Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bimbingan dan konseling tidak hanya mengatasi individu yang memiliki masalah,

namun bimbingan dan konseling juga mengatasi individu yang sedang berkembang, pada

dasarnya individu akan selalu berkembang seiringnya waktu berjalan. Kemudian akan

semakin banyak permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi oleh individu dalam

mengahadapi masalah kehidupan. Oleh karena itu, sebagai calon pendidik dan sekaligus

calon konselor maka sangat dibutihkan unutk memiliki pemaham tentang penyebab yang

dapat mempengaruhi seseorang, baik dari segi lingkungan hidup ataupun dari segi sifat

yang dimiliki individu sendiri.

Kualitas seseorang tidak dapat diukur hanya dari kognitifnya saja, akan tetapi

kualitas seseorang bisa dikatakan berkualitas apabila seseorang tersebut sudah siap secara

mental meliputi emosional, sosial, dapat beradaptasi dengan lingkungan,

mengembangkan bakat, memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan yang paling penting

kesiapan moral. Seseorang bisa dikatakan berkualitas apabila memiliki moral yang baik

sesuai dengan nrma-norma yang ada dalam masyarakat maupun agama.

Dengan demikian, sebagai calon konselor atau pendidik perlu memahami

mengenai assessing kebutuhan dan sumber manusia, untuk membahas tentang beberapa

manusia sebagai klien. Maka dari itu makalah ini akan membahas manusia sebagai klien.
B. Rumusan masalah

1. Apasaja Yang Terdapat Dalam Assessing Kebutuhan Dan Sumber Manusia?

2. Apasaja Yang Terdapat Dalam Konsep-Konsep Untuk Memahami Klien?

3. Memahami System Manusia Sebagai Klien?

4. Apa Tujuan dan Prioritas Setting Profesional?

5. Seperti apa Assessing kebutuhan-kebutuhan dan Sumber Individual?

6. Apa saja Assessing Faktor-faktor Lingkungan

C. Tujuan

Agar dapat mengetahui apa saja yang terdapat dalam Assessing Kebutuhan dan Sumber

Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep-Konsep Untuk Memahami Klien


Secara garis besar makalah ini berisi tiga konsep yang dapat digunakan untuk
memberikan gambaran psikologis yang jelas mengenai peranan klien dalam lingkungan
mereka. Ketiga konsep ini merupakan cara untuk berhubungan dengan klien beserta hal-
hal yang menjadi kekhawatiran mereka. Ketiga konsep tersebut adalah: tahap hidup, gaya
hidup, dan tempat atau ruang hidup.

1. Konsep Tahap Kehidupan


Perkembangan manusia merupakan produk dari proses pembelajaran dan
kedewasaan. Salah satu isu utama dalam perkembangan psikologis yakni melibatkan
pertanyaan apakah perkembangan terjadi secara halus atau berkesinambungan, atau
apakah hal tersebut ditandai dengan tahapan yang menpunyai ciri tersendiri. Didalam
sudut pandang kita mengenai perkembangan, kemungkinan jalan tengah merupakan
cara yang paling aman.
Konsep tahap hidup membangun perkembangan kerangka kerja dalam
memahami peranan social yang diharapkan, tugas perkembangan, dan transisi yang
memicu diskontinuitas. Rumusan tahap hidup berawal dari teori perkembangan Freud
tentang tahapan psikoseksual dalam masa kanak-kanak. Chronological stages atau
tahapan kronologis secara garis besar didefinisikan sebagai issue-issue yang
berhubungan dengan usia dalam kehidupan individu seseorang. Sebagai contoh dari
tahapan kronologis adalah delapan tahap manusia yang diformulasikan oleh Erik
Erikson (1963). Erik Erikson adalah seorang psikososial terkenal yang
mengungkapkan fakta tahap-tahap kehidupan dan tugas perkembangan yang muncul
dari interaksi kedewasaan yang dipaksakan dengan peran individu dan social yang
muncul dalam masyarakat.
Perkembangan terjadi dengan urutan atau pola yang sama dari generasi ke
generasi. Okun (1984) menyantakan bahwa siklus kehidupan akan terus berputar tak
peduli bagaimana dan kapan tahapan-tahapan dalam kehidupan terjadi. Dalam model
tahapan kronologis kita dapat memenui beberapa tipe dasar kerja yang mempengaruhi
kehidupan individu, Danish (1981) mengkategorikan beberapa factor tersebut ke
dalam tiga area:
a. Normatif atau pengaruh usia cenderung dipenagruhi oleh factor biologis dan
lingkungan. Pensiun pada usia 65 tahun atau menopause pada awal 40an
merupakn contoh dari pengaruh usia.
b. Normatif, pengaruh historis cenderung memengaruhi orang-orang yang
berasaldari generasi yang hampir sama. Perang dunia II, perang Korea dan
Vietnam merupakan contoh kejadian historis yang memberiakn pengaruh yang
sangat besar terhadap orang-orang yang terlibat pada tersebut.
c. Non-normatif, merupakan tahapan yang terjadi dalam kehidupan individu
seseorang yang tidak dipengaruhi oleh usia maupun kejadian historis. Missal
kehilangan pekerjaan, sakit, perceraian, dll. Hal-hal tersebut akan memiliki
dampak yang berbeda pada waktu dan tahapan tertentu. Sebagai contoh, mati
atau bercerai pada usia 24 tahun akan memiliki makna dan dampak yang berbeda
dari mati dan bercerai pada usia 64 tahun.

Okun (1984) mengungkapkan 4 asumsi dasar yang terjadi dalam tahapan hidup
manusia, yakni:

1) Perubahan perkembangan merupakan proses yang kontinyu dan tidak terbatas


oleh waktu.
2) Perubahan terjadi dalam interelasi social, psikososial, dan bidang biologis yang
bervariasi dalam perkembangan manusia.
3) Perubahan terjadi dalam secara berurutan, jadi dalam tiap tahapan kehidupan
kita perlu melihat perkembangan dari perubahan dan hal-hal yang mengikutinya.
4) Perubahan pada individu hendaknya ditilik dari konteks norma-norma yang
berlaku dalam keseharian dan waktu historis dalam kehidupan mereka.

Model Tahap Perkembangan Hidup, tahap pengorganisasian merupakan periode


waktu dalam hidup manusia yang merupakan dasar dari pertumbuhan dan
perkembangan mereka. Tahap ini adalah lima belas tahun pertama dari kehidupan
seseorang, proses dominan yang terjadi dalam tahap ini adalah pertumbuhan
psikologis. Krisis perkembangan yang sering kali muncul dalam tahap ini adalah
sosialisasi. Tahap pengoragnisasian sangat kompleks, oleh karena itu tahap ini dibagi
kedalam beberapa sub-tahap.

Bayi/infancy (lahir-3 tahun) pada saat dilahirkan setiap bayi membawa


sejumlah potensi dalam diri mereka. Allpot (1963) menyatakan bahwa bayi
merupakan sebuah fenomena psikologis, selama masa 3 tahun awal dalam hidupnya
fenomena psikologis ini mengalami hal-hal unik selama masa tranformasi yang
terjadi saat perkembangan masa kanak-kanaknya. Tugas perkembangan dari bayi
secara garis besar berhubungan dengan perkembangan kepercayaan dan afiliasi
kepada bayi atau orang dewasa sekitar, Erikson (1963) perkembangan kepercayaan
menjadi tugas utama yang paling krusial untuk bayi dapat melanjutkan tugas
perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh dari perkembangan kepercayaan dari
bayi ialah ia mampu berpisah dengan ibunya dalam waktu yang lama dan semakin
lama tanpa mengalami kecemasan.

