Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dan tak
lupa shalawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Lokal oleh Dosen Drs. Tri
Yunianto, M.Hum Guna menunjang proses belajar yang kini tengah dijalani oleh penulis.
Adapun judul makalah ini adalah “ Resume Buku Berjudul Ikan Layang Terbang
Menjulang”. Dimana makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berfikir dibidang
terkait dengannya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan di masa yang akan datang, dan penulis juga berharap semoga paper ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Perumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Kerangka Konseptual.................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................7
LINGKUNGAN ALAM DAN DINAMIKA KEBIJAKA TENTANG PELABUHAN PERIKANAN.7
A. Faktor Alam Sebagai Penompang Kelangsungan Usaha Perikanan...........................................7
B. Kebijakan Pemerintah Mengeai Pelabuhan................................................................................8
C. Kebijakan Pemerintahan Sektor Perikanan................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................13
KEGIATAN PERDAGANGAN DAN PERIKANAN DI PELABUHAN PEKALONGAN..............13
A. Pekalongan Sebagai Kota Batik dan Sosial Ekonomi Masyarakatnya.....................................13
B. Pelabuhan Niaga Pekalongan sebagai Pelabuhan Kecil...........................................................14
C. Kegiatan Perikanan di Lingkungan Pelabuhan Pekalongan.....................................................15
BAB IV...............................................................................................................................................17
AWAL PERKEMBANGAN KEGIATAN PERIKANAN DI PEKALONGAN (1942-1945).............17
A. Peran Pelabuhan dan Organisasi Nelayan pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).........17
B. Kehidupan Nelayan di Sekitar Masa Revolusi sampai Tahun 1960.........................................17
C. Menuju Ekonomi Berdikari di Sektor Perikanan (1950-1967).................................................18
D. Peran Modal Asing di Sektor Perikanan..................................................................................18
E. Regulasi Penagkapan sampai Penghapusan Trawl...................................................................19
F. Dari Sekolah Perjuangan ke Do School Perikanan Pekalongan...............................................20
BAB V.................................................................................................................................................21
DARI PELABUHAN KHUSUS PERIKANAN MENJADI PELABUHAN PERIKANAN
NUSANTARA PEKALONGAN (1974-1978)....................................................................................21
A. Jatidiri Status dan Fungsi Pelabuhan........................................................................................21
B. Perkembangan Perikanan di Pelabuhan Pekalongan dan Pelabuhan Perikanan di Sekitarnya. 24
C. Reaksi Nelayan Setempat atas Kapal-Kapal Pendatang...........................................................26
BAB VI...........................................................................................................................................27
PERKEMBANGAN PURE SEINE, TEKNOLOGI DISTRIBUSI, DAN PENCAPAIAN PENTING
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PEKALONGAN (1978-1990)...............................27
2
A. Pengenalan dan Perkembangan Trawl di Pekalongan..............................................................27
B. Pelaksanaan Penghapusan Trawl.............................................................................................29
C. Perkembangan Purse Seine Setelah Penghapusan Trawl 1980................................................29
D. Perubahan Teknologi Distribusi dari Garam ke Es..................................................................29
BAB VII..............................................................................................................................................32
KESIMPULAN...................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................34
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas perkembangan Pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900
sampai 1990, dimulai dengan mengemukakan latar belakang peran Pelabuhan Pekalongan
sebelumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembangannya setelah
menjadi pelabuhan khusus perikanan, dan dampak sosial ekonomi dari perkembangan
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan mengambil rentang waktu dari
tahun 1900 sampai 1990 (90 tahun), fokus pembahasannya meliputi perkembangan
Pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintahan kolonial, masa pendudukan
Jepang, masa Revolusi sampai dengan pemerintahan Orde Baru.
Kegiatan Pelabuhan Pekalongan pada saat itu lebih didominasi oleh kegiatan
nelayan. Kondisi ini telah mendorong pihak Pemerintah Daerah Kotamadya Pekalongan
unuk mengembangkan secara khusus kegiatan perikanan laut tersebut. Melalui
serangkaian pertemuan, kemudian diajukan permohonan pengalihan fungsi pelabuhan
menjadi pelabuhan perikanan. Usaha tersebut membuahkan hasil, ditandai dengan
penyerahan pengelolaan pelabuhan dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut Departemen
Perhubungan kepada Direktur Jenderal Perikanan Laut Departemen Pertanian.
4
merosotnya hasil tangkapan ikan akibat penghapusan trawl, dalam waktu yang relatif
singkat dapat dikembangkan penggunaan jenis alat tangkap purse seine sebagai pengganti
trawl. Hal ini yang menyebabkan kegiatan penangkapan menjadi ramai kembali, bahkan
setelah penghapusan trawl Pelabuhan Pekalongan berkembang menjadi salah satu
pelabuhan perikanan terbesar dipantai utara Jawa.
B. Perumusan Masalah
Pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan merupakan masalah penting
dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pemikiran
semacam itu telah lama muncul, misalnya terdapat dalam suatu usul yang dikemukakan
oleh Komisi Onderzoek naar de Mindere Welvart. Komisi tersebut dibentuk dengan
tugas-tugas untuk menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan
yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20.
5
Peasant Economy merupakan hasil penelitian yang mengungkap cora ekonomi nelayan
dengan menggunakan pendekatan Antropologi. Kemudia kajian spesifik tentang
perikanan juga dilakukan oleh D.H Cushing The Provident Sea. Chusing dalam karya
tersebut membahas kegiatan perikanan atlantik utara dan Pantai Pasifik bagian uatara
Amerika, ke dalam dua kategori utama yaitu perkembangan perikanan sebelum dan
sesudah adanya industrialisasi perikanan. Untuk selanjutnya Arthur F.M Cevoy dalam
The Fisherman’s Problem : Ecology and Law in the California Fisheries, 1850-1980,
membahas perkembangan kegiatan perikanan di California selama 130 tahun,
menganalisa kebijakan politik dengan pendekatan ekologis dan historis. Karya Raduan
Dari Pemungutan Tripang ke Penundaan Udang, Sejarah Perkembangan Perusahaan
Perikanan di Borneo Utara 1750-1990 membahas sebagai laut sebagai sumber daya yang
menyediakan komoditi bagi kpentingan perdagangan antar bangsa
C. Kerangka Konseptual
Pelabuhan merupakan seaward gates, yaitu tempat bertemunya pedagang yang
memasarkan komoditi hasil budidaya daratan yang dipertukarkan dengan komoditi dari
kawasan seberang. Pelabuhan juga merupakan lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi
kapal dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan,
dan penumpang. Rhoads Murpey membedakan pengertian pelabuhan menjadi dua, yaitu:
pertama dalam pengertian konsep fisik sebagai tempat berlabuh yang disebut harbour, dan
kedua dalam pengertian konsep ekonomi, yaitu sebagai tempat tukar menukar barang
komoditi antara hinterland dengan foreland yang disebut port. Dalam bahasa Indonesia
keduanya disebut dengan istilah pelabuhan yang mempunyai pengertian sebagai tempat
berlabuhnya perahu atau kapal.
Pilihan dari studi ini masalah pelabuhan perikanan, dengan inti perkembangan
pelabuhan dan perikanan. Pelabuhan pekalongan mulai awal abad ke-20 terus mengalami
kemunduran, namun mulai akhir tahun 1960-an terdapat fenomena baru berupa
peningkatan kegiatan perikanan, berkembang menjadi penopang Pelabuhan Pekalongan.
Perkembangan tersebeut berlangsung bersamaan dengan ditetapkannya penghentin impor
6
ikan, perubahan pendekatan pemasaran yang ditujukan bagi tersedianya ikan basah di
Jawa, perubahan preferensi dan daya beli yang didukung oleh teknologi distribusi, serta
adanya kemampuan lokal dalam menangkap peluang dari perubahan-peubahan tersebut.
7
BAB II
8
untuk menjangkau pasar yang terletak dipedalaman. Untuk itu ikan asin dan ikan
kering labih tahan lama sehingga dapat menjangkau daerah pedalaman adapun
pemasaran ikan asin ke daerah pedalaman dalam perkembangannya kemudian
sebagian besar dilakukan oleh pedagang Cina dengan memanfaatkan tranportasi
kereta.
9
Surabaya. Di samping memberikan ceramah-ceramah menegenai managemen jugan
memeberikan masukan bagi masalah yang bersifat teknis.
Untuk memeprlancar aktivitas operasioanal pelabuhan, ditata sedemikian rupa
sehingga konstinuitas program-programnya terjamin. Di samping itu semua dinas
pemerintahan dan lembaga swasta yang memepunyai kepentingan terhadap pelabuhan
harus memepunyaijalur koordinasi pemerintahan atas kuasa Departemen Pekerjaan
Umum melalui Dinas Pelabuhan yang dipimpin oleh seorang direktur pelabuhan.
Untuk itulah pada tahun 1911 dalam Departemen Pekerjaan Umum didirikan Dinas
Pelabuhan yang mekanismenya kerjanya terpisah dengan bagian yang lain. Jadi dalam
itu diberlakukan managemen baru atas pelabuhann-pelabuhan Hindia Belanda.
System managemen pelabuhan yang baru ini juga memberikan petunjuk baru
untuk mendirikan suatu komisi yang disebut “Komisi Bantuan” yang bertugas
memberikan nasehat dan masukan untuk pengelola pelabuhan baik teknis maupun non
teknis jadi bagi peabuhan-pelabuhan besar disamping memiliki seorang Direktur
Pelabuhan dan anggota direksinya, juga mempunyai sebuah komisi bantuan.
Pada tahun 1924, pemerintah kolonial membagi pelabuhan-pelabuhan kecil
menjadi dua kategori, yaitu peabuhan kecil yang dikelola sebagai perusahaan dan
pelabuhan kecil yang tidak dikelola perusahaan. Setelah tahun 1924 sebagian besar
yang sebelumnya sebagai pelabuhan menengah menjadi dikategorikan sebagai
pelabuhan kecil. Mengingat kenyataan bahwa jumlah pelabuhan kecil yang dikelola
sebagai perusahaan mempunyai masa depan yang cukup banyak dan tersebar di
berbagai wilayah di Hindia Belanda di satu pihak, dan terbatasnya ahli-ahli pelabuhan
yang dimiliki oleh pemerintah colonial di lain pihak, maka dibentuklah daerah
pembinaan pelabuhan.
10
2. Mengatur pengadaan kayu utuk pembuatan perahu dengan harga murah.
3. Pembebasan ongkos pembuatan garam murah.
4. Perlunya orgaisasi penyelidikan perikanan secara alamiah.
5. Memberikan ketrampilan kepada nelayan.
6. Memperbaiki pengangkuta ikan.
7. Perbaikan pelabuhan-pelabuhan kecil dan melakukan pengerrukan muara sugai.
8. Membangun tempat pendaratan ikan, tempat pengeringan ikan dan pabrik
pengolahan ikan.
9. Perlunya perluasan daerah pemasaran denga suatu pusat usaha penjualan dengan
menghubungkan dengan daerah luar.
10. Membangun pasar ikan Tanjun Priok, suatu pasar ikan di Jakarta sebagai tempat
yang digunakan secara terus menerus.
11. Perlunya dicoba untuk mengadopsi teknik penangkapan ikan seperti di Eropa atau
model Jepang, dengan motor dan perahu motor.
Salah satu upaya untuk mengadopsi teknik penagkapan, mulai tahun 1907
dilakukan penelitian dan percobaan menggunakan jarring tangkap dengan
menggunakan jarring yag lebih besar dan modern. Percobaan ini tidak dapat
dipertahankan karena tidak efektif. Akan tetapi terdapat pengaruh inovasi pada
nelayan local, yang berusaha merapatkan mata jarring pada kantong, sehingga jarring
dapat menangkap ikan termasuk ikan kecil. Akibatnya telah menimbulkan
kekhawatiran terhadap deposit sumber ikan.
Dalam staatsblad 1935 no. 479 dn tahun 1937 no.570, mengenai peraturan
penangkapan ikan. Dimana penangkapan ikan tidak boleh lebih dari 3 mil lepas
pantai, ditambah dengan ketentuan, penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai
harus dilakukan dengan ijin pemerintah.
Kegiatan penangkapan ikan nelayan Jepang sering menjadi obyek kecurigaan
pemeritah Hindia Belanda yang menganggap nelayan tersebut dari kolone V yang
bekerja untuk angkatan laut Jepang. lebih-lebih aktivitasnya terkonsentrasi di
perairan Timur Hindia Belanda. Bagi nelayan Pribumi, penangkapan nelayan Jepang
di kawasan tersebut diangga telah merampas mata pencaharian mereka, karena
nelayan Jepang juga mengambil hasil laut seperti kerang bola, toka, tripang, dan telur
penyu.
11
Kegiatan yang dilakukan oleh 6 orang Jepang dari kantor shcho dan 4 orang
Indonesia jadwal kegiatan sangat padat yaitu dari jam 7 pagi hingga 22.30. akibatnya,
aktivitas perikanan meurun drastis.
Sejak bubarnya kedudukan Jepang, urusan laut disatukan dengan urusan
perikanan darat. Namun mulai bulan januari 1949, kedua Jawatan tersebut dipisahkan
lagi. Dumaksudkan sebagai Jawatan bagi kepentingan umum untuk meingkatkan
kesejahteraan nelayan da pedagang ikan. Tugas Jawatan Perikan Laut terdiri dari dua
bagian yaitu bagian pengetahuan teknis, dan bagian sosial ekonomi. Jawatan laut
merupakan aparat untuk mencari dan menyelidiki tempat-tempat baru penangkapan
ikan, mecoba dan memperbaiki cara penangkapan, menyelenggarakan usaha
percobaan motorisasi usaha perikanan menggunakan perahu layar, mengatur dan
diatribusi bahan-bahan untuk kepentingan perikanan khususnya yang didatangkan dari
laut.
Perkembangan yang menarik lainya adalah pada sector kredit yang diberikan
kepada nelayan. Sejak tahun 1957 sampai 1959 telah dikeluarkan kredit sector
perikanan sebnyak 15 juta oleh PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian
menjadi Bank Kredit Tani Nelayan (BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana
pembangunan masyarakat nelayan Indonesia. Dalam pemberian kredit kepada nelayan
diberlakukan system baru, yaitu system jaminan produksi. System ini sesuai dengan
dengan gerakan koperasi dan gerak irama revolusi.
Pada tahun 1961, pemeritah mengambil kebijakan pentig dalam sector
perikanan, yaitu dengan memberikan ijin untuk impor ikan dari Vietnam Selatan,
Siam , Malaya, dan Singapura. Hal ini didasari oleh peningkatan produksi ikan dalam
negeri, sehingga dengan keluarnya keputusan tersebuttidak mempengarui
penyediakan ikan di dalam negeri. Keputusan Presiden RI No. 94 tahun 1962
mengatur mengenai regrouping cabinet, ditentukan susunan cabinet yang anatara lain
terdapat mentri agrarian dan pertania , departemen yang semula merupakan dua
departemen yang masing-masing berdiri sendiri. Bentuk kebijakan lain adalah
menjadikan perkumpulan perikanan yang ada dalam koperasi perikanan.
12
Keikutsertaan pemodal asing telah membuka lembaran baru dalam pembangunan
ekonomi nasiona dan sejarah pembangunan perikanan di Indonesia.
13
BAB III
14
politik secara luas. Oleh karena itu, pedagang di Pekalongan juga berperan menjadi
sponsor dari terbitnya “Pelita Dagang”. Majalah ini diterbitkan oleh Batikhandel M.
Djarcasie & Co. yang beralamat di Jalan Panjang No. 183 Pekalongan. Dalam
riwayatnya, pada permulaan tahun 1924 Pelita Dagang terbit secara bulanan, dan
mulai pertengahan tahun 1924 terbit setahun dua kali, kemudian terbit tiga bulan
sekali. Pelita Dagang kemudian menjadi surat kabar umum, dengan nama “Soeara
Hindia”. Pimpinan Redaksinya adalah Parada Harahap, dengan redaksi di Pekalongan
M.D Semail dan Reksosoemitro Jr.
15
laut justru merupakan ancaman. Beberapa orang Cina Pekalongan yang memiliki
banyak modal biasa membeli tembakau dari Weleri dan Batang, menimbun tembakau
di Pekalongan. Namun demikian, pangapalan komoditi-komoditi tersebut tidak
dilakukan di Pelabuhan Pekalongan, akan tetapi mereka lebih sering melakukan
pengiriman dengan menggunakan kereta api untuk dibawa ke Cirebon, dan dari sana
dikapalkan ke Batavia dan Singapura. Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan laut
sangat mungkin kurang menguntungkan dibandingkan dengan Semarang. Kondisi
dermaga selalu mengalami gangguan akibat faktor alam. Sejak awal pembukaan
pelabuhan ini telah dikeluhkan atas kemerosotan dan tidak ada penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah, karena tidak ada usaha yang dilakukan untuk mencegah
lebih lanjut kemerosotan pelabuhan utama. Keluhan semacam itu telah muncul pada
tahun 1858, ketika 16 pelabuhan di Jawa telah di buka bagi perdagangan umum,
termasuk Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Dana perawatan pelabuhan diberikan, akan
tetapi dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan. Pada pelayaran pantai,
beberapa kapal uap terlihat, akan tetapi sebagian besar lalu lintas dilakukan
menggunakan kapal layar eropa dan pribumi. Pelayaran perahu sendiri di Pekalongan
semakin sulit. Penyebabnya pelabuhan ini merupakan muara sungai. Tempat
bertemunya sungai dengan laut dipenuhi dengan timbunan pasir. Kerasnya ombak
selama satu tahun tidak dapat menimbun muara sungai.
Pada tahun 1903 dan 1904 kondisinya lebih baik, karena adanya arus sungai
yang kuat sehingga penimbunan pasir dapat dicegah oleh alam. Namun demikian,
pada tahun 1905 kondisi menjadi lebih parah dari tahun sebelumnya, seolah-olah
usaha pengerukan tersebut tanpa membawa hasil. Jika pada tahun 1903 dermaga
terbebad dari timbunan pasir, pada tahun 1905 dermaga itu sudah tertimbun pasir dan
tidak bermanfaat lagi. Penimbunan pasir di sebelah timur sangat tinggi, sehingga
mencapai bagian atas dermaga itu; dan sejak itu gelombang telah menimbun pasir
pada saluran depan dermaga. Namun demikian, proyek pengerukan pelabuhan
Pekalongan tidak dihentikan. Pada tahun 1906, dilakukan perpanjangan dermaga
pelabuhan timur sekitar 200 meter. Maksud dari perpanjangan dermaga tersebut untuk
menghambat pasir di dermaga.
16
banyak di bagian barat; seperti pantai di daerah Brebes. Sedangkan di daerah
Pemalang, letak dan keadaan pantai sedemikian rupa sehingga pada musim angin
timur akan menyebabkan pasir di sebelah timur terbawa arus putaran justru ke barat.
Kecuali secra topografis, letak tempat tambatan perahu di pelabuhan Pekalongan
dengan pemukiman nelayan juga mempunyai beberapa kelebihan. Dibandingkan
dengan tempat tambatan perahu di pelabuhan perikanan sekitarnya, penempatan
perahu nelayan di Pelabuhan Pekalongan lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Sedangkan untuk perahu-perahu nelayan di Wonokerto Wetan dan Wonokerto Kulon,
Bebel dan Api-api berada di sungai kecil Mrican Lama, terletak dua setengah
kilometer dari pantai. Di Tretebang perahu berada di Sungai Tretebang yang berjarak
tiga kilometer dari desa tempat tinggal.
Pelabuhan Pekalongan juga menerima kiriman ikan asin dan ikan kering dari
Jepara, Karimunjawa, dan Bagansiapiapi, yang kemudian diangkut ke pedalaman
Jawa oleh pedagang Cina. Hasil ikan dari Pekalongan dipasarkan ke daerah sekitar.
Pelabuhan Pekalongan juga didatangi beberapa perahu perikanan dari daerah lain
seperti Pemalang, Brebes, Wonokerto, Batang. Walaupun kolam pelabuhan
Pekalongan memperoleh gangguan dari adanya lumpur yang dibawa oleh arus Sungai
Pekalongan, kegiatan perikanan di cabang Pelabuhan Pekalongan, alur pelayaran
relatif terpelihara dengan digunakannya mesin pengeruk lumpur milik pemerintah.
Sampai dengan akhir pemerintahan colonial, kegiatan perikanan di Pelabuhan
Pekalongan merupakan bagian dari administrasi kegiatan organisasi perikanan di
Wonokerto Kabupaten Pekalongan.
17
BAB IV
18
C. Menuju Ekonomi Berdikari di Sektor Perikanan (1950-1967)
Dalam pembenahan organisasi koperasi yang sebelumnya hanya terbatas bagi pemilik
perahu, kemudian tahun 1953 keanggotaannya di perluas bagi semua nelayan yang ikut
dalam proses produksi. Pada tahun 1953 juga muncul gagasan pada tingkat supra-lokal
yang cukup penting berupa suatu resolusi nelayan yang isinya menuntut kepada
pemerintahan supaya membentuk suatu Departemen Perikanan sendiri. Sebagaimana
telah disebutkan dimuka perkembangan menarik sektor perikanan di Pelabuhan
Pekalongan mulai tahun 1960-an, yang ditandai dengan berdirinya KPL Makaryo tahun
1962. Yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah tahun1961 berupa pemberhentian
ijin impor ikan Vietnam Selatan, Siam, Malaya dan Singapura. Meskipin demikian,
penghentian impor ikan tersebut telah menghasilkan keuntungan berupa peghematan
devisa. Pemerintah dapat menghemat devisa dan dapat menggunakan untuk mengimpor
alat-alat perikanan.
Sejalan dengan pelaksanaan prinsip Berdikari dalam memenuhi kebutuhan ikan,
Pemerintah Tingkat I Jawa Tengah membuat peraturan yang menetapkan bahwa semua
ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang telah ditunjuk untuk
di jual secara lelang. Walaupun demikian, kebijaksanaan koperasi perikanan yang
bertujuan memberikan peningkatan kesejahteraan pada nelayan tersebut dalam
pelaksanaannya berhadapan dengan sistem yang telah ada sebelumnya, yaitu sistem ijon.
Pada pengaturan pelaksanaan lelang ikan oleh koperasi baru menjangkau untuk ikan
basah.
Dominasi kekuasaan tersebut mulai memperoleh tentangan oleh perkembangan
kondisi perpolitikan yang anti terhadap kekuasaan asing. Nama besar Ek Hoo Goan pada
tahun 1965 terpaksa diganti menjadi Persatuan Pengusaha Hasil Perairan Indonesia atau
Perpain. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa lanhkah-langkah kebijaksanaan untuk
penghentian impor ikan lebih didasarkan pada aspek politik, maka pelaksanaan
operasionalnya belum dapat terwujud sepenuhnya.
20
2. Jalur penagkapan II, adalah perairan selebar 4mil laut yang diukur dari garis
luar jalur penagkapan I;
3. Jalur penangkapan III, adalah perairan 5 mil laut yang diukur dari garis luar
jalur penagkapan II, dan
4. Jalur penagkapan IV, adalah perairan di luar jalur penagkapan III.
21
BAB V
Ada dua peristiwa penting dalam tonggak sejarah Pelabuhan Pekalongan, yang
pertama penentapan Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuha khusus perikanan tahun
1974 dan yang kedua adalah peningkatan status pelabuhan sebagai Pelabuhan
Perikanan Nusantara pada 1978. Berdasarkan SK Menteri Perhubunhan No.1 Km
188/0/Phb-74, Pelabuhan Pekalongam statusnya diubah menjadi pelabuhan khusus
perikanan yang dikelola dan diselenggarakan oleh Departemen Pertanian cq.
Direktorat Jendral Perikanan. Seperti dijelaskan diawal bahwa kondisi Pelabuhan
Pekalongan sampai awal tahun1960-an dalam kondisi tidak terpelihara, hal ini
dikarenakan adanya persainagan dengan Pelabuhan di Tegal sehingga menjadikan
Pelabuhan Pekalongan bukan sebagai pelabuhan utama bongkar muat.
22
2. Pembenahan Awal Sarana Pelabuhan
23
a. Letak topografis dan geografis pelabuhan
Letak pelabuhan merupakan faktor alam yang turut menentukan
keberlangsungan suatu pelabuhan. Pelabuhan Pekalongan terletak di muara
Sungai Pekalongan, berada di wilayah pantai yang secara topografi mempunyai
beberapa kenggulan. Wilayah Pekalongan yang lengkung kedalam, menyerupai
teluk besar, tepatnha berada di tengah dari pantai utara Jawa. Dimana bagian
timur menjorok ke arah Jepara dan bagian barat ke arah Cirebon. Dimana kondisi
ini menyebabkan wilayah pantai Pekalongan bebas dari tumpukan pasir oleh arus
angin seperti yang dialami oleh perairan Brebes.
Selain itu letak pangkalan perahu di pelabuhan ini juga dekat dengan
pemukiman, kira-kira hanya sekitar 1 km berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan
lain yang mana jarak antara pelabuhan dengan pemukiman begitu jauh.
b. Status wilayah pelabuhan
Status ini merupakan pembuka jalan, dengan adanya status vbaru
berupa Pelabuhan Khusus Perikanan ini menyebabkan pelabuhan di
Pekalongan berkembang pesat.
c. Dukungan kemananan
Faktor keamanan telah mendorong kelancaran usaha yang membawa
keberhasilan di Pelabuhan Pekalongan. Faktor keamanan di pelabuhan inj
didukung oleh faktor keamanan khusus Primkopal yaitu Primer Koperasi
Angkatan Laut.
d. Kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah berupa pemberian dana untuk pembangunan
sarana prasaran dan pembuatan kebijakan yang menguntungkan dalam
kegiatan pelabuhan menyebabkan pelabuhan Pekalongan berkembang pesat.
Perubahan fungsi pelabuhan merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang
paling mendasar dan berdampak luas pada perkembangnnya.
e. Ketersediaan pemodal lokal
Perkembangan usaha perikanan pada tahun 1970-an merupakan usaha
yang sangat menguntungkan karena memberikan hasil yang besar dalam
waktu singkat. Sumber kekayaan yang melimpah perlu diusahakan dan
dikembangkan secara efektif, memungkinkan para pemodal untuk
menanamkan modalnya tentu sangat mengiurkan. Berita keberhasilan ini
24
menimbulkan minat para pengusaha dari Buaran, Pekajangan dan Pedagang
Cina untuk melibatkan diri pada usaha perikanan.
Dengan demikian, usaha perikanan di Pekalongan pada mulanya
berkembang sebagai usaha yang memerlukan modak yang cukup besar dari
masyarakat sekitar yang telah lama mempunyai jiwa wirausaha dan memiliki
modal besar, baik dari pribumi ataupun etnis China.
f. Teknologi yang digunakan
Faktor kesediaan teknologi merupakan faktor pendukung yang
mendorong berkembangnya Pelabuhan Pekalongan. Penghapusan trawl pada
tahun 1980 membuat Pekalongan dikembangkan teknologi baru yang berupa
mini pursre seine. Trawl yang awalnya dikenalkan oleh Belanda digantika
oleh teknologi mini purse seine yang dikenalkan oleh Jepang.
Dengan mutu dan kualitas kapal serta alat purse seine yang digunakan
nelayan Pekalongan mempunyai kemampuan menjangkau daerah
penangkapan atau fishing ground lebih luas seperti di kepulauan Natuna,
Masalembo, Selat Karimata, dengan waktu penangkapan yang semakin
panjang antara 15-21 hari.
g. Kemampuan pengembangan sistem pembayaran lelang sebagai respon
atas kepentingan nelyan untuk memperoleh uang secara pasti dan tunai.
25
Akhirnya kebanyakan dari mereka beralih menjadi pandega, sehingga hal inilah yang
menyebabkan jumlah pandega mengalami peningkatan sedangkan juragan menurun.
26
Pekembangan sektor perikanan di Pekalongan juga dipercepat oleh masuknya pengusaha
perikanan dari Bagansiapiapi pada tahun 1970an, dimana pengusaha ini membawa kapal dan
kelengkapan alat tangkap dan menetap di Pekalongan. Semula tujuannya adalah Pelabuhan
Tegal, namun karena tidak adanya dukungan keamanan merekapun akhirnya mengalihkan
tujuannya ke Pelabuhan Pekalongan.
Persaingan antara nelayan atau juragan tentang kecurangan dan persaingan tidak sehat
menyebabkan pada tahun 1975 dibentuklah Badan Usaha Unit Desa Nelayan Pekalongan,
yang kemudian berganti menjadi Koperasi Unit Desa Makaryo-Mino. Dimana tujuan dari
KUD Makaryo-Mino ini berfokus kepada pemenuhan kebutuhan alat dan sarana prasarana
bahkan kredit pemodalan. Keberhasilan KUD Makaryo-Mino dalam menyelenggarakan
lelanh untuk mengembangkan organisasi dan manajemen secara bertahap dapat
melaksanakan pembayaran secara tunai. Pengembangan kegiatan usaha KUD lainnya yang
ditunjukkan bagi penyediaan kebutuhan laut, semakin menjadi daya tarik banyak nelayan
untuk melakukan pelelangan ikan di Pelabuhan Pekalongan.
27
BAB VI
Secara umum, alat tangkap ikan dapat dikelompokkan ke dalam empat golongan
besar, yaitu alat tangkap yang terbuat dari jurai-juraian (nets), alat dari tali (lines), alat
perangkap (traps), dan alat tangkap lainnya (miscellaneous). Di Pekalongan, penggunaan
jaring trawl dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang disebabkan oleh kelebihan-
kelebihan dari produktivitas alat tersebut. Karena mata jaring trawl lebih rapat dari pada
mayang, maka hasil tangkapannya lebih banyak sehingga menguntungkan banyak nelayan.
Mereka pun banyak yang beralih kepada trawl. Kelebihan yang dimiliki oleh trawl adalah
dapat dioperasikan sepanjang musim, bergerak siang dan malam.
Pada tahun 1980, terjadi penurunan jumlah kapal yang mendarat di Pelabuhan
Pekalongan. Banyaknya kapal yang mendarat di Pelabuhan Pekalongan dalam hubungannya
dengan jumlah kapal yang dimiliki nelayan tidak sebanding dengan sifat “terbukanya”
pelabuhan perikanan bagi pendaratan nelayan yang berasal dari daerah lain. Nelayan
memiliki kecenderungan untuk mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan yang
menyelenggarakan pelelangan lebih menguntungkan. Dengan berlabuh di dekat tempat
pelelangan, maka nelayan akan memperoleh uang hasil lelangnya secara cepat sehingga
mereka mudah mendapatkan bahan perbekalan untuk melakukan penangkapan kembali.
28
Fasilitas dan sistem yang dimiliki oleh Pelabuhan Pekalongan relatif dapat memenuhi
kebutuhan yang diperlukan nelayan sehingga mudah menarik banyak nelayan dari Kabupaten
Pekalongan, Batang, Pemalang, Brebes, Demak, Lamongan, dan Madura untuk melakukan
bongkar ikan di Pelabuhan Pekalongan.
Pada tanggal 1 Oktober 1980, terdapat penghapusan trawl yang disebabkan oleh
adanya konflik kepentingan antara nelayan tradisional yang menggunakan peralatan
sederhana dengan nelayan yang menggunakan jaring trawl. Terdapat reaksi dari nelayan kecil
terhadap pengoperasian trawl, salah satunya adalah dengan melakukan pengrusakan berupa
pembakaran yang terjadi di beberapa daerah. Demi meredakan ketegangan ini, pemerintah
mengeluarkan Keppres 39/1980 yang dikenal dengan penghapusan kegiatan penangkapan
ikan menggunakan jaring trawl. Kegiatan penghapusan trawl dilakukan secara bertahap.
Terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981 terdapat pengurangan jumlah kapal
perikanan yang menggunakan jaring trawl sehingga untuk seluruh Indonesia hanya ada 1.000
buah. Pengurangan jumlah kapal ini mula-mula diadakan di sekitar Jawa dan Bali, sampai
tanggal 30 September 1980 hingga 1 Oktober 1980, pemerintah melarang semua operasi
trawl di perairan laut yang mengelilingi Jawa dan Bali.
29
B. Pelaksanaan Penghapusan Trawl
Menteri Dalam Negeri beserta Menteri Perdagangan dan Koperasi membentuk Panitia
Pelaksana Pengalihan Kapal-kapal Perikanan eks trawl di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah. Adapunn tugasnya adalah melaksanakan pendaftaran kapal-kapal trawl, menetapkan
transaksi harga kapal, merencanakan dan menetapkan KUD yang akan menerima kapal,
menerima pengalihan kapal dari pemiliknya dan menyerahkannya kepada KUD, serta
memberikan bimbingan kepada KUD yang akan menerima kapal. Keputusan ini ditetapkan di
Semarang, 9 September 1980. Selanjutnya, tertanggal 16 September 1980 dibentuklah Tim
Pelaksana Keputusan Penghapusan Jaring Trawl Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan
(Panda II) yang bertugas menampung, menangani, dan menyelesaikan hal-hal di luar
pelaksanaan pengalihan kapal-kapal perikanan eks trawl. Hal-hal tersebut meliputi
peningkatan produksi perikanan, ketenagakerjaan, peningkatan keterampilan, dan
pembiayaan.
Pembahasan terhadap garam diangap penting terkait terhadap peran garam sebagai
penopang utama dalam sistem distribusi yang dalam perkembangannya tetap berlanjut
walaupun bergeser oleh sistem distribusi yang mendasarkan pada es. Monopoli garam
terjadi sejak jaman kolonial dimana semua kegiatan pembuatan seperti produksi garam, ,
30
distribusi diawasi langsung oleh pemerintah, para warga dilarang keras untuk melakukan
pembuatan garam aibatnya garam di Jawa pada kususnya berharga sangat tinggi. Dan
mengakibatkan distribusi ikan yang dulu sebelum ada es mengunakan garam menjadi
kurang maksimal, dan juga berpengaruh pada pengelolaan ikan yang kurang kompetitif.
Pengadaan garam sendiri hanya boleh dilakukan oleh tukang pak (pachter) yang
memiliki hak sewa karena mendapat hak monopoli sewa dan mereka memperoleh hak
untuk mengawasi pribumi yang mengadakan pembuatan garam.
Pada awal kemerdekaan dan masih terjadi konflik senjata diberbagai daerah
mengakibatkan pasokan garam dari madura berkurang akibatnya terjadi kelangkaan
garam dan mendorong penduduk di pantai utara jawa untuk membuat garam. Sebelm
tahun 1950 produksi garam di pulau jawa masih belum terorganisir baru pada akhir tahun
1949 sudah dapat dikendalikan akibatnya produksi garam tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan daerahnya sendiri tapi juga dapat dijual walaupun masih dalam wilayah yang
kecil. Walaupun saat itu indonesia sudah dinyatakan merdeka akan tetapi perkembangan
garam masih saja dimonopoli oleh pihak tertetu. Martin Sanders melaporkan dalam
Report on the Goverment Owned Salt Industry in Indonesia yang merupakan serangkaian
wawancara dengan Sentot S. Daroesalam menyebutkan bahwa sampai tahun 1956 garam
di Indonesia masih dimonopoli pemerintah. Dalam wawancara tersebut juga dijelaskan
bahwa harus ada pembukaan lahan pembuatan garam agar garam dapat dipasok secara
merata dan tidak menimbulkan kekurangan dan pemerintah tidak boleh mengambil
keuntungan akan hal ini.
Menurut laporan tahunan nelayan mino sojo tahun 1938 pemasaran ikan hanya
dilakukan di dalam daerah saja para tengkulak ikan menjual dagangannya hanya disekitar
31
kota purworejo saja dengan demikian untuk pengolahan ikan tersebut garam merupakan
bahan yang harus tersedia dengan jumlah dan waktu sebagaimana dibutuhkan.
Salah satu kebijakan dasar dalam masalah pemasaran yang tercantum dalam
garis-garis besar usaha peningkatan pembangunan fisik perikanan adalah ditujukan
terghadap ketersediaan fasilitas pemasaran yang dapat menimbulkan dan meluaskan
pemasaran hasil hasil perikanan sehingga merangsang penanaman modal di dalam
aktivitas produksi dan pemesanan, baik tujuan domestik maupun ekspor. Pada tahap ini
pemerintah ingin mengembangkan perdagangan ikan agar dapat dinikmati untuk
konsumen di berbagai daerah. Untuk meningkatkan produksi akibat dari adanya
permintan konsumen yang tinggi maka produksi ikan dituntut untuk lebih maju,
pemerintah mendorong nelayan untuk meningkatkan hasil produksi dengan cara
meminjam dana bank untuk kegiatan produksinya agar kebutuhan pasar dapat dipenuhi.
32
BAB VII
KESIMPULAN
33
Menarik pula untuk dikerjakan di masa mendatang tentang bagaimana corak kegiatan
ekonomi nelayan pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an untuk dobandingkan dengan krisis
multidimensi saat ini. Persoalan kontemporer yang menarik untuk mendapat perhatian dari
peneliti lain adalah sektor perikanan kaitannya dengan otonomi daerah. Untuk itu, sektor
perikanan yang sudah diurus oleh departemen tersendiri, perlu mengimplementasikan
dimensi bahari, mempersamakan persepsi dalam rangka otonomi, bahwa laut termasuk sektor
perikanannya sebagai potensi pemersatu bangsa.
34
DAFTAR PUSTAKA
Sutejo K. Widodo. 2005. Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang; Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
35