Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata

menentukan bahwa suatu perjanjian adalah:

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”1

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian yang

sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contrat).2

Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum berdasarkan sepakat di antara dua orang atau lebih yang menimbulkan

akibat hukum yang diperbolehkan oleh undang-undang. Berarti peristiwa

hukum atau perbuatan hukum adalah dimana seseorang berjanji kepada orang

lain dimana dua orang saling mengikat dirinya atau saling berjanji untuk

melakukan sesuatu hal.

1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1313.
2
Surajiman, Perjanjian Bernama, Jakarta: Pusbakum, 2001, hal.31.
2. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain:

a. Perjanjian timbal balik dan sepihak

Pembedaan jenis ini berdasarkan kewajiban berprestatsi. Perjanjian timbal

balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi

secara timbal balik. Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu

berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima

prestasi. Misalnya: perjanjian hibah dan hadiah.

b. Perjanjian bernama dan tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama

sendiri yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan

jumlahnya terbatas. Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, dan tukar-

menukar. Perjanjian bernama diatur dalam Bab V sampai dengan Bab

XVIII KUHPerdata. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak

diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Perjanjian tidak

bernama jumlahnya tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan

kebutuhan para pihak yang membuat perjanjian. Misalnya: perjanjian

kerjasama, perjanjian pemasaran, dan perjanjian pengelolaan.

c. Perjanjian obligatoir dan kebendaan


Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana salah satu pihak

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUHPerdata,

perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari

penjualan kepada pembeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk

memindahkan hak milik, dalam perjanjian lainnya hanya menimbulkan

penguasaan atas kebendaan (bezit), misalnya: sewa-menyewa, pinjam

pakai, dan gadai.

d. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak

telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian.

Menurut KUHPerdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan

mengikat (Pasaal 1338 KUHPerdata). Perjanjian riil adalah perjanjian

yang terjadinya sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan

hak. Misalnya: perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata) dan

perjanjian pinjaman pakai (Pasal 1740 KUHPerdata).3

3. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat

yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Perjanjian yang sah

3
Surajiman, Perjanjian Bernama, Jakarta: Pusbakum, 2001.hal 31:2. Ibid. hal.30.
diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). Menurut

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya perjanjian adalah:

a. Ada persetujuan kehendak dari pihak-pihak yang membuat perjanjian

(konsesus).

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan para pihak-pihak mengenai

pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga

dikehendaki oleh pihak lain. Pesetujuan kehendak itu sifatnya bebas,

artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun juga, benar-benar

atas kemauan dan sukarela dari para pihak. Dalam pengertian persetujuan

kehendak, termasuk juga tidak ada kekhilafan, paksaan, dan penipuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena

kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”4

b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.

Orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum bila ia sudah dewasa,

artinya sudah mencapai usia 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum

berusia 21 tahun. Menurut Pasal 1330 KUPerdata, dikatakan tidak cakap

membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang berada di

bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Untuk yang terakhir ini,

sekarang sudah tidak berlaku lagi. Akibatnya, hukum ketidakcakapan

membuat perjanjian ialah perjanjian yang telah dibuat itu dapat


4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Op.cit., Pasal 1321.
dimintakan pembatalannya kepada hakim . Jika pembatalan tidak

dimintakan oleh pihak yang berkepentingan perjanjian itu tetap berlaku

bagi pihak-pihak.

c. Ada suatu hal tertentu (objek).

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Objek perjanjian berupa

prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-

kurangnya dapat ditentukan.

d. Ada suatu sebab yang halal (causa).

Causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah tujuan, dalam arti

isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para

pihak. Dalam hal ini, isi perjanjian tidak boleh melanggar peraturan

perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.5

Keempat syarat tersebut dapat dibagi menjadi 2 bagian. Syarat pada

poin a dan b menyangkut subjek perjanjian (orang) sehingga disebut syarat

subjektif. Bila syarat subjektif tersebut tidak terpenuhi, maka akibat

hukumnya perjanjian menjadi dapat dibatalkan (voidable, vernietigbaar).

Syarat pada poin c dan d menyangkut objek perjanjian (prestasi) sehingga

disebut syarat objektif. Bila syarat objektif tidak terpenuhi, maka akibat

hukumnya perjanjian batal demi hukum (null and void, nietig).6

5
Surajiman, Op.cit., hal. 34
6
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta: PT Gramedia,
2011, hal. 149-150.
e. Asas-asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan

dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.

