Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fahmi Idris Pulungan

Nim : 170200114

Mata Kuliah : Perancangan Kontrak

BAHAN DISKUSI PERANCANGAN KONTRAK

1. Jelaskan peranan In house counsel dalam setiap tahapan kontrak


2. Jelaskan mengapa perlu dilakukan penafsiran terhadap kontrak
3. Jelaskan langkah-langkah kontrak yang terdapat dalam ketentuan KUH Perdata

JAWAB

1. Peran In House Counsel dalam Tahapan Kontrak Bisnis


 Tahap Kesepakatan Para Pihak
Dalam tahapan kesepakatan para pihak peran dari in house counsel kurang dominan.
Hal ini karena pihak-pihak yang hendak mengikatkan diri jarang sekali menyertakan
in house counsel dalam perundingan awal dengan berbagai alasan diantaranya
khawatir bahwa kehadiran in house counselakan merusak hubungan yang hendak
dibina oleh para pihak.

 Tahap Pembuatan atau Penelaahan Rancangan Kontrak Bisnis


Dalam kaitan ini seorang in house counsel dapat diminta untuk (i) membuat
rancangan kontrak bisnis yang akan ditandatangani oleh para pihak atau seorang in
house counsel dapat diminta untuk (ii) melakukan penelaahan (review) terhadap
kontrak bisnis yang telah dipersiapkan oleh pihak lainnya. Terlepas dari peran yang
diemban, dalam salah satu dari dua peran yang akan dilakukan oleh in house counsel,
maka in house counsel  dituntut untuk dapat menterjemahkan transaksi bisnis yang
hendak dilakukan oleh para pihak dan mengakomodasi hal-hal yang telah disepakati
oleh para pihak pada pebicaraan awal dalam rancangan kontrak bisnis yang hendak
ditandatangani. Disamping itu in house counsel harus pula dapat melindungi
kepentingan kliennya klausula-klausula yang ada dalam rancangan kontrak bisnis.
Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh seorang in house counsel baik
untuk membuat atau menelaah rancangan kontrak bisnis akan dijelaskan dalam Modul
(Penelaahan terhadap Rancangan Kontrak Bisnis).

 Tahap Negosiasi Rancangan Kontrak Bisnis


Hal ini karena kontrak bisnis yang telah dibuat atau diperiksa oleh in house counsel
hukum tidak begitu saja akan ditandatangani oleh para pihak. Para pihak akan
menuntut satu sama lainnya untuk mengakomodasi hal-hal tertentu bahkan
mengadakan perubahan-perubahan yang dianggap tidak mengakomodasi
kepentingannya atau kurang memberikan perlindungan. Dalam tahap negosiasi
rancangan kontrak bisnis seringkali membutuhkan waktu yang cukup panjang sampai
pada akhirnya rancangan siap untuk ditandatangani oleh pihak-pihak terkait. In house
counsel tentunya akan berusaha untuk mengakomodasi kepentingan para kliennya dan
melindunginya dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul (klausula-
klausula antisipatif) yang akan dicerminkan dalam pengaturan klausula-klausula
kontrak bisnis.

 Tahap Penandatanganan Rancangan Kontrak Bisnis


Segera setalah tahap negosiasi selesai maka para pihak akan menandatangani
rancangan kontrak bisnis. Peran in house counsel  disini walaupun tidak terlalu
dominan namun ia tetap mempunyai peran. Perannya antara lain adalah meneliti
apakah pihak-pihak yang menandatangani merupakan pihak-pihak yang memang
secara hukum diperbolehkan menandatangani kontrak. Misalnya pihak tersebut telah
memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila
pihak yang menandatangani adalah suatu perseroan terbatas (selanjutnya disingkat
“PT”), apakah orang yang akan menandatangani memang memiliki kemampuan untuk
itu, apaka surat kuasa (apabila diperlukan) sudah ada, apakah pihak yang
menandatangani harus memperoleh persetujuan dari Komisaris atau rapat umum
pemegang saham (dapat dilihat dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan).
Selanjutnya in house counsel harus memastikan bahwa penandatanganan rancangan
kontrak bisnis yang dilakukan di Indonesia harus dibutuhkan materai secukupnya.

 Tahap Pelaksanaan Kontrak Bisnis


Dalam tahap pelaksanaan kontrak bisnis dapat dikatakan bahwa peran in house
counsel  sangat pasif. Ia akan mempunyai peran apabila dimintakan oleh atasannya,
seperti misalnya dimintakan nasehat sehubungan dengan pelaksanaan dari pasal
tertentu. Atau mungkin ada suatu transaksi lain yang berkaitan dengan kontrak bisnis
yang telah ditandatangani dimana atasan menginginkan kepastian bahwa instansi
tidak melanggar ketentuan dari kontrak bisnis yang ditandatangani.

