Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

CAVER ................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang.................................................................................................. 5
I.2. Rumusan Masalah............................................................................................5
I.3. Manfaat dan Tujuan.......................................................................................... 5
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian........................................................................................................ 6
2.1.1 Pengertian Batubara Menurut Para Ahli.............................................. 6
2.1.2 Pengertian Petrologi Batubara Menurut Para Ahli................................ 6
2.2. Proses Pembentukan Batubara ......................................................................7
2.2.1 Teori Pambatubaraan ......................................................................... .7
2.2.2 Penggambutan (Peatification)...............................................................8
2.2.3 Pembatubaraan (Coalitification)............................................................ 9
2.3. Fasies Batubara...............................................................................................11
2.3.1 Tipe Pengendapan................................................................................ 11
2.3.2 Tumbuhan Pembentukan Batubara...................................................... 12
2.3.3 Lingkungan Pengendapan.................................................................... 13
2.3.4 Komponen – Komponen yang Mempengaruhi Pembentukan
Batubara................................................................................................13
2.4. Karateristik Lingkungan Pengendapan............................................................ 13
2.4.1 Karateristik Lingkungan Pengendapan Menurut Diesel (1992)............15
2.4.2 Karateristik Lingkungan Pengendapan Menurut Horne (1978)............ 15
2.5. Maseral pada Batubara................................................................................... 17
2.5.1 Vitrinit.....................................................................................................17
2.5.2 Liptinit (Exinit)........................................................................................ 17
2.5.3 Inertinit................................................................................................... 18
2.5.4 Tabel Klasifikasi Maseral Batubara………………………………………..19
2.6. Pengaruh Sulfur terhadap Batubara................................................................20
2.7. Faktor Kualitas Batubara................................................................................. 21
2.8. Parameter Kualitas Batubara........................................................................... 21
2.9. Klasifikasi Kualitas Batubara........................................................................... 22
2.10 Peran Petrografi Batubara dalam Uji Kualitas Batubara………………………..23
2.11. Metode Pengamatan Maseral Batubara........................................................ 24
2.12. Pengukuran Rasio Pantulan (Reflectance)................................................... 24
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan......................................................................................................25
3.2. Saran .............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di


dunia. Dengan banyaknya penduduk tersebut maka dibutuhkan suplai energi yang
besar untuk berbagai aktivitas masyakarakat mulai dari akomodasi transportasi hingga
listrik. Batubara merupakan salah satu bahan tambang yang eksis sebagai pembangkit
listrik maupun kereta uap. Oleh karena itu dibutuhkannya banyak batubara dalam
berbagai keseharian yang membuat pentingnya kajian mengenai batubara secara
petrologi . Secara petrologi berarti kajian ini lebih condong kepada proses terbentuknya
batubara. Mengetahui proses terbentuknya batubara bermanfaat untuk mengetahui
keterdapatan batubara dalam perut bumi . sehingga sewaktu-waktu cadangan batubara
menipis kita dapat mencarinya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu batubara ?


2. Apa yang dimaksud dengan Petrologi ?
3. Bagaimana proses terbentuknya Batubara ?
4. Apa saja yang mempengaruhi pembentukan batubara ?
5. Apa yang membuat kualitas batubara berbeda ?

1.3 Manfaat dan Tujuan

1.3.1 Manfaat

1. Dapat menambah wawasan untuk para pelajar terutama mahasiswa


2. Dapat dijadikan sebagai referensi pembuatan tugas
3. Dapat menjadi arsip yang berguna bagi penulis

1.3.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari batubara,petrologi.


2. Untuk memahami proses terbentuknya batubara
3. Untuk mengetahui kandungan maseral dalam batubara
4. Untuk mengetahui proses apa saja yang mempengaruhi pembentukan batubara
5. Untuk mengetahui tingkat ekonomis batubara
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Menurut Para Ahli

2.1.1. Pengertian Batubara Menurut Para Ahli

a.Menurut Wolf, 1984 dalam Anggayana (2002) Batubara adalah Salah satu Sedimen
padat yang berasal dari sisa tumbuhan yang telah mengalami penghumifikasian dalam
jangka waktu yang cukup lama ( jutaan tahun ). Proses ini dipengaruhin oleh faktor
fisika dan kimia yang ditandain oleh perubahan warna coklat sampai kehitaman yang
mengakibatkan pengkayaan kandungan Carbon.

b.Menurut Cook ( 1999 ) batubara merupakan proses sedimentasi yang berasal dari
sisa tumbuhan yang terakumulasikan menjadi gambut . hal ini dapat terjadi disebabkan
oleh tekanan dan suhu.

c.Menurut Spackman (1958) Batubara adalah suatu benda padat   karbonan


berkomposisi maseral tertentu.

d.Menurut The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963)Batubara adalah


batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman dalam variasi
tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-
cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam.

 d.Menurut Thiessen (1974) Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks, terdiri


dari bermacam-macam unsur kimia atau merupakan   benda padat organik yang sangat
rumit.

 e.Menurut Achmad Prijono, dkk. (1992)  Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon
padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam   lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh temperatur serta tekanan yang berlangsung sangat lama.

2.1.2.Pengertian Petrologi Batubara Menurut Para Ahli

a. Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-komponen organik


(maceral) dan anorganik (mineral matter) secara mikroskopik. Seperti pada petrografi
mineral, petrografi batubara memerikan komponen-komponen penyusun batubara
secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui asal mula dan genesa pembentukkan
batubara ( Schoft (1956) dan Bustin, dkk (1983) (dikutip dari Rahmad, B., 2001) )

2.2 Proses Pembentukan Batubara

2.2.1 Teori – Teori Pembatubaraan

2.2.1.1 Teori Insitu :

Bahan2 pembentuk lapisan batubara terbentuk ditempat dimana tumbuh2an asal


itu berada. Dengan demikian setelah tumb mati, belum mengalami proses transportasi
segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification.Ciri :
Penyebaran luas dan merata,Kualitas lebih baik, Contoh Muara Enim . Teori ini dapat
diliat pada (Gambar 1)

Gambar 1 : Teori Insitu (Sumber : http://www.ptba.co.id)

2.2.1.2 Teori Drift:


Bahan2 pembtk lapisan batubara terjadi ditempat yang berbeda dengan tempat
tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati
mengalami transportasi oleh media air dan terakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh
lapisan sedimen dan mengalami coalification.Ciri :Penyebaran tdk luas ttp
banyak,kualitas kurang baik (mengandung psr pengotor), Cth : pengendapan delta di
aliran sungai mahakam. Teori ini dapat diliat pada ( Gambar 2 )

Gambar 2 : Teori Drift ( Sumber :http://www.ptba.co.id)

2.2.2 Penggambutan (PEATIFICATION)

Penggambutan adalah salah satu sedimen organik yang berasal dari sisa
tumbuhan yang telah mati atau hancur dipermukaan dan mengalami pembusukan
sehingga bentuk asal tumbuhan tersebut tidak terlihat lagi . Pembentukan gambut
merupakan tahap awal terbentuknya batu bara. Gambut terbentuk di lahan basah yang
disebut mire.. Proses pembusukan dan penghancuran disebabkan oleh aktivitas bakteri
dan oksidasi. Menurut pendapat bend ( 1992 ) dalam diessel ( 1992 ) faktor
penggambutan dipengruhin oleh berbagai faktor yaitu : Evolusi tumbuhan , iklim dan
geografi dan tektonik daerah .

Pembentukan mire dan karakteristik gambut yang dihasilkan bergantung pada


beberapa faktor, yaitu evolusi tumbuhan, iklim, serta paleogeografi dan struktur geologi
daerah. Endapan gambut yang tebal dapat terbentuk apabila (1) muka air naik secara
perlahan-lahan sehingga muka air tanah konstan mengikuti permukaan endapan
gambut, (2) mire terlindung dari penggenangan (banjir) oleh air sungai maupun air laut,
dan (3) tidak ada interupsi oleh endapan sungai.

