Anda di halaman 1dari 4

”orang dapat mengatakan: semua manusia

adalah intelektual, tetapi tidak semua orang


dalam masyarakat, memiliki fungsi intelektual”
Antonio Gramsci, The Prison Notebook, 1926

Kebebasan Berbeda Pendapat dan Kebiasaan mendengar pendapat yang berbeda,


Bahan penyampaian Dr. Ibnu Sina Chandranegara dalam “Webinar Menyoal Kebebasan
Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19”
diselenggarakan KJI dan MAHUTAMA, 1 Juni 2020
Antara Human Rights dan State Sovereignty
• Dikotomi antara keduanya emang tidak pernah selesai, bahkan
tercermin di Pasal 28J UUD 1945
• Persoalan dalam konsep realitas adalah diantara keduanya, kekuasaan
(power) memiliki kekuatan (strength) dan paksaan (force) lebih
dahulu dibandingkan human rights itu sendiri. (Hannah Arendt,
human condition)
• Buktinya, beberapa negara cenderung mengabaikan HAM dan
cenderung otoritarian-oportunistik dalam pandemi Covid-19, (Brazil,
USA, Filipina, Russia, Hungaria, Indonesia, dll
Pelarangan

Penambahan
Screening Materi muatan
Rumus ideologis
Intervensi
Politik dalam
Kebebasan
Akademik

Diskriminasi penyeragaman
Kebebasan Berbeda Pendapat dan kebiasaan
mendengar pendapat yang berbeda
• Konstitusi adalah resultante pada masanya (KC. WHEARE), resultante
yang dimaksud ide, gagasan yang diterima, dan “suasana” politik tapi
belum tentu meresap dalam hal bernegara. (merubah rule of the
game tetapi tidak merubah how to play the game) (contoh persoalan
isu pemakzulan pada masa pandemi di webinar ini)
• Terdapat dua postulat: pertama, jangan-jangan Indonesia sebenarnya
masih belum pernah mengalami masa-masa transisi sejak
kolonialisme, dan kedua, transisi pemerintahan memang terjadi
hingga saat ini, tetapi bukan transisi otoriter ke demokrasi, transisi
yang terjadi dari bentuk otoriter satu ke bentuk otoriter lainnya.

Anda mungkin juga menyukai