Anda di halaman 1dari 6

4.1.

7 Xenopsylla cheopis
a. Signalemen
Jenis Hewan : Tikus
Jenis Kelamin : Jantan
Warna : Hitam
b. Anamnesa
Sehat, tidak ditemukan kelainan pada tikus
c. Gejala Klinis dan Hasil Pemeriksaan
Tidak ada gejala klinis yang tampak pada tikus

Gambar 4.7 Tikus (dokumentasi pribadi)

d. Pemeriksaan Laboratorik
Pemeriksaan laboratorik yang dilakukan adalah pemeriksaan ektoparasit.
Pemeriksaan ektoparasit dilakukan dengan cara pengambilan pinjal yang
masih hidup dan melekat pada tubuh tikus dan ditambahkan larutan KOH.
Sample pinjal diperiksa menggunakan metode pembuatan preparat
permanen mounting tanpa pewarnaan.
Hasil pemeriksaan preparat dapat diidentifikasi bahwa ektoparasit yang
menyerang tikus yaitu Xenopsylla cheopis.
Gambar 4.8 Xenopsylla cheopis dengan perbesaran 10X (Dokumentasi
Pribadi)

e. Diagnosa dan Differensial Diagnosa


Berdasarkan pemeriksaan laboratoris, tikus didiagnosa terinfeksi
Xenopsylla cheopis dengan differensial diagnosa terinfestasi Ceratophyllus
fasciatus.

f. Etiologi
 Taksonomi
Xenopsylla cheopis memiliki klasifikasi menurut Prianto, dkk (1995)
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Family : Pulicidae
Genus : Xenopsylla
Spesies : Xenopsylla cheopis
Gambar 4.9 Pinjal Xenopsylla cheopis pada tikus (Prianto dkk., 1995)

 Morfologi
Xenopsylla cheopis mempunyai satu pasang antena, tiga pasang
kaki, mesopleuron terbagi oleh garis tegak lurus (Prianto dkk.,
1995). Pinjal dewasa memiliki bentuk morfologi yang berbeda
dengan serangga lainnya yaitu berbentuk pipih bilateral (Bowman,
2002). Ukuran tubuh dewasa memiliki panjang 1 sampai 3 mm,
berwarna kuning terang hingga coklat tua dan biasanya ukuran
betina lebih besar dibandingkan jantan (Wall dan Shearer, 2001).
Ektoparasit ini tidak bersayap tetapi memiliki tiga pasang tungkai
kaki yang panjang dan berkembang baik berfungsi untuk melompat
(Ballweber, 2001). Permukaan tubuh pinjal dilapisi khitin yang tebal
untuk memudahkannya bergerak pada rambut dan kulit inangnya
(Urquhart, 1996). Kepala pinjal berukuran kecil dan memiliki lekuk
dibelakang mata yang berfungsi menyimpan antena bersegmen
(Levine, 1994). Pinjal memiliki mata sederhana di depan antena,
namun tidak semua jenis pinjal memilikinya (Urquhart, 1996). Pinjal
memiliki mulut dengan struktur berlapis, yang terdiri dari sepasang
maxillary lacunae berfungsi untuk menusuk kulit inang. Bagian
ventral mulut memiliki epiharynxlabrum yang berfungsi masuk ke
kapiler inang dan mengalirkan darah inang ke saluran pencernaan
pinjal (Wall dan Shearer, 2001). Bagian toraks terdiri atas tiga
segmen yaitu dikenal sebagai pronotum, mesonotum, dan
metanotum (metatoraks). Pada segmen terakhir, metatoraks
berkembang sangat baik untuk menunjang tungkai belakang sebagai
pendorong saat melompat. Di bagian atas mulut pada beberapa jenis
pinjal terdapat sebaris duri kuat berbentuk sisir yang disebut genal
ctenidium, sedangkan di belakangpronotum terdapat sebaris duri
kuat lainnya yang disebut pronotal ctenidium (Levine, 1994). Duri-
duri tersebut berguna untuk mengidentifikasi jenis pinjal (Urquhart,
1996). Pinjal jantan memiliki organ penis berkhitin yang disebut
aedeagus (Wall dan Shearer, 2001). Secara kesuluruhan morfologi
tubuh pinjal terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen.

 Siklus Hidup
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna yang diawali dengan telur,
larva, pupa dan dewasa. Sepanjang hidupnya seekor pinjal betina
dapat menghasilkan telur sebanyak 400-500 butir. Telur berukuran
panjang 0,5 mm, oval dan berwarna keputih-putihan. Perkembangan
telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas
menjadi larva dalam waktu dua hari atau lebih. Kerabang telur akan
dipecahkan oleh semacam duri (spina) yang terdapat pada bagian
kepala larva instar pertama (Soviana dkk., 2003). Larva yang muncul
bentuknya memanjang,langsing seperti ulat, terdiri atas tiga ruas
toraks dan 10 ruas abdomen, yang masing-masing dilengkapi dengan
beberapa bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir
mempunyai dua tonjolan kait yang disebut anal struts, berfungsi
untuk memegang pada substrat atau untuk lokomosi. Larva berwama
kuning krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya. Larva
mempunyai alat mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan
yang bisa berupa darah kering, feses dan bahan organik lain, yang
junlahnya cukup sedikit. Larva dapat ditemukan di celah dan retakan
lantai, di bawah karpet dan tempat-tempat serupa lainnya. Larva ini
mengalami tiga kali pergantian kulit (moulting) sebelum menjadi
pupa. Periode larva berlangsung selama 7-10 hari atau lebih
tergantung suhu dan kelembaban. Larva dewasa (mature)
panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung atau
mengkerut hingga berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi
pupa. (Soviana dkk, 2003). Stadium pupa berlangsung dalam waktu
10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada
suhu yang kurang optimal, dan pada suhu yang rendah bisa
menyebabkan imago (pinjal tetap terbungkus di dalam kokon).
Stadium pupa merupakan tahapan yang tidak aktif makan dan berada
dalam kokon yang tertutupi debris dan debu sekeliling. Stadiumini
sensitif terhadap adanya perubahan konsentrasi karbon dioksida di
lingkungan sekitarnya, juga terhadap getaran/ vibrasi. Adanya
perubahan yang signifikan terhadap kedua faktor ini, menyebabkan
keluarnya pinjal dewasa dari kepompong untuk segera mencari
inangnya. Hudson & Prince (1984) melaporkan pada suhu 26,6 °C
pinjal betina akan muncul dari kokon setelah 5-8 hari,sedangkan
yang jantan setelah 7 - 10 hari. (Soviana dkk, 2003). Panjang waktu
siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu
dan kelembaban saat tahap larva dan pupa (Urquhart et al, 1996).
Levine (1994 ) menyatakan pinjal betina bertelur 3 sampai 18 butir
telur setiap harinya. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang
kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan
muncul setelah 2 sampai 6 hari (Wall dan Shearer, 2001). Larva
pinjal akan memakan sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan k
otoran pinjal dewasa (Levine, 1994). Larva akan mengalami 2
sampai 3 kali pergantian kulit instar menjadi pupa yang terbungkus
kokon setelah 10 sampai 21 hari.

g. Patogenesa Penyakit
Ektoparasit ini menghisap darah inang, sehingga dalam tingkat parah
dapat menyebabkan anemia. Pinjal  juga menyuntikan saliva saat menghisap
darah sehingga mengiritasi inangnya. Reaksi hipersensitif tersebut dikenal
sebagai Flea Alergic Dermatitis yang disebabkan oleh saliva pinjal
(Cheeseman, 2001). Selain gangguan langsung, pinjal  juga berperan dalam
penularan beberapa penyakit berbahaya bagi manusia dan hewan secara
tidak langsung.

Daftar Pustaka
Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitologi. United States of America (US):
Butterworth – Heinemann.

Bowman DD, H endrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical
Parasitology. Ed k-1. Iowa (US): Iowa State Univ Pr.

Cheeseman MT, Bates PA, Crampton JM. 2001. Preliminary characterisation of


esterase and platelet-activating factor (PAF)-acetylhydrolase activities from
cat flea (Ctenocephalides felis) salivary glands. Insect Biochemistry. 31:57-
164.

Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah; Wardiarto,


editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari Parasitologi Veteriner.

Soviana dkk. 2003. Hama Pemukiman Indonesia. IPB Unit Kajian Pengendalian
Hama Pemukiman Indonesia Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary
Parasitology . Ed 2. Scotland (UK): Blackwell scientific.

Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology and


Control. Ed 2. Iowa (US) : Iowa State Univ Pr.

Anda mungkin juga menyukai