Anda di halaman 1dari 23

NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA DI JAWA MASA

LAMPAU

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Lokal


Dosen Pengampu : Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum

Disusun Oleh:
Mega Tri Lestari (K4417046)
Muhamad Bintang Damar W. (K4417047)
Muhammad Lukman Ramadinata (K4417050)
Nastiti Raditya Cahya P. (K4417052)
Satria Saka Adiwijaya (K4417066)
Suryadarma Atmaja (K4417069)
Susi Subaedah (K4417070)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Karunia Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah mengenai Negara dan
Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Selesainya laporan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat Bapak Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum, selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah
Lokal yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis sehingga termotivasi dalam
menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam mengupas permasalahan
di dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal sistematika maupun teknik
penulisannya. Kiranya tiada lain karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis yang
belum luas dan mendalam. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun tentunya
penulis harapkan, sebagai masukan yang berharga demi kemajuan penulis di masa mendatang.
Demikianlah makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, bagi pembaca umumnya, dalam memberikan informasi tentang Negara dan Usaha
Bina-Negara di Jawa Masa Lampau..

Surakarta, Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan ..........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perlengkapan Magis-Religius kedudukan Raja............................................................3
B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja.........................................................................8
C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja....................................................................16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keyakinan merupakan suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia ketika ia
merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Hal ini
dapat dilihat pada kepercayaan orang Jawa. Bagi orang Jawa, kepercayaan itu adalah hal
yang sifatnya sangat sakral. Maka dalam kehidupannya masyarakat Jawa sangat
memegang teguh kepercayaan mereka terhadap nenek moyangnya atau Tuhan nya.
Pada masa Mataram II sekitar abad ke-16 sampai abad ke-19, masyarakat Jawa
menganggap dan meyakini bahwa Raja itu merupakan wali dari Tuhan ataupun dewa
yang harus di ikuti, ditaati, dihormati, dan tidak boleh ditentang. Oleh karena itu, mereka
sangat patuh dan selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh seorang raja. Sikap
tersebut menunjukkan bahwa adanya konsep kawula-gusti yang ada dalam kehidupan
masyarakat Jawa pada masa itu.
Kawula-gusti ini merupakan konsep yang menunjukkan hubungan antara hamba
dan tuan. Hamba menggambarkan rakyat sedangkan tuan menggambarkan seorang Raja.
Seperti telah diketahui bahwa masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi
kepercayaannya terhadap Tuhan mereka. Maka dari itu, sebagai bentuk kecintaannya dan
ketaatan terhadap Tuhan, orang Jawa menghormati dan tunduk kepada perintah raja yang
dianggap sebagai titisan dewa.
Berdasarkan konsep tersebut, raja dalam memerintah dan berkuasa menjadikan
kepercayaan sebagai landasan untuk menetapkan kebijakan serta wewenang yang
nantinya digunakan sebagai alat pengatur rakyat. Sebagai bentuk pengabdian dan
kesetiaan terhadap raja, rakyat diharuskan untuk membayar pajak atau pungutan yang
telah ditetapkan oleh raja dalam bentuk tenaga kerja ataupun hasil panen.
Dengan demikian, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
perlengkapan magis-religius kedudukan raja (tentang masalah kewenangan),
perlengkapan teknis kedudukan raja (tentang masalah tata pemerintahan), dan
perlengkapan material kedudukan raja (tentang sistem perpajakan dan pengerahan tenaga
pada zaman Mataram II.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlengkapan magis-religius kedudukan raja ?
2. Bagaimana perlengkapan teknis kedudukan raja ?
3. Bagaimana perlengkapan material kedudukan raja?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perlengkapan magis-religius kedudukan raja
2. Untuk mengetahui perlengkapan teknis kedudukan raja
3. Untuk mengetahui perlengkapan material kedudukan raja

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlengkapan Magis-Religius Kedudukan Raja : Masalah Kewenangan


1. Raja dan Rakyat : Hubungan Kawula-Gusti
Dalam kehidupan tradisional orang Jawa, konsep kawula-gusti yang merupakan
hubungan antara hamba dan tuan bukan bersifat tidak pribadi justru sebaliknya hubungan
ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling hormat dan bertanggungjawab.
Secara ideal hubungan ini seperti hubungan kasih sayang dalam ikatan keluarga. Sikap
yang demikian terlihat dari kenyataan bahwa orang Jawa pada umumnya sering menyapa
orang asing dengan panggilan ki-sanak atau saderek yang berarti kerabat.
Namun, jika ditinjau konsep kawula-gusti dalam pakaian mistiknya dapat dilihat
bahwa arti dari hubungan hamba dan tuan ini benar-benar sudah mengakar atau akrab
dalam pikiran orang Jawa. Walaupun mistik (kebatinan) dianggap wadi (sangat rahasia)
dan dianggap hanya dapat diperoleh oleh segelintir orang tertentu, mistik di masa dahulu
dan sekarang masih sangat terkenal di segala lapisan rakyat dan setiap orang Jawa yang
patut atau terpandang setidaknya memiliki pengetahuan yang disebut ngelmu (ilmu gaib),
dimana mistik adalah hal yang paling utama.
Dalam mistik Jawa kata jumbuhing kawula gusti (menyatunya hamba dan tuan)
menggambarkan tujuan tertinggi dalam hidup manusia yaitu tercapainya kesatuan yang
sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Di samping itu konsep kawula-gusti sangat
diwarnai oleh ciri lain pemikiran Jawa : adanya kepercayaan tak tergoyahkan akan nasib,
akan hal-hal yang sudah ditadirkan, yang dinyatakan dalam kata pinesti (ditentukan),
tinitah (ditakdirkan). Ada dua lapisan utama pada masyarakat Jawa, yaitu wong cilik
(orang biasa) dan penggede (golongan penguasa).
Hal tersebut tidak terutama dari segi kekayaan ekonomis atau keunggulan
kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan, dari segi kawula (hamba) terhadap
bendara (tuan), dan tempat seseorang dalam tata masyarakat. Jadi hak dan kewajibannya
dianggap sebagai suatu takdir yang telah ditetapkan. Dengan demikian, hubungan
kawula-gusti (hamba dan tuan) tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi
dan rendah, tetapi lebih menunjukkan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur

3
yang berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua
aspek dari hal yang sama.
Suatu ikhtisar pemikiran Jawa tentang hubungan raja dengan kawulanya akan
mengemukakan tiga konsep pokok yaitu :
- Hubungan pribadi yang akrab disertai oleh perasaan saling mengasihi dan
menghormati dianggap sebagai pola atau model baku dalam komunikasi sosial.
- Takdir menetapkan kedudukan manusia dalam masyarakat apakah ia dilahirkan
sebagai abdi atau tuan. Akibatnya ialah bahwa manusia tidak punya pilihan lain
kecuali melakukan kewajibannya seperti yang telah ditentukan oleh takdir.
- Penguasa dan para pejabatnya dari segi kebijaksanaan pemerintahan praktis harus
memperhatikan para warganya seperti orang tua mengasuh anaknya. Dengan
demikian sesungguhnya penguasa memiliki sikap keunggulan (perioritas) yang
melindungi sedangkan yang diperintah memiliki sikap pengabdian yang tulus.
2. Kedudukan Raja dalam Kehidupan Negara
Dalam konsep orang Jawa tentang organisme negara, raja atau ratulah yang
menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan tentang alam yang terbagi
dalam mikrokosmos –dunia manusia-dan makrokosmos-dunia supra-manusia-adalah
sesuatu yang pokok bagi pandangan hidup orang Jawa.
Ada 2 faktor yang terpenting bagi pemahaman orang Jawa mengenai kehidupan
negara :
1. adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos
2. adanya pengaruh timbal balik antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Kedua faktor ini menentukan bahwa ketertiban sosial seyogyanya dianggap
sebagai peraturan yang teliti dan ketat yang mengikuti perubahan-perubahan musim
yang sinambung tiada hentinya.
Suatu perbandingan antara masa Jawa-Hindu dan masa Mataram II dapat
menerangkan konsep raja sebagai pusat mikrokosmos negara dan puncak hierarki-
status dalam negara. Karena mikrokosmos sejajar dengan makrokosmos, raja Jawa-
Hindu disamasesuaikan dengan dewa, biasanya Dewa Wisnu, dan permaisurinya
disamasesuaikan dengan cakti dewa.

4
Sesungguhnya ajaran Islam menolak penyamasesuaian yang demikian terang-
terangan antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan raja dalam
kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya, yaitu
kedudukan khalifatullah, wali Tuhan di dunia.
kedudukan raja dianggap sebagai pencerminan kedudukan Tuhan. Tuhan
disebut Sang Murbawisesa, Penguasa tertinggi. Raja ditempatkan pada tampuk tata
masyarakat, jauh diatas jangkauan orang biasa. 
Seorang raja dalam bidang politik memiliki tugas untuk menjaga supaya jangan
sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban kalau seandainya
sudah terjadi. Oleh karena itu, raja yang Ideal adalah raja yang seyogyanya memiliki 8
nilai kebajikan :

1. Dana yang tidak terbatas, “kedermawanan”, sifat Batara Endra, kepala semua dewa


bawahan
2. Kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat dewa maut, Yama.
3. Berusaha membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana, sifat dewa
matahari, Surya.
4. Kasih sayang, sifat Batara Candra
5. Pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam, sifat dewa angin : Bayu
6. Kedermawanan dalam memberikan harta benda dan hiburan, sifat dewa harta
duniawi, Kuwera;
7. Kecerdasan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan macam apapun,
sifat dewa lautan, Baruna
8. Keberanian yang berkobar-kobar dan tekad yang bulat dalam melwan setiap musuh,
sifat dewa api, Brama.
Sifat-sifat ini sesungguhnya merupakan pengertian yang sangat realistis
tentang masalah-masalah kebijaksanaan negara, yang meliputi kasih hati yang
pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak melupakan arti penting
harta benda maupun daya kecerdasan, tetapi sifat-sifat ini juga menekankan tuntutan
luar biasa dan yang benar-benar melebihi kemampuan manusia untuk menjadi tadan
sebagai raja – hal yang sepenuhnya disadari orang Jawa sebagai hal yang tidak
mungkin. Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialah kemampuannya untuk

5
memilih pegawai-pegawainya; peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan dalam
banyak karangan. Keseimbangan badaniah dan perangai fisik merupakan unsur
penting dalam menentukan pilihan. Ini merupakan salah satu sebab mengapa ngelmu
firasat  senantiasa penting bagi orang Jawa, walaupun semata-mata di gunakan untuk
memperoleh pengetahuan watak manusia saja.
3. Pengesahan Kedudukan Raja : Penggantian, Perebutan Kekuasaan dan Kultus
Kemegahan
Penggantian, perebutan kekuasaan, dan kultus kemegahan yang dikemas cukup
menarik. Pertama-tama dalam bab ini menjelaskan bagaimana suatu legitimasi kekuasaan
diperoleh dengan cara diusahakan, bukan menggunakan konsep keturunan selayaknya
pada zaman kerajaan-kerajaan. Bisa diambil contoh dalam buku itu ialah cerita doa
permohonan yang khusuk dari Ki Agang Sela dan ramalan Sunan Giri bahwa keturunan
Ki Ageng Pemanahan akan memerintah Jawa. Contoh lain ialah pembunuhan Tunggul
Ametung oleh Ken Angrok agar istri Tunggul Ametung, Ken Dedes dapat dinikahi oleh
Ken Angrok. Karena rahim yang bersinar-sinar dari Ken Dedes menjamin bahwa dia
akan melahirkan raja-raja yang akan datang. Dulu seorang pujangga mencoba
memadukan perubahan dengan kesinambungan dalam cerita-cerita Babad Tanah Jawi
dan Babad Cirebon walaupun cerita itu tidak dapat digabungkan dengan kedua babad itu.
Mereka mencari berbagai cara untuk menyinambungkan cerita-cerita dengan babad-
babad itu.
Sedangkan mengenai pengesahan kekuasaan biasanya diadakan upacara
penobatan untuk melegitimasi kedudukan raja yang memiliki arti tersendiri. Salah satu
cara pengesahan raja berdasarkan turunan raja dan pengesahan berdasarkan persetujuan
dewa (umpamanya wahyu). Sarana untuk menyanjung tinggikan raja ialah persekutuan
raja dengan apa yang menurut alam kepercayaan asli disebut makhluk halus yang
memiliki kekuatan gaib. Salah satu contohnya ialah memiliki kotang Antakusuma (baju
Antakusuma) sebagai lambang untuk memuliakan raja.
Kekayaan merupakan sarana kultus kemegahan bagi seorang raja. Kekayaan
mencakup rakyat banyak dan jumlah anggota keluarganya yang besar. Banyak sanak
memberi lebih banyak kekuatan dari segi dukungan dan dalam suatu masyarakat yang
didalamnya hubungan pribadi merupakan unsur pokok. Unsur angkatan bersenjata raja

6
juga dapat sebagai materi kemegahan raja. Kultus kemegahan juga dijadikan alat yang
sah untuk melakukan peperangan.
Sedangkan untuk masalah perebutan kekuasaan pada masa ini,dijelaskan bahwa
seorang yang bersengketa memilih meinggalkan ibukota yaitu keraton. Mereka memilih
suatu tempat tertentu untuk menyusun taktik serangan dalam perebutan kekuasaan dan
tempat itu sebagai benteng. Selain itu ternyata tempat persembunyian itu digunakan
sebagai tempat semedi.
Kemudian perlengkapan teknis kedudukan raja, masalah tata pemerintahan juga
dibahas panjang lebar dengan penjelasan yang sangat menarik. Dimana tugas pokok
pemerintahan yakni menjaga ketertiban dan ketentraman negara. Mengenai perpajakan
dalam suatu kerajaan merupakan upeti sebagai tukaran perlindungan raja. Negara juga
memperbolehkan desa sedikit banyaknya berswasembada dalam bidang keamanan.
Swasembada kemudian menjadi pokok pembiayaan negara. Sedangkan masalah yang
dihadapi seorang raja dan pejabat daerah tidaklah berbeda. Mereka berusaha memupuk
kekuasaan yang cukup besar didaerahya supaya ia mudah menjalankan tugasnya.
Untuk hubungan pejabat dengan raja sifatnya tanpa syarat dan sepenuhnya patuh,
sebab hanya raja yang dapat menganugerahkan kamukten (kedudukan, kesejahteraan, dan
kemakmuran). Dalam pengabdiannya pepada raja, seorang priyayi diharapkan agar ia
tidak akan pernah didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kebutuhan uang.

organisasi teknis pemerintahan, dijelaskan ada berbagai macam jenis posisi jabatan di
kerajaan pada masa lampau. Dalam sebuah kerajaan terdapat beberapa pejabat yang
berkedudukan di keraton, mereka memiliki tugas yang tak sebatas di sekitar keraton,
namun mereka menguasai beberapa wilaya di daerah inti. Pejabat raja yang berkuasa di
daerah luar atau disebut Nagaragung lebih bebas bergerak, karena kuarangnya
pengawasan dari kerajaan ataupun raja sendiri.

Pejabat di daerah juga mendapat otoomi, seperti dalam pembentukan angkatan


bersenjata. Bila pengawasan dari pemerintah pusat melemah, pejabat daerah ini
melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pejabat daerah lainnya. Hal ini sebagai
awal mula suatu pemberontakan dalam sebuah kerajaan. Contohnya ialah pemberontakan
bupati Madura Pangeran Cakraningrat, buapti Surabaya Tumenggung Jayengrana untuk

7
membantu Pangeran Puger. Dijelaskan juga kemiripan pemerintahan kraton dengan
pemerintahan di daerah. Jika di kraton ada seorang adipati, maka pejabat daerah memiliki
patih. Pemerintahan didaerah juga mengangkat jaksa, selayaknya di keraton. Pejabat
daerah juga memiliki otonomi penuh dalam pengangkatan pegawai.

Raja harus berhati-hati akan gerak-gerik dari para priyayi, karena mereka
nantinya dapat membahayakan posisi raja sendiri. Namun raja juga tidak bisa melupakan
ancaman dari pejabat-pejabat raja di daerah yang memiliki otonomi luas itu. Untuk itu
raja menggunakan tiga cara untuk mengamankan posisinya dari ancaman bawahannya.
Yaitu dengan menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati
bagi lawan-lawannya beserta keluarganya, berikutnta dengan memaksa orang-orang
terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton dalam jangka waktu yang lama,
selanjutnya menjalin persekutuan dengan perkawinan.

B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja : Masalah Tata Pemerintahan


1. Tujuan dan Sarana Birokrasi
a. Prinsip Swasembada dalam Pemerintahan
Dengan kedudukan raja yang menguasai segalanya dalam kehidupan negara,
birokrasi sebagai perlengkapan teknis kedudukan raja harus mencerminkan perhatian
utama raja, yaitu pemeliharaan Keselarasan. Kebutuhan ini yang dinyatajab sebagai
njaga tatatentraming praja (menjaga ketentraman dan ketertiban negara), menentukan
tugas pokok dan terpenting pangreh-praja (atau paprentahan: pemerintahan) yaitu
memelihara dan menjaga keamanan. Dalam prakteknya ini berarti menjaga setiap
kemungkinan gagasan musuh dari luar maupun kejahatan atau ketidakberesan di
dalam negeri yang dapat mengganggu keseimbangan antara dua lingkungsn alam itu.
Melindungi dan mendorong kepatuhan terhadap agama merupakan cara yang penting
untuk mempertahankan keseimbangan demikian, dan karena itu harus dijadikan slaah
satu sasaran tata pemerintahan.
Dalam Serat Rama, menekankan perlunya menghilangkan kejahatan yang
membahayakan ibadat keagamaanm sehingga mereka yang “melakukan tapa dan
pemujaan” dapat dan sempat melakukan tugasna demi tercapainya kesejahteraan
kerajaan yang dirahmati Tuhan. Sejak masa dulu perlindungan dan dorongan terhadap

8
kehidupan beragama dilakukan dengan memberikan hak-hak khusus kepada kaum
alim-ulama, tetapi agar mereka cukup kuat keuangannya untuk melakukan pelayanan
keagamaan dengan memuaskan guna kesejahteraan raja dan demikian kesejahteraan
kerajaannya. Wewenang ini dalam masa Jawa Kuno disebut dharma atau dharma
lepas.
Gerombolam penjahat dan penyamun rupanya merupakan lembaga yang sudah
mapan dan lama usianya, yang tidak hanya terdapat pada masyarakat Jawa, tapi juga
dimana-mana di dunia pada waktu-waktu tertentu. Pembajakan dapat merupakan
sarana untuk menciptakan inti kekuasaan politik, dan daripadanya muncul negara-
negara yang kuat. Serat Rama tegas sekali menyatakan bahwa penjahat-penjahat harus
dibasmi secepat mungkinm seperti orang harus membasmi ulat bulu, dan menjadi
hakim sendiri terhadap seorang penjahat tidak dianggap sebagai kejahatan Para
penjahat membuat kerajaan berada dalam keadaan resah bila kekuasaan raja lemah,
tetapi mereka akan bersembunyi dan mencari perlindungan di hutan jika ada
pemerinntahan yang kuat dan mampu.Saat bersembunyi di daerah terpencil ia
mungkin membenyuk organisasi tetap dengan sesame penjahat dan keluarga mereka.
Desa perampok demikian ada disebut dalam Serat Centini. Dalam buku ini rampok
perkasa disebut petinggi desa (kepala desa).
Bahkan dalam decade pertama abad XX bahwa, bila suatu daerah tertentu
diganggu perampok dan pembegalan, dapat diamankan, maka seorang pemimpin
gerombolan setempat yang “tobat” biasanya hanya setengah tobat lalu dijadikan
kepala desa dan dibebani tugas untuk memerintah dan menentramkan daerahnya.
Kebijaksanaan yang demikian didasarkan atas salah satu prinsip pokok tata
pemerintahan Jawa: pilihlah pejabat dengan tanggung jawab kedaerahannya pertama-
tama atas dasar pengaruh yang sudah dipunyainya dalam masyarakat. Bila gerombolan
perampok de facto menguasai daerah-daerah tertentu, mereka memaksa penduduk
desa dan para pendatang yang lewat membayar sejenis upeti. Perpajakan, sedikit
banyaknya, adalah upeti sebagai tukaran perlindungan raja. Jadi mengapa perpajakan
dan pemungutab pajak, dalam bentuk uang, hasil bumi dan kerja, merupakan tugas
yang penting bagi negara. Perpajakan tidak banyak dibahas di piwulang yang kita
gunakanm walaupun meruapakan bagian pokok dan teratur rapi dari kehidupan negara.

9
Tidak dianggap perlu untuk membicarakan alasan, moral untuk membenarkan
pemungutan pajak dan barangkali sebagai sesuatu yang bersifat material tidak
dianggap layak untuk diberi perhatian yang mendalam.
Melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama lainnya dri seorang raja dalam
memlihara keserasian. Istilah yang lebih tua mbebeneri untuk melakukan keadilan,
yang kini makin kurang sering digunakan dan telah digunakan oleh kata ngadili yang
berasal dari bahasa Arab “adl”(adil), secara harfiah, berarti menjadikan lurus,
membetulkan. Kata yang lebih tua sepenuhnya sesuai dengan gagasan untuk
meluruskan keseimbangan ketenangan, dalam pengertian “keselarasan” yang diartikan
orang Jawa dalam konteks hubungan mikrokosmos dan makrokosmos.
Selain itu negara juga menganut kebijaksanaan memperbolehkan sedikit
banyaknya berswasembada, khusunya dalam bidang keamanan. Kebijaksanaan
dilaksanakan dengan membentuk tanggung jawabkolektif untuk beberapa kejahatan
dan tindakan-tindakan illegal lainnya: jadi tidak hanya penduduk di tempat terjadinya
kejahatan atau perbuatan yang dinyatakan bertanggung jawab, tetapi juga para
tetangga yang tinggalnya majupat (di segenap empat penjuru) dalam jumlah cengkal
(satu cengkal sama dengan 7,95 kaki) tertentu dari tempat kejahatan. Swasembada
tampaknya merupakan prinsip pokok pula dalam pembiayaan negara.
Peraturan pembiayaan otonom untuk semua bagian tata pemerintahan sangat
cocok bagi suatu negara yang diperintah berdasarkan cita-cita tidak campur tangan.
Prinsip tidak campur tangan juga sangat sejalan dengan swasembada kehidupan
pertanian di desa Jawa, yang karena escape social-nya yang sempit tidak menghendaki
pembedaan kerja maupun perhubungan yang intensif dengan dunia luar. Dengan
membiarkan hidup berjalan sekehendaknya , sesuai dengan tradisionalisme
konservatif, maka negara lau menjadi pengawal terhadap gangguan, dan baru campur
tangan hanya bila terdapat ancaman terhadap ketenangan. Kata pengayoman
(memberikan perlindungan terhadap hujan dan matahari, dari ayom: dinaungu),
bersama dengan waringin (beringin atau Fiscus benghalensis), menjadi lambing
pemerintahan raja. Di dalam kerajaan-kerajaan ketenangan dan keteraturan merupakan
tujuan utama negara, bukan dorongan yang aktif menuju kemajuan.

10
Kekuasaan punggawa yang penuh dan tak terbagi, serta kedudukan yang otonom
menjadikan ia orang yang luas tanggung jawabnya, dan ini terutama demikian bila ia
mempunyai tanggung jawab territorial. Karena itu tidak mengherankan bahwa, dalam
daerahnya, dia memegang kekuasaan memerintah, mengadili dan memimpin
kontingen pasukan setempat. Rumah tangga istana yang rumit dan serba ragamnya
kewajiban raja (hubungan luar negeri, tentara, upacara, dan sebagainya) menuntut
pembagian fungsi dengan raja dalam kedudukan sebagai pengawas. Kenyataan bahwa
para pejabat daerah mempunyai kekuasaan sepenuhnya menyebabkan bahwa mereka
ini harus dipilih dengan sangat seksama.
Masalah pokok seorang pejabat daerah ialah bagaimana memupuk kekuasaan
yang cukup besar di daerahnya supaya ia mudah menjalankan tugasnya. Kekuasaannya
sampa tingkat tertentu memang mengandakan kenyataan bahwa kekuasaannya itu
merupakan aspek dari hak tertinggi raja (jadi juga kekuasaan Tuhan) untuk
memerintah.
b. Priyayi
Kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan raja diisi oleh para punggawa
(pejabat), yang dikenal dengan abdi dalem (abdi raja). Sejak berabad-abad para
pejabat ini, mulai dari yang paling tinggi sampai ke jenjang paling rendah pelan-pelan
menjadi satu lapisan sosial yang mempunyai seperangkat keyakinan dan nilai
tersendiri. Mereka membentuk lapisan sosial di antara raja dan kelompok kecil para
pangeran keturunan raja (para bendara) dan segolongan besar warga negara biasa,
yang tanpa memandang kekayaan da sumber penghidupannya, disebut tiyang alit
dalam bahasa Krama atau wong cilik (orang kecil) dalam bahasa Ngoko. Dalam
masyarakat Jawa yang lebih tua, elite penguasa terdiri dari dua kelompok yaitu
golongan yang memang berdarah bangsawan (raja dan para bendara) dan kaum
bangsawan karena jabatan, yang disebut kawula, nama yang digunaan untuk rakyat
raja pada umumnya. Seperti disebut oleh Babad Tanah Jawi, para pejabat disebut juga
bala (rakyat, pasukan_. Meskipun mereka, karena menjadi abdi raja, dapat
memperoleh kedudukan (aristocrat) yang sama. Jadi masyarakat dari periode Mataram
II, kelompok elitenya dimasuki oleh orang biasa, tetapi hanya dengan jalan menjadi
abdi raja, yaitu sebagai seorang pejabat. Kata kulawisuda atau kawulawisuda, yang

11
diterjemahkan oleh Kamus Gericke menjadi “diangkat ke satu tingkat yang lebih
tinggi”, dan yang merupakan gabungan dari kata kawula (rakyat, pelayan) dan wisuda
(menaikkan pangkat), secara tidak langsung menyatakan ahwa warga negara biasa
mempunyai kesempatan masuk ke kelompok elite dan juga bahwa hak masuknya
hanya melalui jabatan negara. Ungkapan lain yang menunjukkan adanya pengangkatan
ke jenjang yang lebih tinggi ialah sinengkaken ingaluhur yang mengandung arti
bahwa orang mendapat anugerah raja dan telah menggabungan diri dengan para luhur
(golongan atas), yaitu elite tertinggi dari kaum bangswan yang memerintah.
Meskipun masyarakat Jawa mempunyai kelas elite yang terbuka, namun pejabat-
pejabat kerajaan secara tradisional diambil terutama dari kelas priyayi, yaitu kelompok
sosial yang sesungguhnya terdiri dari para punggawa (pejabat), tetapi secara
berangsur-angsur akhirnya mencakup juga para anggota keluarga dan keturunannya.
Namun yang menjadi patokan penting yang masuk ke dalam keanggotaan kaum
priyayi masih tetap dengan jalan duduk dalam dinas kerajaan; akibatnya, bila seorang
itu bukan punggawa, maka masuknya ia ke dalam kelas priyayi tergantung pada
dekatnya hubungan darah dengan seorang pejabat kerajaan. Makin tinggi kedudukan
seorang pejabat, makin panjang garis keturunannya akan tergolong dalam kelompok
sosial ini. Tetapi jumlah keturunan raja yang termasuk dalam kelompok yang memiliki
hak-hak istimewa itu pun terbatas. Gelar putra (turunan langsung raja) dan sentana
(9keluarga besar raja) berubah ubah menurut dekat-jauhnya hubungan kekeluargaan;
turunan raja langsung diberi gear gusti dan keturunan yang paling jauh disebut raden.
Sudah jelas bahwa dalam pengabdiannya kepada raja, seorang priyayi diharapkan
agar tidak akan pernah didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kebutuhan
akan uang. Baginya mengabdi raja merupakan kehormatan besar dan ia akan selalu
siap mengorbankan miliknya atau bahkan nyawanya demi keselamatan Negara atau
karena raja menghendakinya. Ia harus berani tanpa menyombongkan diri, waspada,
bersungguh-sungguh dan bersikap tenang, pendeknya seorang satria (ksatria) yang
mampu mengendalikan hawa nafsunya. Sifat-sifat inilah yang membedakan satria
dengan buta (raksasa) dengan segala nafsu dan ketamakannya yang tak terkedalikan.
Priyayi setia pada pekerjaannya, keberaniannya tak diragukan, bebas dari keinginan-
keinginan untuk mencari kepentingan diri sendiri dalam pengabdiannya kepada raja

12
(sepi ing pamrih, rame ing gawe)I. Dalam pandangan hidup, dalam ambisi dan cita-
citanya sudah tentu ia dengan teguh mengikuti raja, dan ini memang wajar, karena
seperti kita lihat, berbagai tingkat dalam tata pemerintahan raja, walaupun derajat
kekuasaannya tentu saja bertingkat-tingkat pula, pada pokoknya mengikuti pola
kekuasaan dan kemuliaan yang sama.
Tradisi Jawa membangi kehidupan priyayi menjadi tiga tahap yang berbeda
secara jelas. Tahap pertama dari pertumbuhannya (masa muda) ditandai oleh usaha
mencoba-coba untuk mendapat pengalaman dan latihan lara-lapa (sakit dan lapar,
penderitaan). Ini merupakan tahun-tahun nyuwita, magang, dan tinggal lama di
pesantren menjalani hidup sederhana dan disiplin keras merupakan masa belajar
sebelum memikul tugas pada pemerintahan kerajaan. Tetapi ada juga pendapat yang
menganggap tahap kehidupan ini merupakan masa belajar sebelum memikul tugas
pada pemerintahan kerajaan. Tetapi ada juga pendapat yang menganggap tahap
kehidupan ini merupakan suatu masa pelepasan hawa nafsu, yaitu mencicipi semua
manisnya kehidupan, pendapat ini mungkin diilhami oleh teladan yang diberikan oleh
Sunan Kalijaga dan Ken Angrok yang terkenal sebagai penyamun jahat di masa
mudanya, seperti juga perampok Jakawana. Ketiga-tiganya kemudian menjadi orang
yang mempunyai kemampuan luar biasa. Yang pertama jadi wali, yang kedua menjadi
raja dan yang ketiga menjadi panglima pasukan yang termasyhur.
Tahap kedua dari kehidupan ditandai oleh pertanggung jawaban dan pelaksanaan
kewajiban dan disertai juga oleh usaha meraih kedudukan dan keagungan dalam dunia
kebendaan. Kemudian tiba tahap ketiga: setelah pengunduran diri, priyayi bersama
untuk merenungkan apa yang menjadi tujuan hidup dan berusaha mencari ngelmu
(pengetahuan mistik), umumnya mengalihkan minatnya dari dunia kebendaan (materi)
ke dunia kebatinan ( spiritual). Jalan hidup seperti ini dititi, bukan hanya untuk
menyiapkan diri kembali ke akhirat, tapi juga untuk meningkatkan keselamatan dunia
dengan jalan meningkatkan kemampuan bersama, selain itu ia mencari izin Tuhan
supaya anak cucunya tetap tinggal dalam kedudukannya sebagai priyayi.
Dalam hubungan dengan kesetiaan yang dituntut oleh raja dari priyayi, maka
seba, kehadiran yang biasa dilakukan pada hari-hari audiensi tradisional, Senen dan
kamis, dianggap sebagai kewajiban yang paling penting bagi para pegawai. Seba

13
menandakan kesediaan pejabat untuk setiap waktu melayani raja atau atasannya.
Tetapi Seba bahkan mempunyai arti politik yang lebih tinggi, sebab ia merupakan
kepatuhan masyarakat kepada kekuasaan dan perintah seseorang yang lebih tinggi
kedudukannya. Seba merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan formal
antara atasan dan bawahannya, sehingga di dalam dalam Piwulang berulang-ulang kali
disebut sebagai suatu pahala yang paling terpuji.
Bila seorang pejabat ingin menyatakan rasa dendam, penyesalan atau bencinya
kepada atasannya atau raja , ia sengaja menghindari datang ke pasowanan (tampil
dihadapan raja). Contohnya. Ketika Panembahan Senopati, raja pertama Mataram,
memutuskan untuk membentuk kerajaannya sendiri, maksudnya itu diperlihatkannya
dengan tidak hadir pada hari audiensi dengan raja. Tetapi bila raja memberikan hak
tidak hadir selama kurun waktu tertentu, maka ketidakhadirannya dalam audiensi ini
dianggap sebagai kemurahan hati raja.
Pasowanan mempunyai fungsi khusus, yaitu peningkatan kebesaran Raja. Pada
upacara-upacara khusus seperti Garebeg, Sebenarnya semua pejabat raja dari seluruh
bagian negara harus datang. Kesemarakan dan kemuliaan yang dipamerkan pada
upacara ini dan, tentu sajatidak kurang pentingnya, besarnya jumlah pengunjung
merupakan bukti nyata kebesaran dan kekuasaan raja.
2. Organisasi Teknis Pemerintahan
Raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan dalam pemerintahannya dibantu oleh
para elite birokrasi dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan
status askripsi dan diberi tanah apanage atau lungguh sebagai gaji atas imbalan jasanya.
Menurut Rouffer, kekuasaan raja yang semakin meluas membuat masyarakat turut andil
dalam pengelolaan dan kepemilikan tanah. Sebaliknya, Vollenhoven dan Schrieke
mengatakan bahwa tanah adalah milik desa yang dibuka oleh para cikal bakalnya. Burger
memiliki pandangan tentang kepemilikan tanah merupakan proses dari sistem feodal
antara raja, bangsawan, elite birokrasi dan petani. Sistem feodal di sini sebagai sebuah
hubungan simbolik antara raja dengan petani. Tanah apanage yang diberikan kepada
patuh sifatnya sementara dengan hak nggandhuh.
Untuk daerah Kasunanan, sistem apanage dimulai sejak Palihan Nagari 1755 dan
Mangkunegaran sejak diadakannya perjanjiaan Salatiga tahun 1757. Menurut fungsinya

14
tanah-tanah di Kasunanan dan Mangkunegaraan dibedakan menjadi: Pertama, Bumi
narawita yaitu tanah yang menghasilkan sesuatu (barang) yang ditentukan dan diperlukan
oleh raja terdiri atas bumi pamajegan/penghasil pajak uang, bumi pangrembe khusus
ditanami padi serta tanaman lain untuk keperluan istana dan bumi gladhag untuk
keperluan umum. Kedua, bumi lungguh atau apanage merupakan tanah gadhuhan yang
diberikan kepada sentana (hubungan kekerabatan kerajaan) dan narapraja (jabatan dalam
pemerintahan) sebagai gaji berupa bumi palungguhan atau hasil bumi sementara waktu,
yang mana dipungut hasil sebagian tanah apanage oleh patuh.
Bekel yang diangkat dikukuhkan dengan surat piagem yang tercantum tugas,
kewajiban dan sangsinya yang sebelumnya sudah mendapat persetujuan dari penguasa
distrik/bupati yang membawahinya. Bersamaan dengan diperluasnya sistem lungguh,
penyewaan tanah apanage terjadi dengan imbalan berupa produk pertanian dalam bentuk
uang atau barang. Penyewa menerima apa yang disebut pethuk ditandhu atau piyagem
(dokumen kontrak sewa) dengan hak-hak atas sebidang tanah dialihkan kepadanya untuk
jangka waktu beberapa tahun dengan imbalan tertentu dalam bentuk uang atau barang.
Satuan ukuran tanah apanage disebut jung seluas 28.386 m2 yang terdiri dari empat cacah
(jumlah orang). Cacah diangap sebagai satuan fiskal pedesaan yang terpencar. Dalam
sistem apanage tercakup hierarki kepangkatan. Setiap patuh mempunyai cacah sebagai
penggarap tanah, pembayar pajak, dan pekerja wajib. Semakin tinggi pangkat maka
banyak pula cacah yang dimiliki.
Dalam sistem ini dapat dilihat bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan.
Oleh karena itu, semua hasil bumi juga merupakan hak milik raja, sedangkan petani yang
mengerjakan tanah narawita dan apanage mendapat sebagian hasilnya. Sebaliknya petani
sebagai penggarap juga harus membayar pajak berupa hasil tanah yang dikerjakan dari
tenaga kerja mereka. Upeti dan pajeg dari mancanegara sebelum tahun 1830 digunakan
untuk membiayai kehidupan istana, sentana, narapraja, dragonder atau legioen. Dalam
prosesnya raja atau patuh menyerahkan penggarapan pada bekel. Untuk desa-desa besar
di bawah pengawasan demang, tugasnya mengawasi para sikep dengan pembagian hasil
maro, 2/5 bagian kepada raja atau patuh, 2/5 untuk sikep dan 1/5 bagi bekel. Pola
hubungan ke bawah dari raja atau patuh kepada bekel dan sikep baik di tanah narawita
maupun apanage memiliki pola yang sama.

15
Patuh sendiri dibagi menjadi dua yakni patuh tinggi yang memegang jabatan
strategis seperti di bidang keuangan, peradilan, keagamaan, dll. Selain itu ada patuh
rendahan yang bertugas mengangkat bekel di tanah-tanah apanage antara 3-8 beserta para
sikep. Sebagai pengawas langsung daerah negara agung diangkat seorang bupati pulisi.
Ia adalah semacam “tuan tanah” yang bertempat tinggal di luar kuthagara dan dibantu
oleh pejabat-pejabat rendahan. Bupati pulisi bertanggung jawab terhadap keamanan
wilayahnya, sehingga pengangkatan bekel harus mendapat persetujuannya.
Terdapat konseptual pembagian wilayah kerajaan Mataram, seorang raja
membagi menjadi tiga bagian yaitu keraton-negara (kuthagara), negaragung, dan
mancanegara. Kuthagara berasal dari kata keraton berarti kerajaan dan negara sebagai
pusat pemerintahan. Negara bersifat luas, penuh dengan bangunan-bangunan dan tempat
tinggal para patih, wedana, dan nayaka. Negaragung atau area inti kerajaan terdapat
mahosan dalem (tanah yang dinobatkan dengan membayar pajak kepada kerajaan) dan
lungguh (apanage) sebagai sumber pendapatan. Ketiga adalah mancanegara merupakan
bagian wilayah luar kerajaan. Pada kekuasaan Mataram nagaragung dan mancanegara
dimulai dari pesisir kulon hingga wetan.
C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja : Sistem Perpajakan dan Pengerahan Tenaga
pada Zaman Mataram II
1. Pajak dan Perpajakan
Sepanjang berabad-abad pemerintahan raja di Mataram ini sudah dilaksanakan
hidup swasembada atau otonom yang sebenar-benarnya. Hampir setiap keperluan
kerajaan memerlukan biaya dan kerajaan mempunyai sumber pendapatannya sendiri.
Dengan sumber pendapatan inilah negara harus berusaha untuk sedapat mungkin
menutupi biaya pengeluaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam negara yang
ekonominya didasarkan pada desa-desa agraris, maka sebagian besar pungutan dari
rakyatnya dalam bentuk barang maupun tenaga untuk kerja. Kota-kota pelabuhan juga
dianggap penting sebagai sumber pendapatan kerajaan, dengan memberlakukan bea
cukai.
Tetapi walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai,
namun untuk dapat berjalan dengan baik kerajaan sebagai suatu organisasi institusional,
pertama-tama dan terutama harus mengandalkan para petani yang dapat memberikan

16
tenaga untuk melakukan pekerjaan memelihara dan menopang kerajaan mulai dari
pekerjaan memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang-barang, sampai
dengan berperang sebagai tentara kerajaan.

2. Pengerahan Tenaga
Pengerahan tenaga rakyat bisa dikatakan sebagai faktor ekonomi yang terpenting
untuk kelancaran hidup Negara. Hal ini dikarenakan tidak adanya peralatan yang dapat
menghemat tenaga kerja dan sempitnya tanah yang dikuasai petani sehingga tenaga kasar
manusia menjadi satu – satunya sarana produksi dan kekayaan. Tenaga kerja ini identik
dengan rakyat kecil atau orang desa dengan kebutuhan sederhana dan agak terbelakang.
Anggapan orang Jawa yang menganggap kerja kasar itu merendahkan martabat adalah
sangat keliru karena sebenarnya setiap orang Jawa dari tingkat apapun setidaknya sekali
seumur hidup pernah mengalami masa – masa paling rendah sebagai bagian dari
pendidikannya.
Secara umum, terdapat dua jenis kerja wajib yaitu kerja untuk desa (gawe desa)
seperti kewajiban ronda, perbaikan jalan, tanggul, bendungan, jembatan, dan sebagainya.
Kemudian terdapat kerja untuk Negara (gawe aji) seperti pelayanan pribadi untuk pejabat
untuk kepentingan mereka (pancen), ikut sebagai pengiring ke keraton dan sebagainya.
Selanjutnya juga terdapat tenaga kerja untuk untuk mengangkut barang (pikulan) dan
mengusung orang (tandon). Selain itu, beban kerja paksa dipikul oleh warga desa yang
mendapat bagian tanah komunal (kuli kenceng), sehingga tidak heran jika satu – satunya
cara untuk melepaskan diri dari penindasan adalah melepaskan statusnya sebagai kuli
kenceng / meninggalkan kampung halaman, baru kemudian kelompok kerja rodi
mengalami perluasan setelah adanya cultuur stelsel.
Setiap harinya, tiap desa ditunjuk 6 – 7 orang untuk bekerja sesuai dengan
jaraknya, dimana dua orang untuk melayani kepentingan pribadi pejabat, satu orang
untuk menyampaikan berbagai perintah dan berita resmi lain, satu orang untuk memotong
rumput sebagai makan kuda – kuda jayengsekar, satu orang untuk bekerja pada
pembangunan kantor pemerintah, satu orang untuk bekerja pada kebun kopi pemerintah
dan satu orang sebagai pemikul barang kiriman. Kemudian juga adanya bau paneman
(tenaga berenam). Untuk ketentuan jumlah tenaga kerja yang boleh dijatahkan kepada

17
penguasa pribumi menurut Daendels sebagai berikut : seorang bupati sebanyak 170 orang
sehari belum termasuk penabuh gamelan, penari topeng, dan penari wayang. Sedagkan
bagi seorang patih adalah ¼ dari jumlah tersebut, mantri utama dan jaksa serta keluarga
dekat bupati 1/8, mantra biasa 1/16 dan pegawai rendahan hanya satu tenaga kerja sehari.
Secara umum mereka bekerja 4 – 5 bulan setahun.
Adanya golongan penduduk yang disebut para budak, orang hukuman, Kalang,
Gajah dan Pinggir, dimana pada Masa Mataram II mereka dianggap sebagai golongan
khusus yang status sosialnya rendah dan ditakdirkan untuk bekerja banting tulang
melakukan pekerjaan yang untuk orang lain tidak pantas. Selain itu, masa Mataram II
juga sudah dikenal perbudakan, namun menurut Wertheim beban perbudakan di Jawa
pada umumnya ringan. Terdapat empat cara untuk seseorang yang bebas dapat menjadi
budak (kawula) diantaranya sebagai tawanan perang, hutang tak terbayar, meninggalkan
rumah gustinya dank arena seseorang memperbudak dirinya karena ingin makan.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepercayaan dan agama menguasai masyarakat Jawa, dan kedudukan raja dalam
masa Mataram II memperoleh dukungannya yang paling kuat dari keyakinan agama.
Dapat dikatakan bahwa dasar kedudukan raja berlandaskan agama, yang mana kekuasaan
para dewa membenarkan kekuasaan raja. Raja dan para pegawainya sebagai
perpanjangan kekuasaannya, harus mempunyai kekuatan yang sepadan dengan yang
dipunyai para dewa. Dimana harus memperlihatkan keagungan dan kemegahan yang
sesuai dengan citra para dewa.
Dalam lingkungan kedudukan raja yang magis-religius adanya konsep
kesinambungan sangat penting artinya tradisi orang Jawa membentuk dua cara utama
dalam menghadapi suatu masalah. Pertama, menciptakan silsilah untuk menghubungkan
dinasti-dinasti terdahulu dengan dinasti yang sekarang. Kedua, menerima gagasan bahwa
perkenan Tuhan dalam bentuk wahyu, disampaikan dari penguasa yang satu kepada
penguasa yang lain sebagai tanda kuasa raja.
Dalam perlengkapan teknis dan ekonomis di kehidupan Negara Mataram II, tata
pemerintahannya bersifat primitif. Selain itu sarana-sarana juga sangat penting untuk
mempertahankan persatuan negara. Dimana sarana yang paling baik adalah keharusan
memperoleh pendidikan dan moral yang tinggi untuk ikut serta dalam pemerintahan raja.
Kepercayaan priyayi bahwa ia mempunyai kewajiban yang sangat membantu timbulnya
semangat esprit de corps di kalangan elite Jawa yang berkuasa.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa sifat-sifat pribadi para penguasa di pusat
maupun daerah, menentukan kehidupan negara dan sejarah Mataram II telah
menunjukkan betapa mudah terganggunya stabilitas karena adanya kekacauan.
Keseimbangan kekuasaan antara kekuasaan pusat yang kuat dengan kekuasaan daerah
sebagai daerah otonom sangat rentan terhadap gangguan, karena penguasa daerah secara

19
potensial sanggup melepaskan diri dari pusat. Oleh karena itu, pertahanan sistem
pemerintahan bergantung pada unsur saling menghargai dan menghormati.

DAFTAR PUSTAKA

Moertono Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau :Studi
Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Yayasan obor Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai