Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia yang berdampak pada masalah medik, ekonomik dan sosial yang
sangat besar bagi klien dan keluarganya, baik di negara-negara maju maupun di negara-
negara berkembang (Syamsiah, 2011).
Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang
berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi
ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai filtrasi, pada akhirnya ginjal akan menghasilkan
urine, keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis dimana
fungsi ginjal produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin. Akibat dari berbagai
penyebab dari gangguan ginjal dapat menurun fungsinya sehingga tidak berfungsi lagi yang
di sebut dengan gagal ginjal (Yakobus, 2009).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal progresif yang
irreversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan,
dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia (Bsyhskki, 2012)
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan (Markum 2009)
yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet kalium, diet natrium,
dan pembatasan cairan yang masuk. Kedua, dialisis dan transplantasi ginjal merupakan terapi
pengganti pada pasien. Terapi pengganti yang sering dilakukan pada pasien GGK adalah
dialisis.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat mampu memahami
dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu menerapkan asuhan keperawatan
yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksut dengan CKD?
2. Apa penyebab dari CKD?
3. Apa tanda dan gejal dari CKD?
4. Bagaimana patofisiologi CKD?
5. Bagaimana penatalaksanaa CKD?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksut CKD
2. Untuk mengetahui penyebab dari CKD
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari CKD
4. Agar mengetahui patofisiologi CKD
5. Agar menegtahui penatalaksanaan CKD
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration
Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach
et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan
abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang
mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan
pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya,
darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal
tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah kurang dan
gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai
lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia
di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin
terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin (Syamsir
& Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju tingkat
kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu
kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini
biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya,
bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal
sudah menurun 25% dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal
ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).

2.2 Etiologi

Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1 atau tipe
2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia
adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi
adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga
mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain.
Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal
kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik
sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).

2.3 Patofisiologi

Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk mengeluarkan sisa
metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga terjadi
keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi
nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal
menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Selanjutnya penurunan
fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan
sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu
dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam
keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat
diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai stadium
insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia
(berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali.
Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang
diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari massa
nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10% dari
keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri
(pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi
ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronis, akan
menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada
peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas,
mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.
2.4 Manifestasi Klinis
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat dan
progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis lain yang
serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal
kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-
bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan
pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang
mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak
ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24 jam
– 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan : menetap
pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/ serum
saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah
diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic, frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi


d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.6 Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Deraja LFG
Rencana Tatalaksana
t (ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik


berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan
elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan

0,3 g asam amino esensial / asam keton


˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino

esensial atau asam keton

Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.


Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan
progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal
kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam,
karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan
seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari
terjadinya malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumnium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk
menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate.
Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini
disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas
yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan.
Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat
dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan
barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.
Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi pada pasien dengan
kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah
urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi
kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan
sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk
kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah
untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh dengan
toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah
akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam
seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali
hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter

2.7 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-
aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:


1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang tidak
adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau intravena.
Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam
keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin
yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada
pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor risiko
yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan
hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah
untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan
pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian
furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi,
namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang
dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini sering
timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab oleh
deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar
fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan
presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit
dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual, muntah,
anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia
lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih
tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan
penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido,
berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal
dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan
kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran,
dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup tremor,
asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus
pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang).
Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang
tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium
membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal.
Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot
dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan
psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko
bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi.
Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat mengaktivasi
efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya
protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum atau
fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan
dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi.
Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah jantung
dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh
bagian tubuh yang tersisa.
BAB III

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup identitas
klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat
kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa, golongan darah,
tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba atau
berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa
yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan
gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa meliputi
palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk
mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan prostektomi.
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang
berulang. Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
kemudian dokumentasikan.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya
riwayat infeksi sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyait hereditas
dan penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan
menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan klien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran
pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan lingkungan tempat
tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul. Pola napas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida
yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub
yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal
jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada
dan sesak napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi perifer sekunder
dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal
otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah
merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan mengalami
perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses
berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system
rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga
dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi,
gangguan ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada
gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi penuruna klirens
metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan berkurang.
Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di
dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam ( sepsis,
dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium
pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya
kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer
dari hipertensi.

3.2 Diganosa keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

3.3 Intervensi keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan Hasil

1. Kelebihan NOC: NIC:


volume cairan
Fluid balance Fluid Management:
berhubungan
dengan
Tujuan : 1. Pertahankan intake dan
mekanisme
output secara akurat
pengaturan Setelah dilakukan
melemah tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dalam
selama 3x24 jam pemberian diuretik
kelebihan volume cairan
3. Batasi intake cairan pada
teratasi dengan kriteria:
hiponatremi dilusi dengan
1. Tekanan darah (4) serum Na dengan jumlah
2. Nilai nadi radial dan kurang dari 130 mEq/L
perifer (4)
4. Atur dalam pemberian
3. MAP (4)
produk darah (platelets
4. CVP (4) dan fresh frozen plasma)
5. Keseimbangan intake
5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24
(kelembaban membrane
jam (4)
mukosa, TD ortostatik,
6. Kestabilan berat
dan keadekuatan dinding
badan (4)
nadi)
7. Serum elektrolit (4)
8. Hematokrit (4)
6. Monitor hasil
9. Asites (4)
laboratorium yang
10. Edema perifer (4)
berhubungan dengan
retensi cairan
(peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas
urin)

7. Monitor status
hemodinamik (CVP,
MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia

8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:

1. Timbang BB sebelum
dan sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidr
asi, kram otot
dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat,
HMT danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:
1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan
keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder
sebelum insersi peritoneal
kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter
dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal
8. Ambil sampel
laboratorium dan periksa
kimia darah (jumlah
BUN, serum kreatinin,
serum Na, K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan
outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan
gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler,
dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan
dialisis di rumah. 
13. Monitor TD, nadi, RR,
suhu, dan respon klien
selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi
(peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimba
Electrolyte Balance Electrolyte Management
ngan elektrolit
berhubungan
Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai
dengan
resep, jika diperlukan
disfungsi Setelah dilakukan asuhan
renal selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan
ketidakseimbangan intake dan output
elektrolit teratasi
3. Berikan elektrolit
dengan kriteria hasil:
1. Peningkatan sodium tambahan sesuai resep
(4) jika diperlukan

2. Peningkatan 4. Konsultasikan dengan


potassium (4) dokter tentang pemberian
obat elektrolit-sparing
3. Peningkatan klorida
(misalnya spiranolakton),
(4)
yang sesuai

5. Berikan diet yang tepat


untuk ketidakseimbangan
elektrolit pasien

6. Anjurkan pasien dan /


atau keluarga pada
modifikasi diet tertentu,
sesuai

7. Pantau tingkat serum


potassium dari pasien
yang memakai digitalis
dan diuretik

8. Atasi aritmia jantung

9. Siapkan pasien untuk


dialisis

10. Pantau elektrolit serum


normal

11. Pantau adanya


manifestasi dari
ketidakseimbangan
elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran
Respiration status: Gas Oxygen Therapy
gas
Exchange
berhubungan
1. Pertahankan kepatenan
dengan
jalan napas
perubahan
membran kapi Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
ler paru tambahan sesuai resep
Setelah dilakukan
keperawatan selama 2x24 3. Anjurkan pasien untuk
jam klien Gangguan mendapatkan resep
pertukaran gas teratasi oksigen tambahan
dengan kriteria hasil: sebelum perjalanan udara
atau perjalanan ke dataran
1. Tekanan oksigen di
tinggi yang sesuai
darah arteri (PaO2) (4)
2. Tekan karbondioksida 4. Konsultasi dengan tenaga
di darah arteri kesehatan lain mengenai
(PaCO2) (4) penggunaan oksigen
3. PH arterial (4) tambahan saat aktivitas
4. Saturasi oksigen (4) dan/atau tidur
5. Keseimbangan perfusi
5. Pantau efektivitas terapi
ventilasi (4)
oksigen (pulse oximetry,
6. Sianosis (4)
BGA)

6. Observasi tanda pada


oksigen yang disebabkan
hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen
liter

8. Monitor posisi dalam


oksigenasi

9. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelektasis

10. Monitor peralatan oksigen


untuk memastikan bahwa
tidak mengganggu pasien
dalam bernapas

4. Kerusakan NOC: NIC:


integritas kulit Tissue Integrity : Skin Pressure Management
berhubungan and Mucous membrane Anjurkan klien untuk
dengan menggunakan pakaian yang
gangguan Tujuan : longgar.
sirkulasi Setelah dilakukan 1. Hindari kerutan pada
tindakan keperawatan tempat tidur
selama 3x24 jam 2. Jaga kebersihan kulit agar
kerusakan integritas klien tetap bersih dan kering
teratasi dengan criteria 3. Mobilisasi klien akan
hasil : adanya kemerahan
1. Elastisitas (4) 4. Oleskan lotion atau
2. Hidrasi (4) minyak baby oil pada
3. Perfusi jaringan (4) daerah yang tertekan
4. Integritas kulit (4) 5. Memandikan klien
5. Abnormal pigmentasi dengan sabun dan air
(4) hangat
6. Lesi pada kulit (4) 6. Ajarkan pada keluarga
7. Lesi membran tentang luka dan
mukosa (4) perawatan luka
7. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin
8. Cegah kontaminasi feses
dan urin
9. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka.
10. Observasi luka: lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik warna
cairan, granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-tanda
infeksi local, formasi
traktus
11. Monitor aktivitas dan
mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi
klien
5. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan
Pain Control Pain Management
dengan agen
injury
Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri
selama 2x24, nyeri terhadap kualitas hidup
teratasi dengan kriteria klien (misalnya tidur,
hasil: nafsu makan, aktivitas,
kognitif, suasana hati,
1. Kenali awitan nyeri
hubungan, kinerja kerja,
(2)
dan tanggung jawab
2. Jelaskan faktor
peran).
penyebab nyeri (2)
2. Kontrol faktor lingkungan
3. Gunakan obat
yang mungkin
analgesik dan non
menyebabkan respon
analgesik (2)
ketidaknyamanan klien
4. Laporkan nyeri yang
(misalnya temperature
terkontrol
ruangan, pencahayaan,
suara).
3. Pilih dan terapkan
berbagai cara
(farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.
4. Observasi tanda-tanda
non verbal dari
ketidaknyamanan,
terutama pada klien yang
mengalami kesulitan
berkomunikasi.
6. Mual NOC: NIC:
berhubungan Nausea and Vomitting
Nausea Management
dengan Control
paparan Tujuan:
1. Dorong pasien untuk
toksin
memantau mual secara
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan sendiri
selama 2x24 jam mual 2. Dorong pasien untuk
teratasi dengan kriteria mempelajari strategi
hasil: untuk mengelola mual
sendiri
1. Mengenali awitan
3. Lakukan penilaian
mual (4)
lengkap mual, termasuk
2. Menjelaskan faktor
frekuensi, durasi, tingkat
penyebab (4)
keparahan, dengan
3. Penggunaan anti
menggunakan alat-alat
emetik (4)
seperti jurnal perawatan,
skala analog visual, skala
deskriptif duke dan indeks
rhodes mual dan muntah
(INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan
awal yang pernah
dilakukan
5. Evaluasi dampak mual
pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat
antiemetik yang efektif
diberikan untuk
mencegah mual bila
memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang
telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk
tidak mentolerir mual tapi
bersikap tegas dengan
penyedia layanan
kesehatan dalam
memperoleh bantuan
farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang
cukup dan tidur untuk
memfasilitasi bantuan
mual
10. Dorong makan sejumlah
kecil makanan yang
menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport
emosional
7. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas
Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan
dengan gangg
Tujuan 1. Kolaborasikan dengan
uan
Tenaga Rehabilitasi
ketidakseimba Setelah dilakukan
Medik dalam
ngan suplay keperawatan selama 3x24
merencanakan program
oksigen jam pasien bertoleransi
terapi yang tepat.
terhadap aktivitas
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
Kriteria hasil:
yang mampu dilakukan
1. Saturasi Oksigen saat 3. Bantu untuk memilih
aktivitas (4) aktivitas konsisten yang
2. Nadi saat aktivitas (4) sesuai dengan
3. RR saat aktivitas (4) kemampuan fisik,
4. Tekanan darah sistol psikologi dan social
dan diastol saat 4. Bantu untuk
istirahat (4) mengidentifikasi dan
5. Mampu melakukan mendapatkan sumber
aktivitas sehari-hari yang diperlukan untuk
(ADLs) secara aktivitas yang diinginkan
mandiri (4) 5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan
sumber energi yang
adekuat
12. Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
13. Monitor respon
kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat
pasien
15. Monitor responfisik,
emosi, social dan
spiritual.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m 2 selama 3
bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000;
Kallenbach, Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi gagal ginjal kronik bercvariasi antara
negara yang satu dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi
penyebaba paling abnyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh
hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia
penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus,
obstruksi, dan infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang
dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Alam,Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama

Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC

Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai