Anda di halaman 1dari 3

Melda Aprilia

071711233113 / Week 10
MBP Asia Timur

Kebangkitan Ekonomi Tiongkok dalam Dunia Internasional

Asia sebagai wilayah yang terbentuk di abad ke duapuluh merupakan hasil dari regionalisme
kekaisaran dan regionalisme anti-kekaisaran (Wang Hui, 2010). Di abad keduapuluh dimana adanya dua
bentuk regionalisme yakni regionalisme kekaisaran dan regionalisme anti-kekaisaran menghasilkan wilayah
Asia yang mana beberapa negaranya menerapkan bentuk regionalisme tersebut. Banyak penelitan
menunjukkan bahwa wilayah Asia adalah wilayah yang terbentuk dari sejarah yang panjang (Wang Hui,
2010). Banyaknya pemikiran tentang sejarah panjang yang membuat sebuah konstruksi modern dari awal
mula sejarah Asia sebagai wilayah hasil adanya dua regionalisme. Di timur laut Asia tepatnya terdapat
tempat kepentingan tiga nuklir utama dunia dan tiga ekonomi terbesar di dunia berkumpul (Calder & Ye,
2010). Di sekitar poros semenanjung Korea tepatnya adalah wilayah yang penuh dengan paradox ekonomi
dan politik yang mana terdapat tiga kekuatan nuklir dan ekonomi terkumpul dalam wilayah yang sama.
Banyak yang mengatakan bahwa wilayah Asia Timur merupakan wilayah yang berbahaya, dimana
kepentingan dan keamanan dunia menjadi sebuah masalah disana akibat adanya misil dan rudal (Calder &
Ye, 2010). Meskipun bisa dikatakan wilayah tersebut memliki gangguan keamanan, namun wilayah Asia
Timur terus berkembang dan menjadi yang paling cepat di dunia setidaknya selama lima dekade terakhir.

Sebagai negara maju, Tiongkok menjadi negara dengan tingkat perekonomian tertinggi kedua di dunia
yang mana pertumbuhan ekonominya berkontribusi positif pada perkembangan ekonomi dunia dalam
beberapa dekade terakhir ini (Golly & Song, 2011). Tiongkok mampu bertahan dan keluar dari krisis
dinansial dengan pertumbuhan ekonominya yang kuat dan stabil, bahkan Tiongkok menjadi negara yang
berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi global. Adanya signifikansi yang besar bagi potensi dan
integrasi pasar global juga tak luput dari dukungan pertumbuhan penduduk Tiongkok yang jumlahnya
seperlima dari total penduduk dunia. Hal ini juga menyebabkan adanya perluasan pasar yang mampu
meningkatkan perdagangan, konsumsi dunia, dan kesempatan produksi yang berimplikasi pada kenaikan
taraf kesejahteraan negara-negara dalam ekonomi dunia (Golly & Song, 2011).

Keterbukaan ekonomi Tiongkok dapat dilihat dari adanya motivasi dan inspirasi dibelakangnya.
Berbagai tokoh barat meyakini bahwa Tiongkok muncul sebagai kekuatan status quo yang berpotensi tinggi
menjadi tantangan sistem internasional (Calahan, 2008). Tiongkok mmepunyai pandangan tersendiri
mengenai tatanan dunia yang dikenal sebagai The Tianxia System yang dikemukakan oleh filsuf modern
Tiongkok bernama Zhao Tinyang,. Tianxia tak hanya menjadi inspirasi namun juga kerangka berpikir pada
ilmuan dan pembuat kebijakan dalam membentuk orientasi negara di sistem
internasional. Tianxia merupakan perpaduan dari dua nilai yakni nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai
kosmopolitanisme. Nilai cosmopolitan sendiri dapat dilihat dari konsepsi Tianxia yang mendukung
penyatuan ras dengan didasari etika dan budaya. Sedangkan, nilai nasionalisme dapat dilihat dari
penolakan Tianxia atas demokrasi yang dianggap terlalu membiarkan kebebasan ralkyatnya untuk berbuat
semaunya (Callahan, 2008). Tianxia berkeyakinan bahwa Tiongkok memiliki urgensi tersendiri, tak hanya
bagi kepentingan Tiongkok sendiri namun juga bagi kepentingan dunia dalam sistem internasional (Calahan,
2008).

Minat Tiongkok dalam ikut serta terhadap institusi dan organisasi internasional telah meningkat secara
pesat paska periode Maoist (Johnston, 2003). Sejak pertengahan 1960-an sampai pertengahan 1990-an,
Tiongkok telah berubah dari negara yang terisolasi dan menutup diri dari dunia dan organisasi internasional
menuju menjadi negara yang aktif dalam keanggotaan organisasi internasional. Tiongkok terus
meningkatkan derajat kepatuhannya pada institusi-institusi internasional, bahkan pada akhir tahun 2000
Tiongkok memiliki derajat kepatuhan yang melebihi ekspektasi kepatuhan negara lain terhadap institusi
internasional yang ada. Salah satu contoh keikutsertaan Tiongkok dalam institusi internasional dapat dilihat
pada keanggotaannya di WTO (World Trade Organization), di mana tingkat tarif rata-rata Tiongkok
menurun sebanyak duapuluh persen dalam kurun waktu lima hingga enam tahun (Johnston, 2003). Maka
dapat dilihat bahwa Tiongkok telah mematuhi norma perdagangan bebas secara umum, dari yang awalnya
hanya mendukung kepentingan ekonomi proteksionis di era Maoist, menjadi negara yang mendukung
norma-norma perdagangan bebas secara global (Johnston, 2003).

Dengan kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar ekonomi politik internasional, negara ini
memiliki kendali untuk mempengaruhi sistem internasional secara komprehensif. Masuknya Tiongkok dalm
integrasi maupun regionalisme akan mempengaruhi hasil yang akan keluar. Melihat bagaimana Tiongkok
menerapkan kebijakan-kebijakan untuk bekerjasama dengan negara-negara di dunia. Hal ini tak hanya
menjadi keuntungan namun juga tantangan tersendiri bagi Tiongkok untuk menjaga satbilitas ekonomi
domestik dan luar negerinya (Golley dan Song, 2011). Dapat dilihat bahwa Tiongkok memiliki kesadaran
terhadap potensi kekuatan yang dimilikinya dan terus berusaha memaksimalkan potensi-potensi tersebut
untuk memperluas ekonominya. Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia kemudian
dihadapkan dengan Amerika Serikat sebagai hegemoni dunia. Dilihat dari ketidakseimbangan dari faktor-
faktor perdagangan internasional, Tiongkok seakan berusaha untuk mengungguli kekuatan ekonomi
Amerika Serikat. Persaingan keduanya mengakibatkan ketidakseimbangan pada sistem keuangan dan sistem
ekonomi internasional. Harusnya dalam hal ini Tiongkok perlu membangun interdependensi dengan
Amerika Serikat baik melalui kerjasama perdagangan, investasi, hingga finansial. Hubungan bilateral
maupun multilateral yang akan dilakukan keduanya bukan lagi menjadi pilihan melainkan suatu kebutuhan
yang harus dilakukan demi keseimbangan ekonomi dunia (Golley dan Song, 2011).

Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Tiongkok menjadi negara dengan tingkat
perekonomian tertinggi kedua di dunia yang mana pertumbuhan ekonominya berkontribusi positif pada
perkembangan ekonomi dunia. Tiongkok mampu mengatasi krisis yang dialaminya dan membuat
perekonoian negaranya bangkit. Penduduk Tiongkok menjadi penduduk dengan jumlah terbanyak di dunia
dengan seperlima penduduk dunia ada di negaranya. Dengan hal ini diharapkan Tiongkok mampu
meningkatkan kesejahteraan ekonomi negara-negara di dunia. Dalam keberhasilan kebangkitannya
Tiongkok menerapkan sistem Tanxia sebagai motivasinya. Tianxia merupakan perpaduan dari dua nilai
yakni nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai kosmopolitanisme. Tianxia  berkeyakinan bahwa Tiongkok
memiliki urgensi tersendiri, tak hanya bagi kepentingan Tiongkok sendiri namun juga bagi kepentingan
dunia dalam sistem internasional. Tiongkook juga mulai memebuka diri dengan turut serta kedalam institusi-
institusi internasional yang ada. Salah satu contohnya adalah keikutsertaan Tiongkok dalam WTO dan mulai
mematuhi segala aturan yang diberikan, sehingga tarif rata-rata Tiongkok dapat menurun sampai duapuluh
persen selama lima atau enam tahun lamanya. Tiongkok sendiri sebagai negara dengan ekonomi terbesar
kedua di dunia mau tidak mau harus beradapan dengan Amerika Serikat sebagai negara hegemoni terbesar
di dunia. Adanya persaingan yang tercipta diantara keduanya menimbulkan ketidakseimbangan dlama
ekonomi dunia. Tiongkok yang merasa ekonomi dunianya termasuk ekonomi terbaik, mencoba
mengungguli Amerika Serikat untuk menjadi negara hegemoni juga di dunia. Namun seharusnya hal ini bisa
diganti dengan adanya kerjasama antara dua negara yang mana hal tersebut akan membantu menstabilkan
ekonomi dunia saat ini.

Referensi :

Calahan, William A. 2008. “Chinese Vision of World Order: Post-hegemonic or a New Hegemony?”,
dalam International Studies Review, Vol. 10, pp. 749-761.
Golley, Jane dan Ligang Song. 2011. “China’s Rise in a Changing World”, dalam Ligang Song dan Jane
Gooley (eds), Rising China: Global Challenges and Opportunities. Canberra: ANU E Press.
Johnston, Alastair Ian. 2003. “Is China a status quo power?”, dalam International Security, Vol. 27, No. 4,
pp. 5-56.
K Calder & Min Ye. 2010. The Making of North East Asia. Stanford: Stanford University Press. Ch. 1, pp.
3-26.
Wang Hui. 2010. “The Idea of Asia and Its Ambiguities”, The Journal of Asian Studies, vol 69, no 4, pp.
985-989

Anda mungkin juga menyukai