ABSTRAK
Studi kasus ini membahas mengenai infestasi parasit pada babi meliputi helminth
yaitu Ascaris suum serta infestasi ektoparasit lalat Chrysomya bezziana dan
Musca domestica. Babi mengalami lethargy dan penurunan nafsu makan serta
dalam pemeriksaan feses ditemukan telur dari Ascaris suum dan disekitar
lingkungan kandang ditemukan lalat Chrysomya bezziana serta Musca domestica
dan sering hinggap di tubuh babi. Perlu dilakukan tindakan yang tepat untuk
menanggulangi penyakit ini dengan cara menjaga sanitasi kandang dan pemberian
obat cacing rutin dalam pemeliharaan babi.
Kata Kunci : Babi, Ascaris suum, Chrysomya bezziana, Musca domestica
PENDAHULUAN
Penyakit pada babi akibat infestasi parasit merupakan penyebab kerugian
terbesar serta menyebabkan penurunan produksi. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen
adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka terhadap
penyakit, salah satunya adalah penyakit endoparasit. Parasit merupakan makhluk
hidup yang dalam kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain
sehingga sifatnya merugikan. Cacing mempunyai salah satu sifat merugikan yaitu
menimbulkan gangguan nafsu makan dan pertumbuhan. Gangguan pada
pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga produktivitas akan turun.
Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu
rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya
menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Adanya parasit di
dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis.
Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses, dimana jika
ditemukan telur cacing pada feses, maka dipastikan adanya cacing pada ternak
tersebut (Subronto dan Tjahajati, 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kasus ini babi berusia 2 bulan dengan jenis kelamin betina dengan
ciri khusus memiliki tubuh berwarna pink mengalami penurunan nafsu makan dan
terlihat kurang aktif dibandingkan babi lainnya dalam kandang tersebut serta
20
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
memiliki kotoran dengan konsistensi paling lembek dan paling bau dibandingkan
babi lainnya. Rambut babi tersebut juga terlihat lebih kusam dan kotor
dibandingkan babi lainnya serta hidungnya tampak kering. Berdasarkan
pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang nampak babi diduga terinfestasi parasit.
Selanjutnya untuk mendukung peneguhan diagnosa, dilakukan pengambilan
sampel feses dan pemeriksaan laboratorik. Pengambilan feses dilakukan di
kandang babi, feses segar yang diambil berwarna coklat kehitaman dengan
konsistensi lembek disertai dengan bau yang menyengat. Pemeriksaan yang
dilakukan yaitu pemeriksaan secara metode natif dan ditemukan telur Ascaris
suum dengan ciri-ciri telur bulat dan dinding yang tebal (Gambar 1.1).
21
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
Siklus hidup Ascaris suum dimulai ketika babi menelan telur yang belum
berembrio dari lingkungan kemudian telur menuju sekum babi dan berkembang
menjadi larva infektif berupa larva 2 yang kemudian akan berpenetrasi pada
dinding sekum dan kolon dan bermigrasi ke bagian hepar dan trachea. Larva 3
menuju hepar dan ada yang menuju pulmo. Larva bergerak menuju saluran
respirasi hingga ke faring dan larva dapat tertelan lagi. Pada hari ke-8, Larva 3
memasuki intestin untuk yang kedua kalinya. Pada fase ini terjadi proses ekdisi
atau pengelupasan kutikula di dalam tubuh host dan tumbuh menjadi Larva 4 dan
berkembang menjadi Larva 5 pada hari ke 14-29. Setelah 6 minggu cacing
mengalami maturasi dan cacing betina mengeluarkan telur yang ikut dikeluarkan
melalui feses. Telur dapat bertahan di lingkungan selama 6-9 tahun. Cacing
dewasa menginfeksi usus halus selama 1-2 tahun tanpa diberi anthelmintics dan
tidak ada respon sistem imun (Roepstorff et al., 2011).
Larva maupun cacing dewasa A. suum menyebabkan kerusakan dari
jaringan tubuh inang infektif. Gejala khas dari cacing ini adalah timbulnya milk
spot atau disebut dengan bintik putih pada hati dan terbentuk filament-filament
fibrosis oleh larva cacing A. Suum. Larva yang memasuki hepar akan
menginduksi kerusakan jaringan pada hepar dan menyebabkan inflamasi. Infiltrasi
sel darah putih pada lesi hepar akan terlihat makroskopis yang disebut milk spot
(Nejsum et al., 2005). Di dalam paru–paru larva A. suum menyebabkan infeksi
primer yang tidak terlalu parah, yaitu terjadinya kerusakan pada alveoli,
hemoragi, dan infiltrasi sel radang yang bersifat lokal. Pada infeksi yang berat A.
suum dapat menyebabkan pneumonia vermirosa, disertai batuk yang asmatik, sulit
bernafas, oedema, pusat pusat hemoragik dan emfisema. Larva yang menuju
pulmo dapat menyebabkan stres pada sistem respirasi yang berujung pada
pneumonitis. Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga menyebabkan
infeksi respirasi, yang semakin diperparah dengan adanya debu, ammonia, dan
bakteri. Jika virus influenza babi yang bersifat laten masuk ke tubuh babi, maka
akan mengakibatkan gejala yang lebih parah seperti mycoplasma dan viral
pneumonia. Selain itu masuknya larva A. suum ke dalam paru-paru akan
mengakibatkan penurunan bobot badan, keadaan rambut yang kusam dan
22
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
23
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
24
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar
antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam
waktu 12-24 jam atau 10 jam pada suhu 30˚C, selanjutnya L1 menuju daerah luka
yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk kedalam
jaringan inang (Hall, 2008). Larva instar 2 akan berkembang menjadi L3,
selanjutnya pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan
jatuh ketanah. Larva instar 3 (L3) akan membuat terowongan sepanjang 2-3 cm
untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa
dalam waktu 24 jam pada suhu 28˚C. Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung
dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat selama 7 hari (Hall, 2008).
25
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
yang hitam hingga abu-abu gelap. Lalat ini memiliki broadish dorsal yairu garis
gelap pada toraks. Antenanya terdiri dari tiga segmen, ukuran segmen terakhir
lebih besar berbentuk silinder dan memiliki rambut prominent, yang biasa disebut
arista yang mempunyai rambut dikedua sisinya (Gambar 1.6). Antena ini
tersembunyi dibagian depan kepala yang sangat sulit terlihat. Mulut dari Musca
somestica atau probosis memiliki fungsi dalam menghisap cairan makanan.
Venasi sayap tertutup. Mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu
sama lain dibanding dengan lalat betina (Wardhana et al, 2003).
A B
26
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
KESIMPULAN
Dari hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan babi mengalami
Ascariasis karena infestasi dari Ascaris suum yang didukung dengan adanya telur
Ascaris suum pada feses babi. Selain itu ditemukan adanya ektoparasit lalat
Chrysomya bezziana dan Musca domestica di sekitar kandang dan tubuh babi
yang memungkinkan terjangkitnya myasis pada babi.
27
PPDH VI UB KELOMPOK V 2019
DAFTAR PUSTAKA
Amalina LN. 2013. Isolasi Dan Identifikasi Parasit Pada Tubuh Lalat Dari
Transferdepo Di Dusun Klebengan Catur tunggal Depok Sleman
Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Bendryman S. S, S. Koesdarto, Kusnoto, S. M. Sosiawati. 2012. Buku Teks
Helmintologi. Surabaya : Global Persada Press.
Dewi, Kartikan dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil
( Sus Verrucosus). Vol.16(1):13-19. Jakarta
Hadush A, Pal M. 2016. Ascariasis: Public Health Importance and its Status in
Ethiopia. Air Water Borne Diseases 5.
Hall MJR 2008. New world screwworm (Cochliomyia hominivorax) and Old
world screwworm (Chrysomiya bezziana). Chapter 2.1.10. OIE Terrestrial
Manual 2008, 265-275.
Komala D, Tiuria R, Nugraha AB. 2015. Identifikasi Endoparasit pada Babi (Sus
spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk Jakarta Barat. (Skripsi). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Morimoto M, Zarlenga D, Beard H, Alkharouf N, Matthews BF, Urban JF. 2003.
Ascaris suum: cDNA microarray analysis of 4th stage larvae (L4) during
self-cure from the intestine. Experimintal Parasitology 104: 113-121.
Nejsum P, Paker DE, Frydenberg J, Roepstorff A, Boes J, Haque R, Astrup I,
Prag J, Sorensen UBS. 2005. Ascariasis is a zoonosis in Denmark. Journal
of Clinical Microbiology 43(3):1142-1148.
Plumb, Donald C. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook Sixth edition. Iowa:
Blackwell Publishing.
Roepstorff, A., Mejer, H., Nejsum. P., Thamsborg, S. M., 2011. Hemint Parasites
in Pigs: New Challenges in Pig Production and Current Research
Highlights. Vet Parasitol. 180, 72-81.
Safar R. 2010. Parasitologi Kedokteran. Bandung: Yrama widya
Sigit HS, KoeshartoFX, HadiUK, GunandiniDJ&SovianaS. 2006. Hama
Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Unit
Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP), Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
Vandekerckhove, Elise. 2018. Thesis: The Use of Serology in the Control of
Ascaris suum Infections in Pigs. Salisburylaan: Universiteit Gent.
Wardhana A.H., Muharsini S and Suhardono. 2003. Koleksi dan Kejadian
Myiasis yang disebabkan oleh Old World Screwworm Fly, Chrysomya
bezziana di daerah endemik di Indonesia. In Prosiding Seminar Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. 235-239
28