Anda di halaman 1dari 38

HIPERBILIRUBINEMIA

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Keperawatan Anak

DISUSUN OLEH:

1. SERUNI SEKAR KIRANA (201701005)


2. SITI RISMAYA UMAYIROH (201701014)
3. AJENG TRIANI LARASATI (201701041)
4. SELVI ROHANI PARDEDE (201701053)
5. ANISSA OKTARIYANI LINGGAR (201701072)
6. TSANIA FITRIA NABILA (201701066)
7. DIANA FRANSISKA (201701080)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


STIKes MITRA KELUARGA

BEKASI TIMUR

T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami berupa kesempatan dan
pengetahuan sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah keperawatan anak yang
berjudul “Hiperbilirubinemia” dengan tepat waktu. Terimakasih terutama kami
ucapkan kepada ibu Ns. Deby Kristiani U., M.Sc selaku dosen pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini dan juga teman – teman kelompok kami yang sudah mau berkontribusi
untuk membantu menyelsaikan makalah ini dengan baik. Dalam menyusun makalah
ini, kami banyak menemukan kesulitan tapi dengan adanya bimbingan dan
pengarahan yang baik dari berbagai pihak akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun penyajiannya. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan lebih meningkatkan
kualitas untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi kelompok dan tingkat dua keperawatan.

Bekasi, 7 Maret 2019

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan ................................................................................................1

A. Latar belakang ...............................................................................................1


B. Tujuan ...........................................................................................................3
C. Metode penulisan ..........................................................................................3
D. Sistematika penulisan ....................................................................................3

BAB II Tinjauan Teori ...........................................................................................4

I. Konsep Teori ................................................................................................4


A. Definisi ....................................................................................................4
B. Klasifikasi ...............................................................................................5
C. Metabolisme bilirubin .............................................................................8
D. Etiologi ....................................................................................................10
E. Manifestasi klinis ....................................................................................14
F. Patofisiologi ............................................................................................14
G. Patoflowdiagram .....................................................................................17
H. Pemeriksaan diagnostik ...........................................................................17
I. Penatalaksaan ..........................................................................................19
J. Konsep tumbuh kembang hiperbilirubin .................................................21
K. Dampak hospitalisasi ..............................................................................21
II. Konsep asuhan keperawatan .....................................................................21
A. Pengkajian ...............................................................................................21
B. Diagnosa keperawatan ............................................................................21
C. Intervensi keperawatan ............................................................................22
D. Perencanaan pemulangan ........................................................................23

ii
BAB III Penutup .....................................................................................................24

A. Kesimpulan ..................................................................................................24
B. Saran ..............................................................................................................24

DAFTAR PUSATAKA ...........................................................................................25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin di dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya
ikterus dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik. [ CITATION ASu10 \l
1033 ].
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah kondisi umum pada bayi
baru lahir yang mengacu pada warna kuning pada kulit dan bagian putih mata
disebabkan terlalu banyaknya bilirubin dalam darah merah. Biasanya bilirubin
dibentuk oleh hati, yang melepaskan ke dalam usus sebagai empedu (cairan
yang membantu pencernaan)[ CITATION NdK16 \l 1033 ].
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh hal ini.
Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen
bilirubin yang berwarna kuning pada sclera dan kulit. Pada janin, yang
melakukan tugas untuj mengeluarkan bilirubin adalah plasenta, bukan oleh hati.
Setelah bayi lahir, tugas ini langsung di ambil alih oleh hati yang memerlukan
sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama waktu itu hati bekerja
keras untuk mengeluarkan bilirubin dalam darah (Wong, 2007).
Di Indonesia, Hiperbilirubinemia masih merupakan masalah pada bayi
baru lahir yang sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50%
bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada neonates kurang bulan. Oleh sebab itu,
memeriksa Hiperbilirubinemia pada bayi harus dilakukan pada waktu

1
melakukan kunjungan neonatal atau pada saat memeriksa bayi di klinik
(Renaldi, 2006).
Di Jawa Tengah, data ikterus neonatorum dari sebuah studi cross-
sectional yang dilakukan dibeberapa rumah sakit pendidikan, yaitu Rumah
Sakit Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 sebesar
13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus
patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%
(Sastroasmoro, 2004). Di DIY Yogyakarta data ikterus neonatorum sebuah
studi cross sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan sisanya memiliki kadar bilirubin diatas 13mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0,3, dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82%, dan 18%
bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95%, dan 5% bayi[ CITATION Sas04 \l 1033 ].
Dari angka kejadian diatas masih sangat tinggi bayi yang mengalami
hiperbilirubinemia sehingga sangat penting peran perawat anak untuk
mempunyai tanggung jawab dalam memberikan layanan berkualitas tinggi.
Salah satu peran perawat anak paling penting ialah sebagai pendidik.
Pendidikan kesehatan diberikan oleh perawat diharapkan dapat mengubah
pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu post partum dalam memberikan
perawatan pada bayi baru lahir, terutama untuk mengurangi angka kejadian
hiperbilirubinemia (Deswita, 2014).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok tertarik untuk
menyusun makalah Keperawatan Anak dengan judul “Hiperbilirubinemia”
yang bertujuan agar mahasiswa/i mengetahui dan memahami konsep asuhan
keperawatan dengan hiperbilirubinemia.

