Praktik kolaborasi sangatlah penting dalam pelayanan kesehatan.
Permasalahan pasien yang kompleks tidak bisa diatasi oleh satu profesi kesehatan saja. Berbagai profesi kesehatan perlu melakukan kolaborasi bukan hanya untuk keselamatan pasien tetapi juga untuk meningkatkan kepuasaan dan terwujudnya mutu pelayanan kesehatan yang baik. Profesi kesehatan tersebut di antaranya yaitu dokter, apoteker, perawat, ahli gizi, analis dan psikolog. Kolaborasi adalah proses dimana dokter, apoteker, perawat dan profesional kesehatan lainnya merencanakan dan praktik bersama sebagai kolega. Bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup kerja mereka dengan berbagai nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkonstribusi untuk merawat dan menngkatkan kesehatan masyarakat. Bentuk kolaborasi antara dokter dan apoteker contohnya yaitu dokter selalu bertanya atau berkomunikasi dengan apoteker di depo farmasi mengenai obat yang tersedia di rumah sakit. Begitupun juga dengan apoteker, seorang apoteker harus selalu memberikan informasi terbaru mengenai obat di depo farmasi. Apoteker juga dapat memberikan saran dan evaluasi terhadap resep yang ditulis oleh dokter. Sehingga tidak terjadi kesalahan pengobatan pada pasien. Salah satu program yang membutuhkan kolaborasi antarprofesional kesehatan yaitu program rujuk balik. Program rujuk balik sudah diaplikasikan sejak tahun 2014 dan merupakan salah satu program unggulan. Program rujuk balik merupakan pelayanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan yang panjang, dilaksanakan di layanan primer atau rumah sakit berdasarkan rujuk balik dari dokter spesialis, tujuannya optimalisasi dokter layanan primer, transfer of knowledge dan meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan. Dalam penelitian (Sutriso dkk., 2017) dilakukan wawancara mendalam terhadap dua dokter spesialis, dua dokter umum, satu apoteker dan satu pegawai BPJS di Rumah Sakit Kabupaten Kotawaringin Timur yang menerapkan program rujuk balik. Hasil penelitian menunjukkan program rujuk balik BPJS di Kabupaten Kotawaringin Timur rendah atau tidak mencapai target (<5 kasus/minggu) dan sering terjadi kekosongan obat disebabkan kolaborasi antarprofesi dalam program rujuk balik kurang berfungsi karena beberapa faktor yaitu yang pertama pertimbangan sosial dan intrapersonal. Berbagai kendala pertimbangan sosial muncul seperti pasien lebih percaya pada dokter spesialis dan keterbatasan dokter umum, khususnya obat-obatan menyebabkan dokter spesialis untuk tidak merujuk balik. Pertimbangan intrapersonal merupakan komponen penting, sikap kurang simpatik seharusnya tidak ada dalam kolaborasi antar profesi. Kekosongan obat yang sering terjadi di apotek dan sikap kurang kooperatif antara dokter spesialis dan apoteker mengakibatkan kendala program rujuk balik. Faktor kedua yaitu lingkungan kerja di antara para profesi kurang memfasilitasi kolaborasi. Faktor ketiga yaitu institusi dan organisasi kurang berperan mengurangi hambatan kolaborasi, contohnya kebijakan surat rujukan yang hanya berlaku sekali. Faktor keempat yaitu interpersonal, komunikasi yang kurang antar profesi dan tidak adanya pertemuan tersendiri antarprofesi. Faktor kelima yaitu perilaku dan sikap para profesi serta tidak adanya leader atau penengah dalam pelaksanaan kolaborasi antarprofesi. Tidak tercapainya program rujuk balik ini maka perlu dilakukan upaya keberhasilan yaitu evaluasi terhadap kolaborasi antarprofesi yang kurang berfungsi. Untuk mewujudkan kolaborasi yang ideal maka terlebih dahulu setiap profesi harus mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi peran sesuai dengan kompetensi masing-masing. Komunikasi adalah hal terpenting dalam kolaborasi. Dengan komunikasi antarprofesi dapat saling berbagi ide, perspektif, dan inovasi serta dapat menekan permasalahan yang mungkin terjadi. Komunikasi dirasakan kurang antarprofesi, hanya lewat surat rujukan, surat rujuk balik atau resep dalam pelayanan obat. Perlu diadakan pertemuan tersendiri antarprofesi untuk berkoordinasi membahas permasalahan yang terjadi di lapangan agar dapat mengetahui tugas dan kewenangan masing-masing dan tercapainya tujuan kolaborasi. Kesadaran untuk bekerjasama dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap profesi. Sehingga permasalahan seperti kekosongan obat tidak lagi terjadi. Dokter seharusnya selalu bertanya atau berkomunikasi dengan apoteker di depo farmasi mengenai obat program rujuk balik yang tersedia. Begitupun juga dengan apoteker harus selalu memberikan informasi terbaru mengenai obat di depo farmasi. Hal lain yang juga diperlukan yaitu penengah atau leader dalam pelaksanaan kolaborasi antarprofesi dalam program rujuk balik. Kesenjangan yang lebar antara profesi, khususnya dokter spesialis dengan dokter umum sehingga mengakibatkan tidak berjalannya komunikasi di antara mereka. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut perlu ada seseorang, institusi atau profesi tertentu yang dapat menjadi penengah. Selain itu ingkungan kerja yang baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim kolaborasi. Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan untuk kolaborasi antara profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi atau kelembagaan harus dapat mendorong terciptanya kolaborasi antarprofesi. BPJS atau pihak yang terlibat harus memfasilitasi pertemuan dalam bentuk peer review atau case review sehingga diperoleh kesepakatan tentang pengelolaan pasien, untuk pembagian wewenang antara dokter spesialis dan dokter umum serta apoteker. Selain itu pihak BPJS atau penyelenggara program juga perlu meningkatkan sosialisasi mengenai program rujuk balik ini kepada pihak-pihak yang terlibat agar tujuan tercapai.