istilah the ‘Idols’, atau ‘Illusions’- pelbagai
macam hambatan dari berbagai jenis yang menghalang-halangi proses bernalar jernih
manusia. Ada empat jenis Idols menurut Bacon: Idol Kelompok, Idol Gua, Idol Pasar, Idol
Teater (Idols of the Tribe, Idols of the Cave, Idols of the Marketplace, Idols of the Theatre).
Idol Kelompok adalah sejumlah kekeliruan dalam persepsi manusia itu sendiri yang
disebabkan oleh berbagai keterbatasan indera manusia yang menghubungkannya dengan data
alamiah. Idol Gua berkebalikan dengan Idol Kelompok, adalah jenis kekeliruan yang diawali
oleh prasangka-prasangka pribadi setiap individu dan kelekatannya pada sejumlah gaya atau
cara penjelasan. Idol Pasar muncul secara langsung dari penggunaan bahasa secara bersama
dan juga dari aktivitas niaga antar orang. Pada dasarnya, penamaan benda-benda dengan
menggunakan bahasa sehari-hari gagal membuat pemilahan yang sesuai antara pelbagi gejala
distingtif, atau memahami sejumlah entitas abstrak secara ‘kabur’ sehingga orang jadi
memiliki kepercayaan yang salah tentang mereka. Terakhir, Idol Teater adalah akibat-akibat
yang menyesatkan dari pengetahuan manusia dalam berbagai sistem filsafat (terutama sistem
filsafat Yunani Kuno warisan Plato dan Aristoteles) serta aturan-aturan pembuktian logis
(terutama model silogisme deduktif Aristotelian) yang pernah dan masih ada (pada masa
Bacon hidup).

Penelusuran secara historis dari politis menemukan bahwa istilah “ideologi” pertama
kalinya dicetuskan oleh seorang ahli ekonomi dan filsuf Perancis, Antoine Luois Claude
Destutt de Tracy (1754-1836) pada 1796, dengan konteks pasca Revolusi Perancis, dalam
magnum opus-nya , Elemens d’ ideologie (1801-1815), sebuah traktat empat volume yang
membahas metodologi sains dan filsafat. Pengertian de Tracy tentang ideologi merujuk pada
sains tentang ide-ide (science of ideas). Ideas disini dipahami dalam pengertian filsuf politik
Inggris, John Locke (1632-1704), Dan Filsuf Perancis Etienne Bonnot de Condillac (1714-
1780), yaitu sensasi serta pengalaman inderawi yang mendapatkan tempat terhormat sebagai
sumber ilmu pengetahuan yang valid, atau yang biasa disebut sebagai paham empirisme
(Inggris) atau sensasionisme (Perancis).
Dalam traktatnya ini, de Tracy percaya bahwa semua wilayah pengalaman manusia,
yang sebelumnya, pada abad pertengahan, banyak dikaji dan diperiksa dengan menggunakan
peristilahan teologi, seyogianya sekarang diperiksa oleh terang akal budi. Sains ide-ide
merupakan ihktiar untuk memeriksa asal-usul alamiah dari ide-ide, dalam ari sebab-musabab
yang memunculkan ide-ide yang berasal dari data inderawi (sensations). Keberadaan ide-ide
bawaan (innate ideas) ditolak, ide-ide merupakan data inderawi yang sudah dimodifikasi.

Selanjutnya, Tracy mengatakan bahwa Ideologi merupakan cabang dai ilmu binatang
(zoology), sebab akal budi manusia memiliki basis kesamaan fisiologis dengan binatang yang
lain. Pengelompokan ideologi sebagai cabang dari zoologi dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah lewat serangkaian prosedur ilmiah, seperti observasi, pengondisian, pencatatan,
pembandingan-bandingan, klasifikasi, dan seterusnya. Ideologi merukapan ratu dari berbagai
sains (la theorie des theories), karena ia mendahului semua sains yang lain, yang secara
niscaya bertumpu pada, menggunakan dan mengelaborasi ‘ide-ide’ (Vincent, 2010: 2)

Pengaruh Francis Bacon terhadap cara berpikir de Tracy tidak bisa diragukan lagi. Dalam hal
kepercayaan Tracy pada ‘daya pengetahuan’ (scientia est potentia), soal penegakan
kedaulatan akal budi yang didasari oleh hasil pengamatan, eksperimentasi, dan penalaran
induktif, di atas rezim metafisika Abad Pertengahan yang sarat kekeliruan berpikir 3, serta
tentang tujuan akhir dari ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu kemajuan umat manusia
sekaligus pemberdayaannya, merupakan pengaruh pemikiran Bacon terhadap pengertian
sains versi Tracy (Bacon, [1620] 2000:13).

Pandangan yang kritis dan agak pesimis tentang ‘ideologi’ dikemukakan seorang pemikir
sosial kontemporer dari Inggris, Terry Eagleton (kelhira 1943), dalam bukunya Ideology
(1991). Menuruttnya perdebatan tentang dan pencarian akan makna tunggal dari kata
“ideology” merupakan ikhtiar yang tidak terlalu menolong untuk memperjelas makna
ideologi, dikarenakan:

“ideologi merupakan sebuah teks yang tersusun dari beraneka macam jalinan konseptual
yang berbeda-beda pula sehingga lebih penting untuk mencermati hal-hal yang berharga
untuk diambil maupun sampah yang pantas dibuang dari setiap jalinan tersebut alih-alih
memaksakan mereka masuk dalam sejumlah bingkai Teori Global Besar.” (Eagleton, 1991:1)

Eagleton sendiri berhasil membuat kompilasi definisi tentang ideologi (jumlahnya ada enam
belas poin)4, yang tujuh diantaranya berbunyi sebagai berikut:

 Proses produksi gugus makna, tanda, dan nilai dalam hidup sosial;
 Sekumpulan gagasan yang menjadi ciri khas dari sebuah kelompok atau kelas sosial
tertentu;
 Gugus ide yang membantu melegitimasi kekuasaan politik yang dominan;
 Gagasan-gagasan palsu yang membantu melegitimasi kekuasan politik yang
dominan;
 Jenis komunikasi yang terdistorsi secara sistematis;
 Bentuk-bentuk pemikiran yang didorong oleh kepentingan-kepentian sosial;
 Seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tindakan.
Pengaitan ideologi dengan ranah ekonomi dilakukan David hawkes (kelahiran 1964), murid
dari Terry Eagleton di Oxford dan Edward Said di Columbia, Dalam bukunya, Ideology
(edisi kedua, 2003). Hawkes menyamakan ideologi dengan pasar (market) dalam arti berikut
ini: Pasar menjadi sebuah ideologi (ketika) ia, Pertama, menghasilkan kesadaran palsu secara
sistematis sehingga arus pertukaran (exchange) berskala globa, khususnya pertukaran uang,
demi keuntungan (profit) menjadi akar penyebab kesesatan-kesesatan ideologis yang terjadi
dewasa ini; dan Kedua, ketika pasar menjadi tujuan pada dirinya sendiri, dan sebagai
akibatnya ia mewujudkan aspek tirani yang menghancurkan yang dampaknya terasa baik
dalam hidup batiniah maupun jasmaniah masing-masing dari kita (Hawkes, 2003: 1-2).

Filsuf asal Slovenia berhaluan Marxis, Slavoj Zizek (kelahiran 1949), dalam bagian
pengantar buku yang disuntingnya, Mapping Ideology (1994), menggunakan model triadic
dari filsuf Idealis Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) untuk menguraikan
definisi ideologi (Zizek, 1994: 7)5. Baginya, ideologi memiliki momen pengertian ‘pada
dirinya sendiri’ (in-itself), ‘untuk dirinya sendiri’ (for-itself) dan ‘pada-dan-untuk-dirinya-
sendiri’ (in-and-for-itself). “Ideologi ‘pada-dirinya-sendiri’ mengandung perngertian yang
imanen sebagai suatu ajaran, sekumpulan gagasan, keyakinan, konsep, dan seterusnya, yang
bertujuang untuk meyakinkan kita akan kebenaran versinya, namun sebenarnya untuk
melayani kepentingan kekuasaan terntentu yang tidak dinyatakan.” Sementara itu, “Ideologi-
pada-dirinya-sendiri’ merujuk pada moemen eksternalisasinya sebagai ‘yang lain’: momen
yang dirangkum oleh pandangan Althusser tentang Aparat ideologis Negara atau Ideological
State Apparatuse (ISA)6 yang mewujudkan eksistensi material dari ideologi dalam bentuk
praktik-praktik, ritual-ritual, dan lembaga-lembaga ideologis.” (Zizek, 1994: 7-8) Setelahnya,
“Ideologi ‘pada-dan-untuk-dirinya-sendiri’ merupakan momen ketika ideologi tidak lagi
dipandang dan dialami sebagai mekanisme homogen yang menjamin reproduksi sosial, atau
sebagai ‘semen pengikat’ masyarakat melainkan jejaring prosedur yang saling terhubung dan
heterogen yang jangkauannya justru malah melokal.”

Pada momen terakhir inilah, seperti dicontohkan dalam kapitalisme lanjut, ketika secara
prinsip media masa memampukan ideologi untuk menembus masuk ke pori-pori tubuh sosial,
maka rujukan pada daya paksa di luar ideologi itu sendiri merupakan ciri gerak ideologis
yang paripurna: pasar dan media massa saling terhubung secara dialektis dan kita hidup
dalam ‘masyarakat tontonan’ (society of the spectacle) 7. Di dalam masyarakat tontonan
tersebut, media menstrukturkan persepsi kita tentang realitas yang mendahului realitas itu
sendiri dan bahkan membuat realitas itu tidak lagi bisa dibedakan dari versi citraan
estetisnya.” (Zizek, 1994: 9-10)

Untuk mengkinikan pengertian tentang ideologi, baik jika kita cermati pandangan seorang
pemikir ideologi kenamaan dari Universitas Nottingham (UK), Michael Freeden (kelahiran
1944), yang dituangkannya dalam sebuah esei panjang dan dimuat dalam jurnal yang khusus
membahas tentang ideologi-igeologi politik dengan pelbagai variannya, The Journal of
Political Ideologies.8

Menurut Freeden (2006: 19-21), guna merehabilitasi status dan kebermanfaatan konsep
ideologi baik sebagai gejala sosial maupun alat analisis, yang selama lima puluh tahun
terakhir cenderung dipandang dan diperlakukan secara negatif, maka perdebatkan tentang
makna ideologi tidak bisa dipisahkan dari ranah dan kajian politik sejauh politik dipahami
sebagai “apapun interaksi manusia yang melibatkan pertukaran kekuasaan, pemeringkatan
dan distribusi hal-hal penting, mobilisasi dukungan, pengorganisasian stabilitas maupun
instabilitas, serta proses pengambilan keputusan yang berdampak bagi hajat hidup orang
banyak,” dan ranah kajian simantik modern, sejauh ideologi dipahami sebagai seperangkat
konsep yang maknanya dapat berubah-ubah dan berevolusi dari waktu ke waktu.

Ringkasnya, Freeden percaya bahwa ideologi-ideologi (dalam bentuk jamak) merupakan


buah pikiran yang normal dan niscaya dari ranah politik yang berfungsi untuk memfasilitasi
dan merefleksikan tindakan politis. Dengan kata lain ideologi-ideologi merupakan
konfigurasi dari sejumlah konsep politis9 yang khas, yang mencakup ‘ruang, waktu, dan
morfologi kesaling-terkaitannya’. Ketiga dimensi ini harus diintegrasikan dalam sebuah
perspektif analitis yang lengkap mencakup kesemuanya (overarching analytical perspective).
Tanpa menyertakan salah satu saja dari ketiga ‘batasan’ ini akan menjadikan analisis ideologi
terjebak dalam sebuah fanatisme yang dangkal, permainan kata-kata yang hampa makna, dan
kekacauan berpikir yang menyesatkan.

Untuk masuk menyelami ‘ruang, waktu, morfologi kesaling-terkaitan’ dari berbagai ideologi
besar dunia yang pernah meramaikan percaturan politik internasional selama dua ratus tahun
terakhir ini, ada baiknya kita mempelajari sejarahnya, ide dan gagasan yang melatari
perkembangannya, pelaku-pelakunya, ciri-ciri khasnya, serta status keberadaannya sekarang
dibawah ini.

Ideologo-ideologi Besar Dunia: Sejarah, Doktrin dan Karakteristik

Liberalisme-Kapitalisme

Liberalisme, berakar pada kata latin liber, artinya bebas. Seorang yang berjiwa dan berpikiran
liberal berarti orang yang percaya akan kebebasan sebagai nilai yang utama, di atas nilai-nilai
lainnya. Menurut filsuf dan ahli ekonomi liberal dari Austria, Ludwig von Mises (1881-
1973), ada empat ciri pokok dari doktrin liberalisme klasik, yaitu kesejahteraan material,
kecenderungan rasionalistik, kebaikan bagi lebih banyak orang, dan kepemilikan hak pribadi
atau properti (von Mises, 1985: 4-19). Kesejahteraan material dikaitkan dengan terpenuhinya
kebutuhan lahiriah manusia, seperti sandang, pangan dan papan dan kepuasan yang timbul
ketika kebutuhan-kebutuhan ini terpenuhi. Kecenderunga rasionalistik, atau mengandalkan
kemapuan akal budi (rasio) di atas persaan maupun kehendak, juga sering dinobatkan sebagai
salah satu ciri khas dari ideologi Liberalisme. Hal ini tidak mengherankan karenan
Liberalisme merupakan saudara kandung modernisme yang berakar pada gerakan Pencerahan
(Aufklarung) pada akhir aba ke-17.

Pengangguan rasio di atas perasaan dan kehendak menonjolkan kecenderungan manusia


bebas sebagai si pememgang kendali yang mampu mengontrol dan memanipulasi alam di
sekitarnya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini bukan berarti bahwa manusia
tidak pernah bertindak bodoh atau didorong oleh impuls sesaat. Liberalisme menyadari hal
ini sekaligus senantiasa mengingatkan bahwa manusia seharusnya bertindak dengan dipandu
akal budi mereka, guna menjaga dan melanggengkan kepentingan mereka.

Dengan dipandu akal budi, tidak hanya si individu mersa aman dan dapan meneruskan
hidupnyasecara pribadi, namun juga ia dapat bertahan diranah sosial dan pelbagai ranah
manusiawi lainnya (ekonomi, budaya, dst). Ketergantungan manusia pada akal budi dianggap
dapat membebaskannya dari belenggu kepercayaan buta pada tradisi (ajaran gereja, misalnya)
dan iman, yang merupakan modus vivendi pada abad pertengahan di hampir seluruh daratan
Eropa.

Ada opini yang tersebar luas bahwa liberalisme berbeda dari gerakan politis lainnya.
Dikatakan bahwa liberalisme membela kepentingan bagian tertentu dari masyarakat, yaitu
kelas kapitalis yang memiliki properti, kaum pengusaha, di atas kepentingan kelas-kelas lain
dalam masyarakat. Sebenarnya ini adalah pandangan yang menyesatkan. Yang tepat adalah
bahwa liberalisme senantiasa melihat dan memerhatikan kebaikan secara keseluruhan. Pada
titik inilah jargon utilitarian Inggris mendapatkan pembenarannya, “kebahagiaan yang lebih
besar bagi lebih banyak orang (the greatest happiness of the greatest number).”

Masyarakat yang menggunakan prinsip-prinsip liberal diatas disebut masyarakat kapitalis,


dan kondisi atau syarat kemungkinan adanya masyarakat semacam itu berdiri disebut
kapitalisme. Meskipun dalam praxis sejarahnya, kondisi-kondisi tersebut di atas tidak bisa
terpenuhi semuanya, sehingga pencapaian-pencapaian kapitalisme puntidak sempurna,
namun bisa dikatakan bahwa tiga ratus tahun terakhir ini, khususnya didunia Barat, adalah
era kapitalisme. Sejumlah besar penduduk dunia, terutama mereka yang hidup dalam
masyarakat kapitalis, menikmati standar kehidupan yang jauh melampaui apapun yang dapat
dinikmati generasi-generasi sebelumnya, atau yang tadiny hanya dapat dinikmati oleh
segelintir orang kaya dan beruntung.

Berbicaralah pada tataran sosial-ekonomi, baik kapitalisme maupun sosialisme sama-sama


bertumpu pada prinsip pembagian kerja (division of labor), yang merukapan perwujudan dari
sistem kerjasama antar manusia dalam masyarakat. Yang satu didasarkan pada kepemilikan
pribadi sarana-sarana produksi (disebut kapitalisme), sementara yang satunya kepemilikan
bersama sarana-sarana produksi (disebut sosialisme). Hak milik pribadi, juga kepemilikan
pribadi atas modal, yang dilindungi oleh undang-undang, akan menjamin sebuah aturan
permainan yang objektif tanpa ada campur tangan kekuasaan atau prinsip non-intervention, di
dalamnya. Mengapa demikian? Jika kekuasaan ikut campur tangan, apalagi sampai
mengambil alih hak mili, maka aturan permainan akan jadi berat sebelah dan kondisi
semacam ini tidak memungkinkan bagi perwujudan kebebasan yang merupakan nilai utama
dalam ideologi Liberalisme (bdk. Arya Kresna, dkk.2012: 56).

Filsuf politik yang dianggap membesarkan paham liberalisme klasik adalah John Locke
(1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Jeremy Bentham (1748-1832), dan John
Stuart Mill (1806-1873). Sementara itu, dari sudut pandang ekonomi, ada empat tokoh yang
mengemuka yaitu Adam Smith (1723-1790), yang sering disebut sebagai Bapak Ekonomi
dan pendiri model ekonomi pasar bebas, David Ricardo (1772-1823), James Mill (1773-
1836), dan Thomas Robert Malthus (1766-1834).
Sosialisme

Gagasan dan praxis sosialisme paling awal sebenarnya bisa dilacak sejak abad-abad awal
Masehi, terutama mengemuka pada cara hidup orang-orang Kristen perdana (seperti dicatat
oleh penginjil Lukas dalam Kisah Para Rasul, khususnya bab 4: 32, 34-35) 10 dan pada cara
hidup rahib-rahib dalam biara-biara monastik Abad Pertengahan, yang biasa dikenal dengan
istilah Monastisisme Kristiani. Cara hidup mereka biasanya ditandai dengan istilah ‘kaul
kemelaratan’: setiap individu tidak memiliki apa-apa sebagai barang pribadi selain apa yang
dimiliki dan digunakan bersama-sama dengan jemaat perdana atau rekan komunitas biara. Ide
relijius di balik cara hidup seperti ini adalah agar setiap orang terbebas dari keterikatan atau
kelekatan tak teratur, terutama keterikatan terhadap hak milik, yang membuat manusia
menjadi egois dan menghancurkan keselarasan alami.

Paham sosialis awal yang terinspirasi dari perikehidupan spritual jemaat Kristiani perdana ini,
terutama dengan mentasnya era Renaissance yang mau menggantikan doktrin-doktrin Abad
Pertengahan yang kental dengan nuansa dan pengaruh Gereja Katolik, lalu diterjemahkan
menjadi sebuah paham sosialis yang kurang relijius dan lebih inklusif secara politis. Paham
sosialis generasi berikutnya ini berikhtiar untuk menciptakan suatu dunia yang lebih baik,
yang meniadakan rongak perbedaan antara orang miskin dan orang kaya sekaligus
menyeimbangkan usaha-usaha untuk mengejar kepentingan dan kebahagiaan pribadi (bonum
commune hominis) dengan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum
commune communitatis).

Pada pokok cita-cita ini, orang membayangkan sebuah komunitas dengan tatanan hidup yang
ideal. Sekalipun hal itu sulit dilaksanakan dalam kehidupan yang nyata, namun setidaknya
cita-cita tersebut menjadi orientasi bagaimana sebuah masyarakat dapat ditata sedemikian
rupa untuk mencapai hidup publik yang baik dan sejahtera. Cita-cita masyarakat yang seperti
itu adalah cita-cita kaum utopia, karena itu disebut dengan Sosialisme-Utopia.

Istilah ‘utopia’ sendiri diambil dari adikarya seorang filsuf sosial, pengacara, penulis,
negarawan, penasihat Raja Inggris Henry VIII, dan humanis Renaissance terkemuka Thomas
More (1478-1535) berjudul Utopia.11 buku pertama kali diterbitkan pada 1516 dalam Bahasa
Latin ini merupakan karya fiksi dan filsafat politik yang bercerita tentang sebuah masyarakat
imajiner yang tinggal di sebuah pulau12, dengan segala adat kebiasaan relijius, sosial, dan
politiknya yang bercirikan ‘sosialis’. Di pulau ini, demikian salah satu jalinan kisahnya, tidak
ada yang namanya kepemilikan pribadi (private property), segala macam barang disimpan di
gudang-gudang dan orang tinggal meminta apa yang mereka butuhkan untuk
mendapatkannya.

Istilah ‘sosialisme’ dalam versi modern muncul untuk pertama kalinya pada 1789,
bersamaaan dengan terjadinya revolusi Perancis (Revolution francaise). Lahir dan
berkembangnya pemikiran sosialis di Perancis pra-revolusi 1789 berhutang budi pada
kontribusi para pemikir materialis dan rasionalis, yang dipresentasikan secara brilian oleh
Helvetius, Holbach dan Diderot13. Dalam Manifesto Komunis bagian III 14, misalnya, Marx-
Engels menyebut beberapa tipe sosialisme yang muncul sebelum mereka: sosialisme
reaksioner, sosialisme konservatif atau borjuis, dan sosialisme kritis-utopis dan komunisme.15
Kedua kata ini, sosialisme dan komunisme, pada mulanya memiliki arti yang sama tetapi
kemudian komunisme lebih dipakai untuk aliran sosialisme radikal yaitu paham yang
menuntut pengahpusan total hak milik dan mengupayakan kesamaan konsumsi (Magnis-
Suseno, 2003: 14).

Lahir dan berkembangnya ideologi sosialismemodern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang filsuf politik dan ekonomi termasyhur kelahiran
Trier, Jerman. Pada 1848, bersama Friedrich Engels (1820-1895), Marx menuliskan Manifest
der Kommunistischen Partei atau yang lebih dikenal dengan nama “Manifesto Komunis” 16,
sebuah manuskrip politik yang paling berpengaruh dan paling banyak dibaca orang selama
150 tahun terakhir ini.

Dalam manuskrip ini Marx menegaskan bahwa:

“Tujuan terdekat dari kaum Komunis adalah sama dengan tujuan semua partai proletar lain-
lainnya: pembentukan proletariat menjadi suatu kelas, penggulingan kekuasaan borjuasi,
perebutan kekuasaan politik oleh proletariat...Penghapusan hubungan-hubungan milik yang
ada sekarang sama sekali bukanlah suatu ciri yang istimewa dari Komunisme...Ciri istimewa
Komunisme – bukanlah penghapusan milik pada umumnya, tetapi penghapusan milik borjuis.
Tetapi milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan terakhir dan paling sempurna
dari sistim menghasilkan dan memiliki hasil-hasil yang didasarkan pada antagonisme-
antagonisme kelas, pada penghisapan terhadap yang banyak oleh yang sedikit. Dalam artian
ini, teori kaum komunis dapatlah diikhtisarkan dalam satu kalimat saja: Penghapusan milik
perseorangan.”

Jika dibaca secara jeli, penghapusan milik peseoranga yang diserukan Marx dan Engels di
atas bukan hanya sekedar ajakan untuk bertindak secara politis yang berangkat dari tuntunan
moral-etis, melainkan juga sebuah keniscayaan objektif yang didasarkan pada paham
sosialisme ilmiah (scientific socialism).

Dikatakan “ilmiah” karena dibalik kegarangan seruan tersebut, Marx melandasinya dengan
hukum yang mengatur masyarakat dan sejarah, dengan porsi analisis yang adekuat
menyangkut bidang ekonomi. Sosialisme yang diusung Marx bukan sekedar sosialisme yang
bertumpu pada harapan dan tuntunan idel belaka (versi Utopis), melainkan sosialisme modern
yang didasarkan pada analisis ilmiah yang ketat terhadap hukum-hukum perkembangan
masyarakat. Marx meyakini bahwa “Sejarah” bercirikan materialistik, dan bukan serentetan
momen ‘manifestasi perjalanan Roh Absolut’ seperti ajaran gurunya, Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) dalam bukunya Fenomenologi Roh (Phanomenologie des
Geistes, 1807).

Untuk meringkas dinamika perjuangan kelas proletar dalam masyarakat kapitalis, pandangan
Leon Trotsky (1879-1940) berikut baik untuk disimak:

“Kaum proletar tumbuh dan menjadi lebih kuat seiring dengan berkembangnya kapitalisme,
dalam pengertian ini, perkembangan kapitalisme adalah juga perkembangan kaum proletar
menuju kediktatoran. Tetapi kapan kekuasaan akan beralih ketangan kelas buruh tergantung
bukan secara langsung pada tingkat kekuatan-kekuatan produksi, tetapi tergantung pada
relasi-relasi didalam perjuangan kelas, pada situasi internasional, dan akhirnya tergantung
pada sejumlah faktor subjektif: tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum buruh untuk berjuang.
Adalah mungkin bagi kaum buruh di negeri yang ekonominya terbelakang untuk berkuasa
lebih awal dari pada kaum buruh di negeri maju17”.

Revolusi Industri, sebuah periode penting dala sejarah kapitalisme modern, yang pertama-
tama dimulai di Inggris Raya 1760 sampai 1840, yang ditandai oleh perubahan sosio-
ekonomi,teknologi dan budaya, dari masyarakat agraris dan kerja tangan menjadi masyarakat
yang didominasi oleh manufaktur mesin dan industri, memang mendorong lahirnya kelas
manusia baru yang belum pernah ada sebelumnya, yakni kelas buruh industri.