Beberapa asas tersebut diantaranya:

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas perjanjian terdiri dari asas

kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan

mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum,

asas moral, persaman hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum , asas

kepatutan dan asas kebiasaan.7

a. Asas kebebasan berkontrak

Salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian.

Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi

manusia. Asas kebebasan berkontrak dpat disimpulkan Pasal 1338 ayat 1

KUHPerdata yang mentukan :

“semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi


mereka yang mebuatnya”

Pasal tersebut berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap

orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja,

dan perjanjian akan mengikat para pihak yang mebuatnya seperti undang-

undang . Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya

7
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Adtya Bakti, 2016,
hal. 66.
memaksa, sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus menaati

hukum yang sifatnya memaksa tersebut.

b. Asas konsensualisme (persesuain kehendak)

Artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian

sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik tercapainya kesepakatan.

Terhadap asas ini terdapat pengecualian , yakni adanaya perjanjian rill

misalnya perjanjian barang (pasal 1694 KUHPerdata) perjanjian pinjaman

pakai ( Pasal 1740 KUHPerdata) perjanjian pinjaman pakai sampai habis

(Pasal 1754KUHPerdata). .

c. Asas kepercayaan

Seseorang yang mendapatkan perjanjian dengan pihak lain, menumuhkan

kepercayaan diantaranya kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan

memenuhi janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya. Tanpa

ada kepercayaan pada kedua belah pihak maka perjanjian itu tidak akan

mungkin diadakan oleh para pihak.

d. Asas kekuatan mengikat

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Mengikat

artinya masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus

menghormati dan melaksanakan isi perjanjiann , serta tidak boleh melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak

pada perjanjian tida semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaaan dan

kepatutan serta moral.

e. Asas persamaan hukum

Asas ini menetapakan para pihak didalam persamaan derajat dan tidak ada

perbedaan dihadapan hukum . masing-masing pihak wajib melihat adanya

persamaan ini dan mengahruskan kedua belah pihak untuk menghormati satu

sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

f. Asas keseimbagan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas ini keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan.

g. Asas kepastian hukum

menurut asas ini perjanjian harus mengandung kepastian hukum para pihak

yang mengadakan perjanjian. Kepastian ini teruangkap dari kekuatan

mengikat perjanjian yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

h. Asas moral

asas ini terlohat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari

sesesorang tidak menimbulakan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi

dari pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang

bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdarkan pada kesusilaan

(moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.


i. Asas kepatuhan

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata . Asas ini berkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian melalui asas iniukuran tentang

hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

j. Asas kebiasaan

Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 Kuhperdata suatu perjanjian tidak

hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal

yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

f. Berakhirnya Perjanjian

Terpenuhinya prestasi atau perjanjian yang disepakati dan syarat-

syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian,

misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian, atau

semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan.

Hal-hal yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian diatur

dalam KUHPerdata Pasal 1380 adalah sebagai berikut:

a. Pembayaran

Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata,

tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi

unsur pembayaran. Yang dimaksud dengan pembayaran adalah

pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela, artinya tidak ada


paksaan. Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang

bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa

pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-

undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi

yang penting adalah hutang itu harus dibayar.

b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan

sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya. Namun

tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang

diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum

waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian

pinjam-meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan.

Apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah

pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir

sebelum waktunya.

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah

satu cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hal ini si kreditur

menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur

menolak menerima pernbayaran, maka debitur secara langsung

menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang

kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus
dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melaksanakan

pembayaran. Jika kreditur menolak, maka dipersilakan oleh notaris atau

panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga,

rnaka hal ini dicatat dalam berita acara tersebut. Hal ini merupakan bukti

bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian

debitur meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah

disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan perjanjian

dianggap hapus. (SEBUTKAN SUMBERNYA! URAIAN MENGENAI

PENITIPAN TERSEBUT BERBEDA DENGAN URAIAN YANG

TERDAPAT DI DALAM BUKUNYA SUBEKTI & MARIAM

DARUS BADRULZAMAN!)

c. Pembaharuan hutang

Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab

munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang

diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya

pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi

pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan

jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu

melunasi sisa pembayaran. Pembaharuan hutang (novasi) adalah peristiwa

hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengan perjanjian lain. Dalam

hal ini para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan


menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terdapat 3 bentuk novasi yang

diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata, yaitu:

1. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan


mana perjanjian lama dihapuskan.
2. Apabila terjadi penggantian debitur, dengan penggantian mana
debitur lama dibebaskan dari perikatannya.
3. Apabila terjadi penggantian kreditur dengan mana kreditur
lama dibebaskan dari perikatannya.8

d. Perjumpaan hutang atau kompensasi

Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling

mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap

terbayar oleh piutang mereka masing-masing. Dalam hal terjadinya

perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditur

dan debitur saling mempunyai hutang dan piutang, maka mereka

mengadakan perjumpaan hutang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini

terjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau

sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan

keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika.

e. Percampuran Hutang

Percampuran hutang adalah percampuran kedudukan dari pihak-pihak

yang mengadakan perjanjian, sehingga kedudukan sebagai kreditur

menjadi satu dengan kedudukan sebagai debitur. Dalam hal ini, demi

8
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Adtya Bakti, 2016,
hal. 133.
hukum hapuslah perikatan yang semula ada di antara kedua belah pihak

tersebut (Pasal 1436 KUHPerdata). Misalnya si berhutang (debitur)

menikah dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang (kreditur)

atau si berhutang (debitur) menggantikan hak-hak si berpiutang (kreditur)

karena menjadi ahli warisnya atau sebaliknya.9

f. Pembebasan Hutang

Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur

untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga

dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal

yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi

tidak ada dan dengan demikian berakhirlah perjanjian. Pembebasan

hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak

menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitur. Jika si

debitur menerima pernyataan si kreditur maka berakhirlah perjanjian

hutang-piutang di antara mereka.

g. Musnahnya barang yang terhutang

Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak

terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang

diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian

yang mengaturnya. Dengan terjadinya musnahnya barang-barang yang

menjadi hutang debitur, maka perjanjian juga dapat hapus. Dalam hal
9
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003, hal. 158.
demikian debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut

adalah di luar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga

meskipun di tangan kreditur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha

dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap

berada seperti semula. Hal ini disebut dengan resiko.

h. Kebatalan atau pembatalan

Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian

berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak

memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati

dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian.

Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya

dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam

Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan

pada Pasal 1266 KUHPerdata. Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu

pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau

batal demi hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya

perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan,

perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka

perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula.
i. Berlakunya suatu syarat batal

Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya

pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang

disepakati dalam perjanjian. Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi,

menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada

keadaan semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak

menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang

mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud

terjadi.

j. Lewatnya waktu

Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)

perjanjian. Daluarsa adalah suatu upaya untuk rnemperoleh sesuatu atau

untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu

tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal

1946 KUHPerdata).10 (LIHAT FOOTNOTE!)

Jika dalam perjanjian tersebut telah dipenuhi salah satu unsur dari

hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut

berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para pihak terbebas

dari hak dan kewajiban masing-masing.

g. Wanprestasi
10
SEBUTKAN SUMBERNYA!
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

ditetapkan dalam perjanjian. Menurut Pasal 1245 KUHPerdata, dalam

keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena

keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

Menurut Subekti, wanprestasi (kealpaan atau kelalaian) dapat berupa 4

macam, yaitu:

1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.11

Seorang debitur yang melakukan wanprestasi dapat dikenai

sanksi/hukuman berupa:

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian (Pasal 1243

KUHPerdata).

2. Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan

(Pasal 1266 KUHPerdata).

3. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan

perjanjian disertai ganti rugi, atau pembatalan perjanjian dengan

ganti rugi (Pasal 1267 KUHPerdata).

Dalam suatu perjanjian, apabila si debitur tidak melaksanakan apa

yang dijanjikannya, maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

11
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 45.
Dapat pula dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau

bahkan melanggar perjanjian dengan melakukan sesuatu hal yang tidak boleh

dilakukan.

Mengingat akibat-akibat yang timbul dari wanprestasi begitu penting,

maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si debitur benar-benar

melakukan wanprestasi dan apabila hal tersebut disangkal olehnya, maka

harus dibuktikan di muka hakim. Pada prakteknya memang tidak mudah

menyatakan bahwa seseorang itu lalai atau alpa atau melakukan wanprestasi.12

B. Tinjauan Umun tentang Jaminan Fidusia

1. Pengertian Jamina Fidusia

Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia Pasal 1 angka 2, Jaminan Fidusia adalah:

“Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”13

Dalam perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor, lembaga jaminan

yang digunakan adalah jaminan fidusia bukan gadai, karena yang diserahkan

adalah hak milik atas benda jaminan namun benda jaminan tetap dikuasai oleh

12
Ahamadi Miru dan Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, hal. 125.
13
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Op.cit., Pasal 1 angka 2.
debitur. Sedangkan pada gadai, benda jaminan harus diserahkan di bawah

kekuasaan kreditur. Ketentuan ini mengakibatkan pihak debitur tidak dapat

mempergunakan benda yang dijaminkannya untuk keperluan usahanya.14

Teori jaminan fidusia yaitu menerapkan hak jaminan atas benda

bergerak atau tidak bergerak, seperti kendaraan bermotor, sebagai jaminan

pelunasan hutang. Dalam suatu perjanjian sering dijumpai ketentuan bahwa

para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266

KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian

tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim.15

Dalam jaminan fidusia terdapat beberapa unsur, yaitu:

1. Adanya Hak Jaminan.


2. Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berujud maupun
yang tidak berujud dan benda tidak bergerak, khusunya bangunan
yang tidak dibebani hak tanggungan. Ini berkaitan dengan
pembebanan jaminan rumah susun.
3. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan
pemberian fidusia.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur. 16
(LIHAT FOOTNOTE!)

2. Objek dan Subjek Jaminan Fidusia

Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang

14
Hery Shietra, Praktik Hukum Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016, hal. 20.
15
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan Pokok Dalam Masalah Yang
Didadapi Oleh Perbankan, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal. 61.
16
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Bandung: PT. Rajagrafindo, 2014,
hal. ……….. (SEBUTKAN HALAMANNYA!)
terdiri dari benda dalam persedian (inventory), benda dagangan, piutang,

peralatan mesin, dan kendaraan bermotor.

Berdasarkan undang-undang tersebut, objek jaminan fidusia dapat

dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani

hak tanggungan.

Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia.

Pemberi fidusia adalah orang perorang atau korporasi pemilik benda yang

menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang

perorang atau korporasi yang mempunyai piutang pembayaran dijamin

dengan jaminan fidusia.17 (LIHAT FOOTNOTE!)

3. Pembebanan, Bentuk dan Subtansi Jaminan Fidusia

Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai dengan

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Sifat jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perjanjian

pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenihi suatu

prestasi.18

Pembebanan jaminan fidusia dilakukan dengan cara sebagai berikut:

17
SEBUTKAN SUMBERNYA!
18
Ibid., hal. 65-66.
1) Dibuat dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan

sekurang-kurangnya memuat:

a. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia.

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia.

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

d. Nilai penjaminan.

e. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.

2) Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia adalah:

a. Utang yang telah ada.

b. Utang yang pada utang eksekusi dapat ditentukan jumlahnya

diperjanjikan dalam jumlah tertentu, atau (APA MAKSUDNYA

UTANG EKSEKUSI? JELASKAN!)

c. Utang yang pada utang esekusi dapat ditentukan jumlahnya

berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban

memenuhi suatu prestasi. (APA MAKSUDNYA UTANG

EKSEKUSI? JELASKAN!)

3) Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia

atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia.

4) Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis

benda termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan

maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau


piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian

jaminan tersendiri, kecuali diperjanjikan lain, seperti:

a. Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi

objek jaminan fidusia.

b. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda

yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.19

5) Jaminan fidusia biasanya dituangkan dalam akta notaris. Subtansi

perjanjian fidusia telah dibakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksud

untuk melindungi pemberi fidusia.20 (LIHAT FOOTNOTE!)

4. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pendaftaran jamina fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal

18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Pembiayaan Pembuatan Akta

Jaminan Fidusia. Peraturan pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata

cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftara, dan

penggantian sertifikat. (CARI PERATURAN PEMERINTAH YANG

TERBARU TAHUN 2015!)

Tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah:

19
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Op.cit., Pasal 10.
20
SEBUTKAN SUMBERNYA!
a. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang

berkepentingan.

b. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia

terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan

hak kepaa penerima fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi

objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.21

21
Ibid., hal. 82.

Anda mungkin juga menyukai