Anda di halaman 1dari 9

PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

CASE REPORT : INFESTASI PARASIT Ascaris suum, Chrysomya bezziana,


DAN Musca domestica PADA BABI

Adik Putri Fatma 190130100111078 Ayu Mahanisa Sanjoyo 190130100111051


1
Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
Malang
2
Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Brawijaya Malang adikputrifatma@gmail.com,
ayumahanisa@gmail.com

ABSTRAK
Studi kasus ini membahas mengenai infestasi parasit pada babi meliputi helminth
yaitu Ascaris suum serta infestasi ektoparasit lalat Chrysomya bezziana dan
Musca domestica. Babi mengalami lethargy dan penurunan nafsu makan serta
dalam pemeriksaan feses ditemukan telur dari Ascaris suum dan disekitar
lingkungan kandang ditemukan lalat Chrysomya bezziana serta Musca domestica
dan sering hinggap di tubuh babi. Perlu dilakukan tindakan yang tepat untuk
menanggulangi penyakit ini dengan cara menjaga sanitasi kandang dan pemberian
obat cacing rutin dalam pemeliharaan babi.
Kata Kunci : Babi, Ascaris suum, Chrysomya bezziana, Musca domestica

PENDAHULUAN
Penyakit pada babi akibat infestasi parasit merupakan penyebab kerugian
terbesar serta menyebabkan penurunan produksi. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen
adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka terhadap
penyakit, salah satunya adalah penyakit endoparasit. Parasit merupakan makhluk
hidup yang dalam kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain
sehingga sifatnya merugikan. Cacing mempunyai salah satu sifat merugikan yaitu
menimbulkan gangguan nafsu makan dan pertumbuhan. Gangguan pada
pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga produktivitas akan turun.
Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu
rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya
menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Adanya parasit di
dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis.
Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses, dimana jika
ditemukan telur cacing pada feses, maka dipastikan adanya cacing pada ternak
tersebut (Subronto dan Tjahajati, 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kasus ini babi berusia 2 bulan dengan jenis kelamin betina dengan
ciri khusus memiliki tubuh berwarna pink mengalami penurunan nafsu makan dan
terlihat kurang aktif dibandingkan babi lainnya dalam kandang tersebut serta

20
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

memiliki kotoran dengan konsistensi paling lembek dan paling bau dibandingkan
babi lainnya. Rambut babi tersebut juga terlihat lebih kusam dan kotor
dibandingkan babi lainnya serta hidungnya tampak kering. Berdasarkan
pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang nampak babi diduga terinfestasi parasit.
Selanjutnya untuk mendukung peneguhan diagnosa, dilakukan pengambilan
sampel feses dan pemeriksaan laboratorik. Pengambilan feses dilakukan di
kandang babi, feses segar yang diambil berwarna coklat kehitaman dengan
konsistensi lembek disertai dengan bau yang menyengat. Pemeriksaan yang
dilakukan yaitu pemeriksaan secara metode natif dan ditemukan telur Ascaris
suum dengan ciri-ciri telur bulat dan dinding yang tebal (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Telur Ascaris suum (Dokumentasi pribadi, 2019)

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing. Ascariasis


ini merupakan kasus infeksi kronis dimana terjadi pada daerah miskin, higienis
yang tidak cukup, dan sanitasi yang buruk (Pohan, 2006). Infeksi Ascariasis
terbanyak ditemukan pada negara beriklim tropis dan negara berkembang dengan
adanya kontaminasi tanah oleh feses manusia (Walker et al., 2011). Ascariasis
disebebkan oleh infestasi cacing Ascaris suum. Ascaris suum merupakan cacing
dari kelas nematoda dan ordo ascaridia yang berbentuk gilig. Cacing ini
merupakan cacing nematoda yang ukurannya paling besar diantara jenis cacing
pada babi. Cacing jantan mempunyai panjang 15-25 cm dan diameter 3 mm.
Cacing betina panjang hingga 41 cm dan diamter 5 mm. Kutikula cacing relatif
tebal. Panjang esofagus kurang lebih 6,5 mm dan bentuknya sederhana. Caicng
jantan dilengkapi spikula sepanjang 2 mm. Lubang vulva membuka pada
sepertiga bagian tubuh dari anterioir, vagina pendek dan di posteriornya terdapat
uterus. Telur bulat berukuran 50-70 x 40-50 µ m mempunyai lapisan luar dan
lapisan albuminous yang tebal (Gambar 1.2)(Bendryman et al., 2012).

21
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

Gambar 1.2 Telur Ascaris suum (Dewi et al., 2007)

Siklus hidup Ascaris suum dimulai ketika babi menelan telur yang belum
berembrio dari lingkungan kemudian telur menuju sekum babi dan berkembang
menjadi larva infektif berupa larva 2 yang kemudian akan berpenetrasi pada
dinding sekum dan kolon dan bermigrasi ke bagian hepar dan trachea. Larva 3
menuju hepar dan ada yang menuju pulmo. Larva bergerak menuju saluran
respirasi hingga ke faring dan larva dapat tertelan lagi. Pada hari ke-8, Larva 3
memasuki intestin untuk yang kedua kalinya. Pada fase ini terjadi proses ekdisi
atau pengelupasan kutikula di dalam tubuh host dan tumbuh menjadi Larva 4 dan
berkembang menjadi Larva 5 pada hari ke 14-29. Setelah 6 minggu cacing
mengalami maturasi dan cacing betina mengeluarkan telur yang ikut dikeluarkan
melalui feses. Telur dapat bertahan di lingkungan selama 6-9 tahun. Cacing
dewasa menginfeksi usus halus selama 1-2 tahun tanpa diberi anthelmintics dan
tidak ada respon sistem imun (Roepstorff et al., 2011).
Larva maupun cacing dewasa A. suum menyebabkan kerusakan dari
jaringan tubuh inang infektif. Gejala khas dari cacing ini adalah timbulnya milk
spot atau disebut dengan bintik putih pada hati dan terbentuk filament-filament
fibrosis oleh larva cacing A. Suum. Larva yang memasuki hepar akan
menginduksi kerusakan jaringan pada hepar dan menyebabkan inflamasi. Infiltrasi
sel darah putih pada lesi hepar akan terlihat makroskopis yang disebut milk spot
(Nejsum et al., 2005). Di dalam paru–paru larva A. suum menyebabkan infeksi
primer yang tidak terlalu parah, yaitu terjadinya kerusakan pada alveoli,
hemoragi, dan infiltrasi sel radang yang bersifat lokal. Pada infeksi yang berat A.
suum dapat menyebabkan pneumonia vermirosa, disertai batuk yang asmatik, sulit
bernafas, oedema, pusat pusat hemoragik dan emfisema. Larva yang menuju
pulmo dapat menyebabkan stres pada sistem respirasi yang berujung pada
pneumonitis. Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga menyebabkan
infeksi respirasi, yang semakin diperparah dengan adanya debu, ammonia, dan
bakteri. Jika virus influenza babi yang bersifat laten masuk ke tubuh babi, maka
akan mengakibatkan gejala yang lebih parah seperti mycoplasma dan viral
pneumonia. Selain itu masuknya larva A. suum ke dalam paru-paru akan
mengakibatkan penurunan bobot badan, keadaan rambut yang kusam dan

22
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

peningkatan temperatur tubuh. Gejala klinis yang muncul berupa peningkatan


frekuensi pernafasan, dypsnea dan batuk kering (Hadush dan Pal, 2016). Pada
saluran intestin, larva yang baru menetas penetrasi pada sekum dan kolon yang
menyebabkan perdarahan pada mukosa. Larva 3 akan berkembang menjadi Larva
4, Larva 5, dan menjadi cacing dewasa pada hari ke-42 post infeksi. Perubahan
patologis pada mukosa menyebabkan hipertropi tunika muskularis yang
menyebabkan penurunan penyerapan nutrisi (Vandekerckhove, 2018). Gejala
kolik dapat terjadi jika babi terkena infeksi dalam kondisi yang ekstrim, yakni
jumlah cacing yang sangat banyak dan disertai pertumbuhan cacing yang pesat.
Pada anak babi berumur kurang dari empat bulan terserang A. suum dapat
menyebabkan pneumonia. A. suum dewasa jika berada pada usus dapat
menyebabkan kerusakan pada mukosa, dan jika dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan obstruksi (Morimoto et al., 2003)
Ascariasis sering terjadi akibat air dan pakan yang terkontaminasi dengan
telur A. suum. Kejadian ini sering ditemukan pada kandang yang kurang bersih
dan sanitasi yang buruk. Parasit sangat menyukai iklim yang hangat dan lembab,
langkah–langkah pencegahan dapat dilakukan dengan merubah sanitasi yang lebih
baik dan manajemen pakan yang baik, serta pemberian obat-obat antelmintik
secara bertahap (Hadush dan Pal, 2016). Terapi yang dapat diberikan yaitu dengan
pemberian obat anthelminthic seperti fenbendazole dan levamisole
(Vandekerckhove, 2018). Fenbendazol mempunyai spektrum luas yang akan
merusak sistem traspostasi intraseluler dan tubulin, mencegah polimerisasi tubulin
dan mencegah pembentukan microtubule. Fenbendazole juga merusak jalur
metabolisme pada helmint. Fenbendazole diberikan peroral. Dosis untuk babi
yang terinfestasi Ascaris suum yaitu 10 mg/kg. Levamisole digunakan untuk
terapi nematoda pada ternak. Levamisole mengganggu metabolisme karbohidrat
pada parasit. Levamisole juga menstimulasi sistem imun. Dosisi untuk babi yaitu
8mg/kg diberikan peroral melalui pakan atau air minum (Plumb, 2008).
Pencegahan dan kontrol penyakit dilakukan dengan menjaga lingkungan tetap
bersih dan tidak terkontaminasi. Pemberian obat cacing teratur pada hewan ternak.
Hewan yang terindikasi terinfeksi Ascaris suum diletakkan di kandang yang
terpisah (Vandekerckhove, 2018).
Kasus lainnya yang menyerang babi tersebut adalah infestasi ektoparasit
berupa lalat. Lalat banyak berada di sekitar kandang babi dan tubuh babi.
Identifikasi lalat dilakukan dengan pembuatan preparat kering lalat dengan
metode pinning. Hasil dari identifikasi preparat menunjukkan ciri-ciri yang dilihat
dari pengamatan menggunakan mikroskop stereo, disimpulkan bahwa lalat yang
ditemukan adalah Chrysomya bezziana dan Musca domestica.
Chrysomya bezziana merupakan lalat primer penyebab myiasis di
Indonesia. Larva Chrysomya bezziana bersifat obligat parasit yang hanya
memakan jaringan hidup tubuh inangnya. Chrysomya bezziana adalah Arthropoda
yang masuk dalam sub divisi Hexapoda, kelas Insecta, sub kelas Pterygota,

23
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

superordo Endopterygota, ordo Diptera, sub ordo Brachycera dan famili


Calliphoridae (Wardhana et al, 2003). Lalat Chrysomya bezziana berwarna biru
metalik, biru keunguan atau biru kehijauan (Gambar 1.3). Kepala lalat ini
berwarna oranye dengan mata berwarna merah gelap. Perbedaan antara lalat
jantan dan betina terletak pada matranya. Lalat betina memiliki mata kanan dan
kiri yang terpisah sedangkan pada yang jantan menyatu. Ukuran lalat ini
bervariasi tergantung pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya rata-rata 10 mm
dengan lebar kepala berkisar rata-rata 4,1 mm. Tidak ada tanda-tanda
makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga
identifikasinya hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik
(Wardhana et al, 2003). Telur Chrysomya bezziana berwarna putih transparan
dengan panjang 1,25 mm dan berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta
tumpul pada kedua ujungnya. Larva Chrysomya bezziana memiliki 12 segmen, 1
segmen kepala, 3 segmen torak dan 8 segmen abdominal. Tubuh larva dilengkapi
bentukan duri dengan arah condong kebelakang (Wardhana et al, 2003).

Gambar 1.3. Chrysomya bezziana (Dokumentasi pribadi)

Gambar 1.4. Chrysomya bezziana (Wardhana et al, 2003).

Siklus hidup lalat Chrysomya bezziana (Gambar 1.5)terbagi menjadi


empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat dewasa. Dari telur menetas menjadi
larva instar 1 (L1) sampai dengan larva instar 3 (L3) memerlukan waktu 6-7 hari,
selanjutnya L3 akan jatuh ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu 7-8 hari,
pupa menetas menjadi lalat dewasa. Setelah bereproduksi pada umur 4-8 hari,
lalat betina akan bertelur pada jaringan yang terluka (Gambar) (Hall, 2008). Lalat
betina akan meletakkan telurnya ditepi luka pada sore hari atau menjelang petang

24
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar
antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam
waktu 12-24 jam atau 10 jam pada suhu 30˚C, selanjutnya L1 menuju daerah luka
yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk kedalam
jaringan inang (Hall, 2008). Larva instar 2 akan berkembang menjadi L3,
selanjutnya pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan
jatuh ketanah. Larva instar 3 (L3) akan membuat terowongan sepanjang 2-3 cm
untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa
dalam waktu 24 jam pada suhu 28˚C. Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung
dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat selama 7 hari (Hall, 2008).

Gambar 1.5. Siklus hidup Chrysomya bezziana (Hall, 2008).

Chrysomya bezziana merupakan lalat primer penyebab myiasis. Myiasis


disebabkan karena adanya luka akibat berkelahi, tersayat benda tajam ataupun
pasca partus pada ternak. Lalat betina akan meletakkan telurnya ke luka tersebut.
Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kurang dari 12 jam kemudian
bergerak masuk kedalam jaringan. Adanya larva Chrysomya bezziana didalam
jaringan menyebabkan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini
menyebabkan bau yang sangat meyengat dan mengundang lalat yang lain untuk
hinggap seperti lalat sekunder (Chrysomya megacephala, Chrysomya rufifacies,
Chrysomya varipes, Hemypirellia, Sarcophaga sp) dan tertier (Musca spp)
(Amalina, 2013).
Lalat lainnya yaitu Musca domestica. Musca domestica merupakan lalat
tersier penyebab myiasis di indonesia. Musca domestica adalah Arthropoda yang
masuk dalam class Hexapoda, ordo Diptera, subordo Cyclorrapha, family
Muscidae, genus Musca dan spesies Musca domestica (Wardhana et al, 2003).
Lalat rumah (Musca domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal
karena keberadaannya paling banyak disekitar manusia. Musca domestica
memiliki ukuran tubuh dengan panjang 6-9 mm dan memiliki berbagai warna

25
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

yang hitam hingga abu-abu gelap. Lalat ini memiliki broadish dorsal yairu garis
gelap pada toraks. Antenanya terdiri dari tiga segmen, ukuran segmen terakhir
lebih besar berbentuk silinder dan memiliki rambut prominent, yang biasa disebut
arista yang mempunyai rambut dikedua sisinya (Gambar 1.6). Antena ini
tersembunyi dibagian depan kepala yang sangat sulit terlihat. Mulut dari Musca
somestica atau probosis memiliki fungsi dalam menghisap cairan makanan.
Venasi sayap tertutup. Mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu
sama lain dibanding dengan lalat betina (Wardhana et al, 2003).

A B

Gambar 1.6. Musca domestica A. Dokumentasi pribadi, B. Sumber (Wardhana et al,


2003)

Siklus hidup lalat Musca domestica (Gambar 1.7)terbagi menjadi empat


tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat dewasa. Musca domestica betina dapat
menghasilkan 75-120 butir telur dalam satu kali bertelur. Telur diletakkan pada
bahan-bahan organik yang lembab (sampah, kotoran binatang dan lain-lain) atau
pada tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari. Telur lalat berwarna
putih dan berukuran 1-1,2 mm, telur dapat menetas menjadi larva setelah 6-12
jam. Larva lalat memiliki 11 segmen tubuh dengan kepala yang kecil. Larva lalat
memakan cairan dari pembusukan bahan organik. Larva lalat memiliki 3 tahap
instar. Larva instar 1 berukuran panjang 2 mm, berwarna putih, setelah 1-4 hari
melepas kulit menjadi larva instar 2. Larva instar 2 memiliki ukuran dua kali dari
larva instar 1, setelah 1-2 hari maka kulit akan mengelupas dan berubah menjadi
larva instar 3. Larva instar 3 memiliki ukuran 12 mm atau lebih. Untuk berubah ke
tahap pupa, larva instar 3 akan bermigrasi ke daerah yang lebih kering. Pupa
berbentuk lonjong dan umumnya berwarna merah atau coklat. Jaringan tubuh
larva berubah menjadi jaringan tubuh dewasa. Stadium ini berlangsung 3-9 hari.
Lalat dewasa akan menetas dari pupa setelah 7 hari (Sigit et al, 2006).

26
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

Gambar 1.7. Siklus hidup Musca domestica (Sigit et al, 2006).

Musca domestica merupakan lalat tersier penyebab myiasis di indonesia.


Myiasis disebabkan karena adanya luka akibat berkelahi, tersayat benda tajam
ataupun pasca partus pada ternak. Lalat betina akan meletakkan telurnya ke luka
tersebut. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kurang dari 12 jam
kemudian bergerak masuk kedalam jaringan. Adanya larva Chrysomya bezziana
didalam jaringan menyebabkan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini
menyebabkan bau yang sangat meyengat dan mengundang lalat yang lain untuk
hinggap seperti lalat sekunder (Chrysomya megacephala, Chrysomya rufifacies,
Chrysomya varipes, Hemypirellia, Sarcophaga sp) dan tertier (Musca spp)
(Amalina, 2013).
Chrysomya bezziana dan Musca domestica merupakan lalat myasis.
Penanganan myiasis dapat diberikan terapi berupa pemberian ivermectin secara
injeksi, serta luka dapat diobati dengan pemberian antibiotik seperti gentamicin
dan oxytetracycline hydrochloride yang diberikan secara topikal, serta pemberian
antiektoparasit seperti dichlofenthion yang diberikan secara topikal. Pencegahan
dan kontrol penyakit dapat dilakukan dengan menyemprotkan insektisida pada
kandang dengan dichlorvos. Hal yang harus dilakukan dan terus dikontrol yaitu
menjaga kebersihan kandang dan sekitar kandang agar mengurangi perkembangan
dari lalat (Sigit et al, 2006).

KESIMPULAN
Dari hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan babi mengalami
Ascariasis karena infestasi dari Ascaris suum yang didukung dengan adanya telur
Ascaris suum pada feses babi. Selain itu ditemukan adanya ektoparasit lalat
Chrysomya bezziana dan Musca domestica di sekitar kandang dan tubuh babi
yang memungkinkan terjangkitnya myasis pada babi.

27
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019

DAFTAR PUSTAKA

Amalina LN. 2013. Isolasi Dan Identifikasi Parasit Pada Tubuh Lalat Dari
Transferdepo Di Dusun Klebengan Catur tunggal Depok Sleman
Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Bendryman S. S, S. Koesdarto, Kusnoto, S. M. Sosiawati. 2012. Buku Teks
Helmintologi. Surabaya : Global Persada Press.
Dewi, Kartikan dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil
( Sus Verrucosus). Vol.16(1):13-19. Jakarta
Hadush A, Pal M. 2016. Ascariasis: Public Health Importance and its Status in
Ethiopia. Air Water Borne Diseases 5.
Hall MJR 2008. New world screwworm (Cochliomyia hominivorax) and Old
world screwworm (Chrysomiya bezziana). Chapter 2.1.10. OIE Terrestrial
Manual 2008, 265-275.
Komala D, Tiuria R, Nugraha AB. 2015. Identifikasi Endoparasit pada Babi (Sus
spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk Jakarta Barat. (Skripsi). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Morimoto M, Zarlenga D, Beard H, Alkharouf N, Matthews BF, Urban JF. 2003.
Ascaris suum: cDNA microarray analysis of 4th stage larvae (L4) during
self-cure from the intestine. Experimintal Parasitology 104: 113-121.
Nejsum P, Paker DE, Frydenberg J, Roepstorff A, Boes J, Haque R, Astrup I,
Prag J, Sorensen UBS. 2005. Ascariasis is a zoonosis in Denmark. Journal
of Clinical Microbiology 43(3):1142-1148.
Plumb, Donald C. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook Sixth edition. Iowa:
Blackwell Publishing.
Roepstorff, A., Mejer, H., Nejsum. P., Thamsborg, S. M., 2011. Hemint Parasites
in Pigs: New Challenges in Pig Production and Current Research
Highlights. Vet Parasitol. 180, 72-81.
Safar R. 2010. Parasitologi Kedokteran. Bandung: Yrama widya
Sigit HS, KoeshartoFX, HadiUK, GunandiniDJ&SovianaS. 2006. Hama
Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Unit
Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP), Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
Vandekerckhove, Elise. 2018. Thesis: The Use of Serology in the Control of
Ascaris suum Infections in Pigs. Salisburylaan: Universiteit Gent.
Wardhana A.H., Muharsini S and Suhardono. 2003. Koleksi dan Kejadian
Myiasis yang disebabkan oleh Old World Screwworm Fly, Chrysomya
bezziana di daerah endemik di Indonesia. In Prosiding Seminar Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. 235-239

28

Anda mungkin juga menyukai