Anda di halaman 1dari 6

BAB II

A. DEFINISI INTOLERANSI
Sebagai sebuah negara yang memiliki ragam kemajemukan, Indonesia memiliki ruang
yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaan keyakinan dari para
individu penghuni negara. Fenomena kekerasan dan intoleransi antar umat beragama
masih terus berlangsung sampai saat ini dan terjadi di sejumlah tempat. Di tengah-
tengah fakta intoleransi yang kian merebak, dan aktivisme kekerasan atas nama agama
dan moralitas yang berlangsung. Begitu pula, dalam kehidupan kita sehri-hari, sering kali
dihadapkan dalam berbagai masalah yang ada. Masalah yang paling besar yang dialami
adalah adanya Intoleransi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Intoleransi merupakan setiap pembedaan, pengabaian, larangan, atau pengutamaan, yang
didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan
atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan, hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara1
Dari definisi tersebut bahwa Intoleransi sangat dipengaruhi dari agama yang dimiliki
oleh seseorang untuk melakukan Intoleransi. Intoleransi dapat terjadi dalam sebuah negara
yang majemuk dari berbagai hal. Salah satunya Negara yang dalam hal ini majemuk adalah
Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi keberagamaan di Indonesia yang majemuk dan
juga dibandingkan dengan kondisi keberagamaan di negara-negara lain yang agak berbeda
maka studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan.
Indonesia memiliki ruang yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat
perbedaan keyakinan dari para individu penghuni negara.
Intoleransi berasal dari exclusion yang datang dari kebodohan yang membawa rasa takut
dan rasa takut mengakibatkan aksi membabi buta yang tumbuh akibat pemilikan total
satu kebenaran.2
Dari penryataan diatas, bahwa intoleransi tersebut ada karena adanya perbedaan
keyakinan dan kebenaran akan sesuatu hal dan termasuk dalam hal agama yang
mengakibatkan aksi aksi yang membabi buta kepada pihak-pihak yang lain. Perbedaan
keyakinan tersebut, pada kenyataanya memiliki pemaknaan yang lebih mendalam dari sekedar
perbedaan sebagai ‘akibat pilihan individu’, namun merupakan perbedaan yang telah
diwariskan secara historis dan mengakar dalam secara kultural. Dalam konteks kehidupan
1
Alamsyah M. Djafar, (In)Toleransi – Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, 2018), 127.
2
Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2003), 133-134.
sosial, perbedaan pandangan sebagai buah karya pewarisan secara historis, telah melahirkan
adanya pengelompokkan terhadap apa yang dinamakan mayoritas dan minoritas.
Pengelompokan tersebut, hendaknya dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang diakibatkan
adanya perbedaan keyakinan, yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan bernegara.
Harus diakui, bahwa memposisikan kelompok mayoritas dan minoritas, sebagai sebuah
kekayaan budaya guna mempersatukan bangsa, akan sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai
toleransi yang berkembang di masyarakat tempat kelompok itu berada. Pada sebuah negara
yang multikultural seperti Indonesia, penggolongan tersebut tetap akan berpotensi
memunculkan ‘gap’ dan gesekan sosial yang cukup tinggi. Intoleransi keagamaan juga tidak
bisa dikatakan disebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi komunitas keagamaan
berbeda.
Golongan Agama yang lemah imannya dan tidak menemukan kepuasan hati yang
diterimanya dan tidak menemukan kepuasan hati yang dicarinya, mereka ini
melemparkan tuduhannya kepada para pemurtad dan kaum kafir sebagai biang keladi
semua ketidaberesan di Negara itu3
Dalam pernyataan tersebut merupakan gejala umum masyarakat agama yang kurang
berpendidikan dan tidak memiliki iman yang kuat dalam agamanya dan tidak puas aakan