Masa awal anak-anak (3-6 tahun) ketika seorang bayi tumbuh dan memasuki
masa awal anak-anak maka lingkungan sosial disekiatarnya berubah dengan cepat,
ketika anak tumbuh maka ia mendapat yang baru, saudara dan juga teman bermain
adalah dua peran yang didapat seorang anak yang memasuki masa awal anak-anak.
Dalam peran tersebut si anak diharapkan mampu berbagi berkerjasama dan
berkomunikasi. Tugas perkembangan pada masa awal anak-anak berkisar tentang
hal-hal yang berhubungan dengan pencapaian “autonomy”. Menurut Erikson (1963)
autonomy adalah sebuah dasar dimana anak mempunyai rasa tanggung jawab. Ketika
dasar ini sudah dapat dicapai maka anak siap untuk bertanggung jawab secara
independen. Hal ini merupakan sebuah tanda anak sudah mengerti tanggung jawab
dan berbagai konsekuensi dari tindakan yang ia lakukan.

Akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun) pada akhir masa kanak-kanak dunia
sosial anak semakin berubah, seringkali terjadi anak mendapatkan ekspektasi peran
baru, yakni sebagai kakak laki-laki atau kakak perempuan. Menurut Erikson (1963)
kunci pada tahapan ini adalah konsep inisiatif dan industry. Dalam inisiatif dan
industry memerlukan perencanaan dan organisasi tugas perkembangan inisiatif
memerlukan kepercayaan diri dan kekuatan mental untuk melupakan kegagalan yang
pernah terjadi dan membalas kegagalan tersebut dengan mengerahkan segenap akal-
pikiran, kegembiraan dan penuh antusias. Hal yang perlu diwaspadai pada tahap ini
adalah munculnya rasa rendah diri atau minder yang seringkali muncul pada anak.
Pada tahap ini anak seringkali membandingkan diri mereka , kepunyaan mereka dan
kemapuan serta pencapaian mereka dengan anak-anak seusianya.

Masa remaja awal (12-15 tahun) masa ini dikenal sebagai periode yang paling
kritis dalam tahap perkembangan manusia. Gelombang psikologis berubah dalam
banyak hal dan bersamaan dengan ekspektasi atau tuntutan untuk menjadi dewasa
yang kemudian menimbulkan ketidakseimbangan. Dua perubahan penting dalam
ekspektasi peran terjadi pada tahap masa remaja awal. Coleman (1962) masa remaja
awal merupakan periode dimana pengaruh keluarga dan sekolah mulai berkurang.
Ketika ekspektasi dalam keluarga dan sekolah saling bertentangan maka
memungkinkan terjadi “bind situation” yang akan memicu timbulnya kecemasan.

Menuru Erikson (1963) masalah dalam tugas perkembangan utama dari remaja
awal adalah konflik identitas dan kebingungan peran. Integritas dari peran baru,
emosi yang labil, nila-nilai baru yang muncul dan berbagai aspirasi adalah bagian
dari krisis identitas. Kestabilan dan kenyamanan terhadap identitas diri berasal dari
kecocokan antara pengalaman masa lalu dan sekarang dari diri sendiri maupun orang
lain. Ketika kecocokan tersebut tidak ada maka prospek masa akan menjadi tidak
pasti dan memunculkan diskontinuitas. Pada masa remaja perubahan psikologis
puberitas datang bersamaan dengan pertentangan dan perubahan ekspektasi peran
yang menimbulkan diskontinuitas dan berujung pada identity diffusion atau
kebingungan identitas.

Tahap Eksplorasi, tahap ini terjadi pada pertengahan masa remaja hingga
menjelang masa awal dewasa dimana pada masa ini didominasi oleh pencarian
terhadap nilai-nilai baru, aspirasi dan motivasi. Pada tahap ini individu berusaha
untuk manjadi matang dalam hal fisik maupun psikologis.
Kunci dari sikap social pada tahap ini adalah melibatkan pergerakan dari
ketergantungan dalam berhubungan menjadi model reciprocal. Pada tahap ini
indivindu bereksprimen dengan hubungan baru pertemanan, kenalan, pendidikan dan
karier. Hal ini menuntut individu untuk belajar memberi dan menerima dalam
berbagai situasi berdasarkan mutuality dan cooperation yakni hal-hal yang bersifat
saling menguntungkan dan kerjasama. Kita dapat membagi tahap eksplorasi kedala
dua sub-tahap, yakni:

Masa remaja akhir (15-23 tahun). Peran social baru pada tahap ini sangat
banyak sehingga seringkali menimbulkan kebingungan. Misal pekerja, pemimpin,
bawahan, supervisor, dan rekan atau kolega. Ketika remaja mulai berpartisipasi
dalam peran tersebut serta ikut beraktifitas secara terorganisir dalam skala yang luas
mereka akan lebih dilihat sebagai orang dewasa, dari pada remaja. Pada tahap ini
peran-peran baru ini akan mulai berkompetisi dan bertentangan satu sama lain
sehingga akan menbuat individu menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks
dalam mengatasi masalah dan membuat keputusan.

Dewasa awal (24-30 tahun) masa dewasa awal merupakan periode yang cukup
krusial dalam perkembangan individu dimana kecakapan individu akan diuji. Dua
peran sosial yang diuji dalam tahap ini adalah pernikahan dan keluarga. Peran baru
dalam pernikahan dan keluarga dikombinasikan sehingga muncul berbagi tugas dan
ekspektasi baru yang seringkali bertentangan sehingga memicu konflik. Menurut
Erikson (1963) berpendapat bahwa tugas utama dalam tahap ini adlah pencapaian
intimacy dan commitment. Keintiman mrupakan kapasitas dari bentuk konkret afilasi
kejujuran dari sebuah persatuan dimana persatuan tersebut kokoh meskipun
memerlukan pengorbanan yang besar dari masing-masing individu. Sementara
komitmen merupakan bagian utama dari keintiman. Komitmen merupakan kapasitas
seseorang untuk mengukur waktu, energy dan kepercayaan diri.

Tahap Realitas tahap ini manandai kulminasi dari aspek formatif utama dalam
perkembangan hidup individu. Levinson (1978) menunjukan beberapa aktifitas yang
menjadi karakteristik dari tahap ini yakni pengejaran individu terhadap mimpi-
mimpinya. Hal ini ditandai dengan menfokuskan usaha-usaha dengan kesempatan
yang ada dan hal-hal yang disukai.

Pada tahap realisasi menyeimbangkan keluarga, karier dan hobi mungkin sesuatu
yang tidak mudah. Menjaga keintiman psikologis dalam pernikahan, menjaga
kesehatan fisik dan mental, menjaga hubungan dengan anak merupakan tanatangan
pada tahap ini. Tahap ini biasanya terjadi pada usia 30an hingga awal 40an.
Realitatas adalah tahap dimana individu sering mampu mencapai level tertinggi
fungsi dan efektifitas. Kunci pada tahap ini adalah menemukan konsep dari konsep
peran dan penerimaan peran. Pada tiap peran sosial ada dua aspek yang terstruktur
dalam interaksi yang menegaskan tiap peran. Ekspetasi peran merupakan faktor
eksternal dari peranan sikap. Sementara sikap individu juga bisa di interpretasikan
sebagai peran dalam perspektik internal.

Pada tahap realisasi seseorang seringkali memiliki kesempatan yang besar untuk
menginterprestasikan peran utama mereka dan juga memodifikasi maupun menolak
peran yang ada yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan nilai-nilai
yang mereka yakini, hal ini disebut “role freeom”. Konseling bertujuan untuk
membantu seseorang mencapai role freedom lebih dari psikoterapis yang bertujuan
untuk merekonsilisasi status quo dari seorang individu. Tugas perkembangan utama
pada tahap ini adalah kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan dan sumber yang
ada untuk mencapai tujuan dan nilai hidup yang utama. Kemampuan ini disebut
dengan generativity.

Tugas perkembangan lain pada tahap ini adalah:

1. Development of inner-directedness tidak mudah terpangaruh oleh orang lain


dalam menentukan tujuan hidup.
2. Development of interdepence secara emosional tidak mudah terpengaruh orang
lain serta mampu berpartisipasi secara positif dalam sebuah jaringan.
3. Development of constructive ways to resolve dissonance mampu mengatasi
dissonansi yang terjadi dengan cara
4. Development of emotional control mampu mengontrol emosi tanpa harus
menekan perasaan
5. Development of creative thought process berani membuat penilaian sacara
individu, memecahkan masalah dengan cara yang berbeda. Berani berfikir
dengan cara yang berbeda.
6. Development of effective problem solving techniques menganalisan dan
membandingkan kemungkinan hasil yang akan diperoleh dari beberpa
alternative pemecahan masalah yang berbeda.

Tahap Ujian merupakan tahap akhir kehidupan, perkembangan optimal pada tahap
ini adalah pencapaian “ego integrity” yang diungkapkan oleh Erikson (1963).
Integritas adalah kemampuan untuk menerima diri apa adanya dan menerima apa
yang terjadi pada diri mereka. Integritas meliputi kedamaian dalam hati termasuk
penerimaan diri terhadap kematian sebagai bagian dari tahapan hidup. Bahaya yang
akan muncul pada tahap ini adalah keputusasaan yang mana merupakan lawan dari
integritas. Erikson (1963) menyatakan bahwa keputusasaan merupakan bentuk
penolakan seseorang terhadap hidup. Havighurst (1972) mendefinisikan tahap ini
sebagai periode untuk belajar. Tahap ini merupakan periode untuk menghadapi
masalah baru yang tak terpecahkan.

Tugas perkembangan pada masa akhir ini meliputi:

1. Belajar mengatasi kematian kawan atau pasangan.


2. Belajar beradaptasi dengan status pensiunan dan penghasilan yang semakin
berkurang.
3. Belajar untuk menggabungkan diri dengan group orang-orang tua
4. Belajar mengatasi masalah kronis pada fisik dan semakin berkurangnya tenaga.
5. Belajar mengatasi perubahan aturan hidup.
6. Belajar mengembangkan peran social yang akan berdampak pada pengakuan dan
penghormatan.
7. Belajar menggunakan waktu untuk sesuatu yang positif.
8. Belajara untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih muda dengan baik.
2. Konsep Gaya Hidup
Untuk memahami kerja keras yang unik dari seseorang pada tahap kronologis,
kita perlu menata konsep yang secara sempurna dimainkan pada perkembangan
historis dari individu. Untuk tujuan tersebut Adler menciptakan “life style” atau gaya
hidup. Pada konteks saat ini, kita menggunakan konsep individual atau gaya hidup
untuk menunjukan pola kognitif dan sikap seseorang dalam menghadapi stress,
mencari kepuasan, dan memahami permasalahan yang ada dalam lingkungan.
A. Gaya Meniru
Penelitian yang dilakukan oleh Murphy (1962) menunkukan bahwa ketika
anak-anak yang dihadapkan pada hal-hal yang memicu stress sdari dini akan
mengembangkan karakteristik unruk menghadapi stress. Beberapa gaya meniru
yang spesifik yang mendefinisikan hubungan interaksi seseorang dengan
lingkungan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Meminimalisir dan Menjauhi hal atau situasi yang dapat memicu stress.
2) Impulsive-Intuitive menghadapi stress dengan spontanitas dan secepat
mungkin tanpa harus membuat planning. Menghadapi sesuatu berdasarkan
apa yang dirasa benar dan mengikuti intuisi dalam diri.
3) Rasional-Analisis pada gaya meniru ini, seseorang memilih untuk menunda
melakuakan tindakan dalam situasi yang stress ful hingga mereka mampu
menganalisa keadaan tersebut dengan seksama dan terkadang membuat
rencana yang mendatail.
4) Confrontive-Tenacious menemukan akar permasalahan kemudian
mengatasinya dengan strategi tertentu hingga hasil dari masalah tersebut
jelas.

Semua coping style atau gaya meniru diatas mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Dalam konseling, mengidentifikasi gaya meniru apa yang
digunakan oleh klien akan berguna untuk membantu mereka mendapatkan cara
paling nyaman dalam menghadapi masalah dengan pendekatan baru.
B. Gaya Interpersonal
Sikap interpersonal kita peljari dari keluarga semasa kanak-kanak, dimana
pada waktu itu kita belum bisa menganalisa keefektifan dari apa yang kita
pelajari. Karen Harney (1950) membagi gaya interpersonal kedalam tiga
kategori:
1) Bergerak mendekat pada orang lain, pada gaya interpersonal ini ketika
seseorang mengalami stress ia cenderung bergerak mendekati orang lain
untuk mendiskusikan masalah mereka, berbagi perasaan, rasa takut mereka
dan mencari dukungan emosional dari orang lain.
2) Bergerak menjauh dari orang lain, pada gaya interpersonal ini seseorang
menjauh dari orang lain ketika ia berada dalam situasi yang stressful. Gaya
ini juga sering disebut dengan “strong silent type”.
3) Bergerak berlawanan dari orang lain, pada gaya interpersonal ini
seseorang mengatasi stress dengan cara berlawanan dengan orang lain
dengan cara yang agresif dan menyakitkan. Gaya ini merupakan contoh dari
fenomena “frustrasion-aggresion” dimana seseorang yang merasa frustasi
melampiaskan rasa frustasinya kepada orang sekitar dengan cara yang
agresif.
C. Gaya Kognitif
Penelitian dalam psikologi kognitif oleh Witkin (1978) menunjukan bahwa
orang yang mempunyai cara yang berbeda dalam mengoraganisasikan persepsi
dan informasi dan gaya kognitif yang berbeda mempunyai implikasi yang
penting bagi sikap seseorang secara umum. Dalam penilitian ini ada dua gaya
kognitif yang berlainan, yakni:
1. Field dependent adalah mereka yang berada pada beberapa tingkatan
kesulitan dalam memisahkan dan mendiskriminasikan bagian atau aspek
dari stimulus. Orang yang berada pada area ini secara kognitif kurang
fleksibel.
2. Field independent adalah orang-orang yang pada satu sisi dapat
membedakan variabel-variabel dan fakta-fakta dalam situasi yang kompleks.
Orang yang berada pada area ini cenderung memiliki respon yang lebih
fleksibel, mereka lebih terbuka pada ide-ide, saran dan inovasi baru.

Gaya kognitif cenderung mempengaruhi cara orang menyelesaikan tugas,


masalah dan mempelajari kesempatan. Dalam dunia konseling gaya kognitif
seseorang mempengaruhi bagaimana seseorang merespon saran dan tugas yang
diberikan serta mengeksplorasikan pengalaman.
D. Variabel Gaya Integrasi Individu
Mengenal gaya meniru, gaya interpersonal dan kognigtif seseorang akan
membantu kita megembangkan gambaran yang komprenhensif tentang peranan
orang tersebut dalam berbagai situasi, termasuk dalam konseling. Ketike seorang
konselor sensitive terhadap karakteristik gaya personal klien maka ia akan
mampu merealisasikan proses konseling kepada klien tersebut sehingga akan
lebih mudah untuk mengembangkan “working partnership” atau kerjasama
dengan klien dari berbagai latar belakang yang berbeda.

