Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti perikatan, persetujuan dan
bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata 36, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 37
Dari pengertian ini dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri.” Sejalan
dengan pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata 38 disebutkan bahwa tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Menurut Subekti, suatu
perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu.39 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian/persetujuan adalah jelas
bahwa perjanjian menerbitkan perikatan antara dua orang/pihak yang membuatnya.
Terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, definisi Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5
Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjan dan
syarat-syarat sahnya perjanjian
36 Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatang yang Dilahirkan dari Kontrak atau
Perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum 37 Bandingkan dengan kontrak adalah suatu
perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim, op.cit, hlm. 42; kontrak
adalah di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan
tertentu, biasanya secara tertulis dalam buku Abdul R. Saliman, et.al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori
dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 41 38 Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kesatu
tentang Perikatan-Perikatan Umumnya, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum 39 Subekti, Hukum
Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1984), hlm. 1 Universitas Sumatera Utara
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Selain dari pengertian yang diberikan
KUH Perdata dan Undang-Undang tersebut, dapat dilihat juga pengertian lain dari istilah
perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 40 Maka dari peristiwa itulah timbul
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 41
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya Harahap mengartikan
Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih,
yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi. 42 Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-
unsur perjanjian antara lain, hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum
kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada
pihak lainnya tentang suatu prestasi. 43
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan sebagai terjemahan dari
verbintenis, karena dari segi terminologis sendiri verbintenis berasal dari kata kerja verbinden
yang artinya mengikat.44 Perikatan mengandung pengertian suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak 40 Ibid
41 Ibid 42 M.
Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6 43 Ibid 44 R.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Menurut Subekti, perikatan memilki arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”, sebab dalam buku
III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
atau perjanjian (zaakwaarneming).47 Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak
terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian,
bukan yang bersumber dari undang-undang. Sedangkan kontrak memiliki arti yang lebih sempit,
karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 48
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang
berbunyi:49 “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya 45 Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat
harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak
lain berkewajiban atas suatu prestasi. 46
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.” 45
Ibid, hlm.2, diterjemahkan dari buku L.C. Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, eerste gedeelte
Wolters-Noordhoff 46 Ibid, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands
Burgerlijk Wetboek 47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 122 48
Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit 49 Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera
Utara
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau
subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-
syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.50
Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak, 51 sehingga tercapai
persesuaian/persetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu: 52
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannnya, adalah cakap menurut hukum. 53 Di dalam Pasal 1330 KUH
Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian: 1. Orang-
orang yang belum dewasa 1. Bahasa yang sempurna dan tertulis 2. Bahasa yang sempurna secara
lisan 3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan 4. Bahasa isyarat asal
dapat diterima oleh pihak lawannya 5. Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau
diterima oleh pihak lawan.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 50 Subekti, Hukum Perjanjian ,op. cit, hlm. 17 51 A Qirom
Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
hlm. 10 52 Salim, H.S, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003),
hlm. 33 53 Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit Universitas Sumatera Utara 3. Orang perempuan dalam hal-
hal yag ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memliki objek tertentu. Setidaknya dapat ditentukan bahwa objek tertentu
itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti aka nada. Barang itu adalah barang yang
dapat diperdagangkan, barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan
umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dll, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian,
barang tersebut juga harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat kempat untuk suatu perjanjian yang sah
adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab yang halal itu ialah isi dari
perjanjian itu sendiri.54 Selain itu, yang tidak hala maksudnya yang bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 2. Jenis-Jenis Perjanjian secara Umum
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut: 55
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua pihak.
Misalnya perjanjian jual beli. 1. Perjanjian timbal balik
2. Perjanjian Cuma-Cuma 54 Ibid, hlm. 20 55 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum
Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 80 Universitas Sumatera Utara
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu
terdapat kontra prestasi dari piahk yang lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
Perjanjian ini termasuk perjanjian khusus karena ia memiliki nama sendiri. Maksudnya ialah
perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang
paling banyak terjadi sehari-sehari.
