Anda di halaman 1dari 33

DEFINISI

Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif


terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak
terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada
penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi
lainnya.
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan
tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan
penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu
kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan
dari berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan
memberikan imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan
pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang
peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak
menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan
“ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak
menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen /
penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi mempunyai keuntungan :
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih
jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut
secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang
diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau
toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin diberikan
kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap
penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya
pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang

1
anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau
kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat.
Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi komplikasi yang tidak
diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental.
Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya
pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak
2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang
paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000
kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus
influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76%
kematian balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia).
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi
akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai
bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut.
TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan
penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit
tertentu dari dunia.
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur (calon mempelai).
Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur 1 tahun (0 – 11
bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 – kelas 6).

RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan
tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif
atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk
berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif

2
ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih
banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel
memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh
sel makrofag (APC = antigen presenting cel) Pada sel T untuk antigen TD
(T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen.
Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin
(Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara
penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui
sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft
versus-host-disease.
Proses imun terdiri dari dua fase :
 Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cells), sel limfosit B, limfosit T.
 Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

KEBERHASILAN IMUNISASI
Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat
antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi campak diberikan pada
saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan membeikan hasil yang kurang
memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA)
terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan
secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah
rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-
Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan
lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum.
Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau

3
sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan diberikan
dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus
fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil
yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi
berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang
menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan
kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada
individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi
sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan
vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya
rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang
terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan
mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid
berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah
terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita
menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat
antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan
keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang
dipergunakan, dan jenis vaksin.

4
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya
vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik,
sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel
imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu
dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping
frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik
masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik
yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunkompaten.
Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak
kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen
antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang
( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji
klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen secara
efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding
vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian
( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi.
Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat
menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan
memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi
atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti
pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula
dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.

5
PERSYARATAN VAKSIN
1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi
interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi
variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme
MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit
jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B
sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
 Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
 Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri
penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan
untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak
menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus
atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara
pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang,
diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun
dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari
seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi
yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.

6
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan
yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara
suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak
adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme
yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin
polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena
panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan
baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


 Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio,
rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).
 Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam
media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan
penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit
( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami
mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh
antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di
dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau
menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua
atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun
yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin
inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas

7
selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa
waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih
memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel
bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau
efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang
sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam
vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :


 Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
 Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-
seluler, tifoid Vi, lyme disease.
 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
 Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus
influenzae tipe b.
 Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).

VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN


Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan
perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh
kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb). 1

Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)

8
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan
non-spesifik :
- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian
bawah.
- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin - berperan
sebagai antibakteri
- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik
yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan
menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel
B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme,
melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang sistem kekebalan. Bagian dari
struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik
ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem
kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk
mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi
antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel
memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin
tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali
antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan
ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan cara
memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1,3
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari
luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama,
umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki
kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif

9
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan
berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen
tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat dibuat
dari2 :
 Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
 Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
 Vaksin rekombinan
 Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium dengan
cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme
yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak
(replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Supaya
dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak
(mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri
yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat
jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak,
gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever) dan
yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid .
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam
media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan penambahan
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat
murni dan hanya komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam vaksin
(misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak
hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukan dalam
suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi
menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari
seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni
misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa
genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis B
dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke dalam sel

10
ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan
hepatitis B murni.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan
virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah
kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah
sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh struktur HPV
(atau dikenal sebagai pseudo – particles of HPV tipe 16).
PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :
 Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan
jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan
orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila
diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak
penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
 Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh
apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi
ikutan yang lebih berat.
 Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.