Salah satu ciri khas dari kelas buruh industri, yang membedakannya dari masyarakat feodal
Abada Pertangahn, adalah kapitalisasi tenaga kerja (labor) untuk sekedar bertahan hidup
sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan minimal untuk hidup layak. Tadinya mereka
bekerja sebagai buruh dan tukang-tukang yang tergantung pada majikan karena mereka hanya
bisa bekerja kalau ditawari dilapangan kerja dan tempat-tempat kerja yang dimiliki para
pemilik modal. Dalam kelas buruh industri, kaum buruh harus memenuhi kebutuhan dasar
mereka dengan satu cara yaitu menjual tenaga mereka kepada para pemilik pabrik. Dengan
demikian, mereka harus menerima syarat-syarat kerja yang ditentukan oleh kepentingan
ekonomis perusahan sebesar mungkin.

Selanjutnya, terciptalah masalah sosial yang menyangkut kaum buruh industri di Eropa dan
kemudian di negara-negara Amerika Utara. Kaum buruh bekerja keras sampai enam belas
jam sehari dengan upah yang hanya cukup untuk bertahan agar tidak mati saja. Tidak ada
jaminan kesehatan, perlindungan atas kecelakaan dan perlindungan hari tua diberikan kepada
para buruh. Tidak jarang juga para pemilik pabrik mempekerjakan anak-anak 18 untuk
membantu kerja mereka di pabrik, karena upah mereka tidak sebesar orang dewasa. Dalam
situasi buruk seperti ini, dengan mudah kaum buruh dapat diberhentikan (dipecat) dari tempat
kerjanya19.

Berhadapan dengan situasi kaum buruh pada zaman kapitalisme seperti itu, kotbah-kotbah
moralis untuk ‘membesarkan hati’ orang-orang miskin tidak lagi mangkus (efektif). Yang
dibutuhkan kaum buruh bukanlah belas kasihan dari mereka yang kaya, melainkan
penghapusan ketidakadilan. Kesadaran yang muncul kemudian adalah bahwa upah yang
rendah tidak sesuai dengan keadilan, karena dengan upah yang rendah, buruh tidak akan
mencapai bagian yang wajar dari nilai-nilai yang diciptakan dalam pekerjaannya.

Buruh hanya mendapatkan sebagian dari hasil pekerjaannya, sementara sisanya diambil oleh
majikan. Ketidakadilan dirasionalisasikan oleh para majikan dengan argumen bahwa
hubungan antara buruh dan majikan adalah berdasarkan kontrak dan dengan demikian harus
dianggap adil. Padahal buruh tetap pada posisinya yang dilematis, tidak punya pilihan lain
karena harus hidup. Posisi buruh terjepit dan dengan demikian ia dihisap, diperlakukan
sebagai objek belaka, tidak sedikitpun diberi kesempatan untuk ikut merencanakan dan
mengorganisasi proses produksi.
Dari kondisi semacam itu, munculah kesadaran tentang ketidakadilan. Pertama, kaum buruh
menjadi miskin karena diperlakukan dengan tidak adil oleh para majikan. Kedua, bahwa
ketidakadilan bukanlah pertama-tama karena kerakusan para majikan belaka, tetapi karena
sistem produksi kapitalis memang mensyaratkan adanya persaingan keras dari para pemilik
modal agar roda industri dapat terus berputar.

Dampak ikutan dari alur berpikir sistemik kapitalistik semacam ini adalah bahwa pemilik
modal harus menjadi penyintas (survivor), yang salah satu caranya adlah eskploitasi tenaga
kerja kaum buruh sehingga laba yang mereka peroleh dapat menopang perusahan untuk
bertahan. Masalah keadilan sosia, dalam perspektif para pemilik modal, ternyata tidak lebih
dari akumulasi masalah ketimpangan dalam prasyarat hidup.

Perlu ditegaskan kembali disini bahwa sosialisme dan komunisme menurut Marx memiliki
arti yang sama yakni penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Revolusi sosialis
tidak sepenuhnya menghasilkan sosialisme. Sesudah kapitalisme dihancurkan, muncullah
sosialisme negara dan kediktatoran proletar. Angan-angan Marx tentang terwujudnya cita-cita
sosialisme yaitu masyarakat tanpa kelas, ditopang oleh pengandaian bahwa negara sudah
tidak ada lagi. Syangnya angan-angan Marx tersebut haram dipelabuhan sejarah. Pada
kenyataannya, di negara-negara sosialis, sosok negara bukannya semakin menghilang
melainkan justru menjadi semakin kuat berkuasa.

Sejarah di Uni Soviet menyatakan bahwa langkah pertama yang terjadi adalah revolusi sosial.
Kaum proletar mengambil alih kekuasaan dan mulailah pembangunan sosialisme yang di
dalamnya ideologi proletariat tidak seluruhnya menguasai masyarakat. Tahap yang disebut
sosialisme akan terjadi bila kelas-kelas sosial memang sudah tidak ada lagi, demikian juga
ketika ideologi proletariat, Marxisme-Leninisme jufa sudah hilang. Satu-satunya yang ada
adalah negara yang dikuasaioleh parta sosialis atas nama proletariat yang akan mengamankan
masyarakatnya dari lawan-lawannya, terutama dari negara kapitalis.

Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah mungkin cita-cita sosialis itu tercapai ketika
negara sudah dibutuhkan lagi? Sebagai cita-cita, sosialisme merupakan eskatologi-sekuler,
analog dengan Kekristenan yang merupakan eskatologi-teologis-relijius. Muncullah
keberatan terhadap pemikiran Marx yang bersifat radikal-agresif terutama yang menyatakan
bahwa sumber segala macam persoalan berasal dari pertentangan kelas.

Apa yang akan terjadi ketika pertentangan kelas itu sudah tidak ada lagi? Merujuk pada data
empiris kenyataan sejarah, negara-negara sosialis tidak menghapuskan pertentangan kelas,
tetapi justru memunculkan kelas atas baru yaitu birokrasi, yang cenderung bersifat otoriter
dan korup.

Masyarakat sosialis yang dicita-citakan Marx di satu pihak memang berhasil menyalakan
semangat kaum pekerja untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka, tetapi di lain pihak
harapan-harapan sosialis berupa masyarakat tanpa kelas tampak sebagai angan-angan berbaju
ideologis belaka. Di sisni, Marx memberikan sumbangan besar dalam pemikirannya tentang
sosialisme yaitu dalam hal teori basis ekonomi dan pertentangan kelas.
Di lain pihak, dalam rentang perjalanan sejarah, nasib kapitalisme ternyata tidak runtuh
seperti diramalkan Marx sebelumnya, karena yang menjadi motor perubhahan adalah
dinamika masyarakat industri, dan bukan keberadaan partai pelopor. Dalam masyarakat
industri, kaum buruh tidak secara otomatis manjadi kaum proletar miskin, melainkan mereka
berevolusi menjadi karyawan serta pegawai.

Salah satu capaian perjuangan kaum buruh kontemporer adalah keberhasilan menduduki
posisi-posisi “basah” di pabrik dan perusahaan, yang lalu menjadi daya tawar mereka untuk
meminta kenaikan upah secara berkesinambungan. Penentuan upah buruh pun tidak semata-
mata didorong oleh faktor-faktor ekonomis namun juga perjuangan politis, yaitu tawar-
menawar antara para wakil buruh, yang biasanya diawakili oleh tokoh-tokoh dari Serikat
Buruh, dengan pihak manajemen (alih-alih majikan).

Ajaran dan prediksi Marxisme ortodoks tampak semakin menjauh dari kenyataan. Kalaupun
pada waktu itu Marxisme sempat melembaga, hal itu terjadi karena ada tendensi kekerasan
dan penindasan saat menjadi sistem kekuasaan. Runtuhnya sistem komunisme dengan waktu
yang amat singkat (1989 dan 1991 untuk komunisme Soviet, di Indonesia bahkan Partai
Komunis Indonesia sudah dibubarkan 25 tahun sebelumnya) memunculkan butir-butir
refleksi sosial sebagai berikut:

Pertama, penghapusan pasar tidak dapat diganti oleh sistem distribusi yang cenderung akan
menjadi sewenang-wenang dan ditentukan oleh birokrasi. Kedua, impian sebuah masyarakat
tanpa kelas dan perekonomian tanpa hak milik pribadi sungguh tidak realistis karena yang
diperlukan sebenarnya adalah komunikasi terbuka yang bebas dari berbagai paksaan dan
tekanan.

Sebagai kesimpulan ringkas dari uraian panjang di atas, ada dua hal yang dapat kita pelajari
dari sosialisme veri Marx. Pertama, pemikiran-pemikiran Marx berhasil memantik semangat
kaum pekerja untuk memperjuangkan keadilan, dan Kedua, teori sosialisme Marxis tetap
menarik karena secara historis ia mengandung cita-cita pembebasan maupun kritik
emansipatoris terhadap berbagai jenis dan moda eskploitasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai