Anda di halaman 1dari 23

Referat

GANGGUAN MIKSI

Oleh :
Tessa Maretha, S. Ked

Pembimbing :
dr. Budiman Juniwijaya, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
GANGGUAN MIKSI

Oleh:
Tessa Maretha, S.Ked

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Palembang, Juni 2020


Pembimbing

dr. Budiman Juniwijaya, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Gangguan Miksi” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF Ilmu Penyakit Syaraf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Budiman Juniwijaya, Sp.S selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF Ilmu Penyakit Syaraf Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam
penyelesaian referat ini
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi neurogenik bladder ................................................. 2
2.2 Epidemiologi neurogenik bladder ....................................... 2
2.3 Etiologi neurogenik bladder .................................................. 2
2.4 Patofisiologi neurogenik bladder .......................................... 4
2.5 Manifestasi Klinis neurogenik bladder ................................. 6
2.6 Diagnosis neurogenik bladder .............................................. 6
2.8 Penatalaksanaan neurogenik bladder .................................... 9
2.10 Prognosis neurogenik bladder ............................................... 12
BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN

Neurogenic bladder adalah suatu gangguan pada lower urinary tract yang
disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf yang dapat terjadi akibat trauma,
infeksi atau kongenital. Gejala neurogenic bladder berkisar antara kurang berfugsi
hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter
urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi
atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. 1
Di Amerika Serikat, kasus neurogenic bladder ditemukan pada 40-90%
pasien dengan multiple sclerosis, 37-72% dengan penyakit Parkinson, 15% dengan
stroke, 70-80% dengan spinal cord injury, 40% pada anak usia 5 tahun dengan spina
bifida, dan 60,9% pada remaja dengan spina bifida. Penyebab umum lainnya dapat
ditemukan diabetes melitus dengan neuropati otonom, gejala sisa operasi
punggung, cauda equina syndrome karena tulang belakang lumbal yang patologi. 1
Pasien yang mengalami neurogenic bladder memiliki risiko dan insiden
yang tinggi untuk mengalami infeksi jalur urin maupun obstruksi dinding luar
kandung kemih. Apabila tidak ditangani dengan optimal, pasien dengan neurogenic
bladder berisiko mengalami sepsis dan gagal ginjal. Selain itu, pasien juga dapat
mengalami inkontinensia urin yang akan memberi dampak negatif pada kualitas
hidupnya karena rasa malu, depresi, dan terjadinya isolasi sosial.2
Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan
medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis,
meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih. Banyak penyebab yang
mendasari timbulnya Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit
yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit
pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. Neurogenic
bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf yang
terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih
tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun
kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar
refleks yang tak terkendali (overactive bladder). Dengan kata lain, Neurogenic
bladder adalah kelainan fungsi kandung kemih akibat gangguan sistem saraf. 3

2.2 Epidemiologi
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di
Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar
70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan
bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%.
Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu.
Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%-
90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson
dan 15% pada pasien dengan stroke.2

2.3 Etiologi
Beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit
infeksius yang akut seperti myelitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor
otak, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, demensia), alkoholisme kronis,
penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan
metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari
beberapa penyebab tersebut, yang tersering adalah penyakit infeksius yang akut,
kelainan serebral, gangguan metabolik, dan penyakit atau trauma pada medula
spinalis.1
Penelitian yang dilakukan oleh European Association of Urology (EAU)
melaporkan bahwa neurogenic bladder terjadi pada 24% pasien tumor otak, 2848%
pasien demensia, 12-65% pasien retardasi mental, dan 30-40% cerebral palsy. Pada
cerebrovascular pathology disertai hemiplegia dengan remnant incontinence,
neurogenic bladder dilaporkan terjadi pada 20-50% pasien. Penyakit pada diskus
dilaporkan menyebabkan neurogenic bladder pada 28-87% pasien. Pada SLE,
prevalensi dari neurogenic bladder termasuk jarang, sedangkan insidennya 1%.
Neurogenic bladder terjadi pada 12% yang terinfeksi HIV. Sedangkan reseksi
abdominoperineal dari rektum menyebabkan neurogenic bladder pada lebih dari
50% pasien.4

Tabel 1. Klasifikasi gangguan neurogenic bladder

2.4 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan


2.4.1 Neuroanatomi Traktus Urinarius
Serabut saraf eferen simpatis ke kandung kemih dan uretra berasal
dari the intermediolateral gray column dari segmen T10-L2 ke ganglia
paravertebral simpatis lumbal serabut postganglion di nervus
hipogastrikus untuk bersinaps di reseptor alfa dan beta adrenergik pada
kandung kemih dan uretra. Neurotransmiter postganglion utama untuk
sistem simpatis adalah norepinefrin.
Eferen simpatis menstimulasi fasilitasi penyimpanan kandung
kemih. Reseptor beta adrenergik mempersarafi fundus kandung kemih.
Stimulasi reseptor ini menyebabkan relaksasi otot polos sehingga
dinding kandung kemih berelaksasi. Reseptor alfa adrenergik
mempersarafi sfingter interna dan uretra posterior. Stimulasi pada
reseptor ini menyebabkan kontraksi otot polos pada sfingter interna dan
uretra posterior, meningkatkan resistensi saluran keluar dari kandung
kemih dan uretra posterior. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi
kebocoran selama fase pengisian urin.
Eferen parasimpatik (motorik) berasal dari medulla spinalis di S2-
S4 ke nervus pelvikus dan memberikan inervasi ke otot detrusor
kandung kemih. Reseptor parasimpatik kandung kemih disebut
kolinergik karena neurotransmiter postganglion utamanya adalah
asetilkolin. Reseptor ini terdistribusi di seluruh kandung kemih. Peranan
sistem parasimpatik pada proses berkemih berupa kontraksi otot
detrusor kandung kemih. Serabut saraf somatik berasal dari nukleus
Onuf yang berada di kornu anterior medula spinalis S2-S4 yang dibawa
oleh nervus pudendus dan menginervasi otot skeletal sfingter uretra
eksterna dan otot-otot dasar panggul.
Perintah dari korteks serebri secara disadari menyebabkan
terbukanya sfingter uretra eksterna pada saat berkemih. Sistem aferen
(sensoris) berasal dari otot detrusor, sfingter uretra dan anal eksterna,
perineum dan genitalia, melalui n.pelvikus dan n.pudendus ke conus
medullaris; dan melalui n.hipogastrikus ke medula spinalis
thoracolumbal. Aferen ini terdiri atas dua tipe: A-delta (small
myelinated A-delta) dan serabut C (unmyelinated C fibers). Serabut A-
delta berespon pada distensi kandung kemih dan esensial untuk
berkemih normal. Serabut C atau silent C-fibers tidak berespon terhadap
distensi kandung kemih dan tidak penting untuk berkemih normal. The
silent C fibers memperlihatkan firing spontan ketika diaktifkan secara
kimia atau iritasi temperatur dingin pada dinding kandung kemih.
Serabut C berespon terhadap distensi dan stimulasi kontraksi kandung
kemih involunter pada hewan dengan CMS suprasakral.
Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama yaitu
pusat berkemih sakral (the sacral micturition center), pusat berkemih
pons (the pontine micturition center), dan korteks serebral. Pusat
berkemih sakral pada S2-S4 merupakan pusat refleks dimana impuls
eferen parasimpatik ke kandung kemih menyebabkan kontraksi
kandung kemih dan impuls aferen ke sacral micturition center
menyediakan umpan balik terhadap penuhnya kandung kemih. The
pontine micturition center terutama bertanggung jawab terhadap
koordinasi relaksasi sfingter ketika kandung kemih berkontraksi. CMS
suprasakral menyebabkan gangguan sinyal dari pontine micturition
center, sehingga terjadi dissinergi detrusor sfingter. Efek korteks
serebral menginhibisi sacral micturition center. Karena CMS
suprasakral juga mengganggu impuls inhibisi dari korteks serebral,
sehingga CMS suprasakral seringkali memilki kapasitas kandung kemih
yang kecil dengan kontraksi kandung kemih involunter.14

Gambar 1. Anatomi Proses Miksi


2.4.2 Fisiologi Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)
Distensi kandung kemih oleh urin dengan jumlah kurang lebih 250 cc
akan merangsang reseptor tekanan yang terdapat pada dinding kandung
kemih. Akibatnya akan terjadi refleks kontraksi dinding kandung kemih
oleh otot detrusor, pada saat yang sama terjadi relaksasi sfingter
internus, diikuti oleh relaksasi sfingter eksternus, dan akhirnya terjadi
pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan
relaksasi sfingter interus dihantarkan melalui serabut-serabut
parasimpatik. Kontraksi sfingter eksternus secara volunter bertujuan
untuk mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya
dapat terjadi bila saraf-saraf yang menangani kandung kemih uretra
medula spinalis dan otak masih utuh.
Bila terjadi kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus-menerus tanpa disadari) dan
retensi urin (kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika
urinaria, diatur oleh torako lumbar dan kranial dari sistem persarafan
otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan
kontraksi spinter interna.15

Gambar 2. Fisiologi proses miksi

2.5 Patofisiologi
Gangguan kandung kemih / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf
atau lesi yang terjadi pada sistem saraf manusia. Apabila sistem saraf pusat atau
system saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami
gangguan maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis
dan saraf perifer merupakan beberapa bagian dari system saraf yang
memungkinkan untuk terlibat. Gejala yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi
kandung kemih / bladder adalah retensi inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang
kerapkali hanya sedikit, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan lokasinya
penyebab secara garis besar, Neurogenic Bladder dibagi menjadi tiga, antara lain 13
a. Lesi supra pons Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-
refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari
lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada
umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan
hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler,
dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia
basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi
urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai
proses miksi secara volunteer. 13
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis Lesi medula
spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral medula spinalis
akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan
fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah13 :
 Vesica urinaria yang hiperrefleksi Seperti halnya lesi supra pons,
hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan suatu
keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan
kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume vesica
urinaria. 13
 Disinergia detrusor-sfingter (DDS) Pada keadaan normal, relaksasi
sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS,
terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan.
Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-
kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine
dapat keluar dari vesica urinaria hanya bila kontraksi detrusor
berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine
terputus-putus.13
 Kontraksi detrusor yang lemah Kontraksi hiperrefleksi yang timbul
seringkali lemah sehingga pengosongan vesica urinaria yang terjadi
tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia
akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi. 13
 Peningkatan volume residu paska miksi Volume residu paska miksi
yang banyak pada keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi
menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi vesica urinaria. Penderita mengeluh mengenai
seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.13
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria
dan hilangnya sensibilitas vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara
volunteer hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi
detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau hipotonik bila
kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria juga
hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada
utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria terganggu
namun sensasi nyeri masih didapatkan karena informasi aferen yang dibawa
oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal.
Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan
elastik dari leher vesica urinaria memungkinkan terjadinya miksi.
Mekanisme untuk mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra
abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul
pada batuk atau bersin.13
Gambar 3. Patofisiologi Neurogenic Bladder

2.6 Manifestasi Klinis


Berdasarkan tipe kerusakannya, neurogenic bladder memiliki manifestasi
klinis yang bervariasi. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada masing-masing
tipe dari neurogenic bladder5 :
 Neurogenic Bladder Tipe Flaksid Pada tipe ini, manifestasi yang akan
muncul diantaranya :
o Inkontinensia overflow
o Berkurangnya tonus sfingter ani
o Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada
kandung kemih
 Neurogenic Bladder Tipe Spastik Manifestasi klinis yang akan muncul
pada tipe ini adalah sebagai berikut :
o Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa
rasa penuh pada kandung kemih
o Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai
o Peningkatan tonus sfingter ani
 Neurogenic Bladder Tipe Campuran Manifestasi klinis yang akan
muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut
o Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh
o Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih
o Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan

2.7 Diagnosis
Neurogenic bladder melibatkan sistem saraf dan kandung kemih dan untuk
mendiagnosis adanya Neurogenic bladder yaitu dengan memeriksa baik sistem
saraf (termasuk otak) dan kandung kemih itu sendiri.6,7,8
Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk
mengetahui bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat
berkemih serta mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Kemudian dapat dilakukan
pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan rektal, genitalia, serta pemeriksaan
dinding perut (abdominal) untuk mengecek ada tidaknya pembesaran pada bladder
ataupun kelainan lainnya. Selain itu, pemeriksaan neurologis juga dilakukan untuk
menentukan kelainan neurologis yang menjadi dasar terjadinya neurologic bladder,
uji neurologis harus mencakup status mental, refleks, kekuatan motorik dan
sensibilitas (termasuk dermatomal sakral). Pemeriksaan penunjang dapat berupa
pemeriksaan laboratorium yaitu dengan memeriksa urin ataupun darah. 7,8,9
Pemeriksaan lainnya seperti :
1. Pemeriksaan urodinamika
 Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi
kandungan kemih dengan mengevaluasi kerja kandung kemih untuk
penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan
aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil.
Pemeriksaan urodinamika dapat berupa Cystometrography,
Postvoid residual urine, uroflometri, serta elektromielografi
sfingter.7,8
 Cystometrography : Cara pemeriksaannya dengan memasukan
kateter berisi transduser untuk mengukur tekanan ke dalam
kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut dihubungkan
dengan komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam
kandungan kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan
memberikan informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan
rektum, refleks kandungan kemih dan kapasitas kandungan
kemih.7,8,9

Gambar 1. Cystometrography
 Postvoid residual urine Adalah sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa
banyak urin di kandung kemih yang tersisa setelah buang air kecil.
Pemeriksaan residu urine setelah berkemih (PVR) adalah pemeriksaan dasar
untuk inkontinensia urine untuk mengetahui kemampuan vesika urinaria
dalam mengosongkan seluruh isinya. Abnormal : 50-100ml / >20% volume
BAK.7,8
 Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik.Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasive. Hasil biasanya
diberikan dalam mililiterper detik (mL / detik).7,8
 Elektromielografi membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang
terkoordinasi atau tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi
kandung kemih menghasilkan disinergia detrusor sfingter (kegiatan
berkemih yang tidak terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat
saat terjadi lesi pada korda spinalis. 7,8,9
2. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan
disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis. Fungsi
sistoskopi dalam pemeriksaan disfungsi kandung kemih neurogenik
memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti kanker dan batu
pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan hanya pemeriksaan
urodinamik saja. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien yang mengeluhkan
gejala berkemih iritatif persisten atau hematuria. Pemeriksa dapat mendiagnosa
berbagai macam penyebab pasti dari overaktivitas kandung kemih seperti sistitis,
batu dan tumor secara mudah. 7,8,9

Gambar 2. Cystoscopy

3. Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta MRI.


Untuk mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan ini.7,8

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan
secara reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi
ginjal.
Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah
urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih. Sebagai contoh, beberapa orang
dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air kecil dengan menekan perut
mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka . Ketika urin tetap dalam
kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran
kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya lebih
aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus. 9
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra
untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan maupun
untuk sementara waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot kandung
kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan untuk
mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara permanen lebih
sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada pria,
kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.9
 Terapi Non farmakolgis
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal. Bladder training adalah salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training
adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. 9
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel
exercises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan
kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih. 10
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training
dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training
dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan
menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam
sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit
kateter ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang
interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau
3-4 jam sekali.10
Langkah-langkah bladder training :
1. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang memungkinkan
kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan
volume urin residual.10
2. Anjurkan klien minum (200-250 cc).10
3. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam. 10
4. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.10
5. Lihat kemampuan berkemih klien.10

 Terapi farmakologis
1. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena mereka
menghambat kontraksi kandung kemih involunter dan memperbaiki fungsi
penampungan air kemih oleh kandung kemih. Misalnya, Hiosiamin ( Levbid) 0.125
mg, Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.9
2. Anti spasmodik
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti
spasmodik telah dilaporkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dan
efektif mengurangi atau menghilangkan inkontinensia. Misalnya Oksibutinin
(ditropan XL) 5-15 mg, Tolterodin (detrol) 2 mg.9,11
3. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik) dan terutama di pakai untuk meningkatkan berkemih. dan
mengobati retensi urin. Merupakan agonis kolinergik yang digunakan untuk
meningkatkan kontraksi detrusor Obat ini membantu menstimulasi kontraksi
bladder pada pasien yang menyimpan urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali
dalam sehari. 9,11
 Terapi operatif
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan
dilakukan untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat untuk
menstimulasi otot kandung kemih. 9,11
2.9 Prognosis
Prognosis dari pasien neurogenic bladder cenderung baik karena adanya
alat medis yang modern, staff medis terlatih, dan kemajuan dalam pengetahuan
medis. Jika tidak ditangani dengan baik, neurogenic bladder dapat menimbulkan12:
A. Disfungsi Permanen Dengan adanya dari disfungsi secara permanen maka
prognosis dari pasien cenderung buruk.
B. Kerusakan Ginjal Pasien dengan neurogenic bladder yang sudah mengalami
kerusakan pada kedua ginjal memiliki prognosis yang cenderung buruk.
C. Kerusakan pada Dinding Uretra Pasien dengan neurogenic bladder namun
mengalami kerusakan pada dinding uretra memiliki prognosis yang cenderung
buruk.
BAB III
KESIMPULAN

Disfungsi neurogenic bladder dapat berhasil diobati untuk mencapai tujuan


dari kontinensi urin, pencegahan kerusakan ginjal akibat tekanan detrusor kronis
tinggi, dan meminimalkan risiko infeksi saluran kemih atau overdistensi kandung
kemih. Program pelatihan multidisiplin kandung kemih komprehensif yang terbaik
dapat mencapai tujuan-tujuan ini dengan memanfaatkan pendidikan pasien,
instruksi dalam penggunaan / perawatan kateter, obat-obatan, dan / atau prosedur
bedah kandung kemih atau uretra. Pekerjaan eksperimental dalam rerouting saraf
lumbar ke sakral dan dalam pengobatan regeneratif termasuk penggunaan sel punca
untuk mengurangi atau membalikkan kerusakan medula spinalis yang
menghasilkan disfungsi neurogenik kandung kemih masih dalam masa
pertumbuhan, dan penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk melihat apakah
hasil yang menjanjikan dari beberapa studi percontohan kecil dikonfirmasi dalam
studi yang lebih besar dan terkontrol dengan tindak lanjut jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg, D 2013, ‘The epidemyology and phatophysiology of neurogenic


bladder’, The American Journal of Manage Care, vol. 19, no. 10.
2. Dorsher, PT & McIntosh, PM 2012, ‘Neurogenic Bladder’, Advances in
Urology, vol. 2012, no. 2012
3. Urology Care Foundation. Neurogenic bladder. Article of The Official
Foundation of the American Urologist Association. 2014; Available from:
http://www.urologyhealth.org/urology/index.cfm?article=9
4. Pannek, J, Blok, B, Castro-Diaz, D, Popolo, GD, Kramer, G, Radziszewski,
P, Reitz, A, Stohrer, M, Wyndaele, JJ 2013, ‘Guidelines on Neurogenic
Lower Urinary Tract Dysfunction’, European Association of Urology.
5. Saputra 2012, Buku saku kepererawatan pasien dengan gangguan fungsi
renal dan urologi disertai contoh kasus klinik., Bina Rupa Aksara Publisher,
Tangerang.
http://digilib.ubaya.ac.id/data_pustaka-238370.html
6. Columbia urologist. Neurogenic bladder. Article of Columbia Urology
Medical Center. 2012; Available from:
http://columbiaurology.org/specialties/female/neurogenic-bladder.html
7. Hopkins J. Neurogenic bladder. Article of The Johns Hopkins Medicine.
2012. Available from:
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/kidney_and_uri
nary
_system_disorders/neurogenic_bladder
8. Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic
Bladder. Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part
1.
9. Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home
Health Handbook Neurogenic Bladder.
10. IUGA. 2011. Bladder training. Article of International Gynecologycal
Ascosiation.
Available from: www.iuga.org/resource/resmgr/.../eng_btraining.pdf
11. Campellone, J.Neurogenic bladder. 2014. Article of National Library of
Medicine.
Availablefrom:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000754.htm
12. Clark, R, Welk, B 2016, ‘Patient reported outcome measures in neurogenic
bladder’, Translational Andrology and Urology., vol. 5, no. 1.
13. Samuels MA, Ropper AH. Samules ‘s Manual of Neurologic Therapeutics
Nine Edition. Lippincot Williams & Wilkins. ISBN : 978-160547-575-2.
14. Tortora, GJ & Derrickson, BH 2014. Principles of anatomy and physiology.
14th edn, Hoboken, Wiley.
15. Guyton, AC & Hall, JE 2013. Buku ajar fisiologi kedokteran. 12th edn.
Jakarta, EGC.

Anda mungkin juga menyukai