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula pernjain tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang
tidak terdapat dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya,
seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian
ini pada prakteknya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian obligatoir merupakan perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu
benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban 3. Perjanjian atas beban 4. Perjanjian
bernama 5. Perjanjian tidak bernama 6. Perjanjian obligatoir 7. Perjanjian kebendaan
Universitas Sumatera Utara
pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan
penyerahan kebendaan.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut pasal 1338 KUH Perdata perjanjian
ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang sudah berlau sesudah terajadi
penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan
utang.
Perjanjian pembuktian merupakan perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah
yang berlaku diantara mereka.
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian
keasuransian.
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public,
karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara
keduanya terdapat hubungan atasan- 8. Perjanjian konsensual 9. Perjanjian riil 10. Perjanjian
liberatoir 11. Perjanjian pembuktian 12. Perjanjian keuntung-untungan 13. Perjanjian publik
Universitas Sumatera Utara
bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang setara, kisalnya perjanjian ikatan dinas.
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung beberapa unsur perjanjian, misalnya
pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual-
beli) dan juga memberikan pelayanan.
Sejarah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari fenomena keterkaitan yang
erat antara hukum dan ekonomi baik yang berlangsung dari negara lain di dunia maupun yang
dari dalam negeri; di mana sejak tahun 1930-an orang baru memulai menggunakan kacamata
hukum ekonomi atau Droit Economique yang pada waktu itu baru mencakup peraturan-peraturan
administrasi negara. Tumbuhnya hukum ekonomi ini berpangkal pada konsepsi negara
kesejahteraan, yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum dan
tidak hanya menyerahkan kepada warga negara sendiri saja untuk memenuhi segala kebutuhan
(sebagaimana pendirian paham liberal). Untuk itu Prancislah yang pertama mengusahakan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan umum tersebut melalui kaidah-kaidah administrasi
14. Perjanjian campuran B. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 1. Latar
belakang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999)
Universitas Sumatera Utara
negaranya.56 Keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi ini menjadikannya suatu bidang
yang berhubungan langsung dengan kebijakan ketahanan nasional dan politik negara. 57
Demikian juga halnya dengan sejarah hukum ekonomi di Indonesia yang telah ada sejak zaman
penjajahan Belanda. Landasan hukum bagi struktur ekonomi Indonesia yang dualistis tercantum
dalam Pasal 131dan 163 Indische Staatregeling (Stb. 1854:2 dan Stb. 1855:2). Pasal-pasal
tersebut merupakan kaidah yang sesungguhnya menunjang kebijaksanaan ekonomi yang
dualistis, karena memberi peran yang dominan kepada golongan Eropa dalam sektor bisnis
internasional, industri dan perbankan. Golongan Bumiputera dalam sektor agraris atau penghasil
bahan mentah dan Golongan Timur Asing sebagai pedagang perantara bagi kedua golongan
tersebut.58
Kebijaksanaan yang dualistis ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pada tata kehidupan
ekonomi, sehingga peluang-peluang usaha yang tercipta dalam kenyataanya belum dapat
membuat masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di sektor ekonomi. 59
Meskipun Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat dalam bidang perekonomian saat era
booming minyak berlalu dan dimulainya era investasi asing di Indonesia sekitar tahun 1970-an. 60
56 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 21 57 Sumantoro,
Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 277 58 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika,
op.cit, hlm. 22 59 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 186 60 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia,
op.cit, hlm. 3 Universitas Sumatera Utara
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketahanan ekonomi
Indonesia sangat rapuh dan tidak mau bersaing. 61 Fakta menyebutkan bahwa reformasi dipicu
oleh gejolak akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang merupakan kesalahan manajemen
ekonomi pemerintahan Orde Baru, meskipun tuntutan agar Indonesia mempunyai suatu undang-
undang antimonopoli sudah muncul pada tahun 1990-an namun tidak didukung oleh political will
dari pemerintah saat itu.62 Krisis terjadi karena rusaknya pilar ekonomi dalam segi perbankan,
kebijakan moneter dan pinjaman utang luar negeri yang tinggi. 63
Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia
menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan International Monetary
Fund (IMF). Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan
pemerintah pada waktu itu, beberapa diantaranya yang bersinggungan dengan persaingan usaha
adalah:64
a. Butir (31) bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius untuk reformasi structural
yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali ke arah pertumbuhan yang cepat dengan
mengubah ekonomi berbiaya tinggi ke ekonomi yang lebih terbuka, efisien dan kompetitif. Untuk
itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing, deregulasi 61
Hermansyah, op.cit, hlm. 11 62 Ibid, hlm. 10 63 Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm.23 64 Ningrum Natasya
Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 7-9 Universitas Sumatera Utara kegiatan domestic dan
mempercepat program swastanisasi sekaligus mempertimbangkan langkah menghadapi
kemiskinan. b. Butir (32) pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih terbuka dan
meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog untuk program gandum, kedelai,
bawang putih. Importer diperkenankan menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali
gandum. c. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta penurunan harga
bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tariff produk kimia akan diturunkan menjadi 5%
mulai 1 Januari 1999. Dengan demikian tariff maksimum produk-produk ini ditargetkan
mencapai 10% pada tahun 2003. d. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang
produk pertanian seperti cengkeh, jeruk dan vanilla akan memiliki kebebasan menjual dan
membeli komoditinya tanpa ada batasan wilayah. BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998.
e. Butir (43) monopoli Bulog aqkan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1 Februari 1998, semua
pedaganag akan diizinkan untuk mengimpor gula dan memasarkannya pada pasar domestic, dan
petani akan dibebaskan dari ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.
Salah satu yang diatur dalam Letter of Intent tersebut adalah untuk menjamin adanya iklim
persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha dengan memberlakukan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Universitas Sumatera Utara
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Di mana dalam prinsip per se
illegal (per se violation atau per se rule) dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu
sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan
oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalusi mengenai akibat perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat
menghambat atau mendorong persaingan.66
Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-
pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga” di mana kata-kata
tersebut menyiratkan perlunya penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan
prinsip per se 65 2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999 Adapun
istilah monopoli dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di
Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai atau
memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di beberapa negara seperti Amerika
Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan
(trust) dari beberapa perusahaan besar yang mengakibatkan persaingan terganggu.
65 Ibid,
hlm. 9-10 66 Emmy Yuhassarie, et.al, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah
Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU, 17-18
Mei 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 104 Universitas Sumatera Utara
illegal juga terdapat yaitu adanya istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang dapat
mengakibatkan”.
Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi sebenarnya kedua
prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan inkonsistensi. 68 Karena per se illegal di satu
sisi mempunyai manfaat besar dalam penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam
proses admnistratif, selain itu juga pendekatan ini memiliki daya mengikat yang lebih luas
daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang
kompleks, yang menyelidiki situasi serta karakteristik pasar. 69 Namun di sisi lain, dalam
menghadapi kasus-kasus perjanjian, terutama perjanjian yang tidak tertulis/lisan, terdapat
kesusahan dalam hal pembuktian bahwa telah terjadinya perjanjian yang merusak persaingan.
Seperti contoh pada kasus Barber Shop Association, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi
tersebut menetapkan suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun, asosiasi melakukan
tekanan kepada para anggotanya untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan cara
mengumumkan hasil penelitian kuesioner yang telah dijawab oleh para anggota. 70
Sedangkan konsep rule of reason memilki keunggulan dengan digunakannya analisi ekonomi
untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan 67
67 Ibid 68 Ibid,
hlm.117, di mana Hakim Burger telah mengantisipasi untuk mengakhiri perdebatan tentang
perbedaan yang jelas antara analisis per se illegal dan rule of reason dalam dissenting opinion-nya pada kasus
Topco, dengan menyatakan bahwa “per se rules... are complimentary to, and no way incossistent with, ...” 69
Ibid, hlm. 106 70 Kegiatan ini dievaluasi sebagai bukti tidak langsung sebagai bentuk penetapan harga. Ibid, hlm.
