Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Etika profesi adalah nilai-nilai moral (baik – buruk) berkaitan dengan ilmu dan keahlian
(bidang profesi tertentu) dan bagaimana seharusnya penggunaan ilmu dan kahlian
dikendalikan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Penguasaan ilmu dan keahlian
oleh seorang profesional membawa serta tanggung-jawab moral dan sosial bagi yang
bersangkutan. Ia bertanggung-jawab karena memiliki kemampuan dan kompetensi
(kepakaran) di bidangnya yang tidak dimiliki oleh masyarakat umum. Contohnya, seorang
anggauta masyarakat, bukan juru ukur, tidak dapat dimintai tanggung-jawab atas kesalahan
mengukur dan menghitung luas suatu persil, karena memang tidak memiliki ilmu dan
keahlian untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sebaliknya seorang juru ukur (dengan
peralatan yang memadai) yang mampu melakukan pengukuran tanah dengan prosedur
yang benar akan dianggap bersalah apabila peta yang dihasilkan tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya di lapangan.

Dengan ilmu dan keahliannya seorang profesional memilikii “kekuasaan” di bidangnya


untuk mengambil keputusan yang dapat membawa dampak positif maupun negatif pada
masyarakat, klien, dan lingkungan. Masyarakat atau klien menaruh kepercayaan kepada
para profesional berdasarkan keyakinan bahwa mereka dapat memperoleh manfaat dari
pelayanan yang diberikan. Adalah sangat mungkin seorang profesional menyalah-gunakan
“kekuasaan” yang dimilikinya untuk keuntungan pribadi yang merugikan masyarakat atau
klien. Contohnya, seorang juru ukur dengan keahliannya (kelihaiannya) dapat melakukan
manipulasi data ukuran dan perhitungan, menambah pengukuran yang tidak perlu atau
mengurangi pengukuran yang seharusnya dikerjakan, dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan finansial.

Umumnya perkumpulan atau himpunan profesi memiliki kode etik yang mengikat
anggauta-anggautanya untuk senantiasa mentaatinya guna melindungi kepentingan
masyarakat dan klien disamping menjaga integritas profesi. Biasanya ada ketentuan
tentang sangsi disiplin bagi anggauta perkumpulan profesi yang melakukan pelanggaran
kode etik. Seorang juru ukur profesional yang jujur akan menolak permintaan klien untuk
membuatkan peta ukur / sertifikat tanah sesuai keinginan klien yang oleh juru ukur dinilai
menyimpang dari standar profesi, juga kode etik, yang telah ditetapkan. Klien tersebut
mungkin akan menyewa juru ukur lain yang kurang cermat dan dapat dibujuk untuk

1
memenuhi keinginannya dengan kompensasi tertentu, baik terang-terangan maupun
terselubung. Kode etik dibuat untuk memotivasi para profesional agar berperilaku secara
sadar, jujur, dan profesional dalam mengamalkan ilmu dan keahliannya dan tidak
dilemahkan oleh mereka yang meragukan pentingnya moral/etika. Juga untuk memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap profesi sehingga masyarakat akan tetap mengharapkan
pelayanannya.

Pada tataran teoritik, persoalan yang masih diperdebatkan ialah: Apakah kode etik suatu
profesi harus senantiasa konsisten dengan moralitas masyarakat? Sebagian orang setuju
apabila profesi dibiarkan keluar melampaui batas kungkungan moralitas masyarakat
apabila suatu keputusan harus diambil; Sebagian yang lain berpendapat bahwa etika
profesi harus senantiasa konsisten dengan moralitas masyarakat. Contohnya ialah program
pembangunan listrik tenaga nuklir (PLTN). Yang benar-benar mengerti akan segala
sesuatu mengenai teknologi nuklir, pemanfaatan serta resiko-resikonya, ialah para
profesional teknologi nuklir. Para profesional teknologi nuklir, baik yang merencanakan
proyek maupun yang tidak terlibat di dalamnya, dihadapkan pada dilema antara tuntutan
mendesak akan kebutuhan listrik di masyarakat dan resiko dampak yang mungkin terjadi
(kebocoran) pada instalasi PLTN. Apakah mereka cenderung menempatkan “kebutuhan
tenaga listrik di masyarakat” atau “keselamatan masyarakat dari kemungkinan bahaya
radiasi nuklir” sebagai prioritas pertama? Misal, moralitas masyarakat atau etika
profesi/rekayasa nuklir mengatakan “keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan
masyarakat harus diutamakan.” Dengan demikian pilihan tersebut menjadi dilematis,
kedua-duanya harus ditempatkan pada prioritas pertama.

Perbedaan pendapat (opini) di tengah masyarakat tentang nilai-nilai moral dalam aspek
teori dan pemahaman nampaknya masih akan terus terjadi karena realitas kehidupan
manusia yang majemuk dalam aspek-aspek gender, agama, warna kulit, tradisi,
kebangsaan, bahasa, politik, status sosial. Perbedaan pendapat tentang nilai-nilai moral
tersebut berakar pada perbedaan teori atau aliran pemikiran filsafat tentang nilai-nilai
moral, seperti faham moral absolut, moral raltif, moral universal, moral nihilis, dan
sebagainya Namun demikian kita berharap adanya suatu sistem nilai yang dapat diterima,
diakui, dan diterapkan oleh seluruh masyarakat dunia sebagai basis bagi terselenggaranya
kesamaan, perdamaian, keadilan, keselamatan, persaudaraan, dan kesejahteraan umat
manusia.

2
MORAL ABSOLUT, RELATIF, DAN UNIVERSAL

Etika merupakan salah satu bidang telaah filsafat, yakni filsafat moral. Dalam filsafat
moral dibahas nilai-nilai baik dan buruk perlaku yang secara sadar dilakukan oleh
manusia. Baik dan buruk perilaku manusia dinilai berdasarkan aturan moral atau
pernyataan moral, seperti:

 Membunuh adalah tindakan buruk/salah !


 Menepati janji adalah tindakan baik/benar !

 Isteri harus setia kepada suami !

 Pemimpin harus dapat dipercaya !

 Profesional harus mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan


masyarakat !

Perbedaan teori atau aliran pemikiran tentang nilai-nilai moral berkisar pada perbedaan
keyakinan terhadap kebenaran pernyatan moral. Diantara banyak teori atau aliran
pemikiran dalam filsafat moral, berikut ini diuraikan secara singkat faham-faham moral
absolut, moral relatif, dan moral universal.

MORAL ABSOLUT

Moral absolut merupakan pandangan moral yang menilai bahwa tindakan tertentu adalah
mutlak benar atau salah tidak bergantung pada konteks tindakan. Sementara itu para
pengikut moral absolut percaya bahwa sekurang-kurangnya ada satu pernyataan moral
yang benar dan berlaku dimana saja, bagi siapa saja, dan kapan saja, tanpa syarat
percaya atau tidak terhadap pernyataan tersebut. Suatu pernyataan non-moral bahwa
“bumi berbentuk bundar”, kebenarannya tidak tergantung apakah orang percaya atau tidak
bahwa bumi itu bundar. Demikian pula para pengikut faham moral absolut, mereka
percaya bahwa sekurang-kurangnya ada satu pernyataan moral yang benar seperti cara
mempercayai kebenaran pernyataan “bumi berbentuk bundar” Contoh moral absolut dalam
praktek: “bohong” dipandang sebagai perilaku immoral, meskipun dilakukan untuk tujuan
kebaikan.

3
Teori etika yang menekankan nilai kebenaran, seperti teori etika Immanuel Kant, sering
menempati posisi moral absolut seperti kebanyakan moral agama, khususnya agama-
agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen, Islam). Pada umumnya agama memiliki posisi moral
absolut mengingat sistem moral agama dipercaya sebagai turunan atau terjemahan dari
perintah tuhan atau dewa sehinga dianggap mutlak, sempurna, dan tidak boleh diubah.
Disamping itu banyak filosof berpandangan dan cenderung pada moral absolut dengan
argumentasi bahwa hukum-hukum absolut tentang moralitas merupakan bagian permanen-
alamiah dari kodrat manusia dan sifat-sifat alami kehidupan alam semesta secara umum.
Misalnya, seseorang yang percaya secara mutlak terhadap nilai kasih-sayang tanpa
kekereasan akan menganggap salah terhadap tindakan kekerasan meskipun untuk tujuan
membela diri.

Dalam perkembangannya, salah satu pandangan dalam teologi Kristiani mengajarkan


moral absolut berjenjang dalam menghadapi konflik antara dua nilai moral absolut:
Kewajiban tunduk kepada nilai moral dengan hirarkhi lebih tinggi menghapuskan
kewajiban tunduk kepada nilai moral dengan hirarkhi yang lebih rendah; Kewajiban
kepada Tuhan > kewajiban kepada manusia > kewajiban kepada benda/alam. Contohnya,
kewajiban moral menyelamatkan kehidupan (jiwa manusia) menggugurkan kewajiban
moral untuk tidak berbohong terhadap orang yang mengancam kehidupan. Di dalam
teologi Islam juga ada dalil hukum (ushul fikih) yang mengatakan: mencegah kerusakan
didahulukan daripada mecari kebaikan.

Moral absolut bertentangan dengan moral kontekstual. Moral kontekstual berpandangan


bahwa tindakan yang sama dapat dinilai benar dalam suatu situasi, tetapi salah dalam
situasi lain. Dengan demikian moral kontekstual (terhadap tindakan X) adalah tidak
konsisten seperti halnya moral absolut (terhadap tindakan X). Namun demikian moral
absolut dan moral kontekstual sama-sama setuju bahwa moralitas adalah obyektif;
Keduanya setuju bahwa ada kasus-kasus dimana tindakan-tindakan tertentu dinilai benar
atau salah secara obyektif, tidak tergantung pada pendapat orang. Di pihak lain, moral
relatif tidak percaya adanya moral obeyektif.

Kritik terhadap faham moral absolut antara lain datang dari mereka yang cenderung kepada
faham moral universal dan moral relatif. Mereka yang cenderung kepada faham moral
universal mengkritik bahwa moral absolut tidak berada dalam lingkup realitas
kemanusiaan, sehingga tidak dapat diterapkan sebagai standar dalam menilai tidakan

4
manusia. Sementara itu mereka yang cenderung kepada faham moral relatif antara lain
mengkritik bahwa moral absolut nampaknya dapat mendorong kepada tindakan immoral,
karena keyakinan terhadap kemutlakan nilai benar-salah berpotensi digunakan sebagai
landasan bagi tindakan-tindakan pemaksaan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan;
Selain itu moral absolut dapat mendorong pengikutnya menjadi terlalu percaya diri
mengenai kebenaran nilai moral yang dipercayainya.

MORAL RELATIF

Moral relatif merupakan pandangan moral yang menilai bahwa benar dan salah suatu
tindakan adalah bersifat relatif, bergantung pada pilihan perorangan. Konsep benar dan
salah tidak absolut, tetapi ditentukan oleh masing-masing individu. Nilai moral dapat
berubah dari satu situasi, individu, lingkungan ke situasi, individu, lingkungan yang lain.
Baik dan buruk tidak ada dalam kosep abstrak, tetapi hanya ada dalam konteks tertentu.
Suatu tindakan mungkin dipandang baik bagi seseorang atau budaya tertentu, tetapi buruk
bagi orang atau budaya lain dalam situasi tertentu. Moral relatif menolak keberadaan
moral absolut dan tidak percaya kepada kebenaran moral obyektif yang berlaku untuk
semua orang, semua tempat, sepanjang waktu. “Kamu memutuskan apa yang benar
bagimu, dan saya memutuskan apa yang benar bagi saya”. Moral relatif mengatakan:
“Sesuatu benar bagi saya, apabila saya mempercayainya”.

Ada tiga argumen dasar yang digunakan untuk mendukung faham moral reltif. Argumen
pertama ialah adanya fakta bahwa individu dan budaya yang berbeda memiliki keyakinan
moral yang berbeda atau moral disagreement. Dalam hal ini moral disagreement
menunjukkan bahwa moralitas dipandang sebagai produk dari opini atau kultur
perorangan. Argumen kedua ialah bahwa dalam setiap aturan moral senantiasa ada
pengecualian atau fleksibilitas. Dalam hal ini moral absolut, karena tidak ada fleksibilitas,
runtuh atau tidak berlaku dalam kondisi tertentu. Dengan demikian, apabila tidak ada nila-
nilai moral absolut, maka moral relatif adalah benar. Argumen ketiga ialah bahwa hanya
moral relatif yang konsisten dengan fakta bahwa kita harus toleran terhadap pendapat yang
berbeda, khususnya dari orang-orang yang latar belakangnya berbeda dengan kita.

Untuk menilai kecenderungan posisi seseorang, apakah ke moral absolut atau ke moral
relatif, pertama-tama anda harus menentukan keyakinan orang tersebut tentang asal-usul
kehidupan: Apakan evolusi atau penciptaan? Evolusi bergandengan dengan moral relatif,

5
mengajarkan bahwa hidup adalah kebetulan, tanpa makna dan tujuan, sehingga segala
sesuatu boleh dilakukan, sebab akhirnya tidak berarti apa-apa. Sebaliknya apabila
seseorang percaya bahwa ia diciptakan, maka ia percaya adanya pencipta (Tuhan) dan
segala sesuatu yang diciptakan senantiasa terikat pada aturan hukum, baik hukum alam
atau hukun yang diciptakan oleh sang pencipta. Mereka yang percaya bahwa kehidupan
adalah proses evolusi maka akan cenderung berpihak pada moral relatif.

Berdasarkan lingkup dimana pernyataan moral dapat bersifat relatif (benar atau salah),
maka moral relatif dapat dibedakan dalam tipe-tipe:

1. Reltivisme individual, yaitu apabila perbedaan hanya bersifat perorangan (contoh:


“bohong adalah salah” mungkin benar untuk seorang, tetapi salah untuk orang lain)
2. Relativisme kelompok, yaitu apabila perbedaan hanya bersifat kelompok atau
komunitas (contoh: “pacaran diperbolehkan” adalah benar untuk orang dewasa,
tetapi salah untuk anak-anak)

3. Relativisme kultural, yaitu apabila perbedaan hanya bersifat kultural atau


kebangsaan (contoh: “wanita meminang pria adalah lazim” adalah benar untuk
budaya matriakhi dan salah untuk budaya patriakhi)

Kritik terhadap faham moral relatif antara lain datang dari mereka yang cenderung pada
faham moral universal dan moral absolut. Mereka yang cenderung pada faham moral
absolut mengkritik bahwa moral relatif dapat membawa konsekuensi tindakan-tindakan
immoral karena menolak nilai-nilai moral standar tentang baik dan-buruk atau benar-salah.

MORAL UNIVERSAL

Moral universal merupakan pandangan moral yang menjadi landasan etika universal yang
dapat diterapkan untuk seluruh manusia tanpa memandang latar belakang budaya, ideologi,
warna kulit, jenis kelamin, agama, dan kebangsaan. Moral universal berlawanan dengan
moral relatif dan moral nihilis, namun bukan berarti moral universal menempati posisi
moral absolut. Banyak bentuk moral universal, seperti faham utilitarianism dan pluralism,
yang tidak menempati posisi moral absolut. Sebagian orang memandang bahwa moral
universal merupakan kompromi antara moral absolut dan moral relatif, dimana faktor-
faktor situasi kemanusiaan (misal, budaya, agama) menentukan nilai-nilai moral universal
6
Berbagai bentuk atau sistem moral mungkin berbeda-beda dalam cara pengungkapannya
maupun substansi isinya, namun semuanya setuju dalam universalitasnya. Dari berbagai
sistem moral tersebut dapat diturunkan atau dirangkum unsur-unsur yang sama untuk
menyusun suatu kode etik universal. Dalam hal ini, kode etik universal merupakan suatu
standar yang mengungkapkan esensi nilai-nilai moral kemanusiaan yang dapat diterapkan
untuk seluruh manusia tanpa memandang latar belakang budaya, ideologi, warna kulit,
jenis kelamin, gender, agama, dan kebangsaan. Ini diperlukan karena adanya perbedaan-
perbedaan mendasar diantara orang-orang yang berlainan tradisi budaya, dan
keagamaannya. Moral universal berpandangan bahwa tindakan moral terikat pada tindakan
itu sendiri, tanpa memandang konteks budaya, namun menghormati standar etika dasar
yang ada di dalam semua budaya.

Dalam rangka mewujudkan suatu dunia yang adil, bermoral, dan bermartabat, upaya
global yang dilakukan telah menghasilkan semacam etika universal, antara lain dalam
bentuk UDHR (Universal Declaration of Human Right). Kendati demikian sebagian orang
memandang bahwa UDHR ini adalah bentuk dari absolutisme universal.

7
ETIKA PROFESIONAL

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESIONAL

Di negara-negara maju, setiap organisasi profesi biasanya memilik kode etik yang
berfungsi sebagai acuan moral bagi angguta-anggautanya dalam melaksanakan tugas-tugas
profesionalnya di tengah masyarakat. Tujuan utama kode etik ialah untuk melindungi
kepentingan masyarakat dan klien disamping menjaga integritas profesi. Disamping
ketentuan-ketentuan moral yang harus ditaati, kode etik profesi biasanya juga memuat
ketentuan tentang sangsi disiplin bagi anggauta yang melakukan pelanggaran kode etik.
Seorang profesional, disamping terikat pada kode etik profesi, juga terikat pada peraturan
institusi (pemerintah atau perusahaan swasta) tempat ia bekerja dan peraturan perundangan
yang berlaku di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang juru ukur yang bekerja
di kantor kadaster sebagai pegawai pemerintah terikat pada (a) peraturan kantor tempat ia
bekerja, misal jam kerja, pakaian seragam, dsb, (b) peraturan perundangan negara, misal
kepegawaian, penggajian, pensiun, dsb, dan (c) etika profesi juru ukur yang secara umum
terangkum di dalam etika rekayasa (engineering ethics).

Berikut ini disajikan contoh kode etik profesi yang diterapkan oleh perkumpulan profesi
engineer di USA, National Society of Professional Engineers (NSPE). Prinsip-prinsip
dasar kode etik (Fundamental Canons) meliputi enam butir sebagai berikut (diterjemahkan
bebas ke dalam bahasa Indonesia):

Engineers, dalam melaksanakan tugas profesionalnya, harus

1. mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik,


2. memberikan pelayanan hanya dalam bidang kompetensinya,

3. bertindak obyektif dan benar dalam mengemukakan pernyataan publik,

8
4. bertindak untuk (atas nama) atasan atau klien sebagai agen yang bertanggungjawab
dan dipercaya,

5. menghindari perbuatan yang mengandung kebohongan,

6. berperilaku terhormat, bertanggungjawab, etis, dan taat hukum dalam rangka


meningkatkan kehormatan, reputasi, dan peran positif profesi.

Prinsip-prinsip dasar kode etik tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam aturan praktis yang
lebih rinci seperti disajikan dalam uraian selanjutnya.

ATURAN PRAKTIS

1) Engineers harus mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik:

a. Apabila, dibawah kondisi tertentu, keputusan yang diambil membahayakan


kehidupan atau properti, maka Engineers harus memberi tahu atasan atau klien dan,
bila perlu, otoritas publik.

b. Engineers memberi persetujuan hanya untuk dokumen yang memenuhi standar


rekayasa yang berlaku.

c. Engineers tidak diperkenankan mengungkapkan fakta, data, atau informasi tanpa


lebih dulu mendapat persetujuan klien atau atasannya, kecuali mereka telah diberi
kuasa untuk itu atau diharuskan oleh hukum atau kode etik.

d. Engineers tidak diperkenankan menggunakan namanya dalam bisnis yang beresiko


dengan orang atau perusahaan yang tersangkut tindak kriminal atau perusahaan
yang tidak jujur.

e. Engineers tidak diperkenankan membantu atau mendukung perorangan atau


perusahaan yang melakukan praktek rekayasa yang melanggar hukum.

f. Apabila mengetahui ada tersangka yang melanggar kode etik, maka Engineers
harus segera melaporkan kepada organisasi profesi yang sesuai dan, bila perlu, juga

9
kepada otoritas publik; Selanjutnya Engineers bekerjasama dengan otoritas yang
sesuai untuk melengkapi informasi yang diperlukan.

2) Engineers harus memberikan pelayanan hanya dalam bidang kompetensinya:

a. Engineers mengambil tanggungjawab tugas pekerjaan hanya apabila memiliki


kualifikasi sesuai dengan pendidikan atau pengalaman di bidang teknis pekerjaan
yang bersangkutan.

b. Engineers tidak membubuhkan tandatangan pada rencana/dokumen yang materinya


tidak mereka kuasai (karena kurang kompeten) atau rencana/dokumen yang tidak
dipersiapkan dibawah kontrolnya.

c. Engineers dapat menerima tanggungjawab tugas pekerjaan dan koordinasi seluruh


proyek, menandatatangani dan menyegel dokumen rekayasa untuk seluruh proyek
dengan syarat bahwa tiap bagian teknis ditandatangani dan disegel oleh Engineers
yang memiliki kualikasi, yang mempersiapkan bagian tersebut.

3) Engineers harus bertindak obyektif dan benar dalam mengemukakan pernyataan


publik:

a. Engineers harus bertindak obeyektif dan benar dalam membuat laporan, pernyataan
atau persaksian, menyertakan seluruh informasi yang terkait secara langsung ke
dalam laporan, pernyataan, atau kesaksian tersebut.

b. Engineers dapat menyatakan secara terbuka pendapat teknis berdasarkan


pengetahuannya tentang fakta-fakta dan kompetensinya.

c. Engineers tidak mengeluarkan pernyataan, kritik, atau argumentasi tentang materi


teknis atas pengaruh atau bayaran kelompok kepentingan tertentu kecuali scara
eksplisit mereka mengemukakan identitas kelompok kepentingan tersebut dan
menjelaskan apa kepentingan mereka berkaitan dengan materi teknis tersebut.

4) Engineers harus bertindak untuk (atas nama) atasan atau klien sebagai agen yang
bertanggungjawab:

10
a. Engineers harus mengungkapkan semua konflik kepentingan yang diketahuinya,
yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan.

b. Engineers tidak diperkenankan menerima kompensasi, finansial atau lainnya, dari


lebih dari satu pihak/kelompok untuk pelayanan pada proyek yang sama atau
bagian dari proyek yang sama, kecuali situasinya terbuka penuh dan disetuju oleh
semua pihak/kelompok yang berkepentingan.

c. Engineers tidak diperkenankan menawarkan atau menerima uang atau barang


berharga lainnya, secara langsung atau tidak langsung, dari agen/pihak luar dalam
hubungannya dengan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

d. Engineers dalam pelayanan publik, sebagai anggauta, penasehat, atau pegawai


badan pemerintah atau semi pemerintah, tidak diperkenankan ikut ambil bagian
dalam peengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelayanan yang disediakan
oleh mereka atau organaisasi mereka.

e. Engineers tidak diperkenankan menawarkan atau menerima kontrak kerja dari


badan pemerintah yang di dalamnya duduk pimpinan atau pejabat organisasi
Engineers sebagai anggauta.

5) Engineers harus menghindari perbuatan yang mengandung kebohongan:

a. Engineers tidak diperkenankan memalsukan kualifikasi mereka atau membiarkan


presentasi yang keliru tentang kualifikasi mereka dan asosiasinya. Mereka tidak
diperkenankan memberikan presentasi yang keliru tentang tanggungjawabnya
terhadap materi pekerjaan sebelum tugas pekerjaan diberikan.

b. Engineers tidak diperkenankan menawarkan, memberi, atau menerima, secara


langsung atau tidak langsung, sumbangan (suap) untuk mempengaruhi keputusan
pemberian kontrak oleh otoritas publik, atau yang dapat diduga berpengaruh pada
keputusan pemberian kontrak. Mereka tidak diperkenankan menawarkan hadiah
atau barang berharga lainnya untuk tujuan kelancaran pekerjaan. Mereka tidak
diperkenankan membayar komisi, persen, atau fee perantara untuk tujuan
kelancaran pekerjaan, kecuali kepada pegawai atau agen pemasaran yang bonafide
yang dibayar oleh mereka.

11
DAFTAR PUSTAKA

----------, Absolutism and Relativism, http://weblearn.ox.ac.uk/site/conted/biosci/


ethicsbiosci/eb_content/ (Akses 26 Februari, 2009)
----------, Engineering Ethics, http://en.wikipedia.org/wiki/Engineering_ethics,
(Akses 19 Februari 2009)
-----------, Moral Absolutism, http://en.wikipedia.org/wiki/Moral_absolutism
(Akses 26 Februari, 2009)
----------, Moral Nihilism, http://en.wikipedia.org/wiki/Moral_nihilism,
(Akses 27 February 2009)
----------, Moral Rrelativism, http://en.wikipedia.org/wiki/Moral_relativism
(Akses 25 february, 2009
----------, Moral Rrelativism- What’s It All about ?, http://www.moral-relativism.com/
(Akses 25 february, 2009)
----------, Moral Universalism, http://www.experiencefestival.com/a/Moral_universalism/
(Akses 25 Feb.2009)
----------, Moral Universalism,
http://neohumanism.org/m/mo/moral_universalism.html, (Akses 25 february,
2009)
----------, Moral Universalism, http://en.wikipedia.org/wiki/Universal_ethic
(Akses 27 February 2009)
----------, NSPE Code of Ethics for Engineers,
http://www.nspe.org/Ethics/CodeofEthics/ index.html, (Access 19 Feb.2009)
----------, Professional Ethics, http://en.wikipedia.org/wiki/Professional_ethics,
(Akses 20 February 2009)

Code of Ethics of Professional Land Surveyors


The Fundamental Principles
Professional Land Surveyors uphold and advance the integrity, honor, and dignity of the
land surveyors’ profession by:
I. Using their knowledge and skill for the enhancement of human welfare.
II. Being honest and impartial, and serving with fidelity the public, their employers and
clients.
III. Striving to increase the competence and prestige of the land surveyors’ profession.
12
IV. Supporting the professional and technical societies of their disciplines.

The Fundamental Canon


1. Professional Land Surveyors shall hold paramount the safety, health and welfare of the
public in the performance of their professional duties.
2. Professional Land Surveyors shall perform services only in the areas of their
competence.
3. Professional Land surveyors shall issue public statements only in an objective and
truthful manner.
4. Professional Land Surveyors shall act in professional matters for each employer or
client as faithful agents or trustees, and shall avoid conflicts of interest.
5. Professional Land Surveyors shall build their professional reputations on the merit of
their services.
6. Professional Land Surveyors shall act in such a manner as to uphold and enhance the
honor, integrity and dignity of their profession.
7. Professional Land Surveyors shall continue their professional development throughout
their careers and shall provide opportunities for the professional development of those
under their supervision.

Universal Declaration of Human Rights


PREAMBLE

Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all
members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world,

Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which
have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human
13
beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been
proclaimed as the highest aspiration of the common people,

Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to


rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule
of law,

Whereas it is essential to promote the development of friendly relations between nations,

Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed their faith in
fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person and in the equal
rights of men and women and have determined to promote social progress and better
standards of life in larger freedom,

Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in co-operation with the
United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and
fundamental freedoms,

Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the greatest


importance for the full realization of this pledge,

Now, Therefore THE GENERAL ASSEMBLY proclaims THIS UNIVERSAL


DECLARATION OF HUMAN RIGHTS as a common standard of achievement for all
peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society,
keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to
promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and
international, to secure their universal and effective recognition and observance, both
among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories
under their jurisdiction.

Article 1 

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with
reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.

Article 2 

Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without
distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other
opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no
distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international
status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent,
trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Article 3 

Everyone has the right to life, liberty and security of person.

Article 4 

14
No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be
prohibited in all their forms.

Article 5 

No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or


punishment.

Article 6 

Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law.

Article 7 

All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal
protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in
violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.

Article 8 

Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for
acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.

Article 9 

No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile.

Article 10 

Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and
impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any
criminal charge against him.

Article 11

1. Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until
proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees
necessary for his defence.
2. No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission
which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the
time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that
was applicable at the time the penal offence was committed.

Article 12 

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or
correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right
to the protection of the law against such interference or attacks.

Article 13 

15
1. Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of
each state.
2. Everyone has the right to leave any country, including their own, and to return to their
country.

Article 14 

1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from
persecution.
2. This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-
political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United
Nations.

Article 15 

1. Everyone has the right to a nationality.


2. No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change
his nationality.

Article 16 

1. Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion,
have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to
marriage, during marriage and at its dissolution.
2. Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending
spouses.

3. The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to
protection by society and the State.

Article 17 

1. Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.
2. No one shall be arbitrarily deprived of his property.

Article 18 

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right
includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in
community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teaching, practice, worship and observance.

Article 19 

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes
freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Article 20

1. Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association.


16
2. No one may be compelled to belong to an association.

Article 21 

1. Everyone has the right to take part in the government of their country, directly or
through freely chosen representatives.
2. Everyone has the right of equal access to public service in their country.

3. The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall
be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal
suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.

Article 22 

Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to
realization, through national effort and international co-operation and in accordance
with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural
rights indispensable for his dignity and the free development of his personality.

Article 23 

1. Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable
conditions of work and to protection against unemployment.
2. Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal work.

3. Everyone who works has the right to just and favourable remuneration ensuring for
himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if
necessary, by other means of social protection.

4. Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his
interests.

Article 24 

Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working
hours and periodic holidays with pay.

Article 25 

1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of
himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and
necessary social services, and the right to security in the event of unemployment,
sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances
beyond his control.
2. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children,
whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.

Article 26 

17
1. Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary
and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and
professional education shall be made generally available and higher education shall be
equally accessible to all on the basis of merit.
2. Education shall be directed to the full development of the human personality and to the
strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote
understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups,
and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace.

3. Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their
children.

Article 27 

1. Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to
enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits.
2. Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting
from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.

Article 28 

Everyone is entitled to a social and international order in which the rights and
freedoms set forth in this Declaration can be fully realized.

Article 29 

1. Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of
his personality is possible.
2. In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a democratic society.

3. These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and
principles of the United Nations.

Article 30 

Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or
person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the
destruction of any of the rights and freedoms set forth herein.

18

Anda mungkin juga menyukai