agamanya sendiri atau berekonomi memadai tidak menampilkan secara genuine sikap
intoleran yang agresif: mereka umumnya damai. Kendati, mereka lebih rentan provokasi dan
hasutan mereka yang jauh lebih terdidik dan berpengetahuan.
Letusan-letusan kasus kekerasan berbasis agama umumnya tidak diakibatkan hanya
karena faktor tunggal. Setidaknya ada dua faktor sekaligus yang biasa muncul: Struktural dan
kultural. Bisa disimpilkan sumber dari kasus - kasus ini pada mulanya lahir dari rangkaian
penerapan apa yang disebut sebagai politik intoleransi baik yang dilakukan sebuah negara
maupun warga negara. Diwilayah struktural masih ada sejumlah regulasi dan kebijakan
pemerintah yang melahirkan tindakan diskriminatif dan belum lagi sikap dan konsistensi
aparat terhadap penegakan jaminan kebebasan beragama masih belum memadai. Tantangan-
tantangan tersebut bisa dilihat bagaimana desain pembagunan negara dan implementasinya.
Sementara itu di level kultural, tindakan intoleransi memang menguat dimana dalam sepuluh
tahun terakhir muncul aktor aktor yang menyebar virus intoleransi yang diperkuat globalisasi
sehingga menyebabkan adanya intoleransi dalam masyarakat. Permasalahan dari tindakan
Intoleransi ini adalah karena tindakan tindakan tersebut menyasar langsung fondasi berbangsa
– bernegara: konstitusi, yang menghambat atau menentang pemenuhan hak-hak
3
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 132.
kewarganegaraan yang dijamin konstitusi, khususnya terhadap kelompok yang tak disukai
atas dasar identitas tertentu.
Perkara penting lain yang mesti dicatat, Intoleransi menjadi ‘gang-gang’ menuju
pelanggaran dan bentuk kekerasan yang berbahaya. Tentu saja ada sejumlah faktor
atau tangga bagaimana intoleransi berujung kekerasan fisik. Intoleransi merupakan
gejala yang dimulai dari penyebaran ide, kata-kata, dan aksi-aksi yang berujung pada
kekerasan. Intoleransi bagai sumbu penyulut kemanusiaan dan intoleransi juga
merupakan gerbang gerbang bagi para radikalisme4.
Dalam hal ini, pandangan kristen sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang
pluralistik / penuh dengan keberagaman ini, orang Kristen mau tidak mau harus berjumpa,
berinteraksi, berurusan, berkaitan dengan orang-orang yang tidak seiman baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Di negara Indonesia misalnya,
mau tidak mau, suka tidak suka, orang Kristen hidup berdampingan dengan orang-orang dari
berbagai agama dan kepercayaan.
Diberikannya kebebasan untuk mempraktekkan agama atau keyakinan seseorang harus
dipahami sebagai perlindungan, pada prinsipnya atas setiap tindakan individual ketika
ia mengikuti nurani atau suara hati nuraninya5.
Dalam kondisi semacam ini adalah penting bagi orang Kristen maupun bagi agama-agama
untuk memikirkan bagaimana relasinya dengan orang-orang berkepercayan lain dan
memberikan kebebasan kepada agama-agama lain untuk dapat menjalankan agama-agamanya
masing-masing tanpa ada rasa curiga maupun menganggu dari agama lain tersebut, juga
dalam hal ini hendaknya agama satu dengan agama lain juga dapat meberikan perlindungan
untuk dapat menjalankan agamanya dengan penuh kedamaian. Dengan menjalankan misi
dalam hal ini maka semua itu tidak berpotensi dalam mengakibatkan banyak gesekan,
bentrokan, kekacauan, bahkan kerusakan yang akan mengganggu ketentraman dan kedamaian
hidup bersama.
Kerukunan diharuskan dan diwajibkan hukumnya bagi setiap manusia teristimewa
orang-orang beragama. Apabila kita mencermati dan memahami konstelasi masyarakat
Indonesia yang plural atau majemuk mak semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat dimengerti
sebagai simbol yang merajut kebersamaan bangsa Indonesia. Sejatinya setiap manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya yang didasari logika berpikir sehat yang

4
Alamsyah M. Djafar, (In)Toleransi – Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2018), 127.
5
Rafael Edi Bosko & M. Rifa’i Abduh, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2010), 52.
ada pada dirinya. Sekalipun seseorang dalam menentukan pilihan yang diyakininya,
dipengaruhi oleh warisan historis yang telah mengakar secara kultural, tidak menutup
kemungkinan akan dapat berubah seiring perjalanan hidup yang dihadapinya. Ada kelompok
masyarakat yang karena keyakinannya memeluk agama tertentu, sekalipun lingkungan tempat
tinggalnya mayoritas beragama lain. Ada pula sekelompok orang yang mempunyai budaya
berbeda, sekalipun tinggal pada satu wilayah dengan budaya khas mayoritas berbeda dengan
yang diyakininya. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin
perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar
apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul
Kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
Kerukunan antar umat beragama dapat dicapai melalui cara berikut :
1. Memprioritaskan aspek-aspek yang sama dalam setiap agama, seperti: isu
kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan, keadilan, dan lingkungan hidup.
2. Menghindari sikap merendahkan agama orang lain, baik melalui ucapan dan
tindakan.
3. Mempelajari agama orang lain, sehinnga bertumbuh kesadaran akan adanya
perbedaan dalam setiap agama.
4. Mensyukuri varian varian yang ada, seperti agama dan etnik sebab varian varian
tersebut merefleksikan kekayaan Tuhan Allah pada diri-Nya dan juga melalui
ciptaan-Nya sendiri6.
Dalam hal ini juga, Negara dalam menjalankan political will nya, telah mengakui
adanya perbedaan agama, suku bangsa, budaya, dan adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia, sebagai sebuah kemajemukan yang terslogan dalam dasar negara
sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini mengindikasikan bahwa negara menginginkan
keberagaman tersebut sebagai sebuah hak kodrati yang dimiliki oleh seorang manusia, justru
menjadi alat pemersatu bangsa dan bukan sebaliknya. Sikap fanatisme sempit penuh
kecurigaan yang dianggap sebagai faktor penyebab konflik antar umat beragama tidak akan
ada jika umat beragama sepakat melihat perbedaan agama sebagai sebuah fenomena yang
wajar. Ada beberapa kelemahan dalam menyampaikan informasi keagamaan yang pada
gilirannya menyebabkan munculnya sikap fanatisme dan kecurigaan antar umat. Para
pemimpin agama cenderung menyampaikan superiotirtas ajaran agamanya, sehingga
informasi yang disampaikan pada umat bercorak eksklusif. Oleh karena itu ajaran di atas
harus dihindari dan perlunya penanaman sikap toleransi antar umat beragama harus menjadi
6
John Haba, dkk, Pendidikan Agama Kristen, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2017), 9.13-9.14.
prioritas dalam dakwah atau misi agama. Dua hal di atas perlu ditekankan yaitu ajaran yang
inklusif dan toleransi umat beragama harus disosialisasikan, sehingga dengan modal
kerukunan antar umat beragama masyarakat yang ideal bisa diwujudkan. Pendidikan
kerukunan antar umat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang
terdapat agama Katolik, Kristen, Yahudi dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang
baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak
dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain
atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antar agama secara ilmiah.
BAB II

PEMBAHASAN

Toleransi dan  intoleransi, dua kata yang memiliki arti penting dalam mempersatukan
suatu perbedaan baik dalam keanekaragaman budaya, adat terlebih agama. Toleransi berarti
adanya sikap saling menghargai, Menghormati dalam keberagaman, Mengasihi tanpa pandang
bulu siapa dia, dari mana latar belakangnya, Siapa orang tuanya atau di mana ia dilahirkan.
Toleransi berarti hidup berdampingan, Saling sapa, senyum , membatu yang membutuhkan.
Menolong mereka dalam musibah, Saling menguatkan baik dalam perkara yang besar dan
perkara yang kecil. Untuk itu kita sebagai umat yang beragama harus saling menghargai dan
menerima perbedaan itu.

Anda mungkin juga menyukai