108 Universitas Sumatera Utara
pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus persaingan usaha dalam kenyataannya tidak mudah
diterapkan prinsip mana yang harus diberlakukan, karena tidak semua orang memiliki persepsi
yang sama tentang pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar
ataupun dapat diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya
(reasonableness).73 Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep
mana yang harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara
lainnya74 : a. Bright line test (per se rules); dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari
tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan. 71 Dan di sisi lain, seperti telah disebutkan
di atas, bahwa konsep ini juga terdapat kelemahan, yaitu bahwa rule of reason yang digunakan
para hakim (atau juri) mensyaratkan pengetahuan tentang ekonomi yang kompleks, di mana
mereka belum tentu memilki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna mendapat
keputusan yang rasional.72
b. Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan
batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan hasilnya dianalisis dengan
memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. 71 Ibid, hlm. 111 72 Ibid, hlm. 111-
112 73 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2003), hlm. 102 74 Ibid, hlm. 104-111 Universitas Sumatera Utara c. Truncated analysis of rule of reason
(quick look theory); pendekatan ini lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti
persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk
membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti persaingan, dan bila alasan
pembenaran ini diterima, maka kemudian akan dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of
reason. d. Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan untuk
melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga
berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau
boikot. e. Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan konsekuensi yang
menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang
diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat
perbandingan biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah tindakan
yang telah dilakukan. f. Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar
bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan, maka
dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dilakukan
untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal
walaupun hambatannya bersifat tambahan (ancillary). Universitas Sumatera Utara g. Rule of
reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan
menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini
mempertanyakan apakah semua hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft
menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal atau
horizontal. h. Presumptive (Kemungkinan); analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta
berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang sifatnya internal atau
eksternal, kedudukan para pihak yang relative independen, dependen yang berhubungan dengan
subjek hambatan dan bila memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan
undang-undang. 3. Asas dan tujuan UU No. 5 tahun 1999
Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 3 dan konsiderans secara
implisit. Pada bagian konsiderans, dapat ditarik tiga tujuan umum yang hendak dicapai dalam
penyusunan undang-undang ini. Pertama, di dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat
umum dan klise bahwa undang-undang ini ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi
pada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. 75Kedua,
di dalam konsiderans juga disebutkan bahwa undang-undang ini disusun untuk mewujudkan
demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara
yang ikut serta dalam proses
75 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit, hlm. 187
Universitas Sumatera Utara produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang
sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar secara
wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa undang-undang ini dimaksudkan untuk
mencegah pemusatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Secara lebih tegas, tujuan UU No. 5
Tahun 1999 ini dicantumkan dalam Pasal 3 yang bersama-sama dengan Pasal 2 berada di bawah
bab tentang asas dan tujuan.
Tujuan UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 adalah: 77
Asas UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas dicantmkan dalam Pasal 2. Menurut pasal tersebut, asas
kegiatan usaha di Indonesia adalah, “demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara pelaku usaha dan kepentingan umum.” 76 1. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. 2. Mewujudkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. 3. Mencegah praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha 4. Terciptanya efektivitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha.
4. Subjek hukum dalam UU No. 5 tahun 1999 76 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 75- 76 77 Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut subjek hukum sesuai
dengan yang dimaksud dengan kata “orang” dalam KUHPerdata Buku I Bab I. 78 Jadi, dapat
dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang
agama atau kebudayaanya adalah subjek hukum. Di samping manusia pribadi sebagai pembawa
hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status “persoon” yang
mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut Badan Hukum. 79 Subjek hukum ini
dapat mengadakan hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajibannya dalam lalu
lintas hukum.
Dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1999 sebagai landasan kebijakan dari Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, maka yang dapat dikatakan subjek hukum adalah pelaku usaha 80 , di mana
menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 merupakan setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi.
Definisi pelaku usaha tersebut tidak membedakan antara perusahaan terbuka dan perusahaan
tertutup. Sepanjang pelaku usaha itu melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Repulik Indonesia,
Undang-Undang Antimonopoli dapat
78 R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 139 79 R. Soeroso, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 227 80 M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan &
Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia,
2007), hlm. 279 Universitas Sumatera Utara
diterapkan jika pelaku usaha melanggar ketentuannya.
Dalam pembahasan mengenai pengawasan atau penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia
maka tidak terlepas dari lembaga independen 83 atau non-struktural84 yang diberi nama Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).85 Dalam menangani dugaan pelanggaran dan upaya
penegakan hukum, KPPU dapat memperoleh sumber-sumber informasi atau bukti-bukti, baik dari
luar, misalnya laporan dari pihak ketiga, maupun yang dilakukan dari dalam yang berdasarkan
inisiatif anggota KKPU sendiri.86
Apabila informasi adanya pelanggaran itu diperoleh dari pihak luar, maka KPPU berkewajiban
memprosesnya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari dan ia diwajibkan pula 81 Selain itu, pelaku usaha ini melakukan kegiatannya
dalam pasar yang pada terminologi ekonominya dapat disamakan dengan pelaku dalam pasar.
Produsen (perusahaan) adalah pemegang peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan
dijual di pasar untuk para konsumen. Dimana pelaku dalam pasar atau ekonomi ini akan berupaya
mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya dengan
mempertimbangkan variabel biaya atau cost yang harus dikeluarkan.82 5. Penegakan hukum
persaingan usaha di Indonesia
81 Ibid,
hlm.280 82 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 50-51 83 Pasal 30 ayat
(2) UU No. 5 Tahun 1999: “Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekeuasaan pemerintah serta pihak lain ” 84 Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75
Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha: “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan lembaga non-struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.” 85
Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 86 Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara
menjaga kerahasiaan pihak yang melaporkannya.
Jika terjadi pelanggaran, maka pihak yang diduga melakukannya itu berkewajiban memenuhi
panggilan KPPU, termasuk pula menyerahkan bukti-bukti yang diperlukan dalam penyelidikan
dan atau pemeriksaan, apabila KPPU menganggap alat bukti itu merupakan dokumen yang
penting dan dapat membuktikan terjadinya atau tidak terjadinya pelanggaran. Dan bagi pihak
yang menolak bekerjasama maka akan dikenakan sanksi. 89 Tahapan-tahapan pemeriksaan di
KPPU dapat dibagi menjadi dua tahap pemeriksaan, yaitu: 1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pengertian pemeriksaan pendahuluan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (14) Peraturan Komisi
No. 1/200690 , yang berbunyi sebagai berikut: “pemeriksaaan pendahuluan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran
untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan.” 2. Pemeriksaan
Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan pertama kali disebutkan di dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 5
Tahun 1999, dan dijelaskan secara detail dalam Pasal 1 ayat (15) yang berbunyi sebagai berikut:
“serangkaian kegiatan yang dilakukan 87 Inisiatif pemeriksaan tentang dugaan adanya
pelanggaran undang-undang ini juga dapat dilakukan oleh KPPU meskipun tidak didahului
adanya laporan dari siapapun.88
87 Pasal39 UU No. 5 Tahun 1999 88 Pasal 40 UU No.5 Tahun 1999 89 Pasal 41 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 90
Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU Universitas Sumatera
Utara
oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau
tidak adanya bukti pelanggaran.” Pemeriksaan lanjutan biasanya dilakukan apabila KPPU telah
menemukan indikasi adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila
KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada. 91
Setelah KPPU menyelesaikan pemeeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan untuk memutuskan telah
terjadi atau tidak pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dalam tenggang waktu 30 hari
terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. 92 Adapun putusan tersebut harus dibacakan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang juga harus diberitahukan kepada pelaku
usaha terkait. Apabila terbukti bersalah dan pelaku usaha tersebut tidak menerima putusan
tersebut, maka dapat diajukan upaya keberatan selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima
pemberitahuan putusan dari KPPU.93
91 DestivanoWibowo & Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005), hlm. 19 92 Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 93 Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 Universitas
Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai