Anda di halaman 1dari 3

Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan   salah satu subsistem dalam sistem kesehatan

nasional. Kegiatan ini sangat penting untuk  menunjang kinerja penyediaan layanan
kesehatan di fasilitas kesehatan, seperti di rumah sakit, puskesmas dan klinik agar mampu
memberikan layanan yang optimal  sesuai kebutuhan pasien. Kegiatan pengelolaan ini
bertujuan antara lain agar ketersediaan barang, obat-obatan dan alat kesehatan yang
diperlukan tersedia dalam jumlah dan waktu  yang tepat dengan kualitas yang memadai. 
Pengelolaan  perbekalan farmasi dan alat kesehatan juga bertujuan untuk pengamanan dalam
artian agar persediaan tidak terganggu oleh kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak,
pencurian dan penyusutan yang tidak wajar lainnya. Selain itu dari sisi pembiayaan
pengelolaan perbekalan farmasi dan alat kesehatan bertujuan agar dalam operasionalisasinya
ada efesiensi pembiayaaan.  Oleh karena itu, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dalam sistem kesehatan nasional mesti didukung oleh regulasi yang akuntabel dan
operasional serta  sumber daya yang memadai.
Mencuatnya kasus vaksin palsu di Indonesia saat ini mengindikasikan bahwa ada masalah
besar dalam pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia. Tulisan ini akan
mengulas secara ringkas bagaimana  fungsi pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
untuk peningkatan kinerja upaya pemberian layanan  kesehatan terkait HIV dan AIDS di
Indonesia. 
Secara regulasi,  pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia sudah diatur
dengan  Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No 72
Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi,  bahkan di tingkat rumah sakit telah ada
standar pelayanan farmasi di rumah sakit yang diatur dengan Permenkes No 58 Tahun 2014. 
Demikian juga dengan regulasi  pengadaannya yang mengacu pada Peraturan Presiden No 70
tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa.  
Selanjutnya, dari sisi manajemen maka pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan di
layanan kesehatan seperti di rumah sakit mengikuti alur fungsi-fungsi manajemen yang
membentuk sebuah  siklus pengelolaan logistik. Menurut Aditama (2003) meliputi fungsi
perencanaan dan proses penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran, pemeliharaan, penghapusan dan pengendalian.
Terkait dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk upaya penanggulangan HIV dan
AIDS,  penelitian PKMK-FK UGM (2015) menemukan bahwa secara umum regulasi untuk
penyediaan, distribusi dan penyimpanan farmasi terkait HIV dan AIDS telah menyesuaikan
dengan kebijakan yang berlaku secara umum di bidang kesehatan, pembiayaan ARV dan obat
IO berasal dari APBN dan APBD yang dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan.  Penyimpanan
dan distribusi sediaan farmasi juga mengikuti  kebijakan dan sistem kesehatan yang ada di
daerah.  Namun dari fungsi pengendalian yang menyangkut upaya monitoring dan
pengamanan stock ARV masih menghadapi tantangan, yakni berupa stock out, habisnya
persediaan obat dari sediaan yang sudah direncanakan. 
Stock out perlu ditangani serius karena tidak hanya memengaruhi kinerja layanan tetapi
menyangkut kepatuhan dan keselamatan pasien. Hasil penelitian Pasquet, et.al (2010)
menemukan adanya pengaruh stock out kombinasi ART sebesar 11 % terhadap ODHA yang
sedang terapi ART di  Abidjan, Côte d'Ivoire. Kajian ini menunjukan bahwa
terhentinya treatment karena stock out ARV hingga terjadi resiko ganda berupa  keterputusan
terapi dan kematian karena stock out.
Penyediaan materi pencegahan seperti kondom dan alat suntik seteril yang dikelola berbeda
dengan sistem kesehatan yang ada. Pengadaan materi pencegahan dana alat suntik steril
berasal dari pemerintah pusat dan mitra pembangunan internasional (MPI).  Adanya
pengelolaan materi pencegahan yang berbeda dengan sistem pengelolaan logistic yang ada
menimbulkan tantangan dan konsekuensi tersediri dalam program pencegahan HIV dan
AIDS.  Tantangan dari manajemen logistik di layanan kesehatan seperti di rumah sakit,
puskesmas dan klinik adalah dari sisi perencanaan, pendisitribusian hingga pengendaliannya.
Dari  fungsi perencanaan dan proses penentuan kebutuhan yang mencakup aktifitas
menetapkan sasaran, pedoman dan pengukuran penyelenggaraan material pencegahan di
layanan kesehatan masih sangat tergantung dengan perencanaan pusat, sehingga peran
layanan kesehatan seperti rumah sakit pasif. Dari fungsi pengendalian yang mencakup  usaha
untuk memonitor dan mengamankan keseluruhan pengelolaan material pencegahan terjadi
keterputusan rantai pengendalian antara layanan kesehatan dengan dinas kesehatan karena
pengelolaan material pencegahan dikelola oleh KPAD.  Sedangkan dari sisi program, hal ini
berakibat pada keberlanjutan ketersediaan materi pencegahan ketika  program berakhir. 
Selanjutnya, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan terkait dengan HIV dan AIDS
tidak terlepas dari dukungan sumberdaya yang ada yang selama ini bersumber dari
pemerintah pusat melalui kemenkes dan KPAN, pemerintah daerah melalui APBD, mitra
pembangunan internasional, dan masyarakat.  Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana
program, dana alokasi khusus yang bersumber dari APBN, dan hibah dari MPI.  Sumber
pendanaan untuk obat-obatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk obat
infeksi penyerta. Sedangkan ARV dan reagen berasal dari  dari APBN dan APBD.  Sumber
pembiayaan yang berasal dari MPI adalah pengadaan material pencegahan dan alat medis
seperti kodom, pelicin, alat dan jarum suntik steril.  Pembiayaan ini tersedia selama program
masih ada dan sifatnya sementara sehingga untuk keberlanjutannya perlu dilakukan integrasi
pembiayaan dengan sistem pengadaan logistik dan alat kesehatan dalam sistem kesehatan
nasional. 
Dari uraian di atas, maka untuk jaminan keberlanjutan ketersediaan farmasi dan alat
kesehatan  terkait HIV dan AIDS maka mekanisme pengadaan, pendistribusian dan
pembiayaannya perlu disesuaikan dengan mekanisme yang ada dalam sistem logistik dan alat
kesehatan pada penyakit menular umum. Untuk peningkatan layanan farmasi dan alat
kesehatan maka tata kelolanya, mulai dari perencanaan, pendistribusian, penyimpanan hingga
pengamanannya menjadi bagian dari manajemen logistik di layanan kesehataan yang
terkoordinasi dengan dinas kesehatan sebagai penanggung jawab utama bidang kesehatan di
daerah.
Referensi
Aditama, T.Y., 2003. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: Universitas Indonesia.
PKMK- FK UGM, 2015. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Kedalam Sistem
Kesehatan. Yogyakarta: PKMK FK UGM.
Pasquet, A., Messou, E., Gabillard, D., Minga, A., Depoulosky, A., Deuffic-Burban, S., ... &
Yazdanpanah, Y. (2010). Impact of drug stock-outs on death and retention to care among
HIV-infected patients on combination antiretroviral therapy in Abidjan, Côte d'Ivoire.PloS
one,5(10), e13414.
 share

Supported by
© 2020 Kebijakan AIDS Indonesia

Anda mungkin juga menyukai