Berdasarkan lingkungan pengendapannya, mire dapat dibedakan menjadi 2,


yaitu paralic mire dan limnic mire. Miredisebut sebagai paralic apabila terhubung
dengan laut atau daerah pesisir, misalnya laguna, estuarin, delta, dan teluk.  Apabila
terhubung dengan air tawar, mire disebut limnic, misalnya danau dan rawa. Secara
umum, mire dapat dibedakan menjadi (1) topogenous mire apabila pembentukan
gambut terjadi pada suatu level air yang tinggi dan (2)ombrogenous mire (raised
bog) apabila ketinggian air berada di bawah permukaan gambut dan gambut
memperoleh air terutama dari air hujan. Dibawah menunjukkan proses
pembentukan raised bog ( Gambar 3 )

Gamabar 3 : Contoh evolusi mire yang menunjukkan pembentukan raised


bog (McCabe, 1987).

2.2.3 Pembatubaraan (COALIFICATION)

2.2.3.1 Proses pembatubaraan pada batubara yaitu terdiri atas gambut menjadi
lignit, subbituminuous, bitominous, antracite hingga meta-antracite (Susilawati, 1992
dalam Sunarijanto, 2008: 5).Dapat diamatin pada( Gambar 4 ) dibawah ini
Gambar 4 : Proses Pembatubaraan ( Sumber : http://www.ptba.co.id)

Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai
menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:

1.Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut (peat);

2.Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau
disebut juga batubara coklat (brown coal);

3.Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang
menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu
jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);

4.Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari
semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang,
berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);

5.Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara
itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin
hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);

6.Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta
antrasit (meta anthrasite);

7.Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa perubahan
atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).
2.2.3.2 Faktor-Faktor dalam pembentukan batubara sangat berpengaruh
terhadap bentuk maupun kualitas dari lapisan batubara. Beberapa faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan batubara adalah :

1.Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta tahun yang
lalu, yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan
iklim clan topografi tertentu. Jenis dari flora sendiri amat sangat berpengaruh terhadap
tipe dari batubara yang terbentuk.

2.Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar


pembentuk batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang
terendapkan akan mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia.

3.Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan berapa
lama material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk material yang
diendapkan dalam skala waktu geologi yang panjang, maka proses dekomposisi yang
terjadi adalah fase lanjut clan menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang
tinggi.

4.Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu lapisan


batubara dari :

o Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan


batubara yang terbentuk.
o Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil,
lipatan, atau patahan.
o Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari
lapisan batubara yang dihasilkan.
o Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses
sedimentasi dari material dasar menjadi material sedimen. Lingkungan
pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai
berikut:
 Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar
diendapkan. Strukturnya cekungan batubara ini sangat
berpengaruh pada kondisi dan posisi geotektonik.
 Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat
cekungan pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi
cekungan pada saat pengendapan sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk.
Topografi dan morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik.
 Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
pembentukan batubara karena dapat mengontrol pertumbuhan
flora atau tumbuhan sebelum proses pengendapan. Iklim biasanya
dipengaruhi oleh kondisi topografi setempa

2.3 Fasies Batubara


2.3.1 Tipe pengendapan

a. Autochtonous

Pengendapan dari tumbuhan yang kemudian menjadi gambut ditempat yang sama
tanpa mengalami proses transportasi.

b. Allochtonous

Pengendapan dari tumbuhan yang mati kemudian mengalami penghancuran. Sisa -


sisa dari tumbu han yang hancur kemudian ikut terbawa (tertransportasi) ke tempat
lain. Akibat proses transportasi tersebut, sisa - sisa tumbuhan yang hancur tersebut
banyak mengandung mineral matter (abu).

2.3.2 Tumbuhan Pembentukan Batubara

Merupakan tingkatan dari tipe rawa gambut yang menjadi bahan batubara yaitu daerah
air terbuka dengan tumbuhan air, rawa terbuka yang berisi ilalang, rawa di hutan serta
rawa lumut.

Gambar 5 : Urutan tipe rawa gambut (Taylor, 1998)

Berdasarkan jenis tumbuhan yang menjadi bahan (pembentukkannya.rawa gambut


terbagi menjadi 4 (Martini dan Glooscenko, 1984 dalam Diessel,1992), yaitu:

a. Bog: merupakan rawa tempat dari jenis tumbuhan yang sangat sedikit mendapat
suplay makanan seperti lumut atau tanaman perambat.

b. Fen: merupakan rawa tempat transisi antara daerah yang melipah airnya dengan
daerah kering sehingga ditumbuhi oleh tanaman jenis perdu dan beberapa pohon lain.
c. Marsh: rawa yang terdapat di sekitar pinggir danau atau laut yang ditumbuhi oleh
tumbuhan perdu dan tanaman.

d. Swamp: rawa yang terbentuk daerah beriklim tropis dengan curah hujan cukup tinggi
sehingga banyak ditumbuhi oleh tanaman berkayu.

2.3.3 Lingkungan pengendapan

Lingkungan pengendapan berhubungan dengan pembentukan batubara itu sendiri yang


mencakup distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas. Lingkungan
pengendapan terbagi menjadi:

a. Telmatis/Terestrial: daerah pasang surut yang menyebabkan tidak terjadinya


transportasi pada gambut (in situ).

b. Limnik : Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang
terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest
Swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed Swamp)

c. Marine: daerah yang menghasilkan batubara dengan kandungan kaya abu, S dan N
yang mengandung fosil laut. Sedangkan untuk daerah dengan iklim tropis, lingkungan
pengendapannya yaitu hutan mangrove (bakau) dengan kandungan S yang melimpah.

d. Ca-rich: lingkungan pengendapan ini terjadi pada daerah payau dengan kondisi
oksigen terbatas sehingga melimpah akan Ca. Pada lingkungan ini juga terendapkan
banyak fosil dan bitumen

2.3.4 Komponen – Komponen yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara

1. Persedian Bahan Makanan


Lingkungan pengendapan juga memiliki persediaan bahan makanan yang berbeda satu
sama lain. Lingkungan pengendapat tersebut yaitu rawa eutrofik, mesotrofik dan
ologotrofik. Rawaeutrofik merupakan daerah yang menerima air tanah (Low Moor)
sehingga mengandung banyak nutrisi. Sedangkan rawa oligotropik (High Moor) tidak
mengandung banyak nutrisi akibat hanya mendapat suplay air dari hujan.
2. PH, Aktivitas Bakteri, dan Sulfur
PH, bakteri da sulfur merupakan komponen penitng dalam proses dekomposisi struktur
dan kimia dari sisa tumbuhan. Bakteri hidup di air yang mengandung PH mendekati
basa. Semakin asam air pada suatu rawa, maka keberadaan bakteri akan sedikit dan
tumbuhan yang akan menjadi batubara seperti kayu akan akan terawetkan dengan
lebih baik. Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik) untuk
membentuk pirit atau markasit singenetik dengan adanya sulfat dalam gambut tersebut.
3. Temperature
Temperature
Suhu berperan dalam mengubah kandungan asam/basa air dalam suatu rawa. Apabila
suhu hangat dan basah, akan membuat bakteri berkembang dengan baik sehingga
proses kimia yang melibatkan peran organisme tersebut semakin baik pula. Proses
kimia ini berperan dalam dekomposisi primer. Temperatur tertinggi untuk bakteri
penghancur sellulosa pada gambut adalah 35 – 40 oC

