Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lalat buah (Drosophila melanogaster)

2.1.1 Taksonomi

Dalam sistematika taksonomi, lalat buah (Drosophila melanogaster) dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (O’Grady & Markow 2009):

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Hexapoda

Class : Insecta

Ordo : Diphtera

Family : Drosophilidae

Genus : Drosophila

Spesies : Drosophila melanogaster

2.1.2 Morfologi

Lalat buah memiliki morfologi yang dimulai dari kepala terdiri dari antena,

kepala dan noda/bercak pada muka (facial spot). Bagian dorsum toraks terdiri

dari dua bagian penting yang disebut dengan terminologi skutum atau

mesonotum (dorsum toraks atas) dan skutelum (dorsum toraks bawah) . Sayap

mempunyai ciri-ciri bentuk pola pembuluh sayap, yaitu costa (pembuluh sayap

sisi anterior), anal (pembuluh sayap sisi posterior), cubitus (pem- buluh sayap

utama), median (pembuluh sayap tengah), radius (pembuluh sayap radius),

pembuluh sayap melintang. Abdomen terdiri dari ruas-ruas (tergites). Dilihat dari

5
sisi dorsum, pada abdomen akan lerlihat batas antar ruas atau bisa dibilang tergit

(Siwi et al., 2006).

Drosophila melanogaster sebagai salah satu jenis dari lalat buah memiliki

sifat dimorfisme yang berarti terdapat perbedaan jenis kelamin. Tubuh lalat

jantan lebih kecil dibandingkan betina, tubuh jantan berukuran ± 3mm sedangkan

betina berukuran ± 5mm dengan tanda-tanda secara makroskopis adanya warna

gelap pada ujung abdomen, pada kaki depannya dilengkapi dengan sisir kelamin

yang terdiri dari gigi hitam mengkilap.

Drosophila melanogaster tergolong serangga, yang umumnya ringan dan

memiliki eksoskeleton atau integumen yang termasuk kuat. Terdapat jaringan

otot dan organ-organ di dalam tubuhnya.

Terdapat beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat

jantan dan betina, yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing,

sedangkan pada jantan agak membulat. Tanda hitam pada ujung abdomen juga

bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis kelamin lalat tanpa bantuan mikroskop.

Ujung abdomen lalat jantan berwarna gelap, sedangkan pada betina tidak.

Jumlah segmen pada lalat jantan hanya 5, sedang pada betina ada 7 (Aini et al.,

2008).

6
Gambar 2.1. Drosophila melanogaster jantan dan betina

(Kusumaningsari et al., 2012)

2.1.3 Daur Hidup

Daur hidup lalat buah termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari telur,

larva, pupa, kemudian imago. Perkembangan drosophila melanogaster dimulai

segera setelah terjadi fertilisasi yang terdiri dari dua proses, yaitu periode

embrionik didalam telur dan postembrionik setelah menetas dari telur. Pada fase

embrionik, lalat akan makan tanpa henti. Sedangakan pada fase paska embrionik

perkembangan lalat dibagi menjadi 3 tahap yang terbagi menjadu larva, pupa,

dan dewasa (Silvia, 2003).

a. Telur

Telur Drosophila berbentuk bulat panjang dan terkadang diletakkan

dipermukaan makanan. Betina bisa mulai bertelur pada 2 hari pertama

saat lalat menjadi dewasa dan meningkat hinnga seminggu samapai

betina meletakkan 50-75 telur perhari dan bisa mencapai 400-500 bah

dalam 10 hari (Silvia, 2003). Bentuk dari telur Drosophila memiliki 2

lapisan, yang terdiri dari selaput vitelin tipis yang mengelilingi sitoplasma

dan khorion pada bagian luarnya. Khorion yang merupakan suatu selaput

yang tipis tapi kuat memiliki bagian luar yang keras (Borror, 1992

;Kusumaningsari et al., 2012).

7
b. Larva

Larva Drosophila berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti cacing,

dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Untuk

pernafasan pada trakea, terdapat sepasang spirakel yang keduanya

berada pada ujung anterior dan posterior. Saat kutikula tidak lunak lagi,

larva muda secara periodik berganti kulit untuk mencapai ukuran dewasa.

Kutikula lama dibuang dan integumen baru diperluas dengan kecepatan

makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit, larva disebut instar.

Instar pertama adalah larva sesudah menetas sampai pergantian kulit

pertama. Dan indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi pada

mulut hitamnya. Sesudah pergantian kulit yang kedua, larva (instar

ketiga) makan hingga siap untuk membentuk pupa. Pada tahap terakhir,

larva instar ketiga merayap ke atas permukaan medium makanan ke

tempat yang kering dan berhenti bergerak. Dan jika dapat diringkas, pada

Drosophila, destruksi sel-sel kutikula larva terjadi pada proses pergantian

kulit (molting) yang berlangsung empat kali dengan tiga stadia instar : dari

larva instar 1 ke instar 2, dari larva instar 2 ke instar 3, dari instar 3 ke

pupa, dan dari pupa ke imago. Selama makan, larva membuat saluran-

saluran di dalam medium, dan jika terdapat banyak saluran maka

pertumbuhan biakan dapat dikatakan berlangsung baik. Larva yang

dewasa biasanya merayap naik pada dinding botol atau pada kertas

tissue dalam botol. Dan disini larva akan melekatkan diri pada tempat

kering dengan cairan seperti lem yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan

kemudian membentuk pupa (kepompong) (Ashburner,1985 ; Silvia,

2003).

c. Pupa

Pada saat larva Drosophila membentuk cangkang pupa, tubuhnya

8
memendek, kutikula menjadi keras dan berpigmen, pada saat tanpa

kepala dan sayap disebut dengan larva instar . Formasi pupa ditandai

dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki. Puparium

(bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada

tahap pupa, larva dalam keadaan tidak aktif dan pada keadaan ini larva

berubah menjadi dewasa (Ashburner,1985; Silvia, 2003).

d. Dewasa

Dewasa pada Drosophila melanogaster dalam satu siklus hidupnya

berusia sekitar 9 hari. Setelah keluar dari pupa, lalat buah warnanya

masih pucat dan sayapnya belum terbentang. Sementara itu, lalat betina

akan kawin setelah berumur 8 jam dan akan menyimpan sperma dalam

jumlah yang sangat banyak dari lalat buah jantan.pada ujung anterior

terdapat mikrofili, tempat spermatozoa masuk kedalam telur. Pada saat

dalam keadaaan banyak sprema yang masuk kedalam mikrofili, akan

tetapi hanya ada satu yang bisa berfertilisasi dengan pronules betina dan

yang lainnya akan segera kembali berabsorpsi dalam perkembangan

jaringan embrio (Borror, 1992; Kusumaningsari et al., 2012).

9
Gambar 2.2. Siklus hidup Drosophila melanogaster

(Kusumaningsari et al., 2012)

2.1.4 Kepentingan Medis

Lalat merupakan serangga yang mudah menyebarkan beragam penyakit

dikarenakan tubuhnya yang mudah ditempeli bakteri, spora, dan telur cacing

pada bagian mulut dan keenam kakinya. Lalat senang sekali hinggap pada

makanan serta mengeluarkan kotoran pada setiap tempat yang dihinggapinya.

Penularan secara mekanis terjadi melalui kulit tubuh dan kaki-kaki lalat yang

kotor dan merupakan tempat menempelnya mikroorganisme yang kemudian

hinggap pada makanan (Maryantuty, 2007). Penyebaran oleh lalat ini juga

melalui tubuhnya yang berbulu halus serta kakinya yang memiliki bulu dan

mengandung cairan semacam perekat, sehingga benda yang kecil mudah

melekat. Bakteri, parasit, maupun virus dapat masuk ke dalam pencernaan

makanan lalat dan dapat tinggal disana selama empat minggu. Bakteri yang

terdigesti dapat ditularkan pada generasi berikutnya dalam hal ini bakteri

tersering yang menyebabkan foodborne disease adalah bakteri Escherichia coli

10
(Kartikasari, 2008). Escherichia coli sebagai penyebab utama haemorrhagicic

colitis dan menjadi salah satu penyakit food borne-human pathogen of animal

origin yang paling penting. Diperkirakan 73.480 orang terserang, 62.458 dirawat

di rumah sakit dan mengakibatkan kematian 61 orang tiap tahun di Amerika

Serikat (Szalanski, 2004).

Berdasarkan yang telah dijelaskan diatas, menurut National Institue of

Diabetes and Digestive and Kidney Disease, penyakit yang ditransmisi oleh lalat

Drosophila melanogaster termasuk dalam foodborne disease yang berarti infeksi

atau iritasi dari saluran gastrointestinal yang disebabkan oleh makanan atau

minuman yang terpapar oleh bakteri, parasit, virus, dan bahan kimia.

2.1.5 Pengendalian Drosophila melanogaster

Upaya pengendalian penyakit menular, tidak terlepas dari usaha

peningkatan kesehatan lingkungan. Banyak metode yang digunakan untuk

pengendalian vector, sesuai yang dilampirkan pada ketentuan Menteri

Kesehatan (2010) yaitu :

a. Metode pengendalian fisik dan mekanis adalah upaya-upaya untuk

mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan

populasi vektor secara fisik dan mekanik

b. Metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik seperti jentik

seperti predator pemakan jentik, bakteri dan lain – lain.

c. Metode pengendalian secara kimia seperti insektisida.

11
2.2 Daun Kenikir (Cosmos caudatus)

2.2.1 Taksonomi

Dalam sistematika taksonomi, daun kenikir (Cosmos caudatus) dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (Sarmoko dan Sulistyorini, 2010)

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivision : Spermatophyta

Division : Angiospermae

Class : Dicotyledonae

Order : Asteerales

Family : Asteraceae

Genus : Cosmos

Species : Cosmos caudatus

2.2.2 Sejarah Daun Kenikir

Kenikir atau ulam raja merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari

Amerika Latin dan Amerika Tengah, tetapi tumbuh liar dan mudah didapati di

Florida, Amerika Serikat serta di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara

lainnya. Spesies ini dibawa ke Asia Tenggara melalui FIllipina oleh Spanyol.

Kenikir adalah anggota dari Asteraceae. Tumbuhan kenikir yang berwarna

kuning jarang digunakan sebagai ulam, yang bunganya berwarna ungu

merupakan sayuran salad yang sangat populer dimakan mentah bersama nasi

atau dicacah dengan budu, sambal, tempoyak, serta cincalok. Spesies ini disebut

ulam raja di Malaysia yang berarti salad raja (Sastrapradja et al., 1981; Bodeker,

2009).

12
2.2.3 Morfologi Daun Kenikir

Perdu dengan tinggi 75-100 cm dan berbau khas. Batang tegak, segi

empat, beralur membujur, bercabang banyak, beruas berwarna hijau keunguan.

Daunnya majemuk, bersilang berhadapan, berbagi menyirip, ujung runcing, tepi

rata, panjang 15-25 cm, berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk bongkol, di

ujung batang, tangkai panjang ± 25 cm, mahkota terdiri dari 8 daun mahkota,

panjang ± 1 cm, merah, benang sari bentuk tabung, kepala sari coklat kehitaman,

putik berambut, hijau kekuningan, merah. Buahnya keras, bentuk jarum, ujung

berambut, masih muda berwarna hijau setelah tua coklat. Biji keras, kecil, bentuk

jarum, panjang ± 1 cm, berwarna hitam. Akar tunggang dan berwarna putih.

(Sarmoko dan Sulistyorini, 2010)

Gambar 2.3 Tanaman daun kenikir (Cosmos caudatus)

(Sarmoko, 2010)

2.2.4 Habitat

Tersebar di Amerika Tengah yang suhunya panas. Ia menyukai iklim

panas yang tak begitu lembab, tanah yang berpasir dan subur, tanah terbuka dan

13
penyinaran matahari yang penuh. Di Indonesia, kenikir banyak ditanam di Jawa

dan dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 1200 mdpl. Biasanya

ditanam di sekitar rumah sebagai tanaman hias (Sastrapradja, et al., 1981).

2.2.5 Zat Aktif

Daun kenikir (Cosmos caudatus) mengandung saponin, flavonoid

polifenol, tanin, dan minyak atsiri. Akarnya mengandung hidroksieugenol dan

koniferil alkohol. Selain itu, daun kenikir (Cosmos caudatus) juga memiliki

kandungan alkaloid dan kuinon (Fuzzati et al., 1995; Safita, 2015). Flavonoid

merupakan persenyawaan glucoside yang terdiri dari gula yang terikat dengan

flavon. Flavonoid ini memiliki sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam,

sebagian besar merupakan pigmen warna kuning, dapat larut dalam air dan

pelarut organik, serta mudah terurai pada temperatur tinggi. Flavonoid dapat

bersifat sebagai insektisida yang berperan sebagai racun pernapasan (Chilwan,

2007). Kandungan penting lainnya yang ada pada daun kenikir (Cosmos

caudatus) adalah tanin. Tanin merupakan senyawa turunan fenoli. Tanin

diproduksi oleh tanaman berfungsi sebagai substansi pelindung di dalam jaringan

maupun di luar jaringan (Sukorini, 2000). Senyawa tanin berperan sebagai

pertahanan tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga

dalam mencerna makanan. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna

makanan karena tanin akan mengikat protein (enzim) dalam sistem pencernaan

yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan

protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu. Selain itu, tanin memiliki

rasa pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan

pada hewan uji. Kemungkinan rasa yang pahit tersebut menyebabkan hewan uji

14
tidak mau makan sehingga hewan uji akan kelaparan dan akhirnya mati.

(Javandira et al., 2016)

2.2.6 Manfaat

Daun kenikir terkenal sebagai antioksidan. Penelitian menunjukkan daun

kenikir mengandung senyawa yang memiliki daya antioksidan cukup tinggi

dengan IC50 sebesar 70 mg/L (Lotulung et al., 2001). Senyawa yang bersifat

antioksidan dapat memacu proses apoptosis melalui jalur intrinsik (jalur

mitokondria). Pemacuan apoptosis merupakan salah satu cara penghambatan

karsinogenesis. Leong et al. (2015) menyebutkan bahwa ekstrak metanolik daun

kenikir mengandung flavonoid dan glikosida kuersetin. Senyawa flavonoid

diketahui mampu menginduksi terjadinya apoptosis melalui penghambatan

aktivitas DNA topoisomerase I/II, modulasi signalling pathways, penurunan

ekspresi gen Bcl-2 dan Bcl-XL, peningkatan ekspresi gen Bax dan Bak, serta

aktivasi endonuklease (Ren, et al., 2003). Quercetin memiliki kemampuan

menginduksi apoptosis sel kanker kolon Caco-2 dan HT-29 serta sel kanker

leukemia HL-60 dengan cara menstimulasi pelepasan sitokrom c dari mitokondria

(Taraphdar, 2001). Selain itu daun kenikir juga bermanfaat sebagai sayuran yang

bisa dimakan setiap harinya (Sarmoko dan Sulistyorini, 2010).

2.2.7 Penyimpanan

Penyimpanan sebaiknya dilakukan pada suhu 4°C atau disimpan pada

lemari es. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyimpanan yaitu

faktor eksternal (eksogen) dan faktor internal (endogen). Faktor

eksternal/eksogen yaitu suhu luar yang tidak stabil dan cahaya yang diterima dari

matahari. Sementara faktor internal/endogen yaitu reaksi yang terjadi antar

15
senyawa di dalam ekstrak, penguapan, dan perubahan struktur kimia yang bisa

saja terjadi. Penyimpanan pada suhu dingin (dalam lemari pendingin) tetap

mempengaruhi penurunan daya insektisida sekalipun tidak sebesar bila disimpan

di suhu kamar (Putra dkk., 2005). Perubahan-perubahan sifat fisikokimiawi pada

zat aktif tersebut akan berpengaruh terhadap biosintesa dan potensinya sebagai

insektisida (Young and Anne, 2002).

2.3 Insektisida

Insktisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh

serangga dan penggunaannya dalam bentuk tepung, cairan, cairan yang dibuat

menjadi partikel maupun aerosol. Insektisida dapat dibedakan menjadi golongan

organik dan anorganik. Insektisida organik umumnya bersifat alami, yaitu

diperoleh dari makhluk hidup (Anggrek, 2008). Sejak penemuan insektisida

organik pada tahun 1940an, insektisida merupakan cara utama untuk mengontrol

nyamuk (Salmah, 2005).

2.3.1 Klasifikasi

Insektisida dapat diklasifikasikan berdasarkan cara masuknya insektisida

ke dalam tubuh serangga (Widarto, 2009):

a. Racun Lambung (Racun Perut)

Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh

serangga sasaran dengan masuk ke pencernaan melalui makanan

yang mereka makan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan

serangga dan diserap oleh dinding usus kemudian didistribusikan ke

tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif

insektisida. Tempat distribusi insektisida antara lain adalah pusat

saraf serangga, organ respirasi, sebagian sel-sel lambung. Serangga

16
harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida yang

mengandung residu dalam jumlah yang cukup.

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh

serangga melalui kulit. Serangga akan mati apabila bersinggungan

langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun

kontak juga berperan sebagai racun perut.

c. Racun Pernafasan

Racun pernafasan adalah insektisida yang masuk melalui trachea

serangga dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara.

Serangga akan mati apabila menghirup partikel mikro insektisida

dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun pernafasan berupa

gas, asap, maupun uap dari insektisida cair.

2.3.2 Resistensi Insektisida

Insektisida yang digunakan dengan sembarangan selain dapat

menimbulkan efek samping, serta dapat menimbulkan resistensi. Resistensi

merupakan hasil adaptasi dari serangga tersebut terhadap paparan insektisida,

agar dapat bertahan dari pengaruh insektisida yang biasanya mematikan.

Penyebab tersering resistensi adalah pemberian dosis yang subletal sehingga

sebagian serangga dapat menyesuaikan diri. Penyesuaian diri inilah yang

akhirnya menurun ke generasi selanjutnya (Hadi, 2002). Ketahanan serangga

terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari

satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang

cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada pula yang lambat.

Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi

menjadi tiga cara, yaitu (Untung, 2007):

17
a. Peningkatan detoksifikasi insektisida karena bekerjanya

enzim-enzim tertentu seperti enzim dihidroklorinase (terhadap

DDT), enzim microsomal oxidase (terhadap carbamat,

organofosfat, dan piretroid), glutation transferase (terhadap

organofosfat), hydrolase, dan esterase (terhadap

organofosfat).

b. Penurunan kepekaan tempat insektisida pada tubuh serangga

seperti asetilkolin esterase (terhadap organofosfat dan

karbamat), sistem saraf seperti terhadap DDT dan piretroid.

c. Penurunan laju eliminasi insektisida melalui kulit atau

intergumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap

kebanyakan insektisida.

18

Anda mungkin juga menyukai