Anda di halaman 1dari 8

Nama : Muhammad Miftachul ulum

Nim :33030170105

Legal Drafting/ Senin, 16.00

ANALISIS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAM TERKAIT


PEMBEBASAN NAPI (ASIMILASI) DI TENGAH WABAH PANDEMI
GLOBAL

I. Indonesia Bebaskan Narapidana di tengah Wabah Virus Covid-19


Di Indonesia, pemerintah menerapkan pembebasan narapidana melalui
program asimilasi dan integrasi mulai 31 Maret lalu. Asimilasi adalah
pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup
berbaur di lingkungan masyarakat. Sedangkan integrasi adalah pembebasan
narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat,
dan cuti menjelang pembebasan. Kebijakan pembebasan ini mengacu pada
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat
Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Per Selasa, 8
April 2020, lebih dari 35 ribu narapidana dibebaskan. Adapun jika mengacu
pada data World Prison Brief, penjara di Indonesia mengalami kelebihan
kapasitas 104%.
Belum ada penjelasan tentang kasus-kasus dari para narapidana yang
dibebaskan. Namun, sesuai aturan, narapidana yang dibebaskan semestinya
bukan yang terjerat kasus korupsi, narkotika, terorisme, kejahatan keamanan
negara, kejahatan HAM, kejahatan transnasional dan warga negara asing. Para
narapidana yang bebas masih harus wajib lapor. Sebelumnya, sempat ada ide
dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk perluasan
narapidana yang bisa dibebaskan. Salah satu yang diajukannya adalah
pembebasan narapidana korupsi berusia tua lewat revisi Peraturan Pemerintah.
Ide ini langsung menuai kontroversi. Namun, Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD memastikan tak ada rencana revisi
itu.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI mengklaim telah
menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu
narapidana dan anak mendapatkan asimilasi dirumah serta mendapat hak
integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat.
Kebijakan tersebut didasarkan pada peraturan Menteri Hukum dan
HAM RI Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak
Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid -19; Keputusan Menteri HUkum dan
HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan
Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19; dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No.: PAS-497.PK.01.04.04.
Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan tanggal 29 Maret 2020,
Narapidana dan Anak yang diusulkan asimilasi dan hak integrasi terbanyak
berasal dari provinsi Sumatera Utara sebanyak 4.730 orang, disusul provinsi
Jawa Timur sebanyak 4.347 orang, serta provinsi Jawa Barat dengan jumlah
4.014 orang.

 Pro Kontra Pembebasan Narapidana


PHYSICAL Distancing atau jaga jarak 1,5 sampai 2 meter merupakan salah
satu cara untuk menghentikan penularan virus corona (COVID-19). Atas dasar itu
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerapkan asimilasi atau
pembebasan bersyarat kepada sekitar 36.000 narapidana (napi) umum.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Thomas Sunaryo meminta
Kemenkumham mengevaluasi program asimilasi tersebut. Menurutnya ada
dua hal yang harus dicermati oleh pemerintah, pertama memastikan bahwa
kebijakan tersebut tepat dan tidak menimbulkan masalah kesehatan di dalam
lapas.
Pemerintah juga harus memikirkan apakah para napi yang dibebaskan
tersebut perlu diberi bantuan, khususnya mereka yang kesulitan memenuhi
kebutuhan hidup. Di sisi lain Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Kemenkumham, Nugroho mengatakan dari 36.000 napi yang dibebaskan,
hanya enam orang yang berulah dengan kembali melakukan tidak kejahatan.

 Pembebasan Narapidana Terkait Wabah Covid-19 Dikaji dalam UU


No.12 Tahun 2011
1. Perlindungan Hukum terhadap Narapidana dalamLembaga
Pemasyarakatan(Lapas)
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lapas sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU
Pemasyarakatan”). Sedangkan pengertian terpidana itu sendiri adalah
seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 angka 6 UU Pemasyarakatan).
Dari pengertian narapidana di atas, ada hal yang kami luruskan dari
pertanyaan Anda ini. Narapidana yang sedang menjalankan pidananya di
Lapas tidak ada keterkaitan dengan kepolisian seperti yang Anda tanyakan.
Yang bertanggungjawab atas pemenuhan hak-hak narapidana adalah Lapas
tempat narapidana menjalankan pidananya.
Oleh karena informasi yang Anda sampaikan terbatas, sebelumnya
kami akan uraikan hak-hak narapidana yang telah diatur dalam Pasal 14 ayat
(1) UU Pemasyarakatan, yaitu:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat.
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”) sebagaimana
yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 (“PP
28/2006”), dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 (“PP 99/2012”).
Kami akan mengambil contoh salah satu hak yang dimiliki narapidana
yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d UUPemasyarakatan, yakni
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Berdasarkan
Pasal 19 ayat (1) PP 32/2009, setiap narapidana berhak mendapatkan makanan
dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan.
Dari segi pelayanan kesehatan, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan (2)
PP 32/2009, setiap narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
layak, yang mana pada setiap Lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya
dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga
kesehatan lainnya.
Sebagai wujud perlindungan hak narapidana, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia bahkan mengeluarkan peraturan khusus mengenai pengadaan
bahan makanan bagi narapidana, yakni Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengadaan Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, Dan Anak Didik
Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara
Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
(“Permenkumhan 172/2011”).
2. Perlindungan Hukum terhadap Tahanan
Kasus yang kerap terjadi di lingkungan peradilan pidana adalah
ketidakjelasan status orang yang dilakukan penahanan terhadapnya oleh
kepolisian. Seperti yang dijelaskan di atas, tidak ada keterkaitan antara
narapidana dengan kepolisian. Kepolisian seperti yang Anda tanyakan
memiliki keterkaitan dengan orang yang (salah satunya) berstatus sebagai
tahanan.
Menurut Pasal 1 angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Dalam praktiknya, seringkali status tahanan menjadi
berkepanjangan karena proses pemeriksaan di pihak kepolisian masih
berjalan. Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, penyidik (dalam hal ini
kepolisian) karena kewajibannya memiliki wewenang melakukan penahanan.
Adapun hak-hak seseorang yang ditahan adalah:
a. Menghubungi dan didampingi pengacara.
b. Segera diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan.
c. Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain
untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat
bantuan hukum.
d. Meminta atau mengajukan pengguhan penahanan.
e. Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan.
f. Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
g. Mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak
keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat
rumah tahanan Negara.
h. Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
i. Bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa
secara fisik.
Hak orang yang ditahan dan bagaimana seharusnya polisi
memperlakukan tersangka dapat kita temui dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”). Tujuan
diberlakukannya Perkapolri 8/2009 antara lain salah satunya adalah untuk
menjamin pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran POLRI agar
dalam melaksanakan tugasnya senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip
HAM.
Jadi, dalam hal ini, saat kepolisian melakukan wewenangnya dalam
melakukan penahanan, kepolisian harus melindungi hak-hak tahanan. Salah
satu perlindungan hukum terhadap tahanan terdapat dalam Pasal 10 huruf f
Perkapolri 8/2009 yang berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota
Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) menjamin
perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam
tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk
memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan.
Selain itu, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf b dan c Perkapolri
8/2009, setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan
atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan dan pelecehan
atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka
terlibat dalam kejahatan.
Perlindungan hukum bagi tahanan juga ditegaskan pada Pasal 22 ayat
(3) Perkapolri 8/2009 yang mengatakan bahwa tahanan yang pada dasarnya
telah dirampas kemerdekaannya harus tetap diperlakukan sebagai orang yang
tidak bersalah bersalah sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan
tetap.
Di atas kami telah mengatakan bahwa salah satu hal yang terjadi
dalam dunia peradilan adalah ketidakjelasan status seorang tahanan. Padahal,
berdasarkan Pasal 23 huruf f Perkapolri 8/2009, tahanan hanya boleh ditahan
di tempat penahanan resmi, keluarga serta penasihat hukum harus diberikan
informasi tentang tempat dan status penahanan.
Selain itu, berdasaran Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pengurusan Tahanan pada Rumah Tahanan Polri (“Perkapolri 4/2005”), setiap
tahanan juga pada prinsipnya berhak mendapat perawatan berupa: dukungan
kesehatan, makanan, pakaian, dan kunjungan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan dalam bentuk dukungan
kesehatan dijelaskan dalam Pasal 7 Perkapolri 4/2005. Salah satu yang diatur
dalam ketentuan tersebut adalah kewajiban petugas jaga tahanan untuk
meneliti kesehatan tahanan pada waktu sebelum, selama dan pada saat akan
dikeluarkan dari Rutan dengan bantuan dokter atau petugas kesehatan.
Dalam keadaan darurat atau tahanan sakit keras, seorang dokter atau
petugas kesehatan pun dapat didatangkan ke Rutan yang berada dan/atau ke
rumah sakit dengan dikawal oleh petugas kawal sesuai dengan prosedur.

KESIMPULAN
Dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya saya cenderung bersifat pro
terhadap kebijakan yang di ambil ini , karena dilihat dari sikon yang ada untuk
saat ini pembebasan napi sangatlah berdampak bagi ketenangan Masyarakat
terlebih lagi untuk saat ini setelah terjadi ataupun dilaksanakan nya kebijakan
tersebut bukan semakin meminimalisir keresahan malah menimbulkan banyak
keresahan di masyarakat , di sokong dari segi perekonomian masyarakat
Indonesia juga menurun hal ini menimbulkan kan banyak pandangan buruk
masyarakat terhadap kebijakan ini,
Terhadap kebijakan ini banyak setelah pelaksanaan timbul juga
permasalahan ,banyak pencurian,begal dimana mana , perampokan dan
banyak lagi, Menur pemikiran saya seharusnya pemerintah harus lebih tenang
dalam mengambil kebijakan ini ,dan sebaiknya tidak melaksanakan kebijakan
ini, karena apa? Yah karena efek jera karena telah melakukan kejahatan yang
mereka lakukan akan memudar dan sifat manusianya beradaptasi juga dari
lingkungan, apa lagi lingkungan seperti ini mereka yang lepas malah semakin
menjadi demikian terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai