Anda di halaman 1dari 15

TRANSPORTASI DAN PERKEMBANGAN KOTA

(PEKERJAAN RUMAH)

Disusun Oleh :

Nama : Nurqalby Wahid

Kelas : Sipil A

Nim : 218190015

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

2019
PETA DKI JAKARTA
PEMBAHASAN
PERMASALAHAAN TRANSPORTASI

DI KOTA DKI JAKARTA

1.1  Permasalahan Sistem Transportasi DKI Jakarta Saat Ini


Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun
1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi
ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena
solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan
pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan
tidak kontinu. Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan
merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang
bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami
mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada
jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan
harapan terbesar masyarakat ibu kota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk
mendukung kegiatan sosial ekonominya.
Kemacetan digambarkan secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan
tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang
biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan
lalu lintas di pusat-pusat perkotaan. Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di
Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi
demand (kebutuhan). ). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada
Gambar 4.1 berikut
Gambar 4.1 Kemacetan pada aglomerasi Jakarta ditinjau dari sisi supplay dan deman

Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut (box warna kuning) berada


dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan
Umum, yang meliputi peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di
Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan
kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara
jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada
jam-jam puncak. Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan
simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan
keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Departemen PU harus menutup
setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh
pembebanan berlebihan (over loading), serta kualitas rencana tata ruang yang
belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah
(ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan
ruang menjadi tidak efektif.

1.2 Jaringan Jalan yang Tidak Memadai


Jaringan jalan merupakan rangkaian ruas-ruas jalan yang dihubungkan dengan
simpul-simpul.Simpul-simpul merepresentasikan pertemuan antar ruas-ruas jalan
yang ada.Jaringan jalan mempunyai peranan penting dalam pengembangan
wilayah dan melayani aktifitas kawasan.Masih banyak ditemukan jalan dengan
kualitas geometrik yang tidak memenuhi persyaratan, keadaan ini mendorong
tingginya angka kecelakaan serta berbagai permasalahan lainnya. Permasalahan
yang terkait geometik antara lain meliputi:

1.  Jaringan jalan untuk kendaraan


Jaringan jalan terutama di kawasan perkotaan yang tidak memiliki konsep
jaringan yang memadai yang mengakibatkan pilihan rute menuju suatu kawasan
terbatas sehingga beban jalan-jalan tertentu menjadi sedemikian padatnya. Hal ini
diperparah dengan jumlah kendaraan yang sangat tinggi, sebagai contoh panjang
jalan untuk setiap kendaraan di Jakarta hanya mencapai 1,17 m, sehingga apabila
kendaraan disusun tidak akan mencukupi panjang jalan yang ada DKI Jakarta, dan
kalau menggunakan kriteria lainnya yaitu panjang jalan per kapita hanya 0,88 m,
angka yang kecil kalau dibandingkan dengan kota-kota lain didunia (kota-kota di
Eropa berkisar 2,5 m/kapita dan kota-kota Amerika Utara berkisar 5 m/kapita).
Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek.
Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan
total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di
antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan
Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit,
Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan
pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan
lainnya.

2. Jaringan jalan bagi pejalan kaki


Fasilitas pejalan kaki umumnya tidak mendapat perhatian yang cukup oleh
pemerintah daerah, dan kalaupun fasilitas pejalan kaki tersedia tidak didukung
dengan standar desain yang baik sehingga tidak bisa digunakan oleh pngguna yang
berkebutuhan khusus baik yang menggunakan kursi roda maupun penderita yang
buta. Keadaan ini diperparah lagi oleh pedagang kaki lima yang berjualan di
trotoar ataupun digunakan untuk kendaraan parkir. Permasalahan lain yang terkait
dengan pejalan kaki adalah kurangnya fasilitas penyeberangan yang dikendalikan
didaerah pusat kota, ataupun ketidak patuhan pemakai kendaraan bermotor untuk
tidak memberikan perioritas terhadap pejalan kaki.

3. Tata Ruang yang tidak terkendali


Permasalahan lainnya yang besar adalah tata ruang yang tidak terkendali
sehingga mengakibatkan berbagai permasalahan, diantaranya jalan yang tidak
teratur terutama dikawasan pemukiman dan terkadang didaerah yang kumuh gang-
gang yang ada sedemikian sempitnya sehingga bila terjadi kebakaran sulit untuk
dimasuki mobil pemadam kebakaran.
                                                                                             
1.3 Pertumbuhan Kendaraan yang Sangat Tinggi
Jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas jalan sering dijadikan
kambing hitam penyebab kemacetan di Jakarta.Seperti pada Gambar 4.2 berikut
terlihat kemacetan di Jakarta sudah luar biasa parahnya.

Gambar. 4.2 Kendaraan yang memadati ruas jalan Jakarta


Berbagai cara pun dilakukan pemerintah dalam upaya mengurangi kepadatan
volume kendaraan. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan dari sejumlah
solusi yang telah diterapkan.Penyebabnya adalah jumlah kendaraan yang
dipasarkan di Jakarta tidak bisa dibendung.Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas
(Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta memang
mengalami peningkatan sebanyak 11% dibandingkan tahun 2011.Di kuartal I tahun
2011, mobil yang terjual di Jakarta mencapai 225.739 unit.Sedangkan untuk tahun
2012, di kuartal pertama sudah mencapai 249.589 unit.Dengan jumlah penjualan
yang meningkat tersebut, otomatis kendaraan-kendaraan baru itu semakin
membanjiri dan memperparah kemacetan Jakarta.
Sejak Januari sampai April 2012 ini, kendaraan yang membebani jalanan
Jakarta sudah mencapai 13.346.802. Dengan perincian, motor 9.861.451 unit,
mobil 2.541.351 unit, mobil beban 581.290 unit, dan bus 363.710 unit. Secara
keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak
menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China.Di tahun 2011,
jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan
rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit.
Pertumbuhan pemilikan kendaraan pribadi yang sangat tinggi antara 8 sampai
13 persen setahun yang pada gilirannya digunakan di jalan sehingga beban jaringan
jalan menjadi semakin berat. Angka pemilikan kendaraan yang tinggi ini akan
mengakibatkan permasalahan parkir yang cukup serius dengan seringnya
melakukan pelanggaran parkir.

1.4 Tidak Memadainya Pelayanan Angkutan Umum


Amburadulnya pelayanan angkutan umum menjadi salah satu penyebab
kemacetan Jakarta. Kondisi kendaraan yang tidak laik jalan seperti yang terlihat
pada Gambar 4.3  berdampak pada berkurangnya minat masyarakat untuk
menggunakan angkutan umum.

Gambar 4.3 Kondisi angkutan umum

Ketika akan naik angkutan, penumpang harus berlari dan berpeluh keringat. Saat
sudah naik pun harus bermandi keringat di antara para penumpang yang penuh
sesak.Tak jarang penumpang harus bergantungan di pintu kendaraan, yang sangat
berisiko terhadap keselamatan jiwa. Mereka yang diburu oleh waktu mau tidak
mau harus berlari mengejar angkutan umum yang tak jarang menyambut mereka
dengan asap knalpot yang langsung menghantam wajah.
Selain harus berlari dan berdesak-desakan untuk bisa berangkat ke tempat
tujuan, ketidaknyamanan lain yang harus dirasakan penumpang angkutan umum
adalah persoalan kondisi fisik angkutan yang sangat tidak layak. Mulai dari bodi
kendaraan yang berkarat dan keropos, atap kendaraan yang berlubang, kaca jendela
yang tidak lengkap, dan ban kendaraan yang tipis.Kondisi fisik kendaraan seperti
itu salah satunya dapat terlihat hampir di setiap jalan di Kota Jakarta.Salah satunya
terlihat di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur.Kondisi serupa pun terjadi
pada angkutan umum berjenis minibus, seperti Kopaja dan Metromini.Selain bodi
yang penuh tambalan, beberapa kaca jendela tampak tidak terpasang.Belum lagi
coretan pada bagian dinding dan atap yang mengganggu kenyamanan. Ban
cadangan berukuran besar yang diletakkan di bagian belakang pun sedikit
menggangu penumpang yang duduk di bangku belakang.
Dari data yang diperoleh, di Jakarta saat ini terdapat sedikitnya 22.776
angkutan umum jenis bus besar, sedang dan bus kecil dinilai telah berusia uzur.
Bahkan 16.460 bus diantaranya telah reyot.Jumlah tersebut merupakan hasil
kalkulasi yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI dan Organda DKI.
Melihat kenyataan ini tidaklah heran jika upaya Pemprov DKI untuk
mengubah pola masyarakat untuk beralih ke angkutan umum dapat terbilang sia-
sia.Karena tidak didukung dengan sarana yang memadai. Kepulan asap knalpot,
dan bodi kendaraan yang berkarat menjadi ciri khas angkutan kota di Jakarta.
Kondisi ini diperparah dengan perilaku pengemudi yang ugal-ugalan.
Angkutan umum yang tidak memadai mendorong masyarakat untuk
menggunakan kendaraan pribadi. Permasalahan pelayanan angkutan umum yang
dihadapi pemerintah daerah adalah:
       Pada trayek-trayek tertentu jumlah bus yang melayani angkutan tidak
mencukupi, khususnya pada saat permintaan puncak, tapi pada trayek lainnya
terkadang sangat melebihi kebutuhan sehingga pada gilirannya untuk
mempertahankan operasi operator menterlantarkan kualitas pelayanan.
       Ukuran kendaraan tidak sesuai dengan permintaan yang ada, di banyak kota
pelayanan angkutan pada koridor utama dengan permintaan yang tinggi dilayani
dengan angkutan umum ukuran kecil/angkot yang kapasitas angkutnya hanya pada
kisaran 10 orang.
       Kualitas angkutan yang sangat tidak memadai
       Jadwal yang tidak teratur
       Fasilitis perhentian yang tidak memadai, atap bocor, tidak dilengkapi dengan
informasi jaringan angkutan umum yang melewati perhentian tersebut, tidak
dilengkapi dengan jadwal.

2.1  Keterkaitan Sistem Transportasi Makro terhadap Permasalahan


Transportasi DKI Jakarta
Permasalahan transportasi terjadi sebagai interaksi antara bagian-bagian sistem
transportasi makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem
pergerakan lalu lintas serta sistem kelembagaan.Sistem transportasi makro yang
terdiri atas beberapa sistem transportasi mikro ini saling terkait dan saling
mempengaruhi.seperti terlihat pada Gambar 4.5 berikut.
Gambar 4.5 Sistem transportasi makro

Pergerakan lalu lintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan yang
tidak bisa dipenuhi pada suatu tempat sehingga membutuhkan pergerakan ke
tempat lain. Setiap tata guna lahan atau sistem kegiatan mempunyai jenis kegiatan
tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan
dalam proses pemenuhan kebutuhan. Pola kegiatan tata guna lahan terdiri dari
sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada pola kegiatan
ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh orang dapat dibedakan dalam
dua macam kegiatan pokok, yaitu:
a.       Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian (daily activity), dan dibagi
dalam kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity)
b.      Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity). Dalam
pergerakan perjalanan dari asal (origin) ke tujuan (destination) terdapat aliran
barang (flow of goods) dan aliran jasa (flow of services). Aliran barang umumnya
mencakup wilayah (regional), sedangkan aliran jasa lebih banyak berlangsung di
dalam kota.
Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat
pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari.
Pergerakan yang berupa pergerakan manusia atau barang membutuhkan moda
transportasi (sarana) dan media transportasi (prasarana) tempat moda transportasi
tersebut bergerak. Prasarana transportasi yang dibutuhkan merupakan sistem
jaringan yang meliputi sistem jaringan jalan, kereta api, terminal bus, bandara dan
pelabuhan laut. Sistem Sarana dan Prasarana ini berkaitan dengan pola
jaringan (nertwork system) yang terbagi dalam:
   pola konsentrik (menuju ke satu titik)
  pola radial (menyebar)
   pola linier (contoh: Ribbon Development)
   pola grid/kotak (grid iron)
Perkembangan sub sistem ini bisa cepat, sedang, lambat, atau stagnan (tetap, tidak
berubah), tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of growth) dan tingkat
pengembangan (level of development) dari daerah yang bersangkutan (antara lain
kawasan tertinggal, kawasan yang cepat bertumbuh, dan sebagainya).
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan pergerakan
manusia atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan atau pejalan
kaki.  Sistem Pergerakan terbagi dalam skala nasional, regional dan lokal.Pada
skala nasional diatur dalam kebijakan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional)
dengan Rencana Induk Perhubungan sebagai masterplan.Di dalam Sistranas
sebagai kebijakan umum, terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.Pada
skala regional diatur dalam Sistem dan Strategi Transportasi Regional, dan
Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan.Selanjutnya skala lokal diatur menurut
Sistem dan Strategi Transportasi Perkotaan (Urban Transportation Policy).
Sasaran Sub Sistem Pergerakan adalah
cepat (fast), murah (cheap), aman/selamat (safe), nyaman (comfort), lancar,
handal (reliable), tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien), terpadu (integrated),
menyeluruh (holistic), menerus (continue), berkelanjutan (sustainable), dan
berkesinambungan, sedangkan proses dari Sub Sistem Pergerakan dapat
dikategorikan dalam sangat pesat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini melahirkan
angkutan-angkutan perintis).
Dalam usaha untuk menjamin terwujudnya sistem pergerakan yang aman,
nyaman, lancar, murah, handal, dan sesuai dengan lingkunganya maka dalam
sistem transportasi makro terdapat sistem transportasi mikro terdapat sistem
tambahan yang disebut sistem kelembagaan yang meliputi individu, kelempok,
lembaga dan instansi pemerintah serta swasta yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dalam setiap sistem mikro tersebut. Di DKI Jakarta, sistem
kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi secara umum sebagai
berikut :
  Sistem kegiatan yaitu Badan perencanaan dan pembangunan nasional (Bappenas),
Bappeda tingkat I dan II, Pemerintah daerah
  Sistem jaringan yaitu Depatemen Perhubungan (darat, laut dan udara), Bina marga.
  Sistem pergerakan yaitu Dinas lalu lintas dan angkutan jalan (DLLAJ), Organisasi
Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), Polisi lalu lintas serta
masyarakat
Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui
peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum
yang baik.Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, swasta dan
masyarakat berperan dalam mengatasi masalah sistem transportasi ini, terutama
masalah kemacetan.
Perkembangan kota Jakarta cenderung mekar ke segala arah. Ada
ketidakcocokan geografis antara lokasi rumah tinggal dan lokasi kerja. Rumah
tinggal yang terjangkau semakin jauh dari pusat-pusat kegiatan di kota sehingga
penduduk dihadapkan pada perjalanan kerja yang cukup panjang. Jumlah
perjalanan di Jabodetabek saat ini mendekati 30 juta perjalanan per hari. Dengan
jumlah perjalanan sedemikian besar, kecepatan kendaraan rata-rata di Jabodetabek
hanya sekitar 34,5 km per jam. Setiap hari lebih daripada 600.000 kendaraan dari
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) berjalan ke pusat kota Jakarta
dengan pola perjalanan yang konsentrik radial atau menuju ke tengah kota. Bila
dibandingkan dengan data tahun 1985, peningkatan jumlah perjalanan dari
Bodetabek ke Jakarta ini naik sekitar 10 kali lipat pada tahun 2012. Di lain pihak,
jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai sekitar 5 juta dengan
pertumbuhan sekitar 1.035 motor dan 269 mobil per bulan.
Dengan kecenderungan saat ini, apabila angkutan umum tidak dibenahi, akan
semakin banyak penduduk melakukan perjalanannya dengan kendaraan pribadi,
baik mobil ataupun sepeda motor. Kondisi Jakarta ini akan menuju macet total
paling lama 10 tahun mendatang, suatu kondisi di mana sistem transportasi yang
ada sudah tidak mampu lagi untuk mengalirkan lalulintas. Contoh situasi ini kita
hadapi apabila Jakarta mengalami hujan lebat dan terjadi macet di mana-mana
dengan sistem yang mengunci antara satu perempatan dan perempatan lainnya.
Dengan posisi saling mengunci, lalulintas akan sulit bergerak dan semua kendaraan
akan berhenti total.

2.2 Solusi Permasalahan Transportasi DKI Jakarta


Penanggulangan kemacetan di DKI Jakarta tidak dapat dilaksanakan dengan
menerapkan kebijakan-kebijakan yang hanya bertumpu pada memperbesar panjang
jalan semata. Penelitian Anthony Downs (1994) dan kompilasi dari berbagai studi
yang dilakukan oleh Profesor Mark Hansen (2000) dari Universitas Kalifornia
Berkeley, memperlihatkan bahwa penambahan jalan baru di tengah kota justru
berpotensi membangkitkan lalu lintas yang lebih besar dan mengakibatkan
kemacetan. Kunci mengurai kemacetan adalah menerapkan konsep aksesibilitas
yaitu memberikan akses ke tujuan yang diinginkan, sedapat mungkin dengan
meminimalkan perjalanan yang harus dilakukan.Inti dari konsep aksesibilitas
adalah, pertama, mengurangi perjalanan yang tidak perlu dengan mendekatkan
lokasi tempat bekerja, permukiman, belanja, atau rekreasi.Kedua, sedapat mungkin
perjalanan itu dilakukan dengan angkutan umum guna mengurangi jumlah
kendaraan di jalan raya.
Profesor Robert Cervero, dalam bukunya The Transit Metropolis,
memperlihatkan bahwa kota-kota yang berkembang dengan baik umumnya
berangkat dari pengembangan tata kota yang terintegrasi dengan sistem
transportasi. Pengembangan kota akan mengikuti arah jalur-jalur dari sistem
angkutan umum massal yang dibangun. Pola pembangunan kota berbasis
transportasi yang disebut dengan Transit Oriented Development (TOD) ini, terjadi
antara lain di kota-kota Stockholm, Kopenhagen, Tokyo, dan Curitiba. TOD dapat
dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning, seperti Intelligent
Urbanism atau Smart Growth, yang menekankan pentingnya untuk
mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan. Konsep TOD sendiri
menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan
terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail, residensial
dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan perkotaan
0,4 sampai 0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya sirkulasi
pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih diutamakan didalam
kota dengan menyediakan sarana-sarana perhentian sementara (transit).
DKI Jakarta memang sangat terlambat dalam menata sistem angkutan umum
massalnya.Sebelumnya, barometer kemacetan di Asia Tenggara adalah Bangkok
dan Manila. Sekarang ini, kedua kota tersebut telah memiliki sistem angkutan
umum massal seperti subway dan light rail train, yang secara konsisten terus
dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan lalu lintas. Belajar dari
pengalaman kedua kota ini, sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk membenahi
transportasi perkotaan di DKI Jakarta. Contoh lainnya yaitu kota Bogota di
Kolombia yang begitu ruwetnya, masih dapat dibenahi dan kini memiliki salah
satu sistem transportasi rujukan yang berkelas di dunia. Untuk itu harus ada
langkah awal dan langkah-langkah yang konsisten dalam memperbaiki sistem
transportasi DKI Jakarta.Langkah ini membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi
masyarakat yang sangat kuat.
DKI Jakarta sebenarnya telah begitu banyak melakukan studi tentang
transportasi.Dokumen terakhir yang sering diacu adalah Pola Transportasi Makro
Jakarta dan juga Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) Jabodetabek.
Pada akhirnya, suatu perencanaan hanya akan bermakna kalau bisa kita
implementasikan. Ini berarti rencana pembenahan angkutan umum di DKI juga
pada akhirnya akan menyentuh aspek institusi di mana regulator, penyedia jasa,
dan para konsumen akan terlibat. Kota Jakarta tidak dapat sendirian karena pola
pergerakan transportasi Jakarta sebagian besar justru berasal dan bermuara di
Bodetabek.Pengalaman SITRAMP JABODETABEK memperlihatkan bahwa
masterplan transportasi regional tidak bisa diimplementasikan karena tidak adanya
komitmen dari masing-masing pemerintah daerah untuk melaksanakan sistem
transportasi regional.Satu perjalanan di Jabodetabek tidak bisa dibatasi dengan
batas-batas administratif.Untuk itu, harus ada kesepakatan bersama dari semua
pemerintah daerah, dan setiap pemerintah daerah yang terlibat perlu melepaskan
ego masing-masing, agar dapat mewujudkan satu sistem transportasi regional yang
efisien.

2.3 Kebijakan Pola Transportasi Makro DKI Jakarta


Dalam rangka mengatasi permasalahan transportasi, oleh Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sudah diantisipasi dengan penetapan Pola Transportasi Makro melalui
Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2007, seperti terlihat
pada Gambar 4.6 berikut.
Gambar 4.6 Strategi pola transportasi makro DKI Jakarta

Dalam Surat keputusan tersebut ditegaskan bahwa arah pengembangan sistem


transportasi pada Propinsi DKI Jakarta adalah :
1.      Meningkatkan aksesibilitas di seluruh wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dan sekitarnya dan menata ulang moda transportasi secara terpadu.
2.      Memasyarakatkan sistem angkutan umum massal.
3.      Menggalakkan penggunaan angkutan umum dan kereta api.
4.      Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan.
5.      Menambah jaringan Jalan Primer, Bus Rapit Transit (BRT)/Bus Priority, Light
Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT)
6.      Meningkatkan jaringan jalan non tol dan membangun jalan baru.

Langkah yang akan diambil oleh pemerintah tersebut merupakan suatu solusi
nyata untuk mengatasi permasalahan transportasi kota. Pola ini memungkinkan
terjadi interkoneksi antara transportasi darat, laut, dan udara. Pola transportasi
makro (PTM) akan mengintegrasikan empat sistem transportasi umum, yaitu:
1. Bus Rapit Transit (antara lain bus way), 2. Light Rail Transit, 3. Mass Rapid
Transit:, dan 4. ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan).Pola
Transportasi Makro (PTM) ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan
penyediaan jasa transportasi yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan
efisien.Sesuai dengan konsep Megapolitan Jakarta, pola transportasi makro ini
harus terkoneksi antara Jakarta dengan kota-kota penyangga di sekitar
Jakarta.Koneksitas moda transportasi ini harus merupakan sistem yang tertata rapi.
Dengan sistem yang tertata rapi, maka nanti akan muncul fenomena baru, yaitu
kecenderungan untuk menggunakan transportasi publik.
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari hasil analisis dan pembahasan diatas, maka dapat diperoleh suatu
simpulan sebagai berikut:
1.      Jakarta adalah sebuah kota dengan penduduknya yang terdiri dari berbagai
sektor dengan jumlah yang padat. Untuk melayani semua kegiatan, Jakarta harus
memiliki sistem kualitas transportasi yang dapat melayani seluruh penduduk
Jakarta.Permasalahan sistem transportasi Jakarta saat ini terletak pada besarnya
volume kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas ruas jalan.Selain itu,
jaringan jalan yang tidak memadai, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi,
tidak memadainya pelayanan angkutan umum, pelanggaran ketentuan lalu lintas
serta kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat.
2.      Permasalahan sistem transportasi Jakarta tidak hanya terletak pada sarana dan
prasarana transportasi, tetapi merupakan interaksi antara bagian-bagian sistem
transportasi makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem
pergerakan lalu lintas, serta sistem kelembagaan.yang saling mempengaruhi. Setiap
sistem kegiatan akan menimbulkan pergerakan dan membutuhkan sistem jaringan
sebagai sarana serta prasarannya apabila tidak dilakukan pengaturan dengan baik
akan menimbulkan permasalahan lalu lintas. Dalam usaha untuk menjamin
terwujudnya sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, handal, dan
sesuai dengan lingkunganya maka diperlukan peranan sistem kelembagaan.
3.      Dalam pembenahan sistem transportasi diperlukan penerapan pola transportasi
makro, antara lain dengan pengembangan angkutan umum massal, pembatasan lalu
lintas serta peningkatan kapasitas jaringan. Prinsipnya adalah meningkatkan
aksesibilitas, memasyarakatkan angkutan umum massal serta mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi.Dengan demikian jelas diperlukan adanya
kebijakan pemerintah untuk membenahi sistem transportasi DKI Jakarta.Kebijakan
ini lebih dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan angkutan umum yang layak
dan dikelola dengan baik.Pengembanagan busway Transjakarta merupakan solusi
sarana angkutan umum yang telah dilakukan.Serta saat ini telah dilakukan
perencanaan dan pembangunan monorel serta subway sebagai solusi pembenahan
angkutan massal DKI Jakarta.
4.      Permasalahan transportasi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan
udara yang berupa polusi asap kendaraan, terhadap lingkungan air melalui air
buangan dari jalan raya, dampak kebisisngan suara yang ditimbulkan oleh suara
mesin kendaraan, dampak bagi kesehatan manusia serta dampak kemacetan
terhadap nilai waktu yang mencapai 8,3 triliun per tahun.

Anda mungkin juga menyukai