Anda di halaman 1dari 7

MANAJEMEN BEDAH UNTUK PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Arvin R. Wali, Kevin Porras, Peter Abraham, Michael G. Brandel, David Santiago
Dieppa, Jeffrey Steinberg, Scott Pannell, Alexander A. Khalessi

Abstrak
Perdarahan intraserebral (ICH), didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di dalam
parenkim otak, masih menjadi entitas bedah saraf yang menantang dan kontroversial untuk
diterapi. ICH memiliki berbagai etiologi yang luas—berasal dari komplikasi yang terkait
dengan cedera kepala traumatis yang berkembang menjadi komplikasi stroke hemoragik.
Peran manajemen medis terletak pada optimalisasi tekanan darah dan tekanan intraserebral,
mencegah cedera sekunder akibat komplikasi hematoma seperti kejang, dan memperbaiki
koagulopati. Dikarenakan efek dari massa hematoma dan kemungkinan ekspansi, intervensi
bedah untuk evakuasi bekuan guna mengembalikan tekanan intraserebral normal dan
mencegah perburukan cedera neurologis harus dilakukan. Bab berikut mengulas tentang
kontroversi terkini terkait dengan tindakan bedah untuk evakuasi perdarahan intraserebral
dengan penekanan khusus pada ukuran dan lokasi perdarahan dan metode yang digunakan
untuk mengevakuasi perluasan ICH. Selain itu, bab ini mengulas pertimbangan dan tujuan
terapeutik dari periode jendela pra operasi dan pasca operasi untuk meminimalisir komplikasi
dan mengoptimalkan perawatan pasien.
Kata kunci: perdarahan intraserebral, stroke hemoragik, tindakan bedah perdarahan
intraserebral, intervensi bedah saraf.

1. Pendahuluan
Perdarahan intraserebral (ICH) didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di dalam
parenkim otak dan terjadi pada hampir 63.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat [1, 2].
ICH merupakan komplikasi utama dari cedera otak traumatis dan berkontribusi terhadap 15%
kejadian stroke [3]. Banyak etiologi yang terkait dalam ICH, diantaranya hipertensi, anomali
vaskular, angiopati amiloid, koagulopati, keganasan otak, kehamilan, dan penyalahgunaan
zat. Tergantung sejauh mana perdarahan dan faktor risiko tambahan lainnya, prognosis ICH
bisa sangat bervariasi. Luasnya perdarahan berkaitan dengan tingkat kematian lebih dari 30%
dalam satu bulan cedera dengan hanya 30% pasien yang kembali ke fungsi independen dalam
waktu 6 bulan [4].
Manajemen medis bertujuan untuk mengoptimalkan tekanan darah, tekanan intraserebral
(ICP), koagulopati, kontrol kejang, kontrol demam, dan profilaksis trombosis vena dalam.
Selain itu, manajemen bedah bertujuan untuk mencegah penurunan fungsi neurologis melalui
dekompresi bedah kranial dan evakuasi perluasan hematoma [5]. Namun, peran intervensi
bedah dalam manajemen ICH masih kontroversial, dan banyak percobaan telah dilakukan
terkait indikasi dan efikasi intervensi bedah. Bab ini akan mengeksplorasi literatur ilmiah
mengenai indikasi dan efikasi intervensi bedah saraf dalam pengelolaan pasien dengan ICH.

2. Diagnostik dan pemeriksaan pra operasi


ICH muncul dengan defisit neurologis fokal onset akut, sakit kepala (pada sekitar 40%
pasien), peningkatan tekanan darah sistolik (50%), mual, dan muntah (50%) [5-7]. Defisit
yang banyak terjadi, dalam rangka penurunan angka kejadian, diantaranya paresis, defisit
sensorik, defisit wicara, perubahan penglihatan, dan gangguan gaya berjalan [6]. Gejala
seringkali progresif karena ekspansi hematoma yang cenderung terjadi beberapa jam pertama
setelah ICH. Namun, pasien tanpa perluasan hemoragik mungkin masih mengalami
kerusakan neurologis yang substansial dalam waktu 24 jam pertama [8]. Kejang elektrografis
dapat terjadi pada sepertiga pasien dengan ICH, meskipun hanya separuhnya yang secara
klinis signifikan [9]. Kejang cenderung terjadi dengan keterlibatan kortikal pada ICH dan
mungkin berhubungan dengan kerusakan neurologis dan peningkatan pergeseran garis tengah
[10, 11]. Pasien biasanya mengalami perubahan status mental dan pasien dengan hematoma
luas mungkin mengalami perburukan yang cepat dalam skala Glasgow Coma Scale (GCS)
[12].

Computed tomography (CT) non-kontras dianggap sebagai "standar emas" untuk penegakan
diagnosis ICH baru dan deteksi perdarahan intrakranial bentuk lain yang mungkin nampak
[13]. Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat bermanfaat dalam mengidentifikasi
perdarahan kecil, dan CT angiogram sensitif dalam mengidentifikasi penyebab sekunder
perdarahan intraparenkim seperti ruptur aneurisma, vaskulitis, keganasan intrakranial, atau
malformasi arteriovenosa [14, 15].

Pada kondisi gawat darurat, memastikan jalan napas, pernapasan, dan perfusi serebral yang
adekuat merupakan hal yang penting. Untuk pasien dengan GCS <8, herniasi transtentorial,
perdarahan intraventrikular, atau hidrosefalus, monitor ICP harus dipasang untuk memantau
perfusi tekanan serebral secara dinamis [16]. Penatalaksanaan peningkatan ICP pada kondisi
gawat darurat meliputi elevasi tempat tidur sampai 30°, sedasi, intubasi, dan hiperventilasi
pada pasien dengan PaCO₂ 25-30 dan dengan cepat memasukkan saline hipertonik atau
manitol sambil menyiapkan ruang operasi untuk operasi dekompresi atau evakuasi bekuan [9,
17]. Manajemen massa hemoragik dan hidrosefalus akut melalui saluran ventrikel eksternal
bermanfaat untuk pengukuran ICP dan pengalihan cairan serebrospinal (CSF) pada pasien-
pasien ini dan terbukti secara signiikan dapat mengurangi mortalitas dalam manajemen
perdarahan intraventrikular [18, 19].

3. Manajemen bedah
Peran intervensi bedah dalam penatalaksanaan perdarahan intraserebral masih menjadi
perdebatan. Meskipun banyak uji klinis telah mencoba untuk membuktikan peranan evakuasi
bedah pada ICH, variabilitas dalam beberapa faktor seperti lokasi dan volume perdarahan dan
metode intervensi bedah memiliki ekstrapolasi jangka panjang terhadap pedoman.
Kontroversi jauh lebih sedikit sehubungan dengan manajemen bedah ICH infratentorial
karena kedekatannya dengan batang otak dan kemungkinan cedera dan komplikasi
katastropik [20, 21]. Untuk alasan ini, hematoma fossa posterior yang berukuran lebih besar
dari 3 cm dievakuasi karena risiko signifikan kompresi batang otak dan hidrosefalus [22].

Terlepas dari penyebab ICH, pemantauan komplikasi yang ketat terhadap keadaan hipertensi,
ekspansi hematoma, edema perihematomal, kejang, perdarahan intraventrikular hingga
hidrosefalus, dan tromboemboli vena sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien dan
pencegahan defisit fungsional [23]. Selain mengurangi tekanan intrakranial, evakuasi bedah
juga mengurangi volume bekuan, yang berkontribusi terhadap kompresi otak mekanis dan
edema neurotoksik [24]. Meskipun banyak manfaatnya, uji klinis yang dilakukan sebelum
tahun 2004 gagal menunjukkan perbedaan yang jelas terkait keberlangsungan hidup pada
pasien dengan intervensi bedah dan pengobatan medis dibandingkan dengan manajemen
medis konservatif. Misalnya, uji coba multisenter acak terkontrol menggunakan pendekatan
invasif minimal, yaitu pendekatan stereotaktik dengan aktivator plasminogen jaringan (tPA)
dosis rendah untuk pengenceran dan aspirasi bekuan (uji coba SICHPA) menunjukkan
penurunan ukuran bekuan yang efektif dibandingkan dengan pengobatan konservatif, tetapi
tidak ditemukan adanya perbedaan pada tingkat kematian dalam 180 hari [25].

Lima uji coba dari tahun 1989 hingga 2003 menunjukkan hasil yang sama setelah dilakukan
intervensi bedah. Hasil fungsional yang mendukung diperoleh dari penelitian kecil
stereotaktik evakuasi perdarahan putaminal pada tahun 2004 [26]. International Surgical Trial
in Intraserebral Hemorrhage (STICH) mengacak lebih dari 1000 pasien dengan perdarahan
spontan ganglia basalis dan/atau perdarahan lobaris untuk dilakukan operasi dalam kurun
waktu 24 jam dibandingkan manajemen konservatif awal dengan evakuasi bedah yang
mungkin dilakukan setelah 24 jam pada kondisi penurunan neurologis untuk memeriksa
keampuhan evakuasi bekuan bedah awal. Meskipun uji coba ini hanya memperoleh 26%
pasien dengan intervensi bedah yang menunjukkan hasil yang baik pada 6 bulan
dibandingkan 24% pada kelompok manajemen medis, analisis subkelompok menunjukkan
bahwa pasien dengan ICH supratentorial dengan hematoma berukuran 1 cm atau kurang dari
permukaan kortikal menunjukkan hasil yang baik dengan evakuasi bedah dibandingkan
dengan pasien hematoma dalam dan dengan manajemen konservatif [27].

Untuk menindaklanjuti temuan ini, lebih dari 600 pasien dengan perdarahan lobaris
superfisial 10-100 mL dan tanpa perdarahan intraventrikular (IVH), diacak untuk kemudian
dilakukan evakuasi dalam waktu 12 jam ditambah dengan perawatan medis yang
dibandingkan dengan manajemen medis saja dengan intervensi bedah sebagai pilihan jika
terdapat penurunan neurologis dalam uji coba STICH II pada tahun 2013 [28]. Percobaan ini
menunjukkan hasil yang sama secara statistik yaitu tidak signifikan. Mortalitas pada kurun
waktu 6 bulan sebesar 18% pada kelompok dengan intervensi bedah awal dibandingkan
dengan 24% dalam kelompok manajemen medis, dengan perbedaan absolut sebesar 5,6%.
Meskipun kelompok bedah menunjukkan tidak ada pasien yang bertahan pada kondisi
vegetatif hingga 6 bulan dan distribusi skor Extended Glasgow Outcome Scale (GOS-E) lebih
menguntungkan pada kelompok dengan intervensi bedah, tak satu pun dari temuan ini
signifikan secara statistik. Namun, analisis subkelompok pasien dengan prognosis buruk
sebelum pengobatan yang didefinisikan sebagai GCS 9-12 menunjukkan hasil yang lebih
baik dengan intervensi bedah (odds ratio untuk hasil yang buruk : 0,49, 95% confidence
interval 0,26-0,92, p = 0,02). Berdasarkan hasil dari uji coba STICH II, para peneliti
menyimpulkan bahwa pasien dengan GCS yang lebih tinggi dari 13-15 tidak menunjukkan
manfaat kelangsungan hidup dengan tindakan bedah awal jika diberikan pilihan untuk operasi
yang akan dilakukan hanya jika terjadi perburukan klinis.

Uji coba CLEAR IVH dan trial MISTIE merupakan penelitian berkelanjutan yang
menggunakan teknik invasif minimal dengan bantuan tPA dosis rendah [29]. Hasil awal dari
uji coba MISTIE II menunjukkan aspirasi minimal invasif dengan tPA dosis rendah
mengurangi pembekuan hingga 50% dari volume stabil dalam minggu pertama, dibandingkan
dengan penurunan sebesar 6% dengan manajemen medis saja. Meskipun tidak tampak
peningkatan yang signifikan secara statistik dalam hal perdarahan simtomatik dengan
penggunaan tPA (2,4% pada kelompok invasif minimal ditambah tPA dibandingkan dengan
9,3% pada kelompok dengan manajemen medis), penulis telah mengingatkan bahwa
penggunaan teknik invasif minimal dengan tPA tidak meningkatkan perdarahan
asimptomatik (22,2% berbanding 7,1%, p = 0,051). Hasil ini menunjukkan keamanan dan
efikasi dari intervensi ini dibandingkan dengan manajemen konservatif saja [30]. Selain itu,
evakuasi hematoma terbukti secara signifikan mampu mengurangi edema perihematomal,
bahkan saat dikombinasikan dengan tPA [31]. Uji coba MISTIE Intraoperative Stereotactic
Computed Tomography-Guided Endoscopy Surgery (MISTIE ICES) [32] baru-baru ini telah
selesai dilaksanakan dan menunjukkan hasil 42,9% pasien dengan intervensi bedah memiliki
hasil neurologis fungsional yang ditunjukkan dengan skor skala Rankin yang termodifikasi
(mRS) 0-3, dibandingkan dengan 23,7% kelompok manajemen medis dalam kurun waktu
180 dan 365 hari (p = 0,19). Hasil ini menunjukkan keamanan dan efikasi dari operasi
endoskopi yang dipandu CT untuk mengevakuasi ICH akut. Contoh evakuasi perdarahan
endoskopi dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 1-3).

4. Contoh evakuasi perdarahan dengan endoskopi


Jika ditelaah secara bersama-sama, hasil uji coba ini menunjukkan kesulitan dalam
menghasilkan pedoman untuk manajemen intervensi bedah pada ICH (Gambar 1-3).
Meskipun intervensi bedah menunjukkan hasil yang lebih baik dalam uji coba awal, temuan
ini tidak mencapai signifikansi statistik. Seperti pada banyak penelitian bedah saraf lainnya,
banyak dari percobaan-percobaan ini yang berkendala dengan crossover pasien yang
signifikan dan karakteristik pasien yang bervariasi. Banyak diperdebatkan bahwa hasil yang
lebih baik secara subjektif pada awal uji coba merupakan relevansi klinis, terutama bila
pasien diproyeksikan memiliki hasil yang buruk sebagai hasil dari lokasi atau volume
perdarahan mereka. Uji coba yang lebih baru telah membuktikan keamanan dan efikasi
tindakan endoskopi yang dikombinasikan dengan tPA dosis rendah dalam melarutkan
gumpalan, mengurangi edema, dan meningkatkan hasil ke tingkat yang signifikan secara
statistik. Pendekatan endoskopi untuk ICH kemungkinan akan lebih luas digunakan karena
lebih banyak data dari uji klinis yang tersedia.
5. Manajemen pasca operasi
Manajemen pasca operasi ICH meliputi memastikan kontrol tekanan darah yang tepat,
pemeriksaan neurologis berkala, profilaksis trombosis vena dalam, dan profilaksis ulkus
lambung. Terapi fisik lanjutan dan rehabilitasi terutama pada bulan pertama setelah ICH
terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kemandirian dengan aktivitas kehidupan sehari-
hari dan fungsi motorik bila dibandingkan dengan kelompok kontrol [33].

Terlepas dari bukti yang sangat terbatas terkait efek dari manajemen pasca operasi ICH,
berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien ICH mendapat manfaat dari tekanan darah
sistolik <130 mmHg. Pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil yang sudah ada
sebelumnya mengalami penurunan risiko sebesar 60% untuk ICH berulang berdasarkan
pedoman tekanan darah ini [9]. Selanjutnya, penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien
dengan tingkatan klinis yang buruk atau komplikasi kardiopulmonar yang terjadi bersamaan,
stabilisasi hemodinamik dini berkaitan dengan rendahnya kejadian iskemia serebral lambat,
mRS 90 hari yang lebih rendah, dan lama perawatan di unit intensif yang lebih singkat [34].

Profilaksis trombosis vena dalam (DVT) setelah kejadian ICH merupakan area yang saat ini
masih menjadi perdebatan. Berbagai penelitian, termasuk uji coba CLOTS3, menunjukkan
penurunan DVT asimptomatik dengan penggunaan perangkat kompresi pneumatik intermiten
pada pasien ICH. Demikian pula, heparin dengan berat molekul rendah atau heparin
unfractionated dapat digunakan sebagai profilaksis DVT pada pasien dengan hematoma yang
stabil atau 24 jam setelah kraniotomi [35]. Hanya ada sedikit bukti terkini untuk menegaskan
hasil mortalitas positif dan negatif dengan menggunakan profilaksis ulkus lambung pada
pasien ICH. Sebuah uji coba acak terkontrol yang membandingkan ranitidine, sucralfate, dan
plasebo untuk profilaksis perdarahan lambung pada pasien ICH, tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam hal mortalitas ataupun kejadian pneumonia. Namun,
mengingat peningkatan prevalensi ulkus lambung pada pasien, berdasarkan data saat ini,
profilaksis harus dimulai [36].

6. Kesimpulan
Perdarahan intraserebral masih menjadi komplikasi yang serius terkait dengan trauma kepala
dan salah satu dampak dari stroke hemoragik. Diagnosis dan manajemen tekanan
intraserebral dan ventilasi yang tepat sebelum operasi merupakan hal yang penting untuk
meningkatkan hasil yang maksimal pada pasien. Meskipun intervensi bedah untuk ICH
infratentorial luas jelas merupakan hal yang penting, peran ICH supratentorial masih
kontroversial mengingat beragamnya lokasi ICH, kedalaman perdarahannya, dan teknik yang
digunakan untuk mengevakuasi bekuan perdarahan. ICH kortikal superfisial dapat
memberikan hasil yang lebih baik dengan evakuasi bedah dibandingkan dengan manajemen
medis saja, dan evakuasi endoskopi yang dipandu oleh gambar dari endoskopi juga
memberikan hasil yang menjanjikan. Pasien-pasien ICH dapat mengalami komplikasi pada
periode jendela pasca operasi dan memerlukan tindak lanjut yang ketat untuk mencegah
komplikasi bedah dan medis. Uji coba prospektif lebih lanjut yang menjelaskan tentang
sejauh mana intervensi bedah dibandingkan dengan manajemen medis saja sudah optimal
mengingat lokasi ICH, gambaran, atau volume perdarahan akan terus memandu manajemen
yang beragam ini.

Keterangan Gambar
Gambar 1. (A dan B): MRI aksial dan koronal menunjukkan perdarahan intraserebral
praoperasi sisi kiri yang melibatkan ventrikel kanan.
Gambar 2. (A dan B): Evakuasi bekuan endoskopi intraoperasi menggunakan teknik invasif
minimal.
Gambar 3. CT scan aksial follow-up setelah evakuasi perdarahan endoskopi menunjukkan
perbaikan bekuan.

Anda mungkin juga menyukai