Anda di halaman 1dari 16

1. Dr.(HC) Ir.

Soekarno (ER, EYD:Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo)


(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada
umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–
1966. Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang
pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
dan ia sendiri yang menamainya.

Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial,


yang isinya—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan
negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto
untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya
yang duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967,
Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS
pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia.
2. Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang
Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun). lebih dikenal dengan sapaan
akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena
peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah
Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945
yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sutomo dilahirkan di Kampung
Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang
kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan,
sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku
mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro
yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan
Madura.dan batak Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke
Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
3. Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16
Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52
tahun) bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pahlawan nasional
sekarang lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, lahir Kabupaten Ponorogo,
Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Ia merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi 
yaitu Sarekat Islam (SI). Ia kemudian meninggal pada umur 52 tahun yaitu tanggal 17
Desember 1934 di Yogyakarta. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari
ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu.
Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" bernama Tjokroaminoto
adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-
pemimpin besar di indonesia, berangkat dari pemikiran ialah yang melahirkan berbagai
macam ideologi bangsa indonesia pada saat itu, rumah ia sempat dijadikan rumah kost
para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso,
Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya, ia adalah orang
yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda, setelah ia meninggal lahirlah
warna-warni pergerakan indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum
sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin, Soekarno yang nasionalis, dan
Kartosuwiryo yang islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya
itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat
itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga
terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai komunis Indonesia karena
memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso dan dengan terpaksa
presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang
mengakibatkan "abang" sapaan akrab Soekarno kepada Muso pemimpin Partai komunis
pada saat itu tertembak mati 31 Oktober, dan dilanjutkan pemberontakan oleh Negara
Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang
dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Kartosuwiryo pada 12 September 1962.
Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang
sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti
Kongres SI di Banjarmasin.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni
tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada
masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan
Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar,
menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator" perkataan ini membius murid-
muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga
membuat kawannya yaitu Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya
terbangung dan tertawa menyaksikannya.

4. Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809–


meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
5. Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di
Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa
Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata
melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu,
seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang
Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang
puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial
Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat
sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap
cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan
rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang
(merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut
maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan
kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat
kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan
pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua
yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat.
Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang
harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu
divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari
hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi
akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari
1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

6. Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun
1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899,
sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut
Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu
pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke
Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan
di Gunung Puyuh, Sumedang.
 
7. dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangakan,
Ambarawa, Semarang, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara
ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan
sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh
dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide
pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun
1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan
dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasiInsulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur
pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena
sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

 8. Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari


1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun)
adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid
Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy
Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah
menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja.
Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang
artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten
Gowa. == Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No.
087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.

9. Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang,


Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan,
Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan
Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.
Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "TOKRING" KOTOK GARING melakukan
pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam
bahasa bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di
Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan,
Bali)
Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan
Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de
Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan
resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama Ngurah Rai"
(Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku
Tirtayasa peraih "Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993", buku "Orang-orang di Sekitar Pak
Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai"
(Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku "Puputan Margarana Tanggal 20 November
1946" yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).
Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat
menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar
udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
10. Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD:Sudirman; lahir 24 Januari
1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang perwira tinggi
Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara
Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari
pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya
yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman
tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler,
termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam
Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan
kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat
karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai
bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar
Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi
pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat
sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya
sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri
tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan
Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh
panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi
tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan
panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan
Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari
menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris
dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris
menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya
diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun
berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang
turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan
Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada
Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan
dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-
peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut,
paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah
sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat
pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok
kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai
perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda,
tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di
Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di
Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali
ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan
terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang
diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih
satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan
sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya
sepanjang 100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia
sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah
keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas,
museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.
11. Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni
1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga
dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan
Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija
menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan
nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam
bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy,
lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah
Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

 
12. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat(EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922
menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi
bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal
di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai
"Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan
Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian
Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas
pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959).

13. Dr.(H.C) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar,


populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera
Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada
umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia
yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17
Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I,
Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena
berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia,
nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan
perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun
1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan
sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui
Keppres nomor 081/TK/1986/

14. Pangeran Dipanegara, juga sering dieja Diponegoro(lahir di Yogyakarta, 11


November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69
tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro
terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan
pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.

15. Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di


Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
16. Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17
Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara,
pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK
Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke
Soposurung, Balige pada tahun 1953.
Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan
Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal denganPatuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada
tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon,
selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai
maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu
terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda,
dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring(perjanjian pendek) di Sumatera
terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang
dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk
menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong
situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga
puluhan tahun.
17. Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan
kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan
Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup
banyak.

18. Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 -
wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November
1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-
1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
19. dr. Wahidin Sudirohusodo (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari
1852 – meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena
walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas
berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen Jakarta itu.

Anda mungkin juga menyukai