2
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mempermudah mahasiswa/I dalam memahami dan mencari
referensi terkait dengan konsep penyakit dan juga asuhan keperawatan
hiperbilirubinemia
2. Tujuan khusus
Untuk mempermudah mahasiswa/I dalam memahami dan
mempelajari tentang hiperbilirubinemia terkait konsep penyakit, asuhan
keperawatan dan perencanaan pemulangan.

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan
metode deskripsi yang berfokuskan pada studi kepustakaan. Studi kepustakaan
adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara mencari, mengumpulkan,
dan mempelajari materi-materi dari buku maupun dari media informasi lainnya
dalam hal ini yang berkaitan dengan Hiperbilirubinemia.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini
adalah :
Bab I. Pendahuluan, berisi : Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang,
tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan teori, berisi : Definisi, klasifikasi, metabolisme bilirubin,
etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, patoflowdiagram, penatalaksanaan,

3
konsep tumbuh kembang hiperbilirubinemia, dampak hospitalisasi, dan asuhan
keperawatan dengan hiperbilirubinemia.
Bab III. Penutup, berisi : Kesimpulan dan saran.

BAB II

TINJAUAN TEORI

I. Konsep Teori
A. Definisi
Hiperbillirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih normal, biasanya terjadi pada bayi yang baru
lahir. Nilai normal bilirubin indrek 0,3-1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,4
mg/dl (Karlina, 2014).
Hiperbilirubin adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih
dari 10 mg% pada minggu pertama yang dapat mengakibatkan jaundice,
warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sclera dan urin serta
organ lain (Sembiring, 2017).
Jadi hiperbilirubin adalah berlebihnya produksi bilirubin sehingga
dapat menyebabkan warna kuning pada kulit. Menurut Timotius (2017),
bilirubin tarbagi menjadi dua yaitu:
1. Bilirubin indirek
Tidak larut dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin
indirek mempunyai afinitas terhadap otak (toksik), tidak mewarnai
jaringan lain, larut dalam lemak, bilirubin tak terkonjugasi,
hemobilirubin, dan berikatan dengan albumin (kuat).
2. Bilirubin direk
Larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Bilirubin
direk tidak mempunyai afinitas terhadap otak, mewarnai jaringan
lain, larut dalam air, bilirubin terkonjugasi, cholebilirubin, berikatan

4
dengan albumin (lemah) dan lebih tidak berbahaya daripada
bilirubin indirek.

B. Klasifikasi
Menurut Timotinus (2017), ikterus terbagi menjadi beberapa
macam yaitu:
1. lkterus Prehepatik (hemolitik)
Diakibatkan oleh adanya produksi berlebihan dari bilirubin
(biasanya akibat hemolisis berlebihan) diluar batas kemampuan hati
untuk mengkonjugasinya. Lisis sel darah merah yang berlebihan
dapat diakibatkan oleh penyakit autoimun, inkompabilitas resus
atau ABO, infeksi (malaria, leptospirosis), struktur sel darah merah
yang abnormal.

2. Ikterus Hepatik (intrahepatik)


Yaitu terjadi gangguan pada proses penyerapan, konjugasi,
transport, atau sekresi bilirubin yang disebabkan oleh gangguan
fungsi hepatosis misalnya pada hepatitis, sirosis, karsinoma
hepatoselular.

5
3. lkterus Pascahepatik
Ikterus pascahepatik disebabkan oleh adanya obstruksi
saluran biller ekstrahepatik. Hal ini menyebabkan bilirubin direk
(yang telah terkonjugsi di dalam hati) tidak bisa ditranspor keluar
hati dan diutilisasi sehingga terakumulasi dalam hati, yang lama
kelamaan akan masuk ke dalam darah dan jaringan. Kondisi ini
ditandai dengan wama tinja yang pucat karena tidak adanya
sterkobilin di tinja dan urin yang gelap karena adanya peningkatan
bilirubin di urin. Dalam keadaan tersumbat total, urobilin tidak
ditemui di urin. Beberapa contoh penyebab adalah batu pada
saluran bilier dan kanker kaput pankreas.
Kolestasis ekstrahepatik terjadi karena terganggunya transpor
bilirubin akibat obstruksi saluran bilier ekstrahepatik sehingga
terjadi peningkatan bilirubin direk, ditandai dengan warna tinja
yang pucat. Hal ini paling sering diakibatkan oleh obstruksi saluran
biller seperti pada batu di duktus biller komunis atau tumor atau
pada kasus bawaan di mana saluran biller tak terbentuk, yang
dinamakan atresia biller.
4. Ikterus Neonatal
Penilaian ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya.
Untuk penilaian ikterus BBL di bagi dalam 5 bagian yang dimulai

6
dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah
sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanganan
tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak
tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada,
lutut dan lain lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap
nomor disesuaikan dengan angka rata-rata di dalam gambar di
bawah.

7
a. Ikterus fisiologis
Timbul pada hari ke 2 dan 3, mencapai puncak hari ke
5-7 menghilang minggu pertama, paling lambat 10 hari
pertama setelah Iahir, kadar bilirubin indirek tidak melebihi
10 mg/dl pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk
neonatus kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin
tidak >1mg%.
b. Ikterik patologik
Terjadi dalam 24 jam pertama, ikterik menetap sesudah
2 minggu pertama, kadar bilirubin indirek pada neonatus
cukup bulan >10mg% dan untuk neonatus kurang bulan 12,5
mg%. Peningkatan kadar bilirubin >5mg%/hari, kadar
bilirubin direk >1mg%.

C. Metabolisme bilirubin
Meningkatnya kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang
berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang
menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. 1 gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin)
dan bentuk inilah yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan
kernicterus. Sumber lain kemungkinan besar dari sumsum tulang dan
hepar, yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen non-eritrosit dan
komponen eritrosit yang terbentuk eritropoisesis yang tidak sempurna.
Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi
bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut dalam air.
Bilirubin ini mempunyai sifat liopfilik yang sulit dieksresi dan mudah
melewati membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam
plasma bilirubin bebas tersebut terikat atau bersenyawa dengan albumin

8
dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam
hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan
ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S-tranferase membawa
bilirubin ke retikulum endoplasma hati. Di dalam sel hepar berkat adanya
enzim glukorinil transferase, terjadi proses konjugasi bilirubin yang
menghasilkan bilirubin direk, yaitu bilirubin yang larut dalam air dan
pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar
bilirubin yang terkonjugasi diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencemaan. Selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar bersama
feses sebagai sterkobilin. Di dalam usus terjadi proses absorpsi
enterohepatik, yaitu sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi
bilirubin indirek dan direabsobrsi kembali oleh mukosa usus.
Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan,
dapat terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karna
tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari), dan fungsi hepar yang belum matang. Hal ini merupakan
keadaan yang fisiologis. Pada liquor amnion yang normal dapat
ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang
pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompabilitas darah Rh, kadar
bilirubin amnion dapat dipakai untuk memperkirakan beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus janin.
Bagaimana bilirubin sampai ke cairan amnion belum diketahui dengan
jelas. Akan tetapi, kemungkinan besar melalui mukosa saluran napas dan
saluran cerna. Produksi bilirubin pada janin dan neonatus diduga sama
besarya tetapi kesanggupan untuk mengonjungasi. Dengan demikian,
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan
mudah melalui plasenta ke sirkulas ibu dan diekskresi oleh hepar lbunya
(Surasmi, 2013).

9
10
D. Etiologi
Menurut Karlina (2014), etiologi hiperbilirubin meliputi:
1. Produksi yang berlebihan:
a. Kelainan dan struktur enzim sel darah merah penyakit hemolisis
yang meningkat pada:
Inkompabilitas darah Rh yaitu:
1) Rh positif (adanya antigen), Rh negatif (tidak ada antigen)
2) Bila ibu Rh negatif, bayi positif akan beresiko terjadi
inkompabilitas, meskipun sirkulasi darah maternal dan fetal
terpisah, terkadang SDM fetal bisa mencapai sirkulasi
maternal melalui perlukaan kecil pada pembuluh darah
plasenta (pada saat pelepasan plasenta).
3) Darah fetal merupakan antigen asing terhadap ibu, sehingga
saling menyerang dan terjadi penghancuran pada SDM fetal.
Inkompabilitas ABO yaitu:
1) Golongan darah mayor (A, B, AB, dan O).
2) Inkompabilitas atau ketidaksesuaian darah paling umum pada
neonatus adalah ibu golongan darah O bayi golongan darah A
atau B.
3) Antibodi pada golongan darah A atau B (gol AB tidak
memiliki antibodi) akan mengalami aglutinasi jika bercampur
dengan antigen gol darah lain. Sel donor yang teraglutinasi
akan terperangkap dalam pembuluh darah perifer ketika sel
tersebut mengalami hemolisis, kemudian melepaskan
sejumlah besar bilirubin kedalam sirkulasi.
4) Antibodi A atau B secara alamiah sudah ada dalam sirkulasi
maternal melintasi plasenta dan menyerang SDM fetal
sehingga menyebabkan hemolisis.
b. Defisiensi enzim G6PD

11
1) Defisiensi enzim G6PD merupakan penyakit dengan
gangguan herediter pada aktivitas eritrosit dimana terdapat
kekurangan enzim glukosa-6fosfat-dehidrogenase (G6PD).
2) G6PD  enzim yang fungsinya untuk membuat stabilitas
dalam SDM.
3) Jika SDM kekurangan G6PD maka sel itu mudah pecah.
4) Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan eritrosit dari
reaksi oksidatif karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi
lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis).
c. Piruvat kinase.
d. Perdarahan tertutup dan sepsis.
e. Peningkatan bilirubin dapat terjadi karena polycetlietnia,
isoimmun hemolytic disease.
f. Hemolysis ekstravaskuler.
2. Gangguan Transportasi
Keracunan obat (hemolysis kimia: salisilat, kortikosteroi,
klorampenikol) bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. lkatan bilirubin dengan albumin dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat dan sulfaforazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
a. Gangguan proses konjugasi hepar disebabkan oleh:
1) Immaturitas hepar.
2) Kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin.
3) Gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi.
4) Tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler-Najjar).
5) Defisiensi protein Y.

12
6) Gangguan fungsi hati: defisiensi glukoronil transferase,
obstruksi empedu atau atresia biliary, infeksi, galaktosemia
hypothyroidisme, jaundice ASI.
b. Gangguan dalam eksresi dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya
disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi.
c. Adanya komplikasi: asfiksia, hipotermi, hipoglikemi.
Menurunya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis metabolik.
d. Ikterus ASI (breastmilk jaundice), pemberian ASI berhubungan
dengan peningkatan insidens jaundis. Ada tiga tipe yang telah
teridentifikasi.
1) Jaundice fisiologis
Penyebabnya adalah fungsi hepatik imatur ditambah
peningkatan beban bilirubin dari hemolisis sel darah merah.
Awitan terjadi setelah 24 jam (bayi pre-term, memanjang).
Puncaknya 72-90 jam. Durasinya akan menurun pada hari ke-
5 sampai ketujuh. Terapi diberikan yaitu fototerapi bila kadar
bilirubin meningkat jelas (peningkatan bilirubin
>5mg/dl/hari).
2) Jaundice terkait pemberian ASI (Jaundice awitan awal)
Mulai pada usia 2-4 hari dan terjadi pada sekitar 10%
sampai 25% BBL yang mendapat ASI. Jaundice ini terkait
dengan proses pemberian ASI dan kemungkinan sebagai
akibat dari kekurangan asupan kalori dan cairan pada bayi
mendapat ASI sebelum produksi ASI mencukupi. Awitan
pada hari ke-2 sampai ke-4 puncaknya hari ke-3 sampai ke-5,
durasinya bervariasi diberikan terapi pemberian ASI sering
(10-12 kali/hari), fototerapi untuk bilirubin 17-22 mg/dl pada

13
bayi term sehat dan teruskan pemberian ASI, bisa juga
diselingi dengan susu formula, hindari tambahan air glukosa
dan air.
3) Jaundice ASI (jaundice awitan lambat)
Mulai pada usia 5-7 hari dan terjadi pada 2%-3% bayi
yang mendapat ASI. Jaundice ini disebabkan oleh faktor
dalam ASI (pregnandiol, asam lemak, dan β-glukoronidase)
yang menghambat konjugasi atau menurunkan ekskresi
bilirubin. Awitan muncul pada hari ke-5 sampai ke-7
puncaknya hari ke-10 sampai ke-15, lamanya bisa tetap
jaundice selama 3-12 minggu atau lebih. terapi yang diberikan
adalah tingkatkan frekuensi pemberian ASI jangan diberi
tambahan seperti air glukosa, penghentian pemberian ASI
tidak lagi direkomendasikan. Bila kadar bilirubin mencapai 16
mg/dl, bisa dihentikan pemberian ASI selama 12 jam, bila
kadar bilirubin turun, ASI diberikan lagi, bisa disertai
fototerapi dirumah tanpa menghentikan ASI.

E. Manifestasi Klinis
Menurut Karlina (2014), manifestasi klinis hiperbilirubin meliputi:
1. Tampak ikterus: sklera, kuku, atau kulit dan membran mukosa.
Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi.
2. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau hari ke-3, dan mencapai
puncak pada hari ke-3 sampai hari ke-4 dan menurun pada hari ke-5
sampai hari ke-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
3. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada type

14
obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang
berat.
4. Muntah, reflek hisap kurang, anorexsia, fatigue, warna urin gelap,
warna tinja pucat.