 Tahap Sengketa Kontrak Bisnis

Tahap berikutnya adalah tahap sengketa yaitu tahap dimana mungkin dalam
pelaksanaan dari kontrak bisnis para pihak tidak memenuhi salah satu kewajibannya.
Dalam hal yang demikian maka peran in house counsel  akan menjdai dominan
kembali. Ia harus menentukan dalam tahap awal apakah memang betul telah terjadi
peristiwa cidera janji sebagaimana diatur dalam kontrak yang dilakukan dan
karenanya dapat menuntut ganti rugi. Apabila memang ada peristiwa cidera janji
maka biasanya dilakukan penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mufakat,
yang pada umumnya diatur dalam salah satu klausula  dalam  kontrak  bisnis.  Apabila
cara musyawarah  untuk  mufakat  tidak  dapat ditempuh maka diambil jalan untuk
menyelesaikan sengketa melalui badan peradilan, apakah melalui forum pengadilan
atau arbitrase (sebagaimana ditentukan dalam kontrak bisnis). Seorang in house
counsel umumnya tidak memiliki izin untuk beracara dan karenanya untuk pembelaan
instansinya di forum pengadilan perlu untuk menyewa jasa pengacara. Adapun dalam
tahapan dimana pelanggaran terhadap kontrak bisnis terjadi maka in house counsel
akan berperan sebatas membantu pengacara dalam usaha pengacara tersebut
memahami betul isi kontrak bisnis yang ada.

2. Penafsiran kontrak dilakukan agar maksud para pihak dapat dipertemukan, sehingga


tidak ada lagi perbedaan dalam pemenuhan pretasi sesuai dengan yang telah
diatur dalam rumusan kontrak. Para pihak harus mencari makna kesepakatan baru
dengan jalan menafsirkan kontrak tersebut secara adil.

3. Langkah-langkah kontrak yang terdapat dalam ketentuan KUH Perdata yaitu :

1. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk


menyimpang daripadanya dengan cara penafsiran (dasar hukum, Pasal 1342
KUHPer). Pasal ini mengatakan bahwa jika pasal-pasal di dalam perjanjian telah
jelas maka para pihak dilarang untuk melakukan penafsiran;
2. Jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka kata-kata tersebut harus ditafsirkan menurut maksud dari kedua belah
pihak yang membuat perjanjian tersebut daripada memengang teguh arti kata-
kata menurut huruf (dasar hukum, Pasal 1343 KUHPer). Misalnya dalam
perjanjian jual beli beras dikatakan bahwa “semua yang ada di dalam gudang”
sebenarnya yang dimaksud dari kalimat itu adalah semua beras yang ada di dalam
gudang. Jadi jika ada barang lain di dalam gudang seperti sepeda atau kursi, maka
barang-barang tersebut tidak termasuk dalam cakupan dari “semua yang ada di
dalam gudang”;
3. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang memungkinkan janji itu dapat dilaksanakan, dari pada
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan. (dasar
hukum, Pasal 1344 KUHPerdata). Pasal ini mengarahkan penafsiran agar
perjanjian dapat dilaksanakan dari pada penafsiran yang menyebabkan perjanjian itu
tidak dapat dilaksanakan;
4. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. (dasar hukum, Pasal
1345 KUHPerdata).  Misalnya perjanjian pinjam meminjam uang dengan bunga.
Bunga di sini dapat diartikan sebagai kembang dan dapat pula diartikan sebagai
rente atau tambahan uang pembayara. Akan tetapi karena perjanjian ini adalah
perjanjian pinjam meminjam uang tidak mungkin kata bunga ini ditafsirkan sebagai
kembang, tetapi harus ditafsirkan sebagai rente atau tambahan uang pembayaran;
5. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat. (dasar
hukum, Pasal 1346 KUHPerdata). Misalnya ada perjanian jual beli makanan
pokok yang berlokasi di Maluku. Maka dapat dipastikan menurut kebiasaan
tempatnya makanan pokok yang dimaksud bukan lah beras melainkan sagu;
6. Hal-hal menurut yang kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukan dalam persetujuan (dasar hukum, Pasal 1347 KUHPer),
meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Misalnya kebiasaan daerah setempat
adalah dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian;
7. Perjanjian yang dibuat tidak dapat ditafsirkan sebagian demi sebagian
melainkan harus ditafsirkan sebagai satu keutuhan (dasar hukum, Pasal 1348
KUHPerdata;
8. Jika ada keragu-raguan maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk
keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (dasar hukum,
Pasal 1349 KUHPerdata). Dengan kata lain, maksud pasal ini adalah jika suatu
perjanjian apabila ditafsirkan akan merugikan salah satu pihak, maka penafsiran
harus diarahkan kepada kerugian kreditur dan keuntungan debitur.

Anda mungkin juga menyukai