Trauma kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur
kepala mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang
tengkorak, duramater, vaskuler otak sampai dengan jaringan otak sendiri
baik berupa luka tertutup maupun tembus.
1.2 Etiologi
Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi
deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional yaitu
1.2.1 Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakkan kekepala).
1.2.2 Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
1.2.3 Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
1.2.4 Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial daan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian
belakang kepala.
1.2.5 Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka
pada cranium (Brain Injury Association of Michigan).
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya
adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan
kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan
(hemiparase/plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran
CT Scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau letikuler diantara 2
sutura. Jika perdarahan >20 cc atau > 1 cm midline shift >5 mm dilakukan
operasi untuk menghentikan perdaarahan.
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural hematom
adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya peembuluh darah vena,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2
hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala,
bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil, dan secara
klinis adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparase/plegi. Pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan
sabit (cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya >1 cm dan terjadi
pergeseran garis tengah >5 mm.
6. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid.Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lsi
hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri di daerah yang
berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif (Misulis KE, Head TC).
7. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi perdarahan diantara
neuron otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya
daerah hiperdens, diameter >3 cm, perifer, adanya pergeseran garis
tengah.
1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan
laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal
dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial.
Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan
gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-
gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung
karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan
serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan
oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi
pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila
hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-
kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan
gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada
kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas
yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
1.6 Komplikasi
1.6.1 Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial
disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita
anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera
yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
1.6.2 Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
1.6.3 Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di
korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan
dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural,
dan herniasi transtentorial.
1.6.4 Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita
cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup,
mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat,
mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
1.6.5 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa
dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan
pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri
kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata.
1.6.6 Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy
yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic
epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun
ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.
1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yaitu diantaranya:
1.7.1 Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
1.8 Pathway
Pathway Cedera Kepala
Laserasi
Resiko infeksi
Tanda:
a) Perubahan pola bicara/prosespikir
b) Mudah terangsang,peka terhadap stimulus
c) Penurunan reflek tendon dalam papiledema
f. Nyeri/Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala:
Pascatraumatik: beratdan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau
intrmiten, setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh
gangguan emosional, perubahan posisi tubuh.
Tanda: Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah, respon
emosional/perilaku tak terarah, gelisah.
g. Interaksi social:
Gejala: perubahan dalam tanggung jawab peran/interaksi social yang
berhubungan dengan penyakit.
h. Ventilasi
Pada cedera kepalatertutup disarankan untuk melakukan hiperventilasi
manual dengan memberikan oksigen.
i. Hipotermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan
penurunan darah serebral.
Pengkajian Kegawatdaruratan :
1. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift”
atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
1. Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2. Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3. Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
4. Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5. Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6. Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Klien merasa nyaman, tidak mengeluh nyeri dan tanda-tanda
vital dalam batas normal
Krieria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intenitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.