Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN

CEDERA KEPALA

Oleh KELOMPOK 5 (ICU):


AGAM AGUS SALIM
AHMAD IKHWANUDIN
ANGGER AFREGA
ANI HARTATI
EKI VIOLITA
ERVANI ZUHELDI
IMAM SAPUTRA

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2019/2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.

Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekannya subtansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan
otak (Batticaca, 2008).

Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma
benda tajam atau benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak,
dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.

2. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan lalu lintas 
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

3. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat
dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala (IKABI,
2004).
a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu
1) Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak
2) Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala


Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar,
maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
2) Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan
tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis
fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum
epidural.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari
satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar
yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi,  jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter
yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan
letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan
fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah
basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis
dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat
pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign
(fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur
basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf
kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (Nervus
olfactorius), Saraf wajah (Nervus facialis) dan saraf pendengaran (Nervus
vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya
dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan
sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan
kepala miring ke posisi yang sehat.
 
3) Cedera kepala di area intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus. Cedera otak fokal yang meliputi:
a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter. Epidural
hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid
selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom  (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih
berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural
lebih dari 3 minggu setelah trauma.  Subdural hematom kronik diawali dari
SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan
memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau
clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam
(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut
akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik
sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga
terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel.
Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk
kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala
klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala,
bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (Transient
Ischemic Attack), disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang
berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,
tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis
yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi
dari trauma yang dialami.
e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal
baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat
memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit
(PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah,
juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas
dengan manifestasi edema cerebri.

c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13


a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia paska trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang

3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada cedera kepala yaitu:
1) Nyeri yang menetap atau setempat.
2) Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3) Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat
di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro spiral
(cairan cerebros piral keluar dari telinga), minoreaserebrospiral (les keluar dari
hidung).
4) Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5) Penurunan kesadaran.
6) Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
7) Pusing / berkunang-kunang. Absorbsi cepat les dan penurunan volume
intravaskuler 
8) Peningkatan TIK 
9) Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas.
10) Kebingungan
11) Iritabel
12) Pucat
13) Mual dan muntah
14) Kecemasan
15) Sukar untuk dibangunkan
16) Tanda tanda vital: peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi dan peningkatan
pernafasan

5. Patofisiologi / Pathway
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan
biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik
yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak
kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala
primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,


berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra
cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian
pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi,
ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya
tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan
kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP)
yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah
(irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi,
hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat,
aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA
(Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang
menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast
depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui
rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan
pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel
akan mengkerut (shrinkage).

PATHWAY

Kecelakaan lalu lintas

Cidera kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio cerebri Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Terjadi benturan benda asing

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler Teradapat luka


Sistemik & TD  di kepala

O2  gangguan Rusaknya bagian kulit


metabolisme  tek. Pemb.darah dan jaringannya
Pulmonal
Kerusakan integritas
Asam laktat  jaringan kulit
 tek. Hidrostatik

Oedem otak
kebocoran cairan
Ketidakefektifan kapiler
perfusi jaringan
cerebral oedema paru cardiac output 

Penumpukan
Ketidak efektifan
cairan/secret
perfusi jaringan
perifer
Ketidakefektif pola
napas
Difusi O2
terhambat

Ketidakefektif bersihan
jalan napas

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap, urine, kimia darah
b. CT Scan (tanpa/dengan kontras):
Mengidentifikasi luasnya lesi, adanya perdarahan, menentukan ukuran ventrikuler,
perubahan jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemik/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam paska trauma.
c. MRI
Sama dengan CT Scan dengan/tanpa menggunakan kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, spt ; pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.
e. EKG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
f. Sinar – X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. Rongent
Tengkorak maupun thorak
g. BAER (brain auditory evoked respon)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
h. PET (positron emission tomography)
Menunjukkkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
i. CSF, Lumbal Punksi
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid.
j. GDA (gas darah arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat
meningkatkan PTIK.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggungjawab terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk
mengatasi kejang.

m. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
n. Kimia/Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial. (Musliha, 2010).

7. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera
kepala meliputi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik
seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner,
2000) Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia
cedera kepala (Turner, 2000)
b. Penatalaksanaan umum adalah:
1) Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2) Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3) Berikan oksigenasi
4) Awasi tekanan darah
5) Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6) Atasi shock
7) Awasi kemungkinan munculnya kejang.
c. Penatalaksanaan lainnya :
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3) Pemberian analgetika
4) Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose
untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya
bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp).
Pemberian protein tergantung nilai urea.
d. Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1) Pemantauan TIK dengan ketat
2) Oksigenisasi adekuat
3) Pemberian manitol
4) Penggunaan steroid
5) Peningkatan kepala tempat tidur
6) Bedah neuro.
e. Tindakan pendukung lain yaitu:
1) Dukungan ventilasi
2) Pencegahan kejang
3) Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4) Terapi anti konvulsan
5) Klorpromazin untuk menenangkan klien
6) Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Pengkajian sekunder
1) Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi badan,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda  : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala   : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan
fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan
penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala  : Sakit kepala.
Tanda  : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

10) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala  : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak,
tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan
dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda  : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d Penghentian aliran darah oleh
hemoragia, hematoma, Edema serebral, Penurunan tekanan darah sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Faktor resiko:
1. Perubahan status mental
2. Perubahan perilaku
3. Perubahan respon motorik
4. Perubahan reaksi pupil
5. Kesulitan menelan
6. Kelemahan atau paralisis ekstremitas
7. Paralisis
8. Ketidaknormalan dalam berbicara

b. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas


Faktor berhubungan:
1) Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
2) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas
3) Fisiologis; kelainan dan penyakit

Batasan karakteristik:
Subjektif
Dispnea
Objektif
1) Suara napas tambahan
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif
4) Sianosis
5) Kesulitan untuk berbicara
6) Penurunan suara napas
7) Ortopnea
8) Gelisah
9) Sputum berlebihan
10) Mata terbelalak

c. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b/d


Faktor berhubungan:
1) diabetes militus
2) gaya hidup kurang gerak
3) hipertensi
4) kurang pengetahuan tentang faktor pemberat
5) kurang pengetahuan tentang proses penyakit
6) merokok

Batasan karakteristik:
Subjektif
Perubahan sensasi
Objektif
1) Perubahan karakteristik kulit
2) Perubahan tekanan darah pada ekstremitas
3) Klaudikasi
4) Kelambatan penyembuhan
5) Nadi arteri lemah
6) Edema
7) Tanda human positif
8) Kulit pucat saat elevasi, dan tidak kembali saat diturunkan
9) Diskolorasi kulit
10) Perubahan suhu kulit
11) Nadi lemah atau tidak teraba

d. Kerusakan integritas jaringan kulit b/d


Faktor berhubungan
1) Cedera jaringan
2) Jaringan rusak

Batasan karakteristik
1) Kerusakan pada lapisan kulit
2) Kerusakan pada permukaan kulit
3) Invasi struktur tubuh

e. Ketidak efektifan pola nafas


Faktor berhubungan:
1) Ansietas
2) Cidera medula spinalis
3) Disfungsi neuromuskular
4) Gangguan neuromuskular
5) Gangguan neurologis
6) Hiperventilasi
7) Keletihan
8) Keletihan otot pernapasan
9) Nyeri
10) Obesitas
11) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
12) Sindrom hipoventilasi

3. RENCANA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d Penghentian aliran darah oleh
hemoragia, hematome, edema serebral. Penurunan tekanan darah sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Ditandai dengan
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori. Perubahan respon
motorik/sensori, gelisah. Perubahan respon motorik/sensorik, gelisah. Perubahan
tanda vital.

Tujuan :
Pasien akan mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif, dan
fungsi motorik/sensorik. Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-
tanda PTIK.
Intervensi/rasional :
 Tentukan faktor-faktor yang b.d keadaan tertentu atau yang menyebabkan
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial PTIK  menentukan
pilihan intervensi.
 Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (GCS)  mengkaji tingkat kesadaran dan potensial PTIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
 Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang bertujuan
(patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang nyeri yang
diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat
anggota gerak tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah  pasien
dikatakan sadar bila pasien dapat meremas atau melepaskan tangan pemeriksa
atau dapat menggerakkan tangan sesuai dengan perintah. Gerakan yang
bertujuan meliputi meringis, atau gerakan menarik/menjauhi rangsangan nyeri
atau gerakan yang disadari pasien (spt duduk). Gerakan fleksi abnormal sbg
indikasi kerusakan serebral yang menyebar. Tidak ada gerakan spontan pada
salah satu sisi tubuh menandakan kerusakan pada jalan motorik di hemisfer
otak yang berlawanan (kontralateral).
 Kaji tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara terus-menerus dan
tekanan nadi yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien
yang mengalami trauma multipel Peningkatan TD darah sistemik yang diikuti
oleh penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang membesar)merupakan tanda
PTIK, juga diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemi/hipertensi
yang b.d trauma multipel dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemik
serebral.
 Kaji frekuensi jantung, adanya bradikardi, takikardi, atau bentuk disritmia
lainnya  perubahan pada ritme (paling sering bradikardi) dan disritmia dapat
timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mengalami kelainan jantung sebelumnya.
 Kaji pola dan irama pernapasan, adanya periode apneu setelah hiperventilasi
(cheyne-stokes)  Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya
gangguan serebral/PTIK dan memerlukan tindakan lebih lanjut dukungan napas
buatan.
 Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan
kanan dan reaksi terhadap cahaya.  Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial
okulomotorius (III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotorius (III).
 Kaji perubahan pada penglihatan, spt adanya penglihatan kabur, ganda, lapang
pandang menyempit  Gangguan penglihatan yang diakibatkan oleh kerusakan
mikrokospik otak mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan
mempengaruhi pilihan intervensi.
Kolaborasi :
 Tinggikan kepala pasien 15° - 45° sesuai indikasi/jika dapat ditoleransi 
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala shg akan mengurangi kongesti dan
edema atau resiko terjadinya PTIK.
 Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Berikan cairan melalui intravena
dengan alat kontrol  Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk
menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskular, TD dan
TIK.
 Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi  Untuk memenuhi kebutuhan
oksigen serebral.

Berikan obat sesuai indikasi :


 Diuretik contohnya ; manitol, furosemid  Pada fase akut untuk menurunkan
air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
 Neuroprotektan ; piracetam
 Steroid contohnya ; dexametason, metil prednison  Menurunkan inflamasi,
yang selanjutnya menurunkan edema otak.
 Antikonvulsan, contohnya ; fenitoin  Untuk mengatasi dan mencegah
terjadinya aktifitas kejang.
 Analgesik sedang  Menurunkan atau menghilangkan nyeri.
 Sedatif, contohnya ; difenhidramin  untuk mengendalikan kegelisahan,
agitasi.
 Antipiretik, contonya; acetaminofen  menurunkan demam.
 Persiapkan pembedahan jika ada indikasi  Kraniotomi diperlukan untuk
memindahkan fragmen tulang, evakuasi hematom, mengendalikan perdarahan,
dan membersihkan jaringan nekrotik.

b. Risiko ketidakefektifan pola napas b.d Kerusakan neuromuskuler (cedera pada


pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi dan kognitif. Obstruksi trakeobronkial.
Tujuan :
Pasien akan mempertahankan pola napas efektif, dengan kriteria frekuensi,dan
irama napas dalam batas normal, bebas sianosis, nilai GDA dalam batas normal.
Intervensi/rasional :
 Kaji dan catat frekuensi, irama, kedalaman pernapasan  Pernapasan lambat,
periode apneu dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
 Kaji dan catat refleks gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan napas sendiri. Pasang alat untuk membebaskan jalan napas  Kehilangan
refleks menelan atau batuk menandakan perlunya jalan napas buatan atau
intubasi (orofaringeal air way, nasofaringeal air way, endotrakeal tube)
 Tinggikan kepala tempat tidur sesuai aturanya  Untuk memudahkan ekspansi
paru.
 Lakukan penghisapan (suction) dengan hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret  Biasanya dilakukan pada
pasien koma atau tidak dapat membersihan jalan napasnya sendiri. Suction pada
trakea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal
tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
vasokontriksi yang pada akgirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi
serebral.
 Auskultasi suara napas, perhatikan area hipoventilasi dan adanya suara napas
tambahan (krekels, ronki, mengi)  Untuk mengidentifikasi adanya masalah
pada paru, spt; atelektasis, kongesti, atau sumbatan jalan napas yang
membahayakan oksigenisasi serebral
dan/atau menandakan adanya infeksi paru (umumnya komplikasi dari cedera
kepala).
 Pantau penggunaan obat-obatan depresan pernapasan  dapat meningkatkan
gangguan/komplikasi pernapasan.

Kolaborasi :
 Periksa analisa gas darah (AGD) dan tekanan oksimetri  Menentukan
kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.
 Lakukan rontgen torak ulang  Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
tanda komplikasi yang berkembang.
 Berikan oksigen  memaksimalkan oksigen darah arteri dan membantu
mencegah hipoksia. Jika pusat pernapasan cedera/tertekan, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik.
 Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi  Dilakukan pada fase rehabilitasi
untuk memobilisasikan dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.

c. Hambatan mobilisasi fisik b.d Penurunan neuromuskuler, terapi bedrest,


immobilitasi
Ditandai dengan
Ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk
mobilitas di tempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi,
keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan/kontrol otot.
Tujuan
Pasien akan melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal, ditandai
dengan tidak adanya kontraktur, footdrop. Mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. Mendemontrasikan teknik/perilaku
yang memungkinkan dilakukannya kembali aktifitas. Mempertahankan integritas
kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi/rasional :
 Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang
terjadi  Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
 Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan derajat ketergantungan (0-
4)  Pasien mampu mandiri (nilai 0), memerlukan bantuan/peralatan yang
minimal (nilai 1), memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan
(nilai 2), memerlukan bantuan/peralatan yang terus-menerus dan alat khusus,
tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Kategori dengan nilai 2-4
mempunyai resiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut s.d
imobilisasi.
 Ubah posisi pasien secara teratur, letakkan pasien pada posisi tertentu untuk
menghindari kerusakan karena tekanan  Perubahan posisi yang teratur
menyebabkan penyebaran terhadap BB dan meningkatkan sirkulasi pada bagian
yang tertekan sehingga dapat mencegah kerusakan kulit/luka tekan (dekubitus).
 Berikan/bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak, jika dapat
ditoleransi  Mempertahankan mobilisasi sendi, meningkatkan kekuatan otot,
dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
 Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunakan alat bantu
gerak  Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan kegiatan adalah sangat
penting untuk meningkatkan kerjasama atau keberhasilan dari suatu program
tersebut.
 Berikan perawatan kulit, masage dengan pelembab dan ganti sprei/pakaian yang
basah dan pertahankan agar tetap bersih, kering dan bebas dari kerutan 
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulitdan menurunkan resiko terjadinya
luka lecet pada kulit.

d. Risiko infeksi b.d Trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif, Kekurangan
gizi, penurunan kerja silia.
Tujuan
Pasien akan terbebas/terhindar dari infeksi ditandai dengan bebas tanda-tanda
infeksi, normotermia, mencapai penyembuhan luka tepat waktu jika ada.
Intervensi/rasional :
 Lakukan perawatan secara aseptik dan antiseptik, pertahankan cuci tangan yang
baik  Untuk menghindari terjadinya infeksi nasokomial.
 Lakukan perawatan luka secara aseptik dan observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan (spt; kondisi luka, dan jahitan), garis yang terpasang alat
invasif (terpasang infus dsb), dan catat karakter drainase dan adanya inflamasi
 Untuk mendeteksi dini perkembangan infeksi.
 Pantau suhu secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaforesis, dan
perubahan status mental (penurunan kesadaran)  Dapat mengindikasikan
perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan tindakan dengan segara.
 Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara
terus-menerus. Observasi karakter sputum  Untuk menurunkan resiko
terjadinya pneumonia, atelektasis.
 Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang
mengalami infeksi saluran napas bagian atas  Menurunkan pemajaman
terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
Kolaborasi :
 Berikan antibiotik sesuai indikasi  Terapi profilaksis dapat digunakan pasien
yang mengalami trauma/luka, kebocoran CSS atau post operasi untuk
menurunkan resiko terjadinyan inffeksi nasokomial.
 Lakukan bahan kultur (darah, drainase purulen)  Untuk mengidentifikasi
organisme penyebab infeksi, dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Doenges, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC

Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga

Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem
persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta :
EGC

http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala (di unduh pada tanggal


25 April 2020)

http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-
kepala.html (di unduh pada tanggal 25 April 2020)

http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/12/asuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan-cedera-kepala-ringan/ (di unduh pada tanggal 26 April 2020)
https://www.academia.edu/33428511/asuhan_keperawatn_pada_pasien_dengan_cedera_ke
pala_berat_CKB_di_ruang_prioritas_1_RSUP_DR_Mohammad_Hoesin_Palembang
(diunduh 8 Mei 2020)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT

I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS MAHASISWA
1. Nama : Ervani Zuheldi
2. NIM :
3. Tgl Praktek : 1 Mei 2020

B. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. A
2. No RM : XXXX
3. Umur : 60 th
4. Jenis Kelamin :L
5. Tanggal : 1 Mei 2020
6. Hari rawat ke : ke 2
7. Agama : Islam
8. Status : Menikah
9. Alergi : Tidak Ada
10. BB : 60 Kg
11. Alamat rumah : Wonodadi Kecamatan Gading Rejo Kab Pringsewu
12. Tgl masuk RS : 30 April 2020
13. Diagnosis medis : Cedera Kepala Berat GCS 4

C. ALASAN DIRAWAT DI ICCU/ICU


Keluarga klien mengatakan, klien tidak sadarkan diri ± 2 jam sebelum masuk
rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas ditabrak oleh motor di jalan raya,
keluarga mengatakan keadaan klien muntah-muntah dengan mengeluarkan cairan
darah konsistensi cair pekat. Lalu klien segera dibawa ke RSUD Pringsewu
untuk mendapatkan pertolongan. Sesampainya di RSUD Pringsewu klien dengan
penurunan kesadaran GCS 4 (E1M2V1) langsung masuk ke ruangan perawatan
Prioritas 1 (Triage Merah) dan dilakukan tindakan membersihkan jalan nafas dan
memasang ETT serta alat bantu nafas ventilator pada tanggal 30 April 2020 jam
09.00 WIB. Pada tanggal 1 Mei 2020 pukul 09:30 di lakukan pengkajian kasus
keperawatan dan didapatkan hasil klien mengalami penurunan kesadaran dengan
GCS 4 (E1V1M2), terpasang ventilator, terpasang monitor EKG, terpasang
IVFD Ringerfundin gtt 20x/menit, terpasang kateter, TD= 100/60 mmHg,
RR=30x/menit, T= 37,50C, HR= 65x/menit, adanya jejas di daerah mata, pipi,
luka di bagian kepala belakang sebelah kanan berukuran 3cm dan terdapat darah
dari mulut.

D. PENGKAJIAN PRIMER
1. AIRWAY
- Sumbatan : Darah & Sputum/lender
- Suara Nafas Gurgling

2. BREATHING
- Sesak tanpa aktivitas
- Frekuensi : 30 X /menit
- Irama Tidak teratur
- Kedalaman : Dangkal
- Batuk : Non produktif
- Bunyi nafas tambahan : gurgling

3. CIRCULATION
- Kesadaran : Penurunan Kesadaran
- Sirkulasi perifer : Pucat
- Nadi : 65 X/menit
- Irama Teratur
- Denyut Lemah
- Tekanan darah : 100 / 60 mmHg
- Ekstremitas hangat
- Warna kulit : Pucat
- Pengisian kapiler : 2 detik
- Edema tidak ada

4. DISABILITY
Pemeriksaan neurologis singkat
- Tingkat kesadaran koma GCS 4 (E1M2V1)
- Voice respons terhadap suara tidak berespon saat di panggil
- Pain respon terhadap nyeri berespon
- Reaksi pupil anisokor

E. PENGKAJIAN SEKUNDER
Kardiovaskuler TD : 100/60 Muskuloskeletal Kekuatan otot 0,
mmhg, echymosis, tidak mampu
perdarahan di bergerak karena
bagian kepala, penurunan
adanya kebiruan kesadaran
(lingkaran mata),
bengkak dan
perdarahan pada
ektremitas kanan
Dx Kep: Dx Kep:
Pernapasan Sesak Nafas, RR Genitourinaria Terpasang
30 X/menit, khateter
Dx Kep: Dx Kep:
Neurologi dan GCS 4 (E1M2V1), Integumen Akral hangat,
sensori
pemeriksaan mata pucat, ada luka
Anisokor ukuran 3 cm
dibagian kepala
kanan belakang,
odem dibagian
kepala, lacerasi
bagian hidung dan
abdomen,
ektremitas
sebelah kanan
Dx Kep: Dx Kep:
Gastriintestinal Gangguan Endokrin
menelan,
terpasang sonde
Dx Kep: Dx Kep:
Nutrisi Makanan cair Psikososial Pasien tidak sadar
Dx Kep: Dx Kep:
Cairan Terpasang IVFD Istirahat tidur Klien tmengalami
Ringerfundin gtt penurunan
20x/menit, kesadaran
Dx Kep: Dx Kep:

F. MONITORING TIAP JAM

H
E
250 Temp X Biru
M
200 MAP
O
D
HIJAU 150
I
N
BP HITAM 100
A
M
HR 50 MERAH
I
K

Kesadaran
Irama EKG
Nyeri
CVP
SaO2/SPO2
R Tipe Vent
E PEEP/CPAP
S RR
P TV
I FiO2
R
A
S
I
N Mata
Ukuran
E
Reaksi
U Kaki
R Tangan
GCS
O
M Line 1
Line 2
A
Line 3
S Line 4
U Enteral
Total
K
K NGT
Urin
E
BAB
L Drain
U Total

A
R

G. TERAPI / PROGRAM MEDIS


Tanggal 1 Mei 2020
Cara
No Nama Terapi Dosis Golongan Obat
Pemberian
1 Ceftriaxone 2x1 Gr I.V Antibiotik
2 Paracetamol 3x1 gr I.V Antipiretik
3 Omeperazole 1x40 ml I.V Analgetik
4 Dobutamin 150 gr Kontinyu I.V Obat jantung
5 Ringer Fundin 500cc Kontinyu I.V Elektrolit

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG (LAB DAN DIAGNOSTIK)


Tanggal 1 Mei 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Glukosa sewaktu 150 mg/dl 70-140
Urea 32 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,00 mg/dl 0,5-1,2
SGOT 23 u/L 0-31
SGPT 14 u/L 0-32
K 41 Mmol/L 3,4-5,4
Na 145 Mmol/L 135-155
Cl 99 Mmol/L 95-108
HbsAg Negatif
WBC 14,59 [10^3/uL] 4,8-10,8
RBC 3,99 [10^6/uL] 4,2-5,4
HGB 10,3 [g/dL] 12-16

II. ANALISA DATA


NO DATA FOKUS MASALAH ETIOLOGI

1. DS : tidak dapat dinilai Ketidakefektifan Akumulasi Sekret


DO : bersihan jalan nafas
1. KU : penurunan
kesadaran
2. Kesadaran: coma
3. Terpasang Ventilator,
4. RR: 30x/m,
N : 65x/M
T : 37,50C
TD: 100/60 mmHg
5. Terdapat secret di
selang ETT dan
mulut
6. Suara nafas tambahan
stridor

2. DS : tidak dapat dinilai Ketidak efektifan Cedera primer pada


DO : perfusi jaringan otak
serebral
1. KU: penurunan
kesadaran
2. Kesadaran: coma
3. GCS: 4 (E1V1M2)
4. Terpasang Ventilator,
5. RR: 30x/m,
N : 65x/M
T : 37,50C
TD: 100/60 mmHg
6. Pupil anisokor
7. Kebiruan sekitar
mata (jejas)
8. Kepala bengkak dan
asimetris
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
N TGL/JAM DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS
O
1. 1 Mei 2020 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d Akumulasi
Sekret
Pukul 10.00
2. Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral b.d Cedera
WIB primer pada otak
IV. RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
NO DX
NOC NIC
1. Ketidakefektifan bersihan jalan NOC: Status Pernapasan: NIC: manajemen jalan napas
nafas b.d Akumulasi Sekret Kepatenan jalan nafas 1. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
Ditandai dengan : Setelah dilakukan tindakan selama 3 2. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw
DS : tidak dapat dinilai x 24 jam status pernafasan klien thrust
DO : tidak terganggu dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial untuk
1. Tidak ada suara nafas tambahan memasukkan alat membuka jalan nafas
1. Ku: Penurunan kesadaran 2. Tidak ada pernafasan cupig 4. Masukkan alat nasopharingeal airway (NPA) atau
2. Kesadaran: coma hidung oro[haringeal airway (OPA)
3. GCS: E1VtM1, 3. Akumulasi secret hilang 5. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
4. Terpasang Ventlator, 4. Frekuensi nafas 20-24 X/menit 6. Lakukan penyedotan melalui endotrakea dan
5. RR: 30x/m, nasotrakea
N : 65x/M 7. kelola nebulizer ultrasonik
T : 37,50C 8. posisikan untuk meringankan sesak napas
TD: 100/60 mmHg 9. auskultasi suara nafas, catat area yang
6. Terdapat secret di selang ETT ventilasinya menurun atau tidak ada dan adnaya
dan mulut suara tambahan
7. Suara nafas stridor 10. Edukasi keluarga klien tentang keadaan klien.
11. Kolaborasi dengan tim dokter dala pemberian
obat

2. Ketidak efektifan perfusi jaringan NOC: perfusi jaringan: cerebral NIC: Monitor tekanan intra kranial
serebral b.d Cedera primer pada Setelah dilakukan tindakan selama 3 1. Monitor status neorologis
otak ditandai dengan : x 24 jam perfusi jaringan serebral 2. Monitor intake dan ouput
DS : tidak dapat dinilai klien tidak ada masalah dengan 3. Moniotr tekanan aliran darah ke otak
DO : kriteria hasil: 4. Monitor tingkat CO2 dan pertahankan dalam
1. Tidak Muntah parameter yang ditentukan
1. Ku: penurunan kesadaran 2. Tidak ada Demam 5. Periksa klien terkait adanya tanda kaku kuduk
2. Kesadaran: coma 3. Tidak ada gangguan kognisi 6. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
3. GCS 4: E1V1M2, 4. Tidak terjadi penurunan mengoptimalkan perfusi jaringan serebral
4. Terpasang Ventilator, kesadaran 7. Berikan informasi kepada keluarga/ orang
5. RR: 30x/m, 5. Reflek saraf tidak terganggu penting lainnya
N : 65x/M 8. Beritahu dokter untuk peningkatan TIK yang
T : 37,50C tidak bereaksi sesuai peraturan perawatan.
TD: 100/60 mmHg 9. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian
6. Pupil anisokor obat
7. Kebiruan sekitar mata (jejas)
8. Kepala bengkak dan asimetris

V. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


N TGL/JAM IMPLEMENTASI EVALUASI TTD/NAMA
O
1 Jumat, 1-5- 1. Memonitor status pernafasan dan oksigenisasi Jumat, 1-5-2020 Pukul 14:30
2020 R/: Respirasi : 28x/menit Spo2 : 80% S: -
09:40 2. Memposisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi O:
Wib R/: Posisi klien semi fowler 1. Ku: Penurunan Kesadaran
3. Melakukan penyedotan (suction) melalui endotrakea 2. Kesadaran: Koma
09:45 R/: Penumpukan secret di jalan nafas klien 3. GCS: 3 (E1V1M1)
Wib berkurang setelah di suction 4. Terpasang Ventilator
4. Memposisikan untuk meringankan sesak napas 5. RR: 28 x/m,
R/: Posisi tempat tidur klien di tinggi kan (semi N : 60 x/M
09:50 Wib fowler) T : 36,5 0C
5. Mengauskultasi suara nafas, catat area yang TD: 90/60 mmHg
ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya A: Ketidakefektifan bersihan jalan
09:55 Wib suara tambahan nafas belum teratasi
R/: suara nafas tambahan stridor P: Intervensi dilanjutkan
1. Monitor status pernafasan dan
6. Mengedukasi keluarga klien tentang keadaan klien. oksigenisasi
R/: keluarga klien menerima keadaan apapun yang 2. Posisikan klien untuk
terjadi pada klien karena klien sudah kritis memaksimalkan ventilasi
7. Berkolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian 3. Lakukan penyedotan (suction)
obat melalui endotrakea
a) Ceftriaxone 4. Posisikan untuk meringankan
b) Omeprazole sesak napas
c) Paracetamol 5. Auskultasi suara nafas, catat area
d) Ringer Fundin yang ventilasinya menurun atau
e) Dobutamin tidak ada dan adanya suara
tambahan
R/: suara nafas tambahan stridor
6. kolaborasi dengan tim dokter
dalam pemberian obat

2. Jumat, 1-5- 1. Memonitor status neorologis Jumat. 1-5-2020 Pukul 14:30


2020 R/: GCS 3 , E:1 V:1 M:1 S:-
10.15 Wib O:
2. Menyesuaikan kepala tempat tidur untuk 1. KU: Penurunan Kesadaran
mengoptimalkan perfusi jaringan serebral 2. Kesadaran: KOma
09:57 R/: posisi klien terlentang 3. GCS: 3 (E1V1M1)
Wib 4. Terpasang Ventlator,
3. Memberikan informasi kepada keluarga/ orang 5. RR: 28 x/m,
penting lainnya keadaan klien N : 60 x/M
R/: Keluarga klien menerima dan pasrah dengan T : 36,5 0C
10:00 Wib keadaan klien yang semakin kritis TD: 90/60 mmHg
A: Ketidakefektifan perfusi jaringan
4. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat serebral belum teratasi
a) Ceftriaxone P : Lanjutkan intervensi
b) Omperazole 1. Memonitor status neorologis
c) Paracetamol 2. Menyesuaikan kepala tempat tidur
d) Ringe Fundin untuk mengoptimalkan perfusi
e) Dobutamin jaringan serebral
3. Memberikan informasi kepada
keluarga/ orang penting lainnya
keadaan klien
4. Kolaborasi dengan tim dokter
dalam pemberian obat

3. Sabtu, 2-5- 1. Memonitor status pernafasan dan oksigenisasi Sabtu, 1-5-2020 Pukul 14:30
2020 R/: Respirasi : 30x/menit Spo2 : 80% S: -
09:40 2. Memposisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi O:
Wib R/: Posisi klien semi fowler 1. Ku: Meninggal dunia
3. Melakukan penyedotan (suction) melalui endotrakea 2. Kesadaran: -
09:45 R/: Penumpukan secret di jalan nafas klien 3. GCS: -
Wib berkurang setelah di suction 4. Terpasang Ventilator
4. Memposisikan untuk meringankan sesak napas 5. RR: - x/m,
R/: Posisi tempat tidur klien di tinggi kan (semi N : - x/M
09:50 Wib fowler) T : - 0C
5. Mengauskultasi suara nafas, catat area yang TD: - mmHg
ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya A: Ketidakefektifan bersihan jalan
09:55 Wib suara tambahan nafas tidak teratasi
R/: suara nafas tambahan stridor P: Intervensi dihentikan Pasien
6. Mengedukasi keluarga klien tentang keadaan klien. meninggal dunia
R/: keluarga klien menerima keadaan apapun yang
terjadi pada klien karena klien sudah kritis
7. Berkolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian
obat
f) Ceftriaxone
g) Omeprazole
h) Paracetamol
i) Ringer Fundin
j) Dobutamin

4. Sabtu 2-5- 1. Memonitor status neorologis Sabtu, 2-5-2020 Pukul 14:30


2020 R/: GCS 3 , E:1 V:1 M:1 S:-
10.15 Wib O:
2. Menyesuaikan kepala tempat tidur untuk 1. KU: Meninggal dunia
mengoptimalkan perfusi jaringan serebral 2. Kesadaran: -
09:57 R/: posisi klien terlentang 3. GCS: -
Wib 4. Terpasang Ventilator
3. Memberikan informasi kepada keluarga/ orang 5. RR: - x/m,
penting lainnya keadaan klien N : - x/M
R/: Keluarga klien menerima dan pasrah dengan T : - 0C
10:00 Wib keadaan klien yang semakin kritis TD: - mmHg
A: Ketidakefektifan perfusi jaringan
4. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat serebral tidak teratasi
f) Ceftriaxone P : Hentikan intervensi pasien
g) Omperazole meninggal dunia
h) Paracetamol
i) Ringe Fundin
j) Dobutamin

Anda mungkin juga menyukai