3. Konsep Ruang Hidup


Untuk memahami interaksi antara manusia dalam lingkungan sekitar, kita dapat
menggunakan konsep ruang hidup. Konsep ruang hidup adalah keadaan psikologis
yang meliputi lingkungan fisik dan persepsi individu terhadap suatu lingkungan.
Sebagai contoh sebuah ruangan yang ditemapti oleh 20 orang merepresentasikan 20
ruang hidup yang berbeda, bukan hanya karena individu yang secara fisik berada
posisi yang berbeda tapi juga karena persepsi, organisasi, tafsiran dan pengaturan
fisik yang berbeda.
Dalam konseling kita mungkin berusaha untuk mengubah lingkungan fisik
seseorang dengan cara membuat ruang konseling lebih nyaman, lebih privat dan
lebih dekat klien. Untuk memahami sikap seseorang, maka yang terkandung dalam
sikap tersebut kita harus memahami ruang hidup seseorang. Hal ini merupakan
prinsip dasar dari pendekatan interaksi atau ekologis. Ruang hidup tergambar dari
peran dan cara dalam seseorang dalam membangun sebuah hubungan. Ruang
interpersonal seseorang diorganisir dan diterangkan dalam cara yang berbeda dan
makna yang berbeda pula.
A. Peran Sosial
Peran sosial kurang lebih didefinisikan sebagai partisipasi seseorang dalam
interkasi sosial (Allport, 1963). Sebuah peran muncul ketika ada ekspektasi
seseorang bisa berpartisipasi dalam posisi tertentu. Sebagai contoh sebuah
ekspektasi para pemuda mengikuti wajib meliter muncul ketika Negara sedang
menghadapi masa perang. Peran sosial memiliki lebih dari satu demensi dimana
hal tersebut bisa menentukan bagaimana seseorang menafsirkan sesuatu dan
mengoraganisir ruang hidup mereka:
1. Role expectations, merupakan preskripsi kltur yang secara umum
diwariskan dari kelompok sosial masyarakat.
2. Role conceptions, meliputi cara seseorang menampilkan peran sesuai
dengan persepsi dan ekspektasi
3. Role performance, meliputi cara seseorang bersikap dalam sebuah situasi.

Dalam beberapa kondisi tertentu individu cenderung terikat dalam satu atau
lebih strategi meniru (Goode, 1963) yakni:

1. Compartmentalization, dalam strategi ini individu mengacuhkan masalah


dalam usaha agar ia bisa tetap konsisten terhadap sikap.
2. Delegation, strategi ini seringkali digunakan untuk mendelegasikan
ketidaksenangan, pertentangan tugas dan kewajiban. Missal seorang ibu
yang mendelegasikan tugas memnberikan hukuman kepada anak-anak.

3. Curtailing of role relationship, dalam strategi ini kemungkinan dua orang


bertemu dalam peran situasi yang menegangkan. Strategi ini menimbulkan
ketidakpuasan dan memicu complain akibat dari buruknya komunikasi.

B. Stress
Secara sederhana stress bisa diartikan sebagai ancaman terhadap kepuasan
akan kebutuhan dasar. Stress tidak selalu berbahaya, dalam kenyataanya stress
dalam ruang hidup seorang individu memicu munculnya sikap dan pembelajaran
baru. Perkembangan kesehatan meliputi belajar mengatasi faktor-faktor pemicu
stress dan menjauhi hal-hal yang menimbulkan stress. Kita dapat menguji tiga
aspek utama dari situasi stress dalam ruang hidup individu (Torrance, 1965)
yaitu meliputi; intensitas, durasi, dan keadaan individu. Tiga faktor ini
mempengaruhi bagaimana stress berdampak pada tiap individu dan bagaimana
cara individu mengatasi dan memodifikasi tingkat stress.
Intensitas faktor yang paling nyata dan paling cepat dalam memunculkan
reaksi stress meliputi intensitas. Ketika mahluk hidup menghadapi stimulus yang
memicu stress maka reaksi umumnya adalah jelas dan terang. Reaksi terhadap
stress berat biasanya dikarakteristikan kedalam komponen psikologis yang kuat
meliputi meningkatnya detak jantung dan pola pernapasan. Meningkatnya
tekanan darah, berkeringat, meningkatnya pengeluaran zat adrenalin dan zat
kimia lainya. Orang yang mengalami stress berat, rasa sakit dan takut biasanya
kehilangan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Stress
berat akan menjadi sesuatu yang bersifat merusak dan melemahkan seseorang
apabila hal tersebut dialami pada saat yang tak terduga dan tidak mampu diatasi
(Cohen & Ahearn, 1980). Stress berat yang tidak terkontrol dapat memicu rasa
“panik” serta disfungsi psikologis menengah hingga berat. Pengalaman masa
perang, bencana alam, sakit secara tiba-tiba, kontaks dengan kekerasan kriminal,
pemerkosaan, penyerangan, dan pembunuhan adalah contoh dari hal yang
memicu reaksi stress berat.
Durasi, faktor lain yang memicu stress adalah durasi. Berlawanan dengan
apa yang kita percaya selama ini, eksposure terhadap stress pada jangka yang
relative lama maupun menengah atau bahkan pada level stress yang sangat
rendah dapat berakibat fatal. Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak. Lazarus
(1966) menemukan bahwa strategi meniru dalam menghadapi stress berat jangka
pendek dipelajari lebih awal dari pembelajaran terhadap cara mengatasi stress
kronik pada level rendah. Gejala-gejala yang timbul pada stress kronik hampir
sama pada gejala yang timbul pada stress berat. Namun karena stress kronik
relatif ringan maka gejalanya muncul setelah periode waktu yang cukup lama,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sikap tempramen, tidak sensitif terhadap
orang lain, masalah pencernaan dan suasana hati yang labil akan semakin
memperpanjang stress kronik yang dialami oleh individu. Untuk
mengidentifikasi sumber dari stress kronik tingkat rendah dalam ruang hidup
klien, konselor perlu mempertimbangkan untuk melakukan eksplorasi terhadap
peranan, hubungan, dan tugas-tugas klien tersebut.
Keadaan Individu, keadaan kesehatan dari individu merupakan faktor
penting dari reaksi stress. Kebiasaan makan, tidur dan olahraga adalah aspek-
aspek penting dalam mengontrol stress. Kondisi fisik secara umum, usia, dan
catatan kesehatan juga merupakan faktor yang penting. Reaksi stress tiap
individu dipengarui oleh latar belakang pembelajaran sebelumnya dan catatan
pribadi tentang kegagalan dan kesuksesan. Dalam usaha memahami ruang hidup
klien dan menemukan hal yang menjadi sumber stress klien, konselor perlu
mendapat data tentang kesehatan umum klien dan data tentang latar belakang
pembelajaran sebelumnya.
Support atau dukungan adalah variabel lain yang akan membantu kita
memahami ruang hidup klien. Konsep support yang dimaksud disini adalah
dukungan yang meliputi faktor-faktor material dan relational. Dalam menaksir
ruang hidup klien atau orang yang berpotensi sebagai klien, tugas pertama
seorang konselor adalah memastikan level dukungan materi yang ada. Aspek
kedua dari support adalah dukungan sosial atau emosional. Dukungan semacam
ini hadir dari hasil hubungan yang bersifat positif dan merupakan bentuk
kepedulian terhadap hubungan sesama dalam ruang hidup tiap individu.

B. Memahami Sistem Manusia Sebagai Klien


1. General System Theory
Alat-alat konseptual yang tersedia untuk berpikir mengenai orang-orang,
interaksi orang-lingkungan secara garis besar digambarkan kedalam seperangkat
kerangka kerja konseptual yang disebut general system theory. System ini
berkembang melalui kebutuhan untuk memahami dan komunikasi tentang fungsi-
fungsi yang sulit dan saling berkaitan serta berbagai operasi yang terjadi dalam
invansi manusia yang alami maupun kompleks termasuk kelompok-kelompok dan
organisasi-organisasi (Kast & Rosenzweig, 1979).
“Pendekatan system” adalah cara untuk mengorganisir pengetahuan dan
memproses informasi tentang berbagai fenomena yang kompleks guna memahami
dan mengontrol pengoperasiannya secara potensial. Analisa sistem cenderung
bertujuan dan berfokus pada realisasi tujuan-tujuan yang spesifik (Finan, 1962);
sebuah analisa sistem berorientasi pada tujuan. Pendekatan sistem sangat berguna
dalam konseling karena konselor tertarik pada pola yang kompleks dalam interaksi
orang dan berbagai aspek yang berkaitan dengan lingkunganya. Seorang konselor
tidak hanya tertarik pada proses transisi seseorang tapi juga secara aktif membantu
klien menyelesaikan masalah, mencapai tujuan, dan mengembangkan kompetensi
diri dalam lingkungan yang kompleks.

Salah satu keuntungan dari pendekatan system adalah membantu kita untuk
memahami sifat dari man-machine sebagaiman interaksi orang ke orang. Pada masa
komputerisasi seperti sekarang ini pendekatan sistem menjadi aspek yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, pendekatan sistem menawarkan sebuah alat yang
sangat kuat untuk memahami pengaruh mesin terhadap sikap dan pengalaman
manusia.

a. Cybernetics
Cybernetics adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana proses
kognitif manusia yang mendapat stimulasi dari computer. Hal ini pertama kali
ditemukan oleh Nobert Wiener (1948) yang memperkenalkan studi masalah
control dan komunikasi antara manusia dengan pusat kontrol komputer. Ketika
kita bekerja dengan klien yang berada dalam keluarga, sekolah, komunitas dan
sebuah organisasi besar kita dituntut untuk memberikan control penuh terhadap
kecerdasan manusia terhadap proses kerja yang kuat dan persuasif dalam sistem
tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa seseorang memiliki kontrol penuh
dalam proses tersebut. Bidang cybernetics memberikan beberapa konsep penting
yang berguna untuk mengoperasikan semua jenis sistem manusia yang
kompleks. Konsep tersebut adalah: control, entropy, dan feedback.
Control, focus pada berbagai prosedur dan alat-alat yang mengatur berbagai
proses kerja dalam suatu system.
Entropy, menunjukan kecenderungan berbagai system untuk stagnan atau
“run down”. Dalam system manusia entropy seringkali diakibatkan oleh
pengikisan keyakinan dan kepercayaan secara berangsur-angsur didalam sistem
kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi.
Feedback, hanya mungkin terjadi ketika komunikasi antar komponen
berlangsung. Dalam analisa sistem kita mengenal bentuk hubungan yang
mungkinkan komunikasi sebagai “feedback loops”.

b. Sistem Terbuka dan Tertutup


Berdasarkan dasar pemahaman terhadap feedback loops kita dapat
mengkonseptualisasikan dua jenis sistem; yakni sistem terbuka dan tertutup.
1. System tertutup, merupakan sistem mengasingkan individu dari lingkungan
alami mereka. hal ini terjadi karena individu tersebut tidak melakukan
pertukaran energi, barang atau perkara dan informasi dengan lingkungan
luar. Individu tersebut mempunyai kapasitas kecil atau bahkan tidak
berkapasitas untuk melakukan pembaharuan.
2. System terbuka merupakan sistem yang secara terus-menerus melakukan
pertukaran informasi, energi dan materi dengan lingkungan sekitar. Semua
makhluk hidup merupakan bagian dari sistem terbuka, dimana ketika
mereka dibatasi dari lingkungan luar maka mereka akan sakit dan mati.
Ketika suatu sistem masih terbuka maka ia dikarakteristikan sebagai
performa self-regulation dan steady state. Sistem terbuka menjaga kemantapan
output dan self-characteristic regulating karena mereka mampu memanfaatkan
feedback untuk membangun kontrol. Dalam sistem manusia kemampuan jenis
ini disebut pembaharuan diri atau “self-renewal” (Gardner, 1962).

2. Mengsistem Analisa Manusia


Dalam bekerja dengan sistem manusia, salah satu tujuan utama konselor adalah
membantu sistem ini baik klien yang terdiri dari individu, keluarga atau organisasi
yang besar untuk mencapai pembaharuan diri dan meningkatkan kontrol penuh
terhadap interaksi dan peranan mereka. Salah satu keuntungan dari sistem analisa
adalah memungkinkan kita fokus pada pengoperasian satu bagian dari aspek sistem
yang berhubungan tanpa mengacuhkan atau takut terhadap komponen atau bagian-
bagian didalamnya (Barrien, 1976).
Konsep dari linkage sangat penting untuk mengkonseptualisasikan bagaimana
sebuah sub sistem dapat berhubungan dengan yang lain. Orang yang memiliki
linkage adalah mereka yang mampu menyebrangi batasan yang ada dan bekerja
dalam beberapa sub-sistem. Konselor seringkali terinspirasi oleh yang memiliki
linkage untuk menghubungakan sekolah dan pelayanan terhadap sebuah komunitas
manusia dengan klien yang berasal dari sub sistem yang bervariasi. Dalam analisa
sebuah sistem kita dapat menguji bagaimana cara kerja seperangkat fungsi yang
kompleks namun saling berkaitan dalam sebuah fenomena. Kita dapat
mengaplikasikan pendekatan sistem dan pendekatan bahasa guna lebih memahami
proses-proses yang berada dalam sebuah sistem operasi (Huse dan Bowditch, 1977).
Setiap sistem terdiri dari seperangkat input, proses, dan output. Sebagaimana
agensi konseling juga memiliki input dari konselor dan klien. Untuk mengoptimalkan
pertumbuhan klien diperlukan output yang mantap dan memuaskan dan fungsi-fungsi
yang lebih. Proses campur tangan oleh konselor ini disebut sistem “phase space”
yakni seperangkat interaksi yang kompleks dan terarah antara konselor dan klien
yang dapat berupa wawancara konseling atau treatment. Dengan mengamati
bagaimana perubahan suatu bagian dalam sistem berakibat secara tidak langsung
terhadap perubahan bagian sistem lain secara menyeluruh, sistem analisa
menunjukan kepada kita bahwa perubahan bagian dalam sistem secara total dalam
hal fungsi sistem membawa perubahan terhadap komponen-komponen lain yang
berada dalam sebuah sistem. Kesadaran tentang kompleksitas dan keterkaitan dalam
fungsi sistem memiliki kemungkinan yang semakin besar terhadap campur tangan
(Goulner, 1964).
Menggunakan sistem atau pendekatan kontekstual terhadap masalah individu
akan menimbulkan “multiple possibilities” atau kemungkinan ganda (Tyler, 1983).
Sistem teori bukan hanya sekedar bahasa dan format baru yang menentukan sudut
pandang kita terhadap cara berfikir klien. Cara tradisional kita tentang bagaimana
manusia berfikir untuk menyelesaikan masalahnya hanya berdasar pada model
simple yang linier dan cenderung mencari kepraktisan, mempunyai ciri tersendiri dan
mencari tahu apa yang terdapat pada masalah dan situasi yang kompleks. Sistem
berpikir menunjukan kepada kita bahwa kita tidak hanya berpikir sebagai anggota
bagian dari personalitas individu melainkan sebuah bagian dari sistem yang berperan
memainkan sebuah peranan dan menempati suatu posisi dalam sistem yang saling
berhubungan dan terkoneksi. Sistem berpikir bukanlah sesuatu yang sederhana
karena hal tersebut menuntut level toleransi yang tinggi untuk kompleksitas dan
ambiguitas. Sistem berpikir mendorong individu yang ada didalamnya berpindah
kedalam level kognitif yang semakin berkembang dan kompleks.

3. Konseling Dalam Konteks


Secara singkat, kegunaan sistem berpikir adalah membantu untuk mendapatkan
gambaran yang lebih kaya dan beragam dari klien dan bagaimana mereka berperan
dalam konteks fisik dan sosial. Konsep dari “sistem sebagai klien” dan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah tesebut memunculkan konseling dengan seluruh
keluarga (Handel, 1965). Ketika seorang konselor masuk kedalam lingkungan hidup
dari sebuah group misal keluarga, kelas atau organisasi maka ia telah menempatkan
dirinya kedalam sebuah peran professional yang terbilang unik. Tugas dan status
konselor harus dapat membangkitkan kepercayaan publik sehingga seorang konselor
akan senantiasa dapat diandalkan oleh publik.
Ketika seorang konselor menerima keluarga atau sekolah sebagai kliennya maka
ia akan menjumpai hubungan etis dan hubungan profesional yang baru. Tiap
hubungan ini secara unik dipisahkan oleh kepemilikan individu dan seperangkat
tujuan dan aspirasi yang unik. Kemungkinan terjadinya konflik dan ketegangan peran
menjadi seseatu yang nyata.
Beberapa prinsip dari perubahan sistem hendaknya direfleksikan ke dalam
beberapa kerangka berikut:
1) Proses perubahan dilakukan secara menyeluruh dari dalam sistem yang
terpengaruh.
2) Semakin kohesif sistem klien maka akan semakin besar kebutuhan anggotanya,
semakin besar perlawanan untuk berubah.
3) Dasar dari suatu perubahan akan diterima oleh sistem klien, tergantung pada
bagaimana sebuah perubahan dipersepsikan sebagai sesuatu yang memiliki nilai
dan aspirasi yang relevan terhadap sistem yang ada.
4) Kemampuan seorang individu dalam sistem klien untuk melawan suatu
perubahan dipengaruhi oleh status dan kehormatannya dalam sebuah sistem.
5) Perubahan rencana atau pencapaian tujuan dapat terjadi dalam sistem klien yang
merupakan fungsi dari proses komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem.
6) Sistem klien sangat menentang suatu perubahan, dan hal ini merupakan sebuah
penghalang besar bagi suatu sistem untuk memiliki komunikasi yang efektif.
7) Ketika penghalang untuk berkomunikasi secara efektif menimbulkan suatu
masalah dalam sistem klien tiba-tiba menghilang, maka hal ini bisa
menimbulkan rasa takut bagi beberapa individu didalamnya.
8) Perubahan pada suatu bagian dari sistem klien akan menghasilkan perubahan
pada sistem yang lain.

4. Kerangka Kerja Untuk Membantu Sistem Klien


Kerangka kerja yang akan dibahas pada sub bab ini bisa menjadi pedoman yang
baik untuk diikuti, bahkan dalam situasi konseling indivual. Sebagaimana sistem
klien yang semakin beragam dan kompleks maka penggunaan prinsip-prinsip berikut
menjadi semakin penting:
Proses perubahan hendaknya dilakukan secara kolaboratif dalam konteks alami.
Prinsip ini menyatakan bahwa perubahan pada sistem klien hendaknya dilakukan
secara demokratis dan terbuka. Proses demokratis yang dilakukan hendaknya
meliputi dua hal, yakni: pertama membangun hal-hal yang menjadi ketertarikan dan
tujuan dari sistem klien. Proses perubahan yang dilakukan hendaknya memberikan
kesempatan untuk berdiskusi dan membangun interaksi yang membangun dan
membantu seluruh anggota untuk membangun kepercayaan dan kepercayadirian.
Salah satu tanggung jawab profesionalitas adalah memfasilitasi sistem klien dengan
proses yang terbuka, demokratis dan kolaboratif.
Perubahan hendaknya dilakukan secara edukatif dan produktif untuk semua
anggota sistem klien. Prinsip kedua dalam bekerja dengan sistem klien adalah proses
dari rencana perubahan hendaknya mengkondisikan seluruh anggotanya menjadi
produktif. Tiap anggota hendaknya belajar untuk berkomunikasi secara efektif dan
berlatih mengembangkan kemampuan membuat keputusan sehingga hal tersebut
nantinya akan membantu mereka mengembangkan kemampuan berkomunikasi
secara akurat dan terpercaya.
Proses perubahan hendaknya formatif dan experimental dalam konteks
lingkungan yang alamiah. Prinsip ketiga dari perubahan yang demokratis dalam
sistem klien adalah bahwa proses hendaknya bersifat experimental atau coba-coba
dalam berinovasi dan perubahan juga hendaknya merepresentasikan usaha untuk
meningkatkan fungsi didalam sistem klien dan mengembangkan segenap anggota
dalam sistem.
Hasil dari rencana perubahan hendaknya selalu di monitor, dianalisa dan di
evaluasi, kemudian temuan dari hasil evaluasi tersebut digunakan untuk
mengevaluasi rencana perubahan dimasa yang akan datang.
Perubahan hendaknya berfokus penyelesaian masalah, bukan berfokus pada
kebutuhan personal individu yang bertujuan untuk meningkatkan prestise. Prinsip
dasar dalam bekerja dengan sistem klien adalah bahwa proses harus berorientasi pada
tugas. Upaya peserta, termasuk profesional, harus relevan dengan tugas di tangan
daripada peningkatan kekuatan pribadi dan status.
Ketika seorang konselor mampu membangun hubungan yang baik serta
membantu klien menyelesaikan masalah dengan berdasar pada ke empat prinsip di
atas maka semua masalah klien yang berhubungan dengan masalah ras, etnik, dan
praktisi yang beragam dan kompleks akan teratasi.

5. Memahami Resistensi dari Sistem Klien


Dalam melakukan konseling secara individu seorang konselor hendaknya
menghindarkan diri dari sikap sewenang-wenang dan memaksa seorang individu
untuk merubah sikapnya. Resistensi dalam sistem klien bersumber dari banyak
sumber yang berbeda seperti nilai, aspirasi, dan sensibilitas yang berbeda. Resistensi
untuk berubah adalah elemen homeostatic yang membantu seseorang menjaga
stabbilitas, konsistensi, dan keseimbangan personalitas manusia (Watson, 1967).
Semakin banyak pengalaman tidak stabil, menyakitkan, dan bergejolak yang dialami
maka seorang individu akan semakin baik dalam mencoba untuk menghindari
perubahan, bahkan yang terencana secara terperinci dan jelas. Keluarga, tetangga,
sekolah dan berbagai komunitas institusi tempat dimana seorang konselor bekerja
bisa jadi merupakan pelabuhan identitas bagi beberapa anggota.
Bagaimanapun keadaanya kita harus bisa bekerjasama dengan konstruktif
meskipun kita mempunyai perasaan negatif terhadap klien secara individual yang
mana merasa cemas dan terancam. Namun ketika perasaan yang sama diekspresikan
oleh seorang klien yang berasal dari sistem yang kompleks yang sedang mengalami
kesulitan maka kita seringkali merasa terancam dan marah. Seorang konselor
professional yang bekerja dengan keluarga maupun organisasi hendaknya memiliki
kemampuan untuk menghadapi hal tersebut dan menganggap resistensi sebagai
proses yang tak terpisahkan dalam sebuah proses perubahan.