F. Patofisiologi
Menurut Suriadi (2016), patofisiologi hiperbilirubin meliputi:
1. Patofisiologi hiperbilirubin dapat dimengerti, apabila memahami
berbagai hal tentang bilirubin.
2. Hal-hal yang perlu dipahami antara lain tentang pembentukan
bilirubin, transponasi bilirubin, asupan bilirubin, ekskresi bilirubin,
yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
a. Pembentukan bilirubin
1) Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme
melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.
2) Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase
yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,
dan organ lain.
3) Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan
kembali pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida
yang diekskresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan
direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
4) Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara tepat akan
dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase.
5) Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hydrogen serta pH normal bersifat tidak larut.

15
6) Jika tubuh akan mengekskresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin.
b. Transportasi bilirubin
1) Pembentukan bilirubin yang terjadi disistem retikulo
endothelial, selanjumya dilepaskan ke sirkulasi yang akan
berkaitan dengan albumin.
2) Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang
rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.
3) Bilirubin yang terkait dengan pada albumin serum yang
merupaknn zat non polar dan tidak larut dalam air dan
kemudian akan ditransportasi ke dalam sel hepar.
4) Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki
susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu albumin
juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-obatan
yang bersifat asam seperti penicilin dan sulfonamide.
5) Obat-obat tersebut akan menempati tempat utama perlekatan
albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta
dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
6) Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda
yaitu:
a) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan
membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi
dalam serum.
b) Bilirubin bebas.
c) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap
diekskresikan melalui ginjal.
d) Bilirubin terkonjugasi yang terkait dengan albumin serum.

16
c. Asupan bilirubin
1) Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran
plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel.
2) Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang
berkaitan dengan ligandin, mungkin juga dengan protein
dengan ikatan sitosilik lainnya.
d. Konjugasi bilirubin
1) Bilirubin tidak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin
konjugasi yang larut dalam air direticulum endoplasma
dengan bantuan enzim uridine diphosgate glukuronosy.
2) Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi
bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi
menjadi bilirubin diglukoronida.
3) Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kalanikulus
empedu.
4) Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan
kembali ke retikulum endoplasmic untuk konjugasi
berikutnya.
e. Ekskresi bilirubin
1) Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan
dieksresikan ke dalam kandungan empedu, kemudian
memasuki saluran cerna dan dieksresikan melalui feses.
2) Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi
tidak langsung dapat di reabsorbsi kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim b-
glikoronidase yang terdapat dalam usus.
3) Reabsorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali
ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi
enterohepatik.

17
G. Patoflowdiagram

H. Hemoglobin

Globin Heme

Biliverdin Feco

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjungasi bilirubin atau


gangguan transport bilirubin peningkatan siklus enterohepatik)
hemoglobin dan eritrosit abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih atau bilirubin yang tidak berikatan dengan


albumin meningkat

Suplay bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjungasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah  pengeluaran


meconium terlambat atau obstruksi usus  tinja berwarna pucat

Gangguan Ikterus pada sclera leher dan badan,


integritas kulit peningkatan bilirubin indirect >12mg/dl

Indikasi fototerapi

Sinar dengan intensitas tinggi

Risiko tinggi Kurangnya volume Gangguan suhu


injury cairan tubuh tubuh

Sumber : Suriadi (2016).

I. Pemeriksaan diagnostik

18
Menurut Karlina (2014), pemeriksaan diagnostik hiperbilirubin yaitu:
Pemeriksaan darah yang meliputi :
1. Kadar bilirubin total
2. Tes Coombs: untuk memeriksa antibody yang menghancurkan sel
darah merah bayi
3. Pemeriksaan darah lengkap
4. Pemeriksaan hitung retikulosit: untuk melihat apakah bayi
memproduksi sel darah merah yang baru
5. Golongan darah dan rhesus ibu dan bayi
6. Pada beberapa kasus mungkin perlu untuk memeriksa darah untuk
melihat kondisi yang disebut defisiensi C6PD (glukosa 6 fosfat
dehidrogenase.

J. Penatalaksanaan
Menurut Karlina (2014), penatalaksanaan hiperbilirubin meliputi:
1. Penanganan di rumah:
a. Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari).
b. Terapi dengan sinar matahari.
c. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk
mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak
kepanasan.
d. Atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari
langsung.
e. Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan
15 menit tengkurap.
f. Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, bayi
tidak memakai pakaian tetapi jangan sampai kedinginan.

19
2. Terapi medis:
a. Terapi sinar (fototerapi): bayi ditempatkan dibawah sinar
khusus. Sinar ini mampu menembus kulit bayi dan akan
mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah
diubah oleh tubuh bayi. Selama terapi sinar penutup khusus
akan dibuat untuk melindungi mata.

b. Selimut fiber optik atau terapi sinar ganda atau tripel.

20
c. Transfusi tukar: penggantian darah bayi dengan donor darah.
Ini adalah prosedur yang sangat khusus dan dilakukan pada
fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi dengan sakit
kritis.