11
 Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan
hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus lateralis
atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut
sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan
pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90 0.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada
bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara
sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio
deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah
dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan
adalah :
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di
daerah gluteal
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan
yang menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

12
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Subkutan
Perhatian
 Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela,
meningitis
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum


Bayi (lahir s/d12 Paha Jarum 5/8’’-3/4 Arah jarum 45o
bulan) anterolateral Spuit no 23-25 Terhadap kulit
1-3 tahun paha Jarum 5/8’’-3/4 Cubit tebal untuk

13
anterolateral/ Spuit no 23-25 suntikan subkutan
Lateral lengan
atas
Anak > 3 tahun Lateral lengan Jarum 5/8’’-3/4 Aspirasi spuit
atas Spuit no 23-25 sebelum disuntikan
Untuk suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Intramuskular
Perhatian:
 Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d 12 Otot vastus Jarum 7/8’’-1’’ 1. Pakai jarum yang
bulan lateralis pada Spuit n0 22-25 cukup panjang untuk
paha daerah mencpai otot
anterolateral
1-3 tahun Otot vastus Jarum 5/8’’-1 ¼’’ 2. Suntik dengan
lateralis pada (5/8 untuk arah jarum 80-90o.
paha daerah suntikan di deltoid lakukan dengan cepat
anterolateral umur 12-15 bulan 1. Tekan kulit
sampai masa otot Spuit no 22-25 sekitar tepat suntikan
deltoid cukup dengan ibu jari dan
besar (pada telunjuk saat jarum
umumnya umur 3 ditusukan
tahun
Anak > 3 tahun Otot deltoid, di Jarum 1’’-1 ¼’’ 2. Aspirasi spuit
bawah akromion Spuit no 22-25 sblm vaksin
disuntikan, untuk
meyakinkan tidak
masuk ke dalam
vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan
pada bagian
sekstremitas berbeda

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi


Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan
secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi
kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini :

14
 Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan
pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).
 Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ).
 Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.
 Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia,
kanker, HIV/AIDS ).
 Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).
 Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin
campak, poliomielitis, rubela ).
 Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
 Menderita penyakit susunan syaraf pusat
Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi
Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu
imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga
paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan
pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis
atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi
tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )
Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si penerima
layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan pemberian
vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization (AEFI). Dengan semakin
canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin meningkatnya teknik pemberian
vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil,
reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter
mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat

15
terjadi. Dan bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya
dan mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping,
toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program, reaksi suntikan, atau
penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum, reaksi KIPI dapat
dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik
pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi dan cara
menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin membaiknya
pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka
kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi
lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di
tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma
suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum
suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara
benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih
dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi efek samping
yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan
(demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi,
namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang.
Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius
akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek samping
atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas gejala apa saja yang
dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri
tempat suntikan, atau bengkak maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya
dengan minum obat antipiretik saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius,
maka harus secepat mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang
melakukan pemberian vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas
Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang
berkedudukan di setiap provinsi.

16
VAKSINASI YANG DIANJURKAN
Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada
masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi
dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan
tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian
vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi nasional) serta
vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi nasional)
Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010
- Tuberculosis - MMR (campak, gondong, rubella)
- Hepatitis B - Haemophilus influenza tipe B
- DPT (Difteri, tetanus, pertusis) - Demam tifoid
- Poliomielitis - Varisela
- Campak - Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak
Indonesia,2010)
1. Vaksinasi Tuberkulosis
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak berulang
selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan
terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah
infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-
12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG
memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis.
Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.
Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur
sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum
divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak 0,10
ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak di

17
tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih
mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk
tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal
lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila
diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada
infeksi HIV).
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul dalam
waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut.
Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi
sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering.
2. Vaksinasi Hepatitis B
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan
anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin
yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara pemberiannya
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Nama Produsen Cara Dosis Interval
Dagang Pemberian Pemberian

Engerix B GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke-


Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke-
pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX II MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis B Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke-
20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian Vaksin
Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam
(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1
bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan
jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan

18
3. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir.
Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan
proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan).
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B.
Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.
3. Vaksinasi DTP
Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian.
Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi tetanus
dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir, pemberian
vaksin DPT telah menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT
(DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk
anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan
Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular
pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7
tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui
suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8
minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 15-
18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (4-6
tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar hanya
bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun sekali.
Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk
memberikan booster setiap 10 tahun.

19
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis pertama
dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6
bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi lokal
berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul
dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang pada
pemberian vaksin yang pertama.
Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu,
namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya
anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis diberikan dalam
bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui
suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang
waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya
(usia 18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama
(usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang
telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan
menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih protein
Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek samping, baik
lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika dibandingkan
dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun
terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada
lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (0,06%),
anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan
(inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut atau reaksi
alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi

20
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan
perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi,
respon dan gerak yang kurang (hipotonik- hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis
terus menerus selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT. DPT
diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-
18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin
DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki
kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa nyeri,
warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau
subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3 bulan
(DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak kurang dari 4
minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu
pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun). 2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster
vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena
vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan
booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang
mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan terhadap difteri selama
10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya
diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu
ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang,
penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda
sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan. 2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular
baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.

21
4. Vaksinasi Polio
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan IPV
(inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan IPV
diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam 3
kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir
kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan.
Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa
memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh
menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan jadwal
seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap respons
pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap
bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis
berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon jemaah
haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin
polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing,
diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika
seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi atau
obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja
selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat
dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
5. Imunisasi Campak
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin
biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman
(vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan
dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin
yang berasal dari virus campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin
yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam
larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).

22
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu : 1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa
potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens
kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur
12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra
indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD,
SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh
pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap
protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai
pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
6. Vaksinasi MMR
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita,
pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan
vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit
campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia
anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau
subkutan dalam.
Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :
Galur virus yang
dilemahkan
Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3

23
Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia
Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk
melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh
setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada:
anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan
imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak dengan demam akut, setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah.
KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1
minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.
7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)
Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul Haemophilus
influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua vaksin
ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4 dan 6
bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis ketiga tidak
diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP diberikan pada usia 15 -
18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan
1 kali. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas.
Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama
dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-
T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali
suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan
saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95%
anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh
vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat
suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila
seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi
yang mengancam jiwa.
8. Vaksinasi Pneumokokus
Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan
bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin pneumokokus
yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini kurang bereaksi

24
baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena fungsi sel imun yang
belum matang. Vaksin ini hanya memberikan kekebalan dalam jangka pendek.
Sedangkan PCV7 adalah vaksin pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida
konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel
imun mereka belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang
banyak mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di daerah
deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan sejak usia 2
bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan hanya dilakukan
pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan.
PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan pada
bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis minimal 4-8 minggu. Anak yang telah
mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi
PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan mengalami
eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang dari 48 jam.
Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun, mialgia (pada anak
<1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi
setelah pemberian dosis kedua, namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam
3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat diberikan,
yaitu:
Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
Kontraindikasi relatif:
- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang
baik
- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.
9. Vaksinasi Influenza
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak berumur
> 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia > 9 tahun,
vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.

25
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri,
kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat
terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
10. Vaksinasi Tifoid
Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10
a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan. Disimpan
dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral diberikan pada
saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul dengan jarak setiap 1 hari
(hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap 5 tahun. Respon imun akan
terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh
dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan
penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau
sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang
alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah, diare,
demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan disertai
efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka
vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum
tersedia di Indonesia.
b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella typhi,
yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman
Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang
mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut
untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC dan tidak boleh dibekukan. Diberikan
pada anak berusia 2 tahun atau lebih. Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun.
Dilakukan secara intramuskular atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon
imunitas akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan sewaktu
demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot
tempat suntikan.
11. Imunisasi Hepatitis A
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat
memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20 tahun.

26
Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam
2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun.
Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua diberikan 6-12 bulan dari
suntikan pertama, dan selanjutnya tidak diperlukan pengulangan. Untuk
pemberian yang cepat dapat langsung diberikan suntikan 2 dosis sekaligus
dengan daya perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi
bergantung pada produk dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid.
Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal
(bulan ke-)
Havrix (Glaxo 2 - 18 th 720 ELISA 0,5 Dua dosis : 0
SmithKline) units dan 6-12
> 18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0
dan 6-18
> 18 th 50 U 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Twinrix > 17 tahun 720 ELISA 1 Tiga dosis : 0,
(GlaxoSmithKline) units 1, dan 6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig & William
S 2004)
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi
umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat
pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat injeksi.
Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek samping berat sesudah
pemberian dosis pertama.
12. Vaksinasi Varisela
Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal dari
galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi dari
seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini dikembangkan
pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika mendapat lisensi untuk
digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia), vaksin
varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis. Namun
berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah varisela maka
pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization Practices (ACIP) dan
America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak.
Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang

27
sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8 oC. Suntikan pertama
diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5
ml secara subkutan.11
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%) yaitu
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam sesudah
suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak kemerahan dan
lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, gangguan
kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah diradioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi neomisin.
13. Vaksinasi Rotavirus
Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare
rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus),
maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus,
yaitu:
- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung strain
manusia P(8)G1.
- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-sapi
P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman dari
risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan bersama vaksin
polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan adalah diare 7,5%;
muntah 8,7%; dan demam 12,1%
Nama Vaksin Rotavirus
Sasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg : usia
(4,8,12) minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama
dengan vaksin polio oral
- Adanya infeksi bakteri patogen di Usus
KIPI Diare, muntah, demam

Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus

28
14. Vaksin Japanesse Encephalitis
Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian vaksin
JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari ke-0,
hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis yang diberikan
masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis penguat dapat diberikan 3
tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di daerah rawan terinfeksi virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia
pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan
penggunaan vaksin masih belum diatur.
Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitis
Indikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau yang
akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan penyakit JE
Dosis dan jadwal 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak berumur
sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang sama
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam, sakit
kepala, menggigil, mual dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis
15. Vaksinasi Meningitis
Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin
meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini hanya
mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C). Namun, vaksin ini
telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat melindungi 4 subtipe dari
bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal polysacarida
vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 ( Meningococcaal conjugated
vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak
perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria
meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta turis
yang hendak masuk ke daerah endemik.
Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)
Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak usia 2-
10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan bagi anak usia

29
kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang lebih dianjurkan untuk
usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak tersedia vaksin jenis MCV4,
maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan.
Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di bawah
kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan bertahan selama 3-
5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3 tahun, sehingga
diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun.
KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri dan
kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi jarang
terjadi (kurang dari 0,1/100.000).
Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)
MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat lebh baik
daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan yang lebih lama.
Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama pada usia 11-12 tahun.
Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas 11 tahun adalah karena respon
kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini tidak optimal, sehingga daya
perlindungan yang didapatkan tidak maksimal.
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan boleh
diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang berbeda.
Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan dapat
bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian ulangan, tetapi
untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan tubuh yang terbentuk
akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama. Pemberian ulangan diberikan jika
ada risiko penularan secara terus menerus.
Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada usia
kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4 tahun, maka
ulangan diberikan setelah satu tahun.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan
vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa rasa sakit dan tibul
kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 1-2 hari. Efek lain yang
dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar, tetapi angka kejadiannya
sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). Guillain-Barre Syndrome atau terjadi
kelumpuhan merupakan efek samping yang ditakutkan, namun risiko terjadinya efek
ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi

30
dengan bahan vaksin, alergi latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta pada
wanita hamil.
16. Vaksin Yellow Fever
Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan Amerika
Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah 10 hari setelah
mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh International Certificate of
Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin demam kuning berupa virus hidup
yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml
berlaku untuk semua umur dan sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun
waktu 10 tahun. Vaksin tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi
telur, dan orang yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh.,
KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan. Sekitar
2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang terjadi 5-10
hari setelah mendapatkan vaksinasi.
17. Vaksinasi HPV
Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru untuk
mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk HPV
tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18 telah memperlihatkan
proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan atas.
Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan ke-3 dosis
tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan bahwa vaksin ini
tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun
panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan vaksin
diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap infeksi HPV akan
bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada lokasi
penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.
JADWAL IMUNISASI
Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan
jadwal 2004. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus konjugasi
(PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada program imunisasi yang
dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada
umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin Rotavirus

31
untuk diare pada anak dan HPV (Human Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini
berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi
perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu
pemberian awal imunisasi seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.

Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI;
2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD.
Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-
258.
7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008
Available from : http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-
imunisasi-2008-idai/

33

Anda mungkin juga menyukai