Resistensi dan Oposisi


Resistensi merupakan reaksi dari tindakan irasional dan emosional. Resistensi
seringkali timbul dari persepsi ancaman terhadap keamanan, integritas atau otonomi
seseorang. Kita melakukan tindakan melawan ketika merasa dimanipulasi, otonomi
kita terancam, atau identitas dasar kita berada dalam bahaya. Ketika seseorang
bereaksi secara berlawanan dengan apa yang telah direncanakan maka hal tersebut
diakibatkan mereka merasa tidak jelasan dan tidak pastian dengan tujuan atau
keeektifan rencana tersebut, hal ini dinamakan oposisi. Karena oposisi bersifat
rasional, terbuka dan objektif terhadap realitas yang ada maka hal ini seringkali
berguna bagi sistem klien untuk membuat rencana perubahan, khususnya pada tahap
awal rencana perubahan.

6. Sekolah dan Komunitas sebagai Sistem Klien


Berhasil tidaknya seorang konselor profesional dalam bekerja dalam setting
pendidikan misal sekolah, universitas atau komunitas dalam skala yang besar yang
meliputi pelayanan kemanusiaan dapat dilihat dari caranya memahami konteks sosial
dari klien mereka.
Komunitas merupakan sistem manusia yang kompleks yang bergantung pada
usaha-usaha yang bersifat kolektif dan kooperatif guna mencapai tujuan. Komunitas
memiliki sub sistem yang meliputi komunitas yang besar, memiliki bentuk yang
berbeda-beda, dan mengembangkan norma dan ekspektasi yang berbeda-beda pula
serta merefleksikan ukuran, komposisi, usia, kohesifitas, dan yang paling penting
adalah dasar dan tujuan dari organisasi tersebut didirikan. Sayangnya, banyak sekali
dari kita yang terlalu banyak meminta bantuan dalam hal pengoperasian organisasi
sosial. Dalam beberapa kasus hal tersebut mungkin diakibatkan oleh bahan dasar dari
beberapa komunitas yang dilebur bersama yakni mutualitas dari persepsi, tujuan,
kepercayaan dan ekspektasi. Mutualitas merupakan perekat yang menyatukan
perbedaan dan elemen-elemen penting dalam suatu komunitas.
Di dalam bentuk sistem ini fenomena diatas berarti bahwa sebagian kecil dari
output sistem total di terjemahkan kedalam sebuah feedback sebagai sebuah kontrol
dan rencana. Salah satu fungsi dari konselor professional adalah dalam bekerja
dengan sistem klien, secara individual membantu menjaga kontrol dari elemen yang
krusial dalam sebuah sistem.
Sekolah merupaka sistem pendidikan yang secara umum mempunyai
karakteristik dan masalah yang unik. Sebagian dari kita mungkin setuju bahwa sistem
pendidikan cocok dengan model profesional dan hendaknya diorganisir untuk
mendapat otonomi dan tanggung jawab kepada guru, konselor dan anggota
profesional lainya. Akan tetapi sistem pendidikan juga bisa dilihat sebagai sebuah
birokrasi yang terpusat dengan administrasi yang kaku. Sekolah juga bisa
diklasifikasikan kedalam organisasi pelayanan (Blau & Scott, 1962). Dalam hal ini
siswa berperan sebagai public-in-contact dari sekolah, yakni populasi yang sekolah
bangun untuk dilayani. Akan tetapi sistem pendidikan juga tidak semata-mata
merupakan organisasi pelayanan. Seringkali apa yang telah sekolah lakukan untuk
melayani publik tidaklah jelas, dalam sebuah masyarakat yang plural dengan
berbagai komunitas yang berbeda “public” seringkali susah untuk ditemui bahkan
susah untuk membuat mereka mau mendengarkan kita.
Siswa lebih dianggap sebagai input dalam sebuah system input dimana sebuah
sistem bekerja. Siswa juga dianggap sebagai input pasif, pasangan aktif atau
keuntungan utama dari sebuah sistem operasi. Sementara guru dan para administrator
yang lain di anggap sebagai peserta aktif dari sebuah sistem yang mana mereka
memperbaiki perilaku anggota lain dalam sistem. Sistem pendidikan merupakan
suatu organisasi sosial yang ambivalen dimana organisasi psikologis menyebutnya
“compliance system” (Etzioni, 1961) dimana organisasi sosial tersebut berusaha
memenuhi kecocokan dan pemenuhan permintaan dari anggotanya.
Organisasi sosial dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, yakni:
Sistem Normative adalah organisasi sosial yang tugas utamanya adalah untuk
mengubah sikap dan perasaan dari para anggotanya dengan cara mempengaruhi nilai-
nilai dan kepercayaan mereka, semisal organisasi gereja, partai politik dan klub
persaudaraan sosial.
Sistem Utilitarian adalah organisasi sosial yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan dan pemahaman dari para anggotanya semisal sekolah perdagangan,
program training bisnis atau industri, dll.
Sistem Coercive adalah organisasi sosial yang melatih anggota yang ada
didalamnya untuk memiliki kontrol yang kuat guna menciptakan sebuah tindakan
perlindungan yang didesain untuk membantu anggotanya menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru, misal penjara, panti asuhan, asrama pendidikan, dll.
Sistem pendidikan juga merupakan organisasi bermanfaat karena memberikan
pengajaran dasar tentang kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki siswa dan
membekali siswa dengan keahlian tertentu yang nantinya akan mereka gunakan
untuk bertahan dalam kompetisi dalam sistem ekonomi.
Dalam sistem manusia kita dapat mengidentifikasi dua pola secara garis besar,
yakni: komunikasi instrumental yang berhubungan dengan area kognitif dimana
bertujuan untuk mengubah perilaku yang sederhana, misal tutup jendela, dll.
Komunikasi ekspresif yakni komunikasi yang bertujuan untuk berbagi emosi dan
sikap. Dalam dunia konseling banyak interview yang dilakukan dengan tujuan untuk
menciptakan dan menjaga komunikasi yang ekspresif antara konselor dan klien.
Sebagaimana kita tahu bahwa komunikasi adalah sesuatu yang penting dalam
membuat sebuah perubahan terjadi pada perasaan dasar manusia, sikap dan utamanya
perilaku.

C. Tujuan Dan Prioritas Setting Profesional


Salah satu dari karakteristik utama dari pekerja professional adalah memiliki otonomi
untuk mengatur tujuan mereka dan juga memiliki kemampuan dan integritas untuk
mengevaluasi hasil dari praktek profesional mereka. Untuk membenarkan dan menjaga
kepercayaan terhadap hal tersebut seorang konselor profesional harus mampu
mengandalkan diri mereka sendiri untuk pekerjaan, klien, sistem klien, dan masyarakat
sekitar.
1. Model-model Keefektifan Manusia
Ada banyak teoritikus yang telah membangun model dari perkembangan
manusia dan keefektifan manusia yang membantu kita mengkonseptualisasikan
petunjuk yang ada dan mengatur tujuan yang akan dicapai ketika kita bekerja klien.
Paradigma kita selama ini adalah apa yang manusia “dewasa” atau “sehat” atau
“bermanfaat” hasilkan adalah pencerminan atau produk dari nilai-nilai kita? Hal ini
berdasarkan persepsi apa yang baik, apa yang benar dan apa yang indah dalam
kehidupan kita sebagai manusia, dalam masyarakat tempat kita tinggal, dalam dunia
tempat kita hidup (Smith, 1961). Jika kita mengetahui batasan-batasan yang melekat
pada model-model berikut ini maka kita dapat menggunakannya sebagai pijakan
awal yang berguna bagi karir kita untuk menentukan tujuan umum dan prioritas
professional.
a. Konsep Maslow “Aktualisasi Diri”
Salah satu psikologi pertama yang dikembangkan oleh Abraham Maslow
(1970) yakni ‘Model Keefektifan Manusia’ yang mana melihat motivasi dan
kebutuhan manusia sebagai konsep dasar aktualisasi diri. Secara singkat Maslow
menggambarkan eksistensi dari hierarki kebutuhan dan motivasi yang di
ilustrasikan kedalam sebuah piramid dimana perkembangan manusia mendaki
menuju hierarki atau level yang semakin tinggi dalam hal pemuasan kebutuhan.
Pada dasar piramid Maslow menempatkan kebutuhan dasar psikologis dan
kebutuhan bertahan hidup. Ketika kebutuhan ini sudah terpenuhi maka fokus
selanjutnya adalah pemuasan terhadap kebutuhan akan keselamatan dan
keamanan. Kemudian pada level selanjutnya adalah kebutuhan akan cinta,
penghargaan, dan pengakuan hingga pada akhirnya level terakhir adalah
aktualisasi diri.
Maslow menunjukan bahwa cara terbaik untuk mengaburkan aspirasi dan
motivasi pada level yang lebih tinggi adalah dengan cara menjaga agar
kebutuhan pada level terbawah tidak terpenuhi. Sementara itu, untuk jika
kebutuhan pada level dasar senantiasa terpenuhi maka usaha dan aspirasi
individu secara otomatis akan terfokus pada level yang lebih tinggi untuk
memperoleh aktualisasi diri, ia akan menggunakan energi dan sumber daya yang
tersedia untuk mengembangkan potensi dan bakat yang ada pada dirinya.
Gagasan tentang perkembangan sebagai pemenuhan potensi tertinggi
seseorang merupakan sejalan dengan nilai-nilai yang dalam konseling
professional. Berikut ini adalah lima belas daftar karakteristik aktualisasi diri
oleh Maslow:
1. Memiliki orientasi yang realistis
2. Menerima diri sendiri dan orang lain
3. Spontanitas
4. Berfokus pada masalah
5. Tidak mudah terpengaruh
6. Memiliki otonomi dan mandiri
7. Memberikan apresiasi pada orang lain dan hal atau benda
8. Memiliki pengalaman yang mendalam
9. Memiliki kepedulian dan rasa kasih saying terhadap umat manusia
10. Memiliki hubungan interpersonal yang mendalam
11. Menanamkan nilai demokratis serta bersikap demokratis
12. Mampu menyudahi kekhawatiran etnis dengan keteguhan dan kepastian
13. Memiliki rasa humor psikologis
14. Kreatif, orisinil dan mampu berfikir dengan cara yang berbeda
15. Penolakan terhadap ketidaksesuaian
b. Allport “Kematangan Personal”
Berikut adalah karakteristik personal yang matang atau dewasa menurut
Allport:
1. Mampu mengembangkan diri, memiliki kapasitas untuk member dan peduli
terhadap orang lain.
2. Membina hubungan yang baik dengan orang lain, memiliki kapasitas untuk
mengekspresikan cinta dan emosi secara intim kepada orang lain.
3. Mampu mengontrol emosi, dan juga mampu menekan depresi dalam diri.
4. Memiliki persepsi dan kognisi yang realistis, mampu memfokuskan energi
yang ada hanya untuk melakukan hal penting saja.
5. Mampu menerima diri sendiri, memiliki wawasan dan rasa humor, mampu
memahami diri sendiri, dan memiliki kesadaran, serta mampu melihat
seseorang dari perspektif yang luas.
6. Memiliki filosofi kehidupan yang satu, memiliki cara pandang hidup yang
menyatu dan terintegrasi.
c. Roger “Orang yang Memerankan Fungsinya secara Optimal”
“Fully Functioning Person” atau orang yang memerankan fungsinya secara
optimal didefiniskan sebagai apa yang sudah dilakukan oleh seseorang, bukan
berkenaan dengan siapakah dirinya, atau bagaimanakah dirinya (Rogers, 1962).
Rogers berpendapat bahwa orang yang memerankan fungsi optimal ialah mereka
yang membuka lembar pengalaman baru dan mampu melihat kemungkinan-
kemungkinan yang ada. Lebih jauh lagi Rogers berpendapat mengenai berfungsi
secara optimal dengan mendiskripsikannya kedalam “proses yang bernilai pada
seseorang yang matang”, berikut adalah 10 karakteristik dari petunjuk penting
bagi orang-orang yang menuju kedewasaan:
1. Mereka cenderung untuk tidak menempatkan diri dimuka, mencoba untuk
mengurangi sifat defensif mereka.
2. Mereka cenderung berpaling dari tugas ekspektasi yang melekat pada diri
mereka dari orang lain.
3. Mereka tidak lagi merasa cemas dengan orang lain, dan merasa senang pada
dirinya sendiri.
4. Berhati-hati dalam mengekspresikan perasaannya.
5. Menghargai diri sendiri, munculnya kebanggaan dan rasa percaya diri dalam
memilih dan keputusan.
6. Menghargai opini dan pencapaian diri sendiri
7. Bersemangat dan merasa dalam mengejar apa yang menjadi tujuan hidupnya
serta mampu menemukan potensi baru dalam dirinya.
8. Menjadi semakin sensitif dan menerima orang lain.
9. Menghargai hubungan personal
10. Terbuka untuk menerima pengalaman baru
d. Jahoda “Perilaku Normal”
Marie Jahoda (1958) mendeskripsikan secara singkat mengenai pengertian
keadaan mental yang sehat atau “perilaku normal”. Ia mendeskripsikan bahwa
seseorang yang bermental sehat atau berperilaku normal ialah orang-orang yang
menguasai lingkungan sekitarnya, menunjukan kesatuan dan konsistensi, dan
mampu mempersepsikan dirinya sendiri dan dunia secara realistis.
e. Shoben “Personality yang Normal”
Shoben mengembangkan teori milik Jahoda, ia mengubahnya menjadi
normal personality. Konsep dari “normal” yakni memiliki sense yang sama
mengenai apa yang menjadi keinginan dan ekspektasi dalam sebuah populasi
sama halnya dengan kebanyakan individu di lingkungan tersebut. Shoben
menyebutkan ada 4 karakteristik untuk menjadi “normal”:
1. Memiliki kemauan untuk menerima konsekuensi dari sikap atau prilaku
seseorang.
2. Memiliki kapasitas untuk hubungan interpersonal.
3. Memilki obligasi atau kewajiban terhadap masyarakat.
4. Memiliki komitmen untuk hidup secara ideal dan standart
Model-model yang sudah dijelaskan diatas pada dasarnya berusaha
mengoptimalkan fungsi manusia yang didapat dari pengalaman pribadi, nilai-
nilai yang ada serta prasangka dari tutor mereka.
Bab III

Penutupan

a. Kesimpulan

b. Saran

Anda mungkin juga menyukai