K. Konsep tumbuh kembang


1. Pengertian
Pengertian Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak dari
konsepsi sampai maturitas/dewasa yang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan lingkungan. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran
dan jumlah sel serta jaringan interseluler, yang berarti bertambahnya
ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga
dapat diukur dengan satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta
sosialisasi dan kemandirian. [ CITATION Suj14 \l 1057 ].
2. Tahap-tahap tumbuh kembang Walaupun terdapat variasi yang sangat
besar, akan tetapi setiap anak akan melalui suatu "milestone" yang
merupakan tahapan dari tumbuh kembang anak dan setiap tahapan
mempunyai ciri-ciri tersendiri. Adapun tahap-tahap tumbuh kembang
anak.

21
1) Masa pranatal
 Masa mudigah / embrio : Konsepsi – 8 minggu
 Masa janin / fetus : 9 minggu – lahir
2) Masa bayi
 Masa neonatal : 0 – 28 hari
 Masa neonatal dini : 0 – 7 hari
 Masa neonatal lanjut : 8 – 28 hari
 Masa pasca neonatal : 29 hari – 1 tahun

Menurut Sigmund Freud, periodesasi perkembangan dibagi 5 fase :


1) Fase oral (0-1 tahun)
Anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber
pada mulutnya. Hubungan sosial lebih bersifat fisik, seperti makan
atau minum susu. Objek sosial terdekat adalah ibu, terutama saat
menyusu.
2) Fase anal (1-3 tahun)
Pada fase ini pusat kenikmatannya terletak di anus, terutama
saat buang air besar. Inilah saat yang paling tepat untuk
mengajarkan disiplin pada anak termasuk toilet training.

Menurut Erik H. Erikson perkembangan anak dibagi dalam beberapa


tahap :
1) Masa oral-sensorik yaitu masa kepercayaan vs
ketidakpercayaan.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada
umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk
hadirnya suatu ketidakpercayaan.

22
2) Masa anal-muskular yaitu kebebasan vs perasaan
malu-malu atau ragu-ragu.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular
stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang
berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun.
Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah
kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan
malu dan ragu-ragu.
a. Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang
1) Keturunan
Jenis kelamin dan determinan keturunan lain secara kuat
mmpengaruhi hasil akhir pertumbuhan dan laju
perkembangan untuk mendapatkan hasil akhir tersebut.
Terdapat hubungan yang besar antara orangtua dan anak
dalam hal sifat seperti tinggi badan, berat badan, dan
laju pertumbuhan.
2) Neuroendokrin
Beberapa hubungan fungsional diyakini ada diantara
hipotalamus dan system endokrin yang memengaruhi
pertumbuhan. Tiga hormon-hormon pertumbuhan,
hormone tiroid, dan endrogen. Tampak bahwa setiap
hormone yang mempunyai pengaruh bermakna pada
pertumbuhan memanifestasikan efek utamanya pada
periode pertumbuhan yang berbeda.
3) Nutrisi
Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh
paling penting pada pertumbuhan. Faktor diet mengatur
pertumbuhan pada semua tahap perkembangan, dan
efeknya ditujukan pada cara beragam dan rumit.

23
4) Hubungan Interpersonal
Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran
penting dalam perkembangan, terutama dalam
perkembangan emosi, intelektual, dan kepribadian.
luasnya rentang kontak penting untuk pembelajaran dan
perkembangan kepribadian yang sehat.
5) Tingkat Sosial ekonomi
Riset menunjukkan bahwa tingkat sosioekonomi
keluarga anak mempunyai dapak signifikan pada
pertumbuhan dan perkembangan.
6) Penyakit
Banyak penyakit kronik dan Gangguan apapun yang
dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mencerna dan
mengabsorbsi nutrisi tubuh akan member efek
merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan.
7) Bahaya lingkungan
Bahaya dilikungan adalah sumber kekhawatiran
pemberi asuhan kesehatan dan orang lain yang
memerhatikan kesehatan dan keamanan. Bahaya dari
residu kimia ini berhubungan dengan potensi
kardiogenik, efek enzimatik, dan akumulasi.

8) Stress pada masa kanak-kanak


Stress adalah ketidakseimbagan antara tuntutan
lingkungan dan sumber koping individu yang
menggangggu ekuiibrium individu tersebut. Usia anak,
temperamen situasi hidup, dan status kesehatan
mempengaruhi kerentanan, reaksi dan kemampuan
mereka untuk mengatasi stress. Koping adalah tahapan

24
khusus dari reaksi individu terhadap stressor. Strategi
koping adalah cara khusus anak mengatasi stersor ang
dibedakan dari gaya koping yang relative tidak
mengubah karakteristik kepribadian atau hasil koping.
9) Pengaruh media masa
Terdapat peningkatan kekhawatiran mengenai berbagai
pengaruh media pada perkembangan anak.

L. Dampak Hospitalisasi
1. Pengertian
Menurut [ CITATION Wha00 \l 1033 ], hospitalisasi adalah suatu proses
yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan
anak untuk tinggal di RS, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah. Perasaan yang sering muncul
pada anak adalah cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah.
Penyebab timbul reaksi hospitalisasi pada anak [ CITATION Wha00 \l
1033 ] :
 Menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialaminya 
 Rasa tidak aman dan nyaman
 Perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan
a. Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Masa bayi ( 0 - 1 tahun )
 Perpisahan dengan orang tua : gangguan pembentukan rasa
percaya dan kasih sayang.
 Terjadi stranger anxiety ( usia 6 bulan ) : cemas apabila
berhadapan dengan orang asing dan perpisahan.
 Reaksinya : menangis, marah, banyak melakukan gerakan.

25
b. Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak
1) Perasaan cemas dan takut 
 Perasaan cemas dan takut : mendapat prosedur
menyakitkan
 Cemas paling tinggi : menunggu informasi tentang
diagnosa penyakit anaknya.
 Takut muncul : takut kehilangan anak pada kondisi sakit
terminal
 Perilaku : sering bertanya/bertanya tentang hal yang sama
secara berulang-ulang pada orang yang berbeda, gelisah,
ekspresi wajah tegang dan marah.
2) Perasaan sedih
 Muncul pada saat anak dalam kondisi terminal
 Perilaku : isolasi, tidak mau didekati orang lain, tidak
kooperatif terhadap petugas kesehatan.
3) Perasaan frustasi
 Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama
dan tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya
dukungan psikologis.
 Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan,
menginginkan pulang paksa

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Riwayat penyakit : Terdapat riwayat gangguan hemolysis darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO). Polisitemia,

26
infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran
pencernaan, ibu menderita DM.
Temuan fisik : Ikterus terlihat pada sclera, selaput lender, kulit berwarna
merah tua, urine pekat seperti warna the, letargi, hipotonus, reflex
mengisap kurang, peka rangsang, tremor, kejang, tangisan melengking.
Laboratorium : Rh darah ibu dan janin berlainan. Kadar bilirubin bayi
aterm lebih dari 12,5 mg/Dl, premature lebih 15 mg/dL. Dilakukan test
Comb.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Karlina (2014), diagnosa keperawatan hiperbilirubin meliputi:
1. Risiko injury (internal) berhubungan dengan peningkatan serum
bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan
ekskresi bilirubin.
2. Risiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya
air (insensible water loss) tanpa disadari sekunder dari fisioterapi.
3. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fisioterapi.
4. Kecemasan orangtua berhubungan dengan kondisi bayi dan
gangguan bonding.
5. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan orangtua.

C. Intervensi Keperawatan
Menurut Karlina (2014), intervensi keperawatan hiperbilirubin meliputi:

27
DX 1 : Risiko injury (internal) berhubungan dengan peningkatan serum
bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan
ekskresi bilirubin.
Kriteria hasil: Bayi terbebas dari injury yang ditandai dengan serum
bilirubin menurun, tidak ada jaundice, reflek moro normal, tidak terdapat
sepsis, refleks hisap dan menelan air.
Intervensi:
1. Monitor hiperbilirubin tiap 1-4 jam dan di catat
2. Monitor kadar bilirubin 4-8 jam
3. Monitor Hb dan Hct
4. Berikan fototerapi sesuai program
5. Antisipasi kebutuhan transfusi tukar
DX 2 : Risiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan
hilangnya air (insensible water loss) tanpa disadari sekunder dari
fisioterapi.
Kriteria hasil: Bayi tidak menunjukan tanda tanda dehidrasi yang
ditandai dengan urine output (pengeluaran urine) kurang dari 1-3 ml/jam,
membran mukosa normal, ubun ubun tidak cekung, temperatur dalam
batas normal.
Intervensi:
1. Monitor dehidrasi: membran mukosa, ubun-ubun, turgor kulit, mata
2. Monitor temperature setiap 2 jam
3. Monitor intake dan output
4. Pertahankan intake cairan
5. Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi: meningkatnya
temperature, meningkatnya konsentrasi urine, dan cairan hilang
berlebihan
DX 3 : Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fisioterapi.

28
Kriteria hasil: Bayi tidak menunjukan adanya iritasi kulit yang ditandai
dengan tidak adanya rash dan ruam macular eritemosa.
Intervensi:
1. Inspeksi kulit setiap 4 jam
2. Gunakan sabun bayi
3. Merubah posisi bayi dengan sering
4. Gunakan pelindung daerah genital
5. Gunakan pengalas yang lembut
DX 4 : Kecemasan orangtua berhubungan dengan kondisi bayi dan
gangguan bonding.
Kriteria hasil: Orangtua tidak tampak cemas ditandai dengan
kemampuan mengekspresikan perasaan dan perhatian pada bayi serta
aktif dalam partisipasi perawatan bayi.
Intervensi:
1. Pertahankan kontak orang tua dengan bayi
2. Jelaskan kondisi bayi, perawatan dan pengobatannya
3. Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan, dengarkan rasa
takutnya dan perhatian orang tua

D. Perencanaan Pemulangan
1. Ajarkan orangtua merawat bayi agar tidak terjadi infeksi dan
jelaskan tentang daya tahan tubuh bayi.
2. Jelaskan pada orangtua tentang pentingnya pemberian ASI apabila
sudah tidak ikterik. Namun bila penyebabnya bukan jaundice,
pemberian ASI tetap diteruskan.
3. Jelaskan pada orangtua tentang komplikasi yang mungkin terjadi
dan sarankan orangtua untuk segera melaporkan komplikais
tersebut kedokter atau perawat.
4. Jelaskan mengenai pemberian imunisasi.

29
5. Jelaskan pengobatan pengobatan yang diberikan (Karlina, 2014).

BAB III

30
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hiperbilirubin adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih dari


10 mg% pada minggu pertama yang dapat mengakibatkan jaundice, warna
kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sclera dan urin serta organ lain
(Sembiring, 2017). Bilirubin tarbagi menjadi dua yaitu ada bilirubin indirek dan
bilirubin direk. Menurut Timotinus (2017), ikterus terbagi menjadi beberapa
macam yaitu lkterus Prehepatik (hemolitik), Ikterus Hepatik (intrahepatik),
lkterus Pascahepatik dan Ikterus Neonatal. pemeriksaan diagnostik
hiperbilirubin yaitu ada pemeriksaan darah yang meliputi Kadar bilirubin total,
Tes Coombs: untuk memeriksa antibody yang menghancurkan sel darah merah
bayi, Pemeriksaan darah lengkap, Pemeriksaan hitung retikulosit: untuk melihat
apakah bayi memproduksi sel darah merah yang baru, Golongan darah dan
rhesus ibu dan bayi, Pada beberapa kasus mungkin perlu untuk memeriksa
darah untuk melihat kondisi yang disebut defisiensi C6PD (glukosa 6 fosfat
dehidrogenase.

B. Saran
Dalam melakukan perawatan pada anak hiperbilirumia diharapkan
memahami kasus berdasarkan teori tanpa mengabaikan kondisi pasien dan
menjadikan hal-hal baru yang berkaitan dengan penyakit hiperbilirumia pada
anak sebagai pembelajaran. Jika masalah yang timbul pada pasien anak dengan
diagnosa hiperbilirubinemia tidak sesuai seperti apa yang ada dalam konsep
penyakit hiperbilirubinemia secara teoritis, maka hendaknya perawat mampu
untuk lebih mandiri dalam memecahkan masalah pada pasien
hiperbilirubinemia sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien pada saat
dilakukakan perawatan.

31
Namun kelompok juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun
sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini. Dengan
demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya

DAFTAR PUSTAKA

32
Deswita. (2014). Tatalaksana Hiperbilirubinemia. Jakarta: EGC.

Karlina. (2014). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Bogor: In Media.

A, S. (2010). Buku Ajar Neonatalogi (Edisi ke-1) . Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Anik, M. (2008). Buku Saku ASuhan Bayi Baru Lahir Normal. Jakarta Timur: Trans
Info Media.

Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Ketut, N. d. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit & Bayi Resiko Tinggi.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Ketut, N. d. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit & Bayi Resiko Tinggi.
Yogyakarta : PUSTAKA BARU PRESS.

Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta : Media
Aesculapius.

Mathindas. (n.d.). Hiperbilirubin pada neonatus.


https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/viewFile/2599/2142.

Mutaqin, Z. (n.d.). Retrieved from LAPORAN PENDAHULUAN


HIPERBILIRUBINEMIA:
https://stikesbudiluhur.academia.edu/ZafarMutaqin

Nelson, B. (2007). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC.

RI, D. (2006). Pedoman Penyelenggaraandan ProsedurRekam Medis Rumah Sakit di


Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

33
Sastroasmoro. (2004). Tata laksana ikterus neonatorum. Jakarta: HTA Indonesia.

Sembiring, J. B. (2017). Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta : CV BUDI UTAMA.

Sujana. (2014, Mei 05). Retrieved from Laporan Pendahuluan Pada


HIperbilirubinemia: https://www.scribd.com/doc/222217959/LAPORAN-
PENDAHULUAN-HIPERBILIRUBINEMIA

Sukadi, A. (2010). Buku Ajar Neonatalogi (Edisi ke -1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Surasmi, A. d. (2003). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.

Wong RJ, S. D. (2007). Neonatal Jaundice: Bilirubin physicology and clinical


chemistry. 58-67.

Wong, W. d. (2000). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta: EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai