Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dan tak
lupa shalawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Lokal oleh Dosen Drs. Tri
Yunianto, M.Hum Guna menunjang proses belajar yang kini tengah dijalani oleh penulis.

Adapun judul makalah ini adalah “ Resume Buku Berjudul Ikan Layang Terbang
Menjulang”. Dimana makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berfikir dibidang
terkait dengannya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan di masa yang akan datang, dan penulis juga berharap semoga paper ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, 19 Mei 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Perumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Kerangka Konseptual.................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................7
LINGKUNGAN ALAM DAN DINAMIKA KEBIJAKA TENTANG PELABUHAN PERIKANAN.7
A. Faktor Alam Sebagai Penompang Kelangsungan Usaha Perikanan...........................................7
B. Kebijakan Pemerintah Mengeai Pelabuhan................................................................................8
C. Kebijakan Pemerintahan Sektor Perikanan................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................13
KEGIATAN PERDAGANGAN DAN PERIKANAN DI PELABUHAN PEKALONGAN..............13
A. Pekalongan Sebagai Kota Batik dan Sosial Ekonomi Masyarakatnya.....................................13
B. Pelabuhan Niaga Pekalongan sebagai Pelabuhan Kecil...........................................................14
C. Kegiatan Perikanan di Lingkungan Pelabuhan Pekalongan.....................................................15
BAB IV...............................................................................................................................................17
AWAL PERKEMBANGAN KEGIATAN PERIKANAN DI PEKALONGAN (1942-1945).............17
A. Peran Pelabuhan dan Organisasi Nelayan pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).........17
B. Kehidupan Nelayan di Sekitar Masa Revolusi sampai Tahun 1960.........................................17
C. Menuju Ekonomi Berdikari di Sektor Perikanan (1950-1967).................................................18
D. Peran Modal Asing di Sektor Perikanan..................................................................................18
E. Regulasi Penagkapan sampai Penghapusan Trawl...................................................................19
F. Dari Sekolah Perjuangan ke Do School Perikanan Pekalongan...............................................20
BAB V.................................................................................................................................................21
DARI PELABUHAN KHUSUS PERIKANAN MENJADI PELABUHAN PERIKANAN
NUSANTARA PEKALONGAN (1974-1978)....................................................................................21
A. Jatidiri Status dan Fungsi Pelabuhan........................................................................................21
B. Perkembangan Perikanan di Pelabuhan Pekalongan dan Pelabuhan Perikanan di Sekitarnya. 24
C. Reaksi Nelayan Setempat atas Kapal-Kapal Pendatang...........................................................26
BAB VI...........................................................................................................................................27
PERKEMBANGAN PURE SEINE, TEKNOLOGI DISTRIBUSI, DAN PENCAPAIAN PENTING
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PEKALONGAN (1978-1990)...............................27

2
A. Pengenalan dan Perkembangan Trawl di Pekalongan..............................................................27
B. Pelaksanaan Penghapusan Trawl.............................................................................................29
C. Perkembangan Purse Seine Setelah Penghapusan Trawl 1980................................................29
D. Perubahan Teknologi Distribusi dari Garam ke Es..................................................................29
BAB VII..............................................................................................................................................32
KESIMPULAN...................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................34

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas perkembangan Pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900
sampai 1990, dimulai dengan mengemukakan latar belakang peran Pelabuhan Pekalongan
sebelumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembangannya setelah
menjadi pelabuhan khusus perikanan, dan dampak sosial ekonomi dari perkembangan
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan mengambil rentang waktu dari
tahun 1900 sampai 1990 (90 tahun), fokus pembahasannya meliputi perkembangan
Pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintahan kolonial, masa pendudukan
Jepang, masa Revolusi sampai dengan pemerintahan Orde Baru.

Pelabuhan Pekalongan terletak di muara Sungai Pekalongan dalam wilayah


Kotamadya Pekalongan, pembangunannya dimulai tahun 1852, dan diresmikan
penggunaannya pada tanggal 31 Mei 1859 sebagai pelabuhan ekspor-impor.
Pembangunan pelabuhan dilengkapi dengan sarana pelabuhan, seperti menara mercusuar,
dermaga (pier) penahan gelombang di kanan dan kiri alur sungai, kolam pelabuhan,
kantor pelabuhan dan gudang. Sejak digunakan pada tanggal 1 Juni 1859 sampai tahun
1877, ekspor melalui Pelabuhan Pekalongan menunjukkan peningkatan. Namun
demikian, setelah periode itu, ekspor terus mengalami penurunan.

Kegiatan Pelabuhan Pekalongan pada saat itu lebih didominasi oleh kegiatan
nelayan. Kondisi ini telah mendorong pihak Pemerintah Daerah Kotamadya Pekalongan
unuk mengembangkan secara khusus kegiatan perikanan laut tersebut. Melalui
serangkaian pertemuan, kemudian diajukan permohonan pengalihan fungsi pelabuhan
menjadi pelabuhan perikanan. Usaha tersebut membuahkan hasil, ditandai dengan
penyerahan pengelolaan pelabuhan dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut Departemen
Perhubungan kepada Direktur Jenderal Perikanan Laut Departemen Pertanian.

Sejak ditetapkan sebagai pelabuhan khusus perikanan tahun 1974, Pelabuhan


Pekalongan terus mengalami perkembangan yang sangat mengesankan sehingga pada
tahun 1978 status pelabuhan ditingkatkan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara.
Memasuki periode pasca penghapusan trawl tahun 1980, nelayan Pekalongan
memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk melakukan respon inovatif, sehingga

4
merosotnya hasil tangkapan ikan akibat penghapusan trawl, dalam waktu yang relatif
singkat dapat dikembangkan penggunaan jenis alat tangkap purse seine sebagai pengganti
trawl. Hal ini yang menyebabkan kegiatan penangkapan menjadi ramai kembali, bahkan
setelah penghapusan trawl Pelabuhan Pekalongan berkembang menjadi salah satu
pelabuhan perikanan terbesar dipantai utara Jawa.

B. Perumusan Masalah
Pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan merupakan masalah penting
dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pemikiran
semacam itu telah lama muncul, misalnya terdapat dalam suatu usul yang dikemukakan
oleh Komisi Onderzoek naar de Mindere Welvart. Komisi tersebut dibentuk dengan
tugas-tugas untuk menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan
yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20.

Dengan demikian, pembahasan mengenai keberadaan suatu pelabuhan perikanan


sudah barang tentu terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan segala proses, tahapan dan
permasalahan yang mendahului sebelum tangkapan nelayan berupa ikan sampai di
pelabuhan peikanan. Demikian pula hal itu juga terkait dengan proses, tahapan dan
permasalahan setelah ikan sebagai komoditi untuk sampai kepada konsumen. Keterkaitan
antara produsen dengan konsumen mempunyai signifikasi terhadap perkembangan suatu
tempat sebagai pelabuhan peikanan. Orientasi konsumen berupa permintaan terhadap
jenis hasil tengkapan nelayan dengan suatu kondisi tertentu, dan perlakuan terhadap
orientasi permintaan baru terseut, merupakan dorongan berkekuatan besar yang
meletakkan adanya dasar-dasar perubahan dalam masyarakat nelayan yang luas dan
menyeluruh.

Pemilihan terhadap Pelabuhan Pekalongan didasarkan pada beberapa


pertimbangan, diantaranya adalah adanya peristiwa yang menarik dan spesifik yang
terjadi pada pelabuhan tersebut. Faktor lain yang melatarbelakangi pemilihan terhadap
Pelabuhan Pekalongan ini, sebagaimana diuraikan bahwa Pelabuhan Pekalongan yang
semula sebagai pelabuhan umum kemudian dijadikan sebagai pelabuhan khusus
perikanan.

Sebagai dasar dalam merumuskan permasalahan, juga dilakukan tinjauan terhadap


karya-karya penting hasil penelitian oleh para ahli di bidangnya yang mempunyai
relevansi pokok bahasan dengan karya ini. Karya R. Firth, Malay Fisherman: Their

5
Peasant Economy merupakan hasil penelitian yang mengungkap cora ekonomi nelayan
dengan menggunakan pendekatan Antropologi. Kemudia kajian spesifik tentang
perikanan juga dilakukan oleh D.H Cushing The Provident Sea. Chusing dalam karya
tersebut membahas kegiatan perikanan atlantik utara dan Pantai Pasifik bagian uatara
Amerika, ke dalam dua kategori utama yaitu perkembangan perikanan sebelum dan
sesudah adanya industrialisasi perikanan. Untuk selanjutnya Arthur F.M Cevoy dalam
The Fisherman’s Problem : Ecology and Law in the California Fisheries, 1850-1980,
membahas perkembangan kegiatan perikanan di California selama 130 tahun,
menganalisa kebijakan politik dengan pendekatan ekologis dan historis. Karya Raduan
Dari Pemungutan Tripang ke Penundaan Udang, Sejarah Perkembangan Perusahaan
Perikanan di Borneo Utara 1750-1990 membahas sebagai laut sebagai sumber daya yang
menyediakan komoditi bagi kpentingan perdagangan antar bangsa

C. Kerangka Konseptual
Pelabuhan merupakan seaward gates, yaitu tempat bertemunya pedagang yang
memasarkan komoditi hasil budidaya daratan yang dipertukarkan dengan komoditi dari
kawasan seberang. Pelabuhan juga merupakan lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi
kapal dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan,
dan penumpang. Rhoads Murpey membedakan pengertian pelabuhan menjadi dua, yaitu:
pertama dalam pengertian konsep fisik sebagai tempat berlabuh yang disebut harbour, dan
kedua dalam pengertian konsep ekonomi, yaitu sebagai tempat tukar menukar barang
komoditi antara hinterland dengan foreland yang disebut port. Dalam bahasa Indonesia
keduanya disebut dengan istilah pelabuhan yang mempunyai pengertian sebagai tempat
berlabuhnya perahu atau kapal.

Secara Topografis pelabuhan di pantai utara Jawa pada umumnya merupakan


pelabuhan alam, terletak pada muara sungai, pantai, ujung atau teluk. Pantai utara Jawa
mempunyai pantai Utara Jawa mempunyai pantai yang landai, memungkinkan banyak
tempat dapat digunakan sebagai tempat perahu untuk mendaratkan hasil tangkapannya.

Pilihan dari studi ini masalah pelabuhan perikanan, dengan inti perkembangan
pelabuhan dan perikanan. Pelabuhan pekalongan mulai awal abad ke-20 terus mengalami
kemunduran, namun mulai akhir tahun 1960-an terdapat fenomena baru berupa
peningkatan kegiatan perikanan, berkembang menjadi penopang Pelabuhan Pekalongan.
Perkembangan tersebeut berlangsung bersamaan dengan ditetapkannya penghentin impor

6
ikan, perubahan pendekatan pemasaran yang ditujukan bagi tersedianya ikan basah di
Jawa, perubahan preferensi dan daya beli yang didukung oleh teknologi distribusi, serta
adanya kemampuan lokal dalam menangkap peluang dari perubahan-peubahan tersebut.

7
BAB II

LINGKUNGAN ALAM DAN DINAMIKA KEBIJAKA TENTANG PELABUHAN


PERIKANAN

A. Faktor Alam Sebagai Penompang Kelangsungan Usaha Perikanan


Perainan Indonesia, sampai awal abad ke-20 memiliki sekitar 1.500-2.00 jenis
ikan salah satunya yaitu daerah Laut Utara Jawa. Oleh karena itu, disepanjang pantai
Utara Jawa dan Madura pada pada abad ke-20 sudah dikenal sebagai daerah yang
mempunyai banyak ikan, yaitu bagian utara Batavia, Karanwang, Perairan lepas
Pekalongan, Kendal, Jepara, perairan kepulauan Madura dsb.
Adapun jenis ikan yang banyak diperoleh di kawasan Laut Jawa antara lain:
ikan layur, tegiri, tongkol, kakap, belanak, bawal,teru, kembung, laying, bandeng,
petek dsb. Disamping kekayaan berupaka , aneka biotik laut dan lingkungan alam
juga menjadi faktor untuk menentukan berlangsungnya usaha penangkapan ikan.
Dimana pantai Utara mempunyai ciri pantai yang landau, berlumpur, dengan banyak
muara sungai, menjadikan kawasan disepanjang pantai dapat digunakan sebgai
pedaratan ikan hasil tangkapan nelayan. Beberapa lokasi yang dijadikan tempat
pendaratan antara lain: Labuhan Tanara, Batavia, Gebang, Sawojajar, Tegal,
Pemalang, Pekalongan, Kendal, Semarang dsb. Demikian juga dengan dua angina
muson yang secara teratur dalam setiap tahunnya, menjadikan nelayan dikawasan ini
menggunakan perahu yang dilengkapi dengan berbagai macam alat tangkap utuk
menangkap ikan dilaut.
Meskipun potensi Laut Jawa yang kaya ikan, namun demikan sampai akhir
tahun 1960 hasil tangkapan ikan belum dapat memenuhi kebutuhan ikan untuk
penduduk Jawa , bahkan sampai impor dari nelayan-nelayan luar pulau Jawa. Ha ini
dikarenakan jumlah nelayan dan metode penangkapan ikan yang masih menggunakan
alang tangkap ikan yang bersifat pasif/tetap. Alat tersebut ditaruh tetap sebagai
penangkap ikan dengan memanfaatkan air pasang surut. Hanya sepersepuluh nelayan
yang menggunakan alat yang bersifat aktif, yaitu alat yang dapat digerakkan untuk
mengejar tangkapan. Pada intinya yauti kurannya alat yang memadai.
Dalam hal pemasaran , selain dijual dalam bentuk ikan asin dan ikan kering,
ikan hasil tangkapan nelaya juga dijual dalam bentuk pindang, trasi, petis, kerupuk.
Sementara itu pemasaran ikan segar langsung kepada konsumen mengalami kesulitan

8
untuk menjangkau pasar yang terletak dipedalaman. Untuk itu ikan asin dan ikan
kering labih tahan lama sehingga dapat menjangkau daerah pedalaman adapun
pemasaran ikan asin ke daerah pedalaman dalam perkembangannya kemudian
sebagian besar dilakukan oleh pedagang Cina dengan memanfaatkan tranportasi
kereta.

B. Kebijakan Pemerintah Mengeai Pelabuhan


Pelabuhan pekalongan dibuka secara resmi pada tanggal 31 Mei 1859, sebagai
pelabuhan kecil, yang merupakan kebijakan dari Belanda pada tahun 1858 yang
memutuskan untuk membuka 19 pelabuhan kecil lagi. Selain dipekalongan dibuka
juga pelabuhan kecil di Jawa yaitu: Pelabuhan Cirebon, Anyer, Banten, Tegal,
Rembang, Pasuruan, Cilacap dsb. Untuk pelabuhan kecil diluar Jawa yaitu:
Pelabuhan Natal dan Pariaman. Dari 16 pelabuhan kecil yang dibuka di Jawa hanya 3
pelabuhan yang dijadikan sebagai pelabuhan kecil untuk perdagangan umum,
kegiatan ekspor dan impor, yaitu: Cirebon, Pasuruan, dan Cilacap. Sementara 13
pelabuhan kecil lainnya hanya untuk pelabuhan ekspor.
Kebijakan itu berlaku hingga 1873, ketika tarifwet ditetapkan sebagai
peraturan baru pada tanggal 13 Desember 1873 yang berisi ketentuan bahwa dalam
daerah tol Hindia Belanda pelabuhan-pelabuhan yang dibuka untuk perdagangan
umum, dibedakan dalam: (1) pelabuhan untuk ekspor-import dan (2) pelabuhan untuk
impor tarbatas dan ekspor umum. Peraturan pemerintah tahun 1873 segera diperbarui
lewat ordonasi 1 oktober 1882 mengenai pelabuhan-pelabuhan yang ditetapkan
pelabuhan umum untuk ekspor-impor.
Selama abad ke-19, pemerintah kolonia Belanda telah dapat mengontrol
hampir semua pelabuhan di Hindian Belanda, namun pada kenyataannya belum
mampu mengelola pelabuhan secara modern. Selama itu pengelolaan hanya
didasarkan atas kepentinga untuk melayani eksploitasi colonial sehingga target
perkembangan pelabuhan sebatas asal mendapat asal dapat melakukan eksploitasi
saja. Sehingga pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda harus berkiblat ke
Nederland yang dalam pengelolaan pelabuhan sudah modern sesuai dengan
perkembangan managemen pelabuhan-pelabuhan di negara-negara Eropa. Untuk
merealisasikan pandangan itu, Direktur Pekerjaan Umum Kotamadya Rotterdam,
yaitu G. J. de Joungh dan Y Kraus sesorang insinyur dari s-Gravenhage untuk
memeberikan ceramah-ceramahnya tentang managemen peabuhan modern di

9
Surabaya. Di samping memberikan ceramah-ceramah menegenai managemen jugan
memeberikan masukan bagi masalah yang bersifat teknis.
Untuk memeprlancar aktivitas operasioanal pelabuhan, ditata sedemikian rupa
sehingga konstinuitas program-programnya terjamin. Di samping itu semua dinas
pemerintahan dan lembaga swasta yang memepunyai kepentingan terhadap pelabuhan
harus memepunyaijalur koordinasi pemerintahan atas kuasa Departemen Pekerjaan
Umum melalui Dinas Pelabuhan yang dipimpin oleh seorang direktur pelabuhan.
Untuk itulah pada tahun 1911 dalam Departemen Pekerjaan Umum didirikan Dinas
Pelabuhan yang mekanismenya kerjanya terpisah dengan bagian yang lain. Jadi dalam
itu diberlakukan managemen baru atas pelabuhann-pelabuhan Hindia Belanda.
System managemen pelabuhan yang baru ini juga memberikan petunjuk baru
untuk mendirikan suatu komisi yang disebut “Komisi Bantuan” yang bertugas
memberikan nasehat dan masukan untuk pengelola pelabuhan baik teknis maupun non
teknis jadi bagi peabuhan-pelabuhan besar disamping memiliki seorang Direktur
Pelabuhan dan anggota direksinya, juga mempunyai sebuah komisi bantuan.
Pada tahun 1924, pemerintah kolonial membagi pelabuhan-pelabuhan kecil
menjadi dua kategori, yaitu peabuhan kecil yang dikelola sebagai perusahaan dan
pelabuhan kecil yang tidak dikelola perusahaan. Setelah tahun 1924 sebagian besar
yang sebelumnya sebagai pelabuhan menengah menjadi dikategorikan sebagai
pelabuhan kecil. Mengingat kenyataan bahwa jumlah pelabuhan kecil yang dikelola
sebagai perusahaan mempunyai masa depan yang cukup banyak dan tersebar di
berbagai wilayah di Hindia Belanda di satu pihak, dan terbatasnya ahli-ahli pelabuhan
yang dimiliki oleh pemerintah colonial di lain pihak, maka dibentuklah daerah
pembinaan pelabuhan.

C. Kebijakan Pemerintahan Sektor Perikanan


Kegiatan usaha perikanan pada akhir abad ke-19 ditandai dengan bergesernya
usaha penangkapan dari laut dalam lepas ke perairan dekat pantai. Hal ini sebagai
akibat banyaknya perahu besar mayang semakin berkurang dan tidak adanya
pembuatan perahu baru. Sehingga terdapat 33 saran yang pelu dilakukan yang dapat
dikelompokkan menjadi 11 saran penting berkaitan dengan perbaikan dan
pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara langsung, yaitu:
1. Pemberian pinjaman uang oleh pemerintah melaui bank khusu nelayan pribumi
tanpa beban bunga.

10
2. Mengatur pengadaan kayu utuk pembuatan perahu dengan harga murah.
3. Pembebasan ongkos pembuatan garam murah.
4. Perlunya orgaisasi penyelidikan perikanan secara alamiah.
5. Memberikan ketrampilan kepada nelayan.
6. Memperbaiki pengangkuta ikan.
7. Perbaikan pelabuhan-pelabuhan kecil dan melakukan pengerrukan muara sugai.
8. Membangun tempat pendaratan ikan, tempat pengeringan ikan dan pabrik
pengolahan ikan.
9. Perlunya perluasan daerah pemasaran denga suatu pusat usaha penjualan dengan
menghubungkan dengan daerah luar.
10. Membangun pasar ikan Tanjun Priok, suatu pasar ikan di Jakarta sebagai tempat
yang digunakan secara terus menerus.
11. Perlunya dicoba untuk mengadopsi teknik penangkapan ikan seperti di Eropa atau
model Jepang, dengan motor dan perahu motor.

Salah satu upaya untuk mengadopsi teknik penagkapan, mulai tahun 1907
dilakukan penelitian dan percobaan menggunakan jarring tangkap dengan
menggunakan jarring yag lebih besar dan modern. Percobaan ini tidak dapat
dipertahankan karena tidak efektif. Akan tetapi terdapat pengaruh inovasi pada
nelayan local, yang berusaha merapatkan mata jarring pada kantong, sehingga jarring
dapat menangkap ikan termasuk ikan kecil. Akibatnya telah menimbulkan
kekhawatiran terhadap deposit sumber ikan.

Dalam staatsblad 1935 no. 479 dn tahun 1937 no.570, mengenai peraturan
penangkapan ikan. Dimana penangkapan ikan tidak boleh lebih dari 3 mil lepas
pantai, ditambah dengan ketentuan, penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai
harus dilakukan dengan ijin pemerintah.
Kegiatan penangkapan ikan nelayan Jepang sering menjadi obyek kecurigaan
pemeritah Hindia Belanda yang menganggap nelayan tersebut dari kolone V yang
bekerja untuk angkatan laut Jepang. lebih-lebih aktivitasnya terkonsentrasi di
perairan Timur Hindia Belanda. Bagi nelayan Pribumi, penangkapan nelayan Jepang
di kawasan tersebut diangga telah merampas mata pencaharian mereka, karena
nelayan Jepang juga mengambil hasil laut seperti kerang bola, toka, tripang, dan telur
penyu.

11
Kegiatan yang dilakukan oleh 6 orang Jepang dari kantor shcho dan 4 orang
Indonesia jadwal kegiatan sangat padat yaitu dari jam 7 pagi hingga 22.30. akibatnya,
aktivitas perikanan meurun drastis.
Sejak bubarnya kedudukan Jepang, urusan laut disatukan dengan urusan
perikanan darat. Namun mulai bulan januari 1949, kedua Jawatan tersebut dipisahkan
lagi. Dumaksudkan sebagai Jawatan bagi kepentingan umum untuk meingkatkan
kesejahteraan nelayan da pedagang ikan. Tugas Jawatan Perikan Laut terdiri dari dua
bagian yaitu bagian pengetahuan teknis, dan bagian sosial ekonomi. Jawatan laut
merupakan aparat untuk mencari dan menyelidiki tempat-tempat baru penangkapan
ikan, mecoba dan memperbaiki cara penangkapan, menyelenggarakan usaha
percobaan motorisasi usaha perikanan menggunakan perahu layar, mengatur dan
diatribusi bahan-bahan untuk kepentingan perikanan khususnya yang didatangkan dari
laut.
Perkembangan yang menarik lainya adalah pada sector kredit yang diberikan
kepada nelayan. Sejak tahun 1957 sampai 1959 telah dikeluarkan kredit sector
perikanan sebnyak 15 juta oleh PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian
menjadi Bank Kredit Tani Nelayan (BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana
pembangunan masyarakat nelayan Indonesia. Dalam pemberian kredit kepada nelayan
diberlakukan system baru, yaitu system jaminan produksi. System ini sesuai dengan
dengan gerakan koperasi dan gerak irama revolusi.
Pada tahun 1961, pemeritah mengambil kebijakan pentig dalam sector
perikanan, yaitu dengan memberikan ijin untuk impor ikan dari Vietnam Selatan,
Siam , Malaya, dan Singapura. Hal ini didasari oleh peningkatan produksi ikan dalam
negeri, sehingga dengan keluarnya keputusan tersebuttidak mempengarui
penyediakan ikan di dalam negeri. Keputusan Presiden RI No. 94 tahun 1962
mengatur mengenai regrouping cabinet, ditentukan susunan cabinet yang anatara lain
terdapat mentri agrarian dan pertania , departemen yang semula merupakan dua
departemen yang masing-masing berdiri sendiri. Bentuk kebijakan lain adalah
menjadikan perkumpulan perikanan yang ada dalam koperasi perikanan.

Sejalan dengan lahirnya Undang-undang No. 1/1967 tentang penanaman


modal asing segala fasilitas, kelonggaran dan keringan yang disediakan, menimbulkan
perhatian yang cukup menarik bagi pemodal asing, khusunya di sector perikanan.

12
Keikutsertaan pemodal asing telah membuka lembaran baru dalam pembangunan
ekonomi nasiona dan sejarah pembangunan perikanan di Indonesia.

Sejak tahun 1970-an volume hasil penangkapan mengalami peningkatan, akan


tetap kenaikan hasil tersebut diikuti oleh kerusakan lingkungan hayati laut dan makin
terdesaknya penghidupan nelayan kecil, sehingga kemudian muncul pengaturan
dalam bentuk SK no:01/kpts/um/1975 tertanggal 2 januari mengenai pembeniaan
kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikan Indonesia. Ketentuan
tersebut ditidak lanjuti dengan SK Menteri Perikanan No: 607/kpst/um/9/1976
tertanggal 30 september tentang jaur-jalung penangkapan ikan.

13
BAB III

KEGIATAN PERDAGANGAN DAN PERIKANAN DI PELABUHAN


PEKALONGAN

A. Pekalongan Sebagai Kota Batik dan Sosial Ekonomi Masyarakatnya


Menyebut Pekalongan, orang akan segera mengaitkan dengan batik. Dalam
masyarakat Jawa, batik merupakan seimbol kekayaan yang mencerminkan nilai
tradisional, yang berperan penting sebagai satu dari aspek kesempuranaan dari
kebudayaan. Pekalongan dikenal sebagai kota Batik, karena merupakan pusat utama
dari kerajinan batik. Dalam kaitannya dengan itu, pembuatan tenun juga memiliki
peranan yang penting bagi Pekalongan, sehingga Pekalongan telah menjadi satu
tempat titik persilangan dan pertukaran tenun. Pendapat semacam itu tidaklah keliru,
karena batik Pekalongan sejak lama telah dikenal luas. Batik merupakan identitas dari
Pekalongan. Broeresma menyatakan bahwa pada awal abad ke-20 kota Pekalongan
diwarnai dengan batik yang dibuat oleh penduduk pribumi dan Cina. Meskipun usaha
batik bukan merupakan industry besar, tetapi Hindia Belanda batik telah digunakan
sejak lama. Sedangkan untuk kain dan sarung yang dihasilkan oleh pengrajin di
Pekalongan dikirim ke mana-mana. Batik Pekalongan merupakan usaha kerajinan
tangan yang terus berkembang. Selain bermanfaat bagi penduduk kota Pekalongan,
batik juga dikenal sebagai usaha kerajinan seni yang bersahabat, dan kerajinan seni
komunal yang dikuasai penduduknya. Kerajinan tenun Pekalongan yang merupakan
kerajinan tenun tradisional, kebanyakan dimiliki oleh haji. Kain yang digunakan di
Pekalongan selain ditenun sendiri, juga di impor dari Belanda, Italia, Inggris, Austria,
dan Jerman.

Bagi masyarakat Pekalongan secara lebih luas, pengusaha batik merupakan


salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan penting. Dalam struktur
sosial, kelompok ini merupakan kelompok elit yang memegang peranan penting
dalam sektor ekonomi. Sebagai kelompok dengan profesi pengusaha dan pedagang,
mereka dalam menjalankan profesinya menjalin hubungan dengan kelompok sosial
yang luas dari berbagai daerah. Jalinan hubungan bisnis yang luas dan kemampuan
ekonomi yang dimiliki, maka kelompok ini merupakan kelompok dalam masyarakat
yang memerlukan informasi mengenai perkembangan terhadap masalah-masalah yang
luas. Kegiatan dagang pada saat itu tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan

14
politik secara luas. Oleh karena itu, pedagang di Pekalongan juga berperan menjadi
sponsor dari terbitnya “Pelita Dagang”. Majalah ini diterbitkan oleh Batikhandel M.
Djarcasie & Co. yang beralamat di Jalan Panjang No. 183 Pekalongan. Dalam
riwayatnya, pada permulaan tahun 1924 Pelita Dagang terbit secara bulanan, dan
mulai pertengahan tahun 1924 terbit setahun dua kali, kemudian terbit tiga bulan
sekali. Pelita Dagang kemudian menjadi surat kabar umum, dengan nama “Soeara
Hindia”. Pimpinan Redaksinya adalah Parada Harahap, dengan redaksi di Pekalongan
M.D Semail dan Reksosoemitro Jr.

B. Pelabuhan Niaga Pekalongan sebagai Pelabuhan Kecil


Pelabuhan Pekalongan dibangun hampir bersamaan dengan pembangunan
kantor Residen Pekalongan, gedung sekolah dan gereja pada pertengahan abad ke-19,
tepatnya tahun 1852. Sementara itu, peresmiannya dilakukan pada tanggal 31 Mei
1859, sebagai pelabuhan umum untuk kepentingan ekspor-impor. Letak pelabuhan ini
berada tepat pada muara Kali Pekalongan atau sungai Pekalongan. Melihat letak
pelabuhan yang ada di kawasan muara sungai, tempat tersebut sebelum dibangun
sebagai pelabuhan secara permanen sangat mungkin telah digunakan sebagai tempat
keluar masuk perahu oleh masyarakat sekitar. Dengan demikian, secara fungsional di
tempat tersebut telah ada pelabuhan kecil di muara sungai. Hal semacam ini juga
terjadi di pelabuhan lain, bahwa pembangunan yang dilakukan adalah melengkapi dan
memperbaiki pelabuhan alam yang telah ada. Hanya saja terdapat kesulitan untuk
memperoleh sumber sejarah tertulis sejaman.
Pembanguna Pelabuhan Pekalongan dilengkapi sarana pelabuhan seperti
menara suar, pir penahan gelombang, gedung kantor, dan bangunan gudang.
Bangunan menara sebagai petunjuk posisi dari pelabuhan bagi kapal-kapal yang akan
memasuki pelabuhan khususnya pada malam hari. Kemudian pir penahan
gelombangdi kanan dan kiri dari muara sungai dimaksudkan agar batas-batas tepian
sungai tidak terkena erosi ketika ada gelombang pasang-surut dari laut, dan juga arus
gelombang akibat gerak dari kapal. Bangunan gedung kantor sebagai tempat
penyelenggaraan administrasi kegiatan pelabuhan. Kemudian bangunan gedung
digunakan untuk gudang sebagai tempat penyimpanan sementara barangyang akan
dikapalkan atau barang yang diturunkan dari kapal.
Perkembangan lalu lintas niaga laut memasuk abad ke-20 memengaruhi
keberadaan Pelabuhan Pekalongan. Bagi pelabuhan Pekalongan perluasan lalu lintas

15
laut justru merupakan ancaman. Beberapa orang Cina Pekalongan yang memiliki
banyak modal biasa membeli tembakau dari Weleri dan Batang, menimbun tembakau
di Pekalongan. Namun demikian, pangapalan komoditi-komoditi tersebut tidak
dilakukan di Pelabuhan Pekalongan, akan tetapi mereka lebih sering melakukan
pengiriman dengan menggunakan kereta api untuk dibawa ke Cirebon, dan dari sana
dikapalkan ke Batavia dan Singapura. Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan laut
sangat mungkin kurang menguntungkan dibandingkan dengan Semarang. Kondisi
dermaga selalu mengalami gangguan akibat faktor alam. Sejak awal pembukaan
pelabuhan ini telah dikeluhkan atas kemerosotan dan tidak ada penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah, karena tidak ada usaha yang dilakukan untuk mencegah
lebih lanjut kemerosotan pelabuhan utama. Keluhan semacam itu telah muncul pada
tahun 1858, ketika 16 pelabuhan di Jawa telah di buka bagi perdagangan umum,
termasuk Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Dana perawatan pelabuhan diberikan, akan
tetapi dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan. Pada pelayaran pantai,
beberapa kapal uap terlihat, akan tetapi sebagian besar lalu lintas dilakukan
menggunakan kapal layar eropa dan pribumi. Pelayaran perahu sendiri di Pekalongan
semakin sulit. Penyebabnya pelabuhan ini merupakan muara sungai. Tempat
bertemunya sungai dengan laut dipenuhi dengan timbunan pasir. Kerasnya ombak
selama satu tahun tidak dapat menimbun muara sungai.
Pada tahun 1903 dan 1904 kondisinya lebih baik, karena adanya arus sungai
yang kuat sehingga penimbunan pasir dapat dicegah oleh alam. Namun demikian,
pada tahun 1905 kondisi menjadi lebih parah dari tahun sebelumnya, seolah-olah
usaha pengerukan tersebut tanpa membawa hasil. Jika pada tahun 1903 dermaga
terbebad dari timbunan pasir, pada tahun 1905 dermaga itu sudah tertimbun pasir dan
tidak bermanfaat lagi. Penimbunan pasir di sebelah timur sangat tinggi, sehingga
mencapai bagian atas dermaga itu; dan sejak itu gelombang telah menimbun pasir
pada saluran depan dermaga. Namun demikian, proyek pengerukan pelabuhan
Pekalongan tidak dihentikan. Pada tahun 1906, dilakukan perpanjangan dermaga
pelabuhan timur sekitar 200 meter. Maksud dari perpanjangan dermaga tersebut untuk
menghambat pasir di dermaga.

C. Kegiatan Perikanan di Lingkungan Pelabuhan Pekalongan


Secara topografis pantai Pekalongan memiliki kelebihan dibandingkan dengan
pantai di sebelah baratnya. Pada musim angin muson barat, pasir akan tertimbun

16
banyak di bagian barat; seperti pantai di daerah Brebes. Sedangkan di daerah
Pemalang, letak dan keadaan pantai sedemikian rupa sehingga pada musim angin
timur akan menyebabkan pasir di sebelah timur terbawa arus putaran justru ke barat.
Kecuali secra topografis, letak tempat tambatan perahu di pelabuhan Pekalongan
dengan pemukiman nelayan juga mempunyai beberapa kelebihan. Dibandingkan
dengan tempat tambatan perahu di pelabuhan perikanan sekitarnya, penempatan
perahu nelayan di Pelabuhan Pekalongan lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Sedangkan untuk perahu-perahu nelayan di Wonokerto Wetan dan Wonokerto Kulon,
Bebel dan Api-api berada di sungai kecil Mrican Lama, terletak dua setengah
kilometer dari pantai. Di Tretebang perahu berada di Sungai Tretebang yang berjarak
tiga kilometer dari desa tempat tinggal.
Pelabuhan Pekalongan juga menerima kiriman ikan asin dan ikan kering dari
Jepara, Karimunjawa, dan Bagansiapiapi, yang kemudian diangkut ke pedalaman
Jawa oleh pedagang Cina. Hasil ikan dari Pekalongan dipasarkan ke daerah sekitar.
Pelabuhan Pekalongan juga didatangi beberapa perahu perikanan dari daerah lain
seperti Pemalang, Brebes, Wonokerto, Batang. Walaupun kolam pelabuhan
Pekalongan memperoleh gangguan dari adanya lumpur yang dibawa oleh arus Sungai
Pekalongan, kegiatan perikanan di cabang Pelabuhan Pekalongan, alur pelayaran
relatif terpelihara dengan digunakannya mesin pengeruk lumpur milik pemerintah.
Sampai dengan akhir pemerintahan colonial, kegiatan perikanan di Pelabuhan
Pekalongan merupakan bagian dari administrasi kegiatan organisasi perikanan di
Wonokerto Kabupaten Pekalongan.

17
BAB IV

AWAL PERKEMBANGAN KEGIATAN PERIKANAN DI PEKALONGAN (1942-


1945)

A. Peran Pelabuhan dan Organisasi Nelayan pada Masa Pendudukan Jepang


(1942-1945)
Adapun Pelabuhan Pekalongan pada masa tersebut digunakan untuk menambatkan
kapal perang milik Jepang dan juga sebagai tempat bersandar perahu niaga antar pulau.
Perubahan sistem administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan Jepang
mempengaruhi terhadap urusan pelabuhan.Pada tahun 1943, di Pekalongan terdapat
kegiatan perikanan yang menarik berupa latihan perikanan (Gyomin Dojo). Adapun
mengenai organisasi perkumplulan nelayan pada masa tersebut ditingkat lokal tidak
banyak informasi yang diperoleh. Nelayan ditekan dan di paksa dengan keharusan
menyerahkan sejumlah hasil perolehan kegiatan dari penangkapan ikan. Meskipun
organisasi nelayan pada masa kependudukan Jepang meninggalkan kisah pedih dalam
kehidupan ekonomi dan sosial, namum jika ditinjau dari tujuan penyelenggaraannya,
bentuk pengerahan bantuan dengan pemaksaan model Kumiai menunjukkan sukses
besar.

B. Kehidupan Nelayan di Sekitar Masa Revolusi sampai Tahun 1960


Sumber lisan dari informan memperkirakan bahwa pada awal tahun 1950-an di
Pelabuhan Pekalongan terdapat sekitar 75 perahu kolek dan 25 jukung. Sedangkan
jumlah nelayan pada tahun 1950-an tersebut berjumlah 350 orang. Mengenai keadaan
lingkungan tempat tinggal nelayan pada masa tersebut tidak banyak diketahui, kecuali
sebagian peristiwa yang masih di ingat ketika terjadi kebakaran di kampung nelayan pada
tahun 1950-an. Kegiatan perikanan di lingkungan Pelabuhan Pekalongan mulai tahun
1960 memperlihatkan perkembangan yang meningkat, dan telah mendorong adanya
upaya pemisahan urusan perikanan oleh kelompok yang ada di Kotamadya Pekalongan
sendiri. Hal itu dibuktikan dengan adanya pemindahan rumah-rumah di sekitar pelabuhan
di pindah ke pemukiman kelompok nelayan. Untuk selanjutnya areal kawasan pelabuhan
digunakan khusus untuk penambahan fasilitas perikanan.

18
C. Menuju Ekonomi Berdikari di Sektor Perikanan (1950-1967)
Dalam pembenahan organisasi koperasi yang sebelumnya hanya terbatas bagi pemilik
perahu, kemudian tahun 1953 keanggotaannya di perluas bagi semua nelayan yang ikut
dalam proses produksi. Pada tahun 1953 juga muncul gagasan pada tingkat supra-lokal
yang cukup penting berupa suatu resolusi nelayan yang isinya menuntut kepada
pemerintahan supaya membentuk suatu Departemen Perikanan sendiri. Sebagaimana
telah disebutkan dimuka perkembangan menarik sektor perikanan di Pelabuhan
Pekalongan mulai tahun 1960-an, yang ditandai dengan berdirinya KPL Makaryo tahun
1962. Yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah tahun1961 berupa pemberhentian
ijin impor ikan Vietnam Selatan, Siam, Malaya dan Singapura. Meskipin demikian,
penghentian impor ikan tersebut telah menghasilkan keuntungan berupa peghematan
devisa. Pemerintah dapat menghemat devisa dan dapat menggunakan untuk mengimpor
alat-alat perikanan.
Sejalan dengan pelaksanaan prinsip Berdikari dalam memenuhi kebutuhan ikan,
Pemerintah Tingkat I Jawa Tengah membuat peraturan yang menetapkan bahwa semua
ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang telah ditunjuk untuk
di jual secara lelang. Walaupun demikian, kebijaksanaan koperasi perikanan yang
bertujuan memberikan peningkatan kesejahteraan pada nelayan tersebut dalam
pelaksanaannya berhadapan dengan sistem yang telah ada sebelumnya, yaitu sistem ijon.
Pada pengaturan pelaksanaan lelang ikan oleh koperasi baru menjangkau untuk ikan
basah.
Dominasi kekuasaan tersebut mulai memperoleh tentangan oleh perkembangan
kondisi perpolitikan yang anti terhadap kekuasaan asing. Nama besar Ek Hoo Goan pada
tahun 1965 terpaksa diganti menjadi Persatuan Pengusaha Hasil Perairan Indonesia atau
Perpain. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa lanhkah-langkah kebijaksanaan untuk
penghentian impor ikan lebih didasarkan pada aspek politik, maka pelaksanaan
operasionalnya belum dapat terwujud sepenuhnya.

D. Peran Modal Asing di Sektor Perikanan


Dalam kaitanya dengan modal asing untuk usaha perikanan, Pekalongan merupakan
salah satu wilayah yang tertutup bagi penanaman modal asing. Sebagaimana kebijakan
Dirjen Pokala yang bertujuan melindungi nelayan rakyat, telah menetapkan daerah-
daerah yang tidak boleh diberikan dalam rangka penanaman modal asing dalam
penangkapan ikan. Namun demikian sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing terdapat corak usaha perikanan secara nasional skala
19
besar yang dalam praktiknya terjadi penyimpangan yang mengakibatkan adanya
singgungan dengan kegiatan usaha perikanan rakyat.
Kegiatan penangkapan oleh penanaman modal asing di sektor perikanan pada
awalnya belum ada ketentuan yang bersifat membatasi, sehingga mereka juga melakukan
penagkapan di daerah dekat pantai yang mepunyai potensi ikan, terutama udang.Disisi
lain penanaman modal asing mendapatkan perhatian sangat baik. Pada tahun 1967 sudah
terdapat 19 perusahaan asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

E. Regulasi Penagkapan sampai Penghapusan Trawl


Surat Keputusan Walikotamadya Pekalongan No. 623.4/81/1980 tertanggal 16
September 1980 tentang pembentukan Tim Pelaksana Penghapusan Jaring Trawl
merupakan hasil dari proses panjang dan berjenjang. Dalam pelaksanaan di lapangan,
pengawasan tidak dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga menyebabkan terjadinya
pelanggaran penggunaan alat dan daerah operasi. Hal tersebut telah menyebabkan
keresahan yang menimbulkan bentrokan antara nelayan besar dengan nelayan kecil di
berbagai tempat. Kondisi tersebut telah melatarbelakangi dikeluarkannya ketetapan yang
melarang beroperasinya jaring trawl, sebagaimana yang dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia no 39 Tahun 1980 tertanggal 1 Juli 1980.
Adapun regulasi sebagaimana yang dimaksud dalam Surat Keputusan Menteri
Pertanian no: 01/Kpts/Um/1/1975 tertanggal 2 Januari 1975 tentang Pembinaan
Kelestarian Kekayaan yang terdapat dalam Sumber Perikanan Indonesia, berupa
pembatasan dan pengendalian. Pembatasan dilakukan dalam bentuk :
1. Penutupan daerah-daerah perairan laut tertentu bagi salah satu, beberapa atau
semua jenis kegiatan penangkapan,
2. Penutupan musim tertentu atas sebagian atau seluruh daerah penagkapan bagi
salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penagkapan,
Kemudian pengendalian kegiatan penangkapan berupa :
1. Penentuan jenis, ukuran dan jumlah kapal yang akan di operasikan,
2. Penentuan lebar mata jaring dan jenis peralatan penangkapan lainnya,
3. Penentuan kuota hasil penangkapan.
Keputusan Mentri Pertanian No.: 607/Kpts/Um/9/1976 tertanggal 30 September 1976
tentang Jalur-jalur penangkapan ikan, yang menentukan dengan perincian lebih lanjut :
1. Jalur penagkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari
titikterendah pada waktu air surut,

20
2. Jalur penagkapan II, adalah perairan selebar 4mil laut yang diukur dari garis
luar jalur penagkapan I;
3. Jalur penangkapan III, adalah perairan 5 mil laut yang diukur dari garis luar
jalur penagkapan II, dan
4. Jalur penagkapan IV, adalah perairan di luar jalur penagkapan III.

F. Dari Sekolah Perjuangan ke Do School Perikanan Pekalongan


Dilandasi akan sadarnya kepentingan tenaga terdidik dalam bidang perikanan
maka dalam suasana kencah revolusi didirikan Sekolah Perikanan yang disebut
Sekolah Perjuangan. Dalam menunjang pembangunan perikanan selama Pelita 1
masih dirasakan adanya kekurangan menyangkut rendahnya technical skill dan
management know yang dimiliki oleh nelayan pengusaha terutama dalam menghadapi
pemakaian teknologi baru dan sistem yang lebih produktif dan efisien.
Pemerintah Kotamadya Pekalongan memandang perlu untuk membentuk dan
meyelenggarakan Do school / Nelayan dalam wilayahnya. Do school dimaksudkan
untuk mempersiapkan tenaga-tenaga muda untuk didik sebagai kader-kader nelayan
yang tangguh di samping untuk menggantikan generasi tua yang meninggalkan
lapangan perikanan. Bahwa tenaga ahli bidang perikanan baik didalam penangkapan
ikan maupun dalam pengolahan hasil-hasil perikanan dirasakan belum mencukupi
sesuai dengan kebutuhan proyek, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
kemajuan mekanisasi di bidang perikanan laut dan tidak ada tenaga-tenaga ahli yang
terdidik, maka dari itu sangat penting sekali dengan ada nya penyelenggaran Do
School.
Adapun mata pelajaran Do School Nelayan terbagi ke dalam mata pelajaran
pokok, mata pelajaran penting, dan tambahan. Mata pelajaran pokok meliputi :
Pengantar Perikanan Laut, Pengetahuan Bahan dan Cara Pembuatan Alat Penangkap
Ikan, Teknik Penangkapan, Pengawetan Ikan dan Hasil Laut lainnya, Marketing, dan
Home Industri. Mata Pelajaran penting meliputi : Pelayaran dan Kecakapan Pelaut,
Motorisasi / Permesinan, Administrasi / Organisasi / Koperasi, Perikanan Tambak
Modes/Pelita. Mata pelajaran pelengkap meliputi : Pengetahuan Bahari, Kesehatan,
Pendidikan Jasmani dan ceramah-ceramah.

21
BAB V

DARI PELABUHAN KHUSUS PERIKANAN MENJADI PELABUHAN PERIKANAN


NUSANTARA PEKALONGAN (1974-1978)

A. Jatidiri Status dan Fungsi Pelabuhan


1. Proses Perubahan Status dan Peruntukan Pelabuhan

Direktur Jendral Perikanan pada tanggal 20 Agustus 1973 mengirimkan surat


permohonan kepada Menteri Perhubungan yang isinya mengajukan permohonan
supaya status Pelabuhan Pekalongan diubah menjadi pelabuhan khusus perikanan.
Perubahan ini dikarenakan semakin meningkatnya usaha-usaha perikanan di Pelabuhan
Pekalongan, sehingga banyak melayani kapal-kapal perikanan dan hal ini
menyebabkan tidak berfungsinya Pelabuhan Pekalongam sebagai pelabuhan niaga.

Perubahan status ini merupakan lanjutan dari serangkaian peristiwa lokal di


Pekalongan sebelumnya. Dimana ide perubahan status ini tidak lepas dari keinginan
unuk mengembangkan Pelabuhan Pekalongan. Sejalan dengan hal itu maka
diadakannya seminar membahas upaya pengembangan pelabuhan perikanan yanh
dihadiri oleh beberapa pejabat dan golongan cendekiawan. Seminar ini menghasilkan
serangkaian rumusan, termasuk potensi Pekalongan untuk mengembangkan kegiatan
perikanan. Hasil seminar tersbut kemudian diajukan kepada DPRD Tk II untuk
memperoleh dukungan secara politis, dan anggota Dewan pun memberikan kata setuju.

Ada dua peristiwa penting dalam tonggak sejarah Pelabuhan Pekalongan, yang
pertama penentapan Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuha khusus perikanan tahun
1974 dan yang kedua adalah peningkatan status pelabuhan sebagai Pelabuhan
Perikanan Nusantara pada 1978. Berdasarkan SK Menteri Perhubunhan No.1 Km
188/0/Phb-74, Pelabuhan Pekalongam statusnya diubah menjadi pelabuhan khusus
perikanan yang dikelola dan diselenggarakan oleh Departemen Pertanian cq.
Direktorat Jendral Perikanan. Seperti dijelaskan diawal bahwa kondisi Pelabuhan
Pekalongan sampai awal tahun1960-an dalam kondisi tidak terpelihara, hal ini
dikarenakan adanya persainagan dengan Pelabuhan di Tegal sehingga menjadikan
Pelabuhan Pekalongan bukan sebagai pelabuhan utama bongkar muat.

22
2. Pembenahan Awal Sarana Pelabuhan

Dengan ditetapkannya Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan khusus


perikanan, pelabuhan ini menjadi pelabuhan perikanan pertama yang menerima dana
pembangunan dari APBN Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dalam kurun waktu 1
tahun terakhir sebesar Rp. 150.000.000,-. Dimana pengerukan muara Sungai Pekalongan
ini nampaknya menjadi kebutuhan utama yang diajukan oleh Koperasi Perikanan Laut
(KPL) pada 05 Maret 1975, yang melaporkan bahwa saat itu kondisi sungai mengalami
pendangkalan sehingga menyulitkan kapal penangkap ikan dan pembawa kayu, buah-
buahan sulit masuk dan merusak kapal.

Sebelum ditetapkan menjadi pelabuhan khusus perikanan, Pelabuhan Pekalongan


merupakan pelabuhan umum kecil kelas empat yang digunakan sebagai bongkar muat
barang antar pulau dan wilayah. Karena kurang mendapatkan perhatian berupa
pengerukan endapan lumpur, meyebabkan kondisi pelabuhan ini memperihatinkan.
Dengan adanya serah terima peruntukan Pelabuhan Pekalongan ini secara tidak
langsung merubah status, fungsi dan keadaan dari pelabuhan secara tidak langsung.

Serah terima peruntukan kapal di Pelabuhan Pekalongan ini merupakan hal


pertama yang selanjutnya diikuti oleh penyerahan pelabuhan-pelabuhan lainnya.
Dimana Pelabuhan Pekalongan ini akhirnya berfungsi sebagai tempat memulainya
kegiatan persiapan penangkapan menuju lait dan sekaligus tempat untuk mengakhiri
kegiatan setelah melakukan penangkapan ikan. Sehingga ditemoat ini mulai tersedia
banyak kebutuhan dan alat yang digunakan untuk melancar kegiatan tersebut. Dengan
demikian, peran strategis dari Pelabuha Pekalongan dapat memperlancar arus pemasaran
ikan dari nelayan sebagai produsen kepada pedagang untuk sampai ke konsumen.
Sarana dan prasarana yang tersedia di pelabuhan merupakan faktor penunjang
berkambangnya sektor perikanan secara lebih luas.

3. Beberapa Kelebihan Pelabuhan Perikanan Pekalongan

Keberadaan pelabuhan perikanan untuk dapat berkembang tidaklah terlepas dari


beberapa kelebihan yang dimilikinya. Disamping kebijakan makro, faktor yang lebih
khusus berupa jalinan antara faktor alam dengan kemampuan sosial masyarakat, juga
menjadi faktor utama yang membawa Pelabuhan Pekalongan berkembang pesat.
Beberapa faktor tersebut antara lain:

23
a. Letak topografis dan geografis pelabuhan
Letak pelabuhan merupakan faktor alam yang turut menentukan
keberlangsungan suatu pelabuhan. Pelabuhan Pekalongan terletak di muara
Sungai Pekalongan, berada di wilayah pantai yang secara topografi mempunyai
beberapa kenggulan. Wilayah Pekalongan yang lengkung kedalam, menyerupai
teluk besar, tepatnha berada di tengah dari pantai utara Jawa. Dimana bagian
timur menjorok ke arah Jepara dan bagian barat ke arah Cirebon. Dimana kondisi
ini menyebabkan wilayah pantai Pekalongan bebas dari tumpukan pasir oleh arus
angin seperti yang dialami oleh perairan Brebes.
Selain itu letak pangkalan perahu di pelabuhan ini juga dekat dengan
pemukiman, kira-kira hanya sekitar 1 km berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan
lain yang mana jarak antara pelabuhan dengan pemukiman begitu jauh.
b. Status wilayah pelabuhan
Status ini merupakan pembuka jalan, dengan adanya status vbaru
berupa Pelabuhan Khusus Perikanan ini menyebabkan pelabuhan di
Pekalongan berkembang pesat.
c. Dukungan kemananan
Faktor keamanan telah mendorong kelancaran usaha yang membawa
keberhasilan di Pelabuhan Pekalongan. Faktor keamanan di pelabuhan inj
didukung oleh faktor keamanan khusus Primkopal yaitu Primer Koperasi
Angkatan Laut.
d. Kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah berupa pemberian dana untuk pembangunan
sarana prasaran dan pembuatan kebijakan yang menguntungkan dalam
kegiatan pelabuhan menyebabkan pelabuhan Pekalongan berkembang pesat.
Perubahan fungsi pelabuhan merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang
paling mendasar dan berdampak luas pada perkembangnnya.
e. Ketersediaan pemodal lokal
Perkembangan usaha perikanan pada tahun 1970-an merupakan usaha
yang sangat menguntungkan karena memberikan hasil yang besar dalam
waktu singkat. Sumber kekayaan yang melimpah perlu diusahakan dan
dikembangkan secara efektif, memungkinkan para pemodal untuk
menanamkan modalnya tentu sangat mengiurkan. Berita keberhasilan ini

24
menimbulkan minat para pengusaha dari Buaran, Pekajangan dan Pedagang
Cina untuk melibatkan diri pada usaha perikanan.
Dengan demikian, usaha perikanan di Pekalongan pada mulanya
berkembang sebagai usaha yang memerlukan modak yang cukup besar dari
masyarakat sekitar yang telah lama mempunyai jiwa wirausaha dan memiliki
modal besar, baik dari pribumi ataupun etnis China.
f. Teknologi yang digunakan
Faktor kesediaan teknologi merupakan faktor pendukung yang
mendorong berkembangnya Pelabuhan Pekalongan. Penghapusan trawl pada
tahun 1980 membuat Pekalongan dikembangkan teknologi baru yang berupa
mini pursre seine. Trawl yang awalnya dikenalkan oleh Belanda digantika
oleh teknologi mini purse seine yang dikenalkan oleh Jepang.
Dengan mutu dan kualitas kapal serta alat purse seine yang digunakan
nelayan Pekalongan mempunyai kemampuan menjangkau daerah
penangkapan atau fishing ground lebih luas seperti di kepulauan Natuna,
Masalembo, Selat Karimata, dengan waktu penangkapan yang semakin
panjang antara 15-21 hari.
g. Kemampuan pengembangan sistem pembayaran lelang sebagai respon
atas kepentingan nelyan untuk memperoleh uang secara pasti dan tunai.

B. Perkembangan Perikanan di Pelabuhan Pekalongan dan Pelabuhan Perikanan


di Sekitarnya
Kegiatan perikanan di Pekalongan memperlihatkan perkembangan yang sangat
berati mulai awal tahun 1970an. Dengan dibukanya Pelabuhan Pekalongan sebagai
Pelabuhan Khusus Perikanan menanjak rata-rata 50% per tahun dari tahun 1970 sampai
tahun 1974. Perolehan hasil produksi perikanan di Pekalongan lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah Batang yang cenderung menurun.

Di kabupaten Pekalongan, jumlah juragan darat (pemilik), juragan laut (jurumudi)


mulai mengalami penurunan, sedangkan pandega (ABK) mulai mengalami peningkatan
baik pandega tetap ataupun sambilan. Kenaikan pandega ini disebabkan oleh datangnya
kapal-kapal besar dari Bangsiapi-Api. Kabupaten Pekalongan yang awalnya mulai ramai
mulai terdesak dan beralih ke Kotamadya Pekalongan, akibatnya desa-desa nelayan mulai
sepi. Juragan yang awalnya mengalami kejayaan mulai mengalami kemunduran.

25
Akhirnya kebanyakan dari mereka beralih menjadi pandega, sehingga hal inilah yang
menyebabkan jumlah pandega mengalami peningkatan sedangkan juragan menurun.

Pelabuahan perikanan merupakan simpul kegiatan perikanan dalam skala


nasional. Oleh karena itu, mulai dilakukan pembangunan fasilitas pelabuhan, berupa
tempat pelelangan ikan dan sarana pelabuhan perikanan lainnya. Untuk melakukan
pengembangan terdapat masalah yang kaitannya dengan jaringan transportasi penunjang
yang menghubungkan pelabuhan dengan jalan regional maupun simpul-simpul kegiatan
perikanan lainnya dipantai utara.

Letak pelabuhan yang berada di Kotamadya, membuatnya berada dekat dengan


simpul utama jalur transportasi pantai utara Jawa, jalur Semarang-Jakarta yang
merupakan bagian dari Grote Posiweg yang dibangun oleh Herman Willem Daendels.
Dimana jalur Anyer-Panarukan yang dibangunnya memiliki tujuan utama dalam
kaitannya dengan kepentingan politik pertahanan dan ekonomis, namun juga berdampak
kepada struktur pemukiman bahkan pembenahan adminitrasi pemerintahan desa.

Dalam perkembangannya kemudian jalur Pantura mulai menjangkau ke daerah


vorstenlanden dan binterland Jawa sebagai penghasil tanaman untuk kepentinhn
perdagangan antar bangsa. Letak Pekalongan yang berada dalam posisi strategis sebagai
pusat pendaratan ikan, yang dengan segala kemudahannya mampu secara cepat
mengirimkan ikan segar ke beberapa daerag pemasaran penting di Jawa utamanya Jawa
Barat dan Jawa Tengah.

Jaringan transpirtasi penunjang penghububg antara pelabuhan dengan jalur utama


yang telah ada diperbaiki dan diperlebar sehingga semakin memperlancar lalu lintas
pengiriman ikan. Pemerintah kota pun akhirnya memberi perhatian untuk membangun
jalan-jalan di wilayah Kotamadya Pekalongan terkait dengan proses pengembangan
Pelabuhan Pekalongan.

Perkembangan kegiatan perikanan di Kotamadya Pekalongan juga terkait dengan


adanya PP No. 10 tahun 1959 tentang Pembatasan Usaha Asing. Dimana dalam hal ini
pengusaha asinh dalam melakukan kegiatannya dibayasi hanya untjk dikota Daerah
Swatantra Tingkat 1, kota karisidenan dan kota Daswati Tk. 2, yang dalam
pelaksanaannya dilakukan pembatas terhadap tempat usaha bagi orang Cina.

26
Pekembangan sektor perikanan di Pekalongan juga dipercepat oleh masuknya pengusaha
perikanan dari Bagansiapiapi pada tahun 1970an, dimana pengusaha ini membawa kapal dan
kelengkapan alat tangkap dan menetap di Pekalongan. Semula tujuannya adalah Pelabuhan
Tegal, namun karena tidak adanya dukungan keamanan merekapun akhirnya mengalihkan
tujuannya ke Pelabuhan Pekalongan.

C. Reaksi Nelayan Setempat atas Kapal-Kapal Pendatang


Masuknya nelayan pengusaha dilain sisi meramaikan kegiatan perdagangan, namun
dilain sisi juga merupakan pesaing baru bagi nelayan setempat. Hubungan kerja yang
awalnya terjalin harmonis berubah menjadi sebuah pertentangan. Dimana pertentangan ini
yang pada akhirnya melatar belakangu adanya oengaduan keoada pihak yang memiliki
kekuatan dan pengaruh. Konflik semacam pemutusan kerja atau pertentangan antara nelayan
setemoat dan pengusaha ini sukit diselesaikan secara formal kareba tidak adanya perjanjian
tertulis antara pengusaha dan nelayan. Perbedaan kepentingan antara para pengusaha dengan
nelayan menyebabkan munculnya mediator pengurus kapal dalam sistem hubungan antara
ABK dengan pemilik merupakan pemecahan masalah yang dapat saling menguntungkan.

Persaingan antara nelayan atau juragan tentang kecurangan dan persaingan tidak sehat
menyebabkan pada tahun 1975 dibentuklah Badan Usaha Unit Desa Nelayan Pekalongan,
yang kemudian berganti menjadi Koperasi Unit Desa Makaryo-Mino. Dimana tujuan dari
KUD Makaryo-Mino ini berfokus kepada pemenuhan kebutuhan alat dan sarana prasarana
bahkan kredit pemodalan. Keberhasilan KUD Makaryo-Mino dalam menyelenggarakan
lelanh untuk mengembangkan organisasi dan manajemen secara bertahap dapat
melaksanakan pembayaran secara tunai. Pengembangan kegiatan usaha KUD lainnya yang
ditunjukkan bagi penyediaan kebutuhan laut, semakin menjadi daya tarik banyak nelayan
untuk melakukan pelelangan ikan di Pelabuhan Pekalongan.

27
BAB VI

PERKEMBANGAN PURE SEINE, TEKNOLOGI DISTRIBUSI, DAN PENCAPAIAN


PENTING PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PEKALONGAN (1978-1990)

A. Pengenalan dan Perkembangan Trawl di Pekalongan


Pengetahuan tentang cara hidup, sifat, dan tingkah laku berbagai jenis ikan menjadi
faktor yang mendasari penggunaan dan perkembangan berbagai jenis alat tangkap. Secara
garis besar, makanan ikan yang hidupnya menggerombol adalah binatang kecil yang disebut
plankton. Ikan yang memakan plankton ini selanjutnya dimakan oleh ikan yang memiliki
ukuran lebih besar. Siklus seperti ini seterusnya berlanjut membentuk rantai makanan.
Sedangkan jenis ikan yang dilihat berdasarkan sudut pandang penangkapan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu ikan yang memiliki arti ekonomis dan ikan yang tidak
memiliki arti ekonomis. Ikan yang memiliki arti ekonomis yaitu jenis ikan yang
menguntungkan untuk dijadikan sebagai obyek khusus penangkapan secara besar-besaran.
Sedangkan ikan yang tidak memiliki arti ekonomis adalah jenis ikan yang jika menjadi obyek
khusus perusahaan ikan untuk dilakukan penangkapan secara besar-besaran tidak
menguntungkan.

Secara umum, alat tangkap ikan dapat dikelompokkan ke dalam empat golongan
besar, yaitu alat tangkap yang terbuat dari jurai-juraian (nets), alat dari tali (lines), alat
perangkap (traps), dan alat tangkap lainnya (miscellaneous). Di Pekalongan, penggunaan
jaring trawl dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang disebabkan oleh kelebihan-
kelebihan dari produktivitas alat tersebut. Karena mata jaring trawl lebih rapat dari pada
mayang, maka hasil tangkapannya lebih banyak sehingga menguntungkan banyak nelayan.
Mereka pun banyak yang beralih kepada trawl. Kelebihan yang dimiliki oleh trawl adalah
dapat dioperasikan sepanjang musim, bergerak siang dan malam.

Pada tahun 1980, terjadi penurunan jumlah kapal yang mendarat di Pelabuhan
Pekalongan. Banyaknya kapal yang mendarat di Pelabuhan Pekalongan dalam hubungannya
dengan jumlah kapal yang dimiliki nelayan tidak sebanding dengan sifat “terbukanya”
pelabuhan perikanan bagi pendaratan nelayan yang berasal dari daerah lain. Nelayan
memiliki kecenderungan untuk mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan yang
menyelenggarakan pelelangan lebih menguntungkan. Dengan berlabuh di dekat tempat
pelelangan, maka nelayan akan memperoleh uang hasil lelangnya secara cepat sehingga
mereka mudah mendapatkan bahan perbekalan untuk melakukan penangkapan kembali.

28
Fasilitas dan sistem yang dimiliki oleh Pelabuhan Pekalongan relatif dapat memenuhi
kebutuhan yang diperlukan nelayan sehingga mudah menarik banyak nelayan dari Kabupaten
Pekalongan, Batang, Pemalang, Brebes, Demak, Lamongan, dan Madura untuk melakukan
bongkar ikan di Pelabuhan Pekalongan.

Pada tanggal 1 Oktober 1980, terdapat penghapusan trawl yang disebabkan oleh
adanya konflik kepentingan antara nelayan tradisional yang menggunakan peralatan
sederhana dengan nelayan yang menggunakan jaring trawl. Terdapat reaksi dari nelayan kecil
terhadap pengoperasian trawl, salah satunya adalah dengan melakukan pengrusakan berupa
pembakaran yang terjadi di beberapa daerah. Demi meredakan ketegangan ini, pemerintah
mengeluarkan Keppres 39/1980 yang dikenal dengan penghapusan kegiatan penangkapan
ikan menggunakan jaring trawl. Kegiatan penghapusan trawl dilakukan secara bertahap.
Terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981 terdapat pengurangan jumlah kapal
perikanan yang menggunakan jaring trawl sehingga untuk seluruh Indonesia hanya ada 1.000
buah. Pengurangan jumlah kapal ini mula-mula diadakan di sekitar Jawa dan Bali, sampai
tanggal 30 September 1980 hingga 1 Oktober 1980, pemerintah melarang semua operasi
trawl di perairan laut yang mengelilingi Jawa dan Bali.

Sementara itu, untuk kapal trawl di Sumatera mulai berlaku selambat-lambatnya 1


Januari 1981. Setelah batas waktu tersebut, kegiatan penangkapan hanya boleh menggunakan
jaring selain trawl. Bagi pemilik trawl yang tidak melanjutkan usahanya akan diberikan
alternatif, yaitu dengan mengalihkan kapalnya kepada pihak lain atau kepada pemerintah
dengan diberi ganti rugi. Adapun kapal yang dialihkan kepada pemerintah akan diserahkan
kepada kelompok-kelompok nelayan yang tergabung dalam KUD. Sebagai tindak lanjut dari
ketentuan Keppres 30/1980, dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
503/Kpts/Um/7/1980 tanggal 10 Juli 1980 tentang Langkah-langkah Pelaksanaan
Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama. Dalam keputusan ini disebutkan secara lebih jelas
dan rinci bahwa yang disebut dengan jaring trawl adalah jenis-jenis jaring berbentuk kantong
yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dengan menggunakan alat pembuka mulut jaring
yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang
ditarik oleh dua buah kapal bermotor. Jenis-jenis jaring yang termasuk ke dalam trawl
dikenal dengan nama-nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring
trawl ikan, pukat apollo, pukat langgasi, dan sebagainya.

29
B. Pelaksanaan Penghapusan Trawl
Menteri Dalam Negeri beserta Menteri Perdagangan dan Koperasi membentuk Panitia
Pelaksana Pengalihan Kapal-kapal Perikanan eks trawl di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah. Adapunn tugasnya adalah melaksanakan pendaftaran kapal-kapal trawl, menetapkan
transaksi harga kapal, merencanakan dan menetapkan KUD yang akan menerima kapal,
menerima pengalihan kapal dari pemiliknya dan menyerahkannya kepada KUD, serta
memberikan bimbingan kepada KUD yang akan menerima kapal. Keputusan ini ditetapkan di
Semarang, 9 September 1980. Selanjutnya, tertanggal 16 September 1980 dibentuklah Tim
Pelaksana Keputusan Penghapusan Jaring Trawl Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan
(Panda II) yang bertugas menampung, menangani, dan menyelesaikan hal-hal di luar
pelaksanaan pengalihan kapal-kapal perikanan eks trawl. Hal-hal tersebut meliputi
peningkatan produksi perikanan, ketenagakerjaan, peningkatan keterampilan, dan
pembiayaan.

Sebagai akibat dari penghapusan trawl, sebanyak 645 nelayan kehilangan


pekerjaannya. Tepat 1 Oktober 1980, terdapat 88 buah kapal trawl yang ditempatkan di
sepanjang tepi Sungai Pekalongan. Dari 88 kapal tersebut, akan diubah bentuknya menjadi
non trawl. Kegiatan yang telah dilakukan oleh panitia pasca 1 Oktober 1980 diantaranya
mengadakan pertemuan dengan pemilik kapal trawl, nelayan, dan mengadakan pengecekan
atas kondisi fisik seluruh kapal eks trawl.

C. Perkembangan Purse Seine Setelah Penghapusan Trawl 1980


Purse Seine merupakan salah satu jenis alat tangkap berupa jaring lingkar yang
dioperasikan dengan cara dilingkarkan kemudian ditarik. Bentuknya trapesium yang pada
dasarnya merupakan perkembangan dari jenis alat tangkap beach seine, lampara, dan ring
nets. Sejak dihapuskannya trawl, istilah purse seine masuk ke dalam catatan jenis alat
tangkap dalam statistik. Di Kotamadya Pekalongan, 88 kapal eks trawl direncanakan akan
diubah menjadi purse seine 45 buah.

D. Perubahan Teknologi Distribusi dari Garam ke Es


1. Penghapusan Monopoli Garam

Pembahasan terhadap garam diangap penting terkait terhadap peran garam sebagai
penopang utama dalam sistem distribusi yang dalam perkembangannya tetap berlanjut
walaupun bergeser oleh sistem distribusi yang mendasarkan pada es. Monopoli garam
terjadi sejak jaman kolonial dimana semua kegiatan pembuatan seperti produksi garam, ,

30
distribusi diawasi langsung oleh pemerintah, para warga dilarang keras untuk melakukan
pembuatan garam aibatnya garam di Jawa pada kususnya berharga sangat tinggi. Dan
mengakibatkan distribusi ikan yang dulu sebelum ada es mengunakan garam menjadi
kurang maksimal, dan juga berpengaruh pada pengelolaan ikan yang kurang kompetitif.
Pengadaan garam sendiri hanya boleh dilakukan oleh tukang pak (pachter) yang
memiliki hak sewa karena mendapat hak monopoli sewa dan mereka memperoleh hak
untuk mengawasi pribumi yang mengadakan pembuatan garam.

Pada awal kemerdekaan dan masih terjadi konflik senjata diberbagai daerah
mengakibatkan pasokan garam dari madura berkurang akibatnya terjadi kelangkaan
garam dan mendorong penduduk di pantai utara jawa untuk membuat garam. Sebelm
tahun 1950 produksi garam di pulau jawa masih belum terorganisir baru pada akhir tahun
1949 sudah dapat dikendalikan akibatnya produksi garam tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan daerahnya sendiri tapi juga dapat dijual walaupun masih dalam wilayah yang
kecil. Walaupun saat itu indonesia sudah dinyatakan merdeka akan tetapi perkembangan
garam masih saja dimonopoli oleh pihak tertetu. Martin Sanders melaporkan dalam
Report on the Goverment Owned Salt Industry in Indonesia yang merupakan serangkaian
wawancara dengan Sentot S. Daroesalam menyebutkan bahwa sampai tahun 1956 garam
di Indonesia masih dimonopoli pemerintah. Dalam wawancara tersebut juga dijelaskan
bahwa harus ada pembukaan lahan pembuatan garam agar garam dapat dipasok secara
merata dan tidak menimbulkan kekurangan dan pemerintah tidak boleh mengambil
keuntungan akan hal ini.

Kondisi diperparah dengan penyalur dan distributor garam ke rakyat kecil


dilakukan oleh keturunan cina yang memiliki modal akibatnya mereka dapat seenaknya
mengatur harga garam itu sendiri. Dan untuk melindungi petani garam dari tengkulak
yang membeli dengn harga yang tidak wajar maka pemerintah mengeluarkan koprasi
sebagai media distributor yang dapat mengatur harga dipasar sesuai dengan jenis dan
kualitas dari garam tersebut. Dari tahun 1980 sampai 1984 harga dan produksi dari garam
mengalami perkembangan yang tidak setabil akan tetapi setelah 1985 angka penjualan
garam cenderung terus meningkat.

2. Pemasaran Ikan secara Tradisonal

Menurut laporan tahunan nelayan mino sojo tahun 1938 pemasaran ikan hanya
dilakukan di dalam daerah saja para tengkulak ikan menjual dagangannya hanya disekitar

31
kota purworejo saja dengan demikian untuk pengolahan ikan tersebut garam merupakan
bahan yang harus tersedia dengan jumlah dan waktu sebagaimana dibutuhkan.

3. Perdagangan Ikan Segar dengan ES

Salah satu kebijakan dasar dalam masalah pemasaran yang tercantum dalam
garis-garis besar usaha peningkatan pembangunan fisik perikanan adalah ditujukan
terghadap ketersediaan fasilitas pemasaran yang dapat menimbulkan dan meluaskan
pemasaran hasil hasil perikanan sehingga merangsang penanaman modal di dalam
aktivitas produksi dan pemesanan, baik tujuan domestik maupun ekspor. Pada tahap ini
pemerintah ingin mengembangkan perdagangan ikan agar dapat dinikmati untuk
konsumen di berbagai daerah. Untuk meningkatkan produksi akibat dari adanya
permintan konsumen yang tinggi maka produksi ikan dituntut untuk lebih maju,
pemerintah mendorong nelayan untuk meningkatkan hasil produksi dengan cara
meminjam dana bank untuk kegiatan produksinya agar kebutuhan pasar dapat dipenuhi.

Dalam sistem perkembangan teknologi distribusi ikan, es mulai mengeser


dominasi peran garam. Dalam sistem distribusi dan perdagangan ikan di Indonesia
mengalami kemunduran penyebabnya adalah cara-cara handling, pengepakan,
penyimpanan, transportasi dan distribusi dengan suhu derajat yang relatif tinggi akibatnya
ikan mudah diserang jamur dan serangga dan akibatnya ikan hanya dapat bertahan
beberapa bulan saja. Karane masalah tersebut munculah model pengepakan dengan
mengunakan es dan garam. Dalam suhu dibawah 6 derajat celcius terbukti ikan akan lebih
awet karena serangga dan jamur tidak dapat tumbuh dalam suhu yang rendah sedangka
pengunan garam sangatlah bermanfaat dalam proses pengawetan.

32
BAB VII

KESIMPULAN

Penjelasan dari Masyhuri atas pertanyaan utamanya bahwa besarnya permintaan


terhadap ikan hasil tangkapan nelayan dari penduduk yang tinggal di Jawa tidak memberi
dorongan bagi perkembangan teknologi penangkapan kepada nelayan di pantai utara Jawa,
sangat tepat dalam mengungkap kemandekan teknologi penangkapan di pantai utara Jawa,
khususnya untuk perode awal abad ke-20 sampai akhir pemerintahan kolonial, dan bahkan
sampai akhir tahun 1950-an, dimana pemenuhan kebutuhan didasarkan pada politik impor
atas ikan asin dan ikan kering.

Perkembangan usaha perikanan di Pelabuhan Pekalongan berlangsung sejalan dengan


kecenderungan perubahan sektor perikanan secara makro sejak pada tahapan awal dari
perubahan besar tersebut. Usaha nelayan pekalongan berhasil menciptakan sinergi antara
gerak perubahan eksternal dengan kondisi dan kemampuan lokal yang dimiliki. Tinjauan
historis pada Pelabuhan Pekalongan dapat menjelaskan bahwa Pelabuhan pekalongan yang
sebekumnya sebagai pelabuhan menengah kemudian diubah statusnya sebagai pelabuhan
kecil, mulai memasuki abad ke-20 terus mengalami kemunduran dalam kegiatan niaganya,
sejalan dengan merosotnya ekspor gula sebagai komoditas utama pelabuhan tersebut.

Kelebihan pekalongan dalam budaya berusaha, adalah kesediaan dukungan pemodal


lokal, status kotamadya Pekalongan, dan dilengkapi dengan kelebihan lainnya, seperti letak
Pelabuhan Pekalongan yang dekat dengan jalur transportasi pantai utara Jawa yang
menghubungkan dengan kota-kota besar, keberhasilan KUD Makaryo Mino mengembangkan
sistem managemen menuju pada pembayaran lelang secara tunai, faktor keamanan yang
memungkinkan terselenggarakannya kegiatan usaha, dan munculnya aspirasi lokal untuk
mengembangakn Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan khsus perikanan yang
memperoleh dukungan dari Pemerintah Pusat.

Kegiatan perikanan di Kotamadya Pekalongan semakin berkembang membawa


pengaruh terhadap semakin banyaknya tenaga yang terserap di sektor usaha ini. Persoalan
kontekstual dan aktual terhadap badai krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia
sejak 1997, telah menggoda untuk mendapat penjelasan, mengapa kehidupan perikanan tidak
terlanda krisis? Bahkan sebaliknya sektor ini mengalami kemajuan dan perkembangan.

33
Menarik pula untuk dikerjakan di masa mendatang tentang bagaimana corak kegiatan
ekonomi nelayan pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an untuk dobandingkan dengan krisis
multidimensi saat ini. Persoalan kontemporer yang menarik untuk mendapat perhatian dari
peneliti lain adalah sektor perikanan kaitannya dengan otonomi daerah. Untuk itu, sektor
perikanan yang sudah diurus oleh departemen tersendiri, perlu mengimplementasikan
dimensi bahari, mempersamakan persepsi dalam rangka otonomi, bahwa laut termasuk sektor
perikanannya sebagai potensi pemersatu bangsa.

34
DAFTAR PUSTAKA

Sutejo K. Widodo. 2005. Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang; Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

35

Anda mungkin juga menyukai