2.4.Karakteristik lingkungan pengendapan


2.4.1 batubara Karakteristik lingkungan pengendapan menurut Diessel (1992)
1. Braid Plain: merupakan dataran aluvial diantara pegunungan dengan batubara yang
memiliki komposisi gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas
dengan ketebalan rata-rata 1,5 m.Komposisi batubara tersebut mterdiri dari abu, total
sulfur, dan vitrinit. Ketiga komponen tersebut rendah pada suatu kondisi tertentu.
Sedangkan pada daerah yang memiliki iklim tropis kandungan vitrinitnya tinggi.
dibagian tengah terdapat maseral inertinit berjumlah 28% sedangkan inertinit
(semifusinit) memiliki kandungan besar yang berhubungan dengan nilai TPI relatif
tinggi.
2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain
Zona transisi dari lembah dan daratan alluvial dengan dataran delta membentuk Alluvial
Valley dan Upper Delta Plain. Hal ini menyebakan lapisan batubara umumnya memiliki
ketebalan bervariasi dan endapan sedimen terutama terdiri atas perselingan batupasir
dan lanau/lempung.
3. Lower Delta Plain
Daerah ini merupakan lingkungan laut yang berhubungan dengan sedimentasi. Saat
pasang naik air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa gambut sehingga
memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan
naiknya batas pasang maka akan ternendapkan sedimen klasitik halus yang akan
menjadi pengotor dalam batubara. Selain itu, laut juga akan menambahkan kandungan
pirit menjadi lebih banyak. Batubara yang terendapkan pada daerah ini memiiki
kandungan inertinit rendah dengan nilai GI tinggi dan vitrinit rendah dengan
penyebaran luas dan ketebalan tipis.
4. Barrier Beach
Merupakan daerah yang bermofologi garis pantai yang dipengaruhi gelombang pasang
dan arus. Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih
rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang.
Gambut yang akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi
sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa
gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut.

Gambar 6 : Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut


(Diessel, 1992)
2.4.1 batubara Karakteristik lingkungan pengendapan menurut Horne (1978)
Horne (1978) dalam Bambang Kuncoro Prasongko, 1996sebaran, ketebalan,
kemenerusan, kondisi roof dan kandungan sulfur batubara serta peran tektonik
berasosiasi dengan lingkungan pengendapan untuk pembentukan lapisan batubara.
Lingkungan pengendapan bahwa:

a. Lingkungan Barrier dan Back-barrier


- Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh
oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian dataran, criteria
utama lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen
dan pengenalan tekstur batupasirnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus dan
berselang seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuan
karbonat dengan fauna laut ke arah darat membentuk gradasi menjadi serpih berwarna
abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau, akibat pengaruh
gelombang dan pasang surut, sehingga batupasir di lingkungan barrier lebih bersih dan
sortasi yang lebih baik daripada lingkungan sekelilingnya meskipun memiliki sumber
yang sama, penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier Batubara
yang terbentuk cenderung menunjukkan bentuk memanjang, berorientasi sejajar
dengan arah orientasi dari penghalang dan sering juga sejajar dengan jurus
pengendapan. Bentuk perlapisan batubara yang dihasilkan mungkin berubah sebagian
oleh aktivitas tidal channel pada post depositional atau bersamaan dengan proses
sedimentasi.
-Back barrier: tipis, sebaran memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus
perlapisan, bentuk lapisan melembar karena pengaruh tidal channel setelah
pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan dan kandungan sulfur

b. Lingkungan lower delta plain


Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan, ditandai
hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur agak tinggi.
Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang mengkasar ke arah atas,
ketebalannya berkisar antara 15-55 m dengan pelamparan lateral. Pada bagian bawah
dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam yang merupakan
litologi dominan, kadang- kadang terdapat batugamping dan mudstone siderite yang
sebarannya tidak teratur, pada bagian atas sikuen ini terdapat batupasir berukuran
ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus, hal ini menunjukkan
adanya penambahan energi pada
perairan dangkal ketika teluk terisi endapan.

c. Lingkungan trantitional lower delta plain


Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10 m, sebaran luas cenderung
memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering terpotong
channel,di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan Washout oleh
Channel subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di antara lower dan
upper delta plain di tandai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies
keduanya.
d. Lingkungan upper delta plain – fluvial
Upper Delta Plain dan Lower Delta Plain dan merupakan yang paling tebal dan
penyebarannya juga paling luas karena perkembangan rawa yang ekstensif pada
pengisian yang hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi. Upper delta plain-fluvial:
tebal dapat mencapai lebih dari 10 meter, sebaran luas cenderung memanjang sejajar
jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateral sering terpotong channel, di tandai
splitting akibat channel kontemporer dan washout
olehchannel subsekuen dan kandungan sulfur rendah.

2.5Maseral Pada Batubara


2.5.1. Vitrinit
Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dariselulosa
(C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody
tissue) seperti batang, akar, daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara di
indonesia (>80 %). Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini
memperlihatkan warna pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit, namun lebih
gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua hinggga abu-abu terang.
Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat pembantubaraanya (rank),
semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warna akan semakin terang. Kelompok
vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasinya berada
diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis 1,3 – 1,8 dan kandungan oksigen
yang tinggi serta kandungan volatille
matter sekitar 35,75 %.
2.5.2. Liptinit (Exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari sisa
tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganging (algae),
kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan
bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen),
cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal
dari getah maseral liptinit lainya yang keluar dari proses pembantubaraan), suberinite
(kulit kayu/serat gabus), flourinite (degradasi dari resinit), liptoderinit (detritus dari
maseral liptinite lainya), alganitie (gangang) dan bituminite (degradasi dari material
algae). Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga
sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis : refletivitas
rendah dan flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara pada tangk
rendah sampai tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor 1998) dibawah
mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning muda hingga kuning tua di
bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna
abu-abu sampai gelap. Liptinite mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan
hidrogen yang paling tinggi disbanding dengan maseral lain, sedangkan kandungan
volatile matter sekitar 66 %.

2.5.3. Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan liptinite tetapi dengan
proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang
sudah terbakar dan sebagian berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainya atau
proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini
mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah
reflektansi yang tinggi diantara kelompok lainya. Pemanasan pada awal penggambutan
menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas inertinit adalah reflektinitas tinggi,
sedikit atau tanpa flouresnse, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa
penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur,
gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah pada
bagian awal proses pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan
kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile
matter sekitar 22,9 %.

Gambar 7 : Maseral vitrinit, inertinit dan liptinit (Identification of Coal


Components, Kentucky Geological Survey, 2006)

2.5.4 Tabel Klasifikasi Maceral Batubara


2.6 Pengaruh Sulfur terhadap Batubara
Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk inorganik, dan organik. Sulfur
inorganik banyak ditemui dalam bentuk senyawa sulfida ( piritik) dan sulfat. Sulfida
organik adalah unsur atau senyawa sulfur yang terikat dalam rantai hidrokarbon
material organik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur
syngenetic yang erat hubunganya dengan proses fisika dan kimia selama proses
penggambutan (Mayers, 1982) dan juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati
sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses
pembatubaraan (Mackowsky, 1968)
Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut
dangkal,direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida, kemudian
dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan mereduksi ferric iron (Fe3+)
menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen sering kali menembus sedimen anaerob
dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfat (S0). Horne et.al (1978)
menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan kecepatan tinggi selama sedimentasi
umumnya akan menghasilkan beragam geometri dan petrografi batubara, tetapi
kandungan sulfurnya rendah. Apabila penurunan berjalan secara perlahan maka akan
menghasilkan kemenerusan lapisan secara luas tapi kandungan sulfurnya tinggi.
Mansfield and Spackman (1968) menyatakan bahwa batubara dibawah pengaruh air
laut mempunyai kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan yang di air tawar.Pada
lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan
menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk framboidal
dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963, Naeval, 1996, Cohen 1983, Davies and
Raymond, 1983, Casagrande 1987 dalam International Journal of Coal Geology, 1992).
Sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat/air tawar umumnya
didominasi oleh sulfur organik dengan presentasi pirit rendah. Dilingkungan laut, pH
umumnya berkisar antara 5 – 8 dan EH cukup rendah, kecuali pada beberapa
centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah dan umumnya cukup ion Fe yang hadir
baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan dan
mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya
sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada ait tawar (lacustrine dan
rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah (± < 40 ppm). Sehingga sulfur
yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur
yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit
khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Dari hasil penelitian mengenai
bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut. Casagrande (1987)
membuat beberapa kesimpulan yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1 %) mengandung lebih banyak sulfur
organik daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi
lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal
dari lingkungan laut
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan floor
lapisan batubara. Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya
terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup
dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat
juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi
berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil
1979)
2.7 Faktor Kualitas Batubara

Faktor – faktor penentuan kualitas batubara terbagi menjadi tiga faktor yaitu umur ,
tekanan dan temperatur yang mempengaruhin peringkat kualiatas batubara ( Cool Rank
) . Faktor umur yaitu seberapa lama pengendapan atau usia batubara tersebut mulai
terbentuk .Faktor temperatur adalah salah satu faktor yang berpengaruh sangat penting
karena efek panas yang berpengaruh pada endapan batubara yang berasal dari panas
bumi ,berasal dari vukanisme dan struktur geologi . Faktor tekanan dapat
diidentifikasikan kedalam pengamatan seam batubara , semakin dalam seam batubara
terkubur jauh didalam bumi maka efek yang dapat ditimbulkan semakin besar

2.8 Parameter Kualitas Batubara

Penambangan pasti mempunyai komposisi bahan pengotor (impurities). Pada


saat terbentuknya batubara selalu bercampur dengan mineral penyusun batuan yang
selalu terdapat bersamaan selama proses sedimentasi. Selain itu selama proses
coalification terbentuk unsur S. Keberadaan pengotor pada saat proses penambangan
memperparah lagi, dengan adanya kenyataan bahwa tidak mungkin membersihkan
atau memilih batubara yang bebas dari mineral pengotor. Menurut Sukandarrumidi
(2005) ada beberapa parameter yang harus diperhatikan untuk menentukan kualitas
batubara, yaitu:

1. Heating Value (HV) (Calorific Value/ Nilai Kalor)


2. Moisture Content (Komposisi Lengas)
3. Ash content (Komposisi Abu)
4. Sulfur content (Komposisi Belerang)
5. Volatile matter (Bahan mudah menguap)
6. Fixed Carbon
7. Hardgrove Grindability Index (HGI)
8. Ash Fusion Character of Coal

2.9 Analisis Kualitas Batubara


Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi
potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter
penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank). Kualitas batubara diperlukan untuk
menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan untuk ditambang (selain dilihat
dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian). Umumnya untuk menentukan
kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara diantaranya berupa analisis
proximate (moisture/air), analisis ultimate (mineral matter) dan analisis maseral
(organik).

a.Analisis Proximate Analisis ini dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat
terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon) dan kadar abu (ash) (Cahyo,
2010).

b. Analisis Ultimate Analisis ini dilakukan untuk menentukan komposisi unsur kimia
pada batubara yaitu karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan
juga unsur jarang (Cahyo, 2010).

c. Analisis Maseral Pada penggolongan Coal Maseral, unsur moisture dan mineral
matter tetap, akan tetapi unsur organiknya dibagi berdasarkan substansi pembentuk
batubara yang terdiri dari 3 golongan atau grup maseral yaitu vitrinite, exinite atau
liptinite, dan inertinite. Ketiga kelompok maseral tersebut dapat dibedakan dari
kenampakan di bawah mikroskop yang meliputi morfologi, bentuk, ukuran, relief,
struktur dalam, komposisi kimia, warna pantul, intensitas pantul dan tingkat
pembatubaraannya, asal kejadian dan sifat-sifat fisik dan kimia yang dipunyai (Stach
dkk, 1982 dan Bustin dkk, 1983; dalam Rudy dan Dian, 2010 powerpoint presentasi
Maseral vitrinite). Klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan jenis maseral dalam
petrografi batubara, yang sering dipakai oleh peneliti di Indonesia adalah Australian
Standart (AS 28561986)( Tabel 1 )
2.10 Peran Petrografi Batubara Dalam Uji Kualitas Batubara
2.11 Metode Pengamatan Maseral Batubara

Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral


(maseral), analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan
oleh Stopes, 1935 (dalam buku Stach, dkk. (1982); dalam tommy 2013), untuk
menunjukkan material terkecil penyusun batubara yang hanya dapat diamati di bawah
mikroskop sinar pantul. Pengamatan maseral batubara bertujuan untuk mengetahui
jenis maseral yang ada pada batubara tersebut dan sekaligus mengetahui rank dari
batubara tersebut dilakukan pengamatan dengan menggunakan sinar pantul (reflected
light), contoh yang diteliti berupa blok kilap (polished block) atau pelet kilap (polished
briquette). Sinar pantul dapat digunakan untuk mengamati senyawa-senyawa organik
dalam semua peringkat batubara, oleh karena dalam penelitian ini menggunakan
pengamatan sinar pantul (reflected light).

2.12 Pengukuran Rasio Pantulan (Reflectance)

Dalam studi ini pengukuran reflectance vitrinite biasanya dilakukan sebanyak 40


titik pengukuran. Pengukuran diusahakan hanya pada bidang sub-grup maseral
telovitrinite, karena maseral telovitrinite merupakan maseral grup vitrinite yang tidak
mudah terubahkan. Reflectance vitrinite yang diukur adalah reflectance maksimum.
Sebelum dan sesudah pengukuran reflectance vitrinite, dilakukan pengukuran terhadap
standar reflectance spinel sintetik untuk dapat memperoleh ketelitian pengukuran.
Pengukuran reflectance vitrinite adalah pengukuran terhadap besarnya sinar yang
dipantulkan kembali (refleksi) oleh maseral vitrinite yang dinyatakan dalam persentase
(tabel 3).

BAB III

PENUTUP

3.1Kesimpulan

1.Batubara merupakan batuan sedimen yang terbentuk secara organik melalu proses
penggambutan hingga pembatubaraan
2.Berdasarkan tipe pengendapannya batubara dibagi dua yaitu Autochtonous dan
Allochtonous
3.Terdapat beberapa faktor yang menentukan kualitas batubara yaitu asal material yaitu
tumbuhan baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah, lalu proses dekomposisi
yang mempengaruh perubahan batubara secara fisika maupun kimia, setelah itu ada
umur geologi yang menandakan tinggi rendahnya kandungan karbon, proses
geotektonik yang mempengaruhi proses pembentukan suatu lapisan batubara, serta
lingkungan pengendapan yang mempengaruhi proses sedimentasi material.
4.Sementara itu untuk menentukan suatu batubara berkualitas atau tidak harus melihat
bebrapa parameter yaitu Heating Value (HV) (Calorific Value/ Nilai Kalor),Moisture
Content (Komposisi Lengas),Ash content (Komposisi Abu) , Sulfur content (Komposisi
Belerang), Volatile matter (Bahan mudah menguap), Fixed Carbon, Hardgrove
Grindability Index (HGI), Ash Fusion Character of Coal

3.2 Saran

Dalam membuat makalah ini tentunya penulis tidak luput dari salah sehingga bila
terdapat beberapa kesalahan harap dimaklumi dan juga bagi pembaca diharapkan
dapat menambah wawasan baru serta menjadi referensi yang berharga bagi para
pembaca
DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. 2007. Korelasi Linear Sederhana .(Online).

http://www.cahangon.net/statistik/k orelasi-linier-sederhana.html.(Diakses

pada tanggal 04-11-2016)

TeknologI Mineral dan Batubara (TEKMIRA). 2010. Batubara: Bandung. .(Online).

http://www.tekmira.esdm.go.id/kp/ Batubara). (Diakses pada tanggal 04-11-

2016).

http://www.ptba.co.id/id/knowledge/index/5/terjadinya-batubara

http://www.slideshare.net/AndreiHadijaya/tambang-eksplorasi-t-p-b

Anda mungkin juga menyukai