PENDAHULUAN
Sunnah menurut etimologi adalah cara yang bisa ditempuh baik atau
buruk. Sebagaimana sabda nabi” Barang yang berinisiatif yang baik , ia akan
mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa
sedikitpun berkurang, dan barang siapa yang berinisiatif jelek, ia akan mendapat
dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun
berkurang”. (HR. Muslim). Sedangkan menurut istilah, “ segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, budi pekerti,
perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Perbedaannya adalah Sunnah lebih luas dibandingkan Hadits sebab sunnah
mencakup perkataan perbuatan, dan penetapan Rasul yang bisa dijadikan dalil
hukum syar’i.
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita
yang dismpaikan oleh seseorang kepada orang lain. Ada juga yang mengatakan
bahwa hadits lebih luas dari khabar, sehingga setiap hadits dapt dikatakan khabar,
taetapi tidak setiap khabar dikatakan hadits.
33
Atsar’ segala sesuatu yang diriwayatkan dari Sahabat, boleh juga
disandarkan kepada perkataan nabi SAW” Jumhur Ulama mengatakan bahwa
atsar, sama denga khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW,
sahabat dan tabi’in.
B. Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits
(Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu
dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi
berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau
sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits mengandung pengertian ilmu-ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu
Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits
Dirayah):
a. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang
penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau
benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat
dipertanggungjawabkan.[5]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu
Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi
pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya,
pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya. Menurut
Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan
(periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau
tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci. Menurut Zhafar
Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah
34
adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan
Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan
Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada
dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Hadits Nabi SAW dari segi
periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
Cara periwayatan hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara
penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
Cara pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan
pembukuannya. Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan
terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari
kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan
pembukuannya.
b. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah
(patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad)
dan diriwayatkan (marwiy)dari segi diterima atau ditolaknya.[6]
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu
Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka
kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama
dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya. Menurut ibnu al-Akfani, ilmu
hadits yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui
hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan
para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya. Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan
elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan
sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya
dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana
35
fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti
perkataannya“akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan
komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima
atau ditolaknya.
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau
menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang lainnya. Al-marwi adalah
segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi
SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in. Keadaan perawi dari
segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari
segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda` al-Hadits, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-
sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang
menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits.
36
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
َوأَ ْش ِهدُوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِي ُموا ال َّشهَا َدةَ هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم يُو َعظُ بِ ِه َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر...
37
Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya
ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan
penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara
menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang
musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat.
Ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu
hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut
telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur
dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah
ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat
itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain,
belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu
hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu
Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam
Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa
al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-
Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan
banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits
pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal
kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits
secara lengkap dan sempurna.
Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli
Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H)
menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian
disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-
Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-
Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi
wa Adab al-Sami’
D. CABANG-CABANG ILMU HADITS
38
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan
Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari
tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam
ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa
kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu
mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka
memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadits.
Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada
yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang
menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat
(Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan setiap
perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang
meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu yang ada
hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.[8]
b. Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits
Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan
sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’).
c. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan
seseorang.Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat seseorang perawi yang
dapat menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya,
sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudan
ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat
yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
39
Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka,
dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan At-ta’dil artinya
mensucikannya dan membersihkannya.
Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa
yang dapat meruak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima
beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikannya
hadits. At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya,
sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang
adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-
martabat kata-kata itu.[9]
d. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang tampaknya saling
bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya,
disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami atau dimengerti.
Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan hakikatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu musykilul
Hadits, ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful hadits, ilmu Ta’wilul
Hadits dan ilmu Talfiqul Hadits.Seangkan obyek pembahasan ilmu ini adalah
hadits-hadits yang tampaknya berlawanan, untuk kemudian dikompromikan
kandungan dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya, mengkhususkan
(takhshish) keumumannya dan lain sebagainya. Atau mentakwilkan hadits-hadits
yang musykil hinga hilang kemusykilannya.[10]
e. Ilmu `Ilalil Hadits
‘Ilal adalah jamak dari ‘illah, artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli
hadits adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status
keshahihan hadits padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat.[11]
Ilmu ‘Illal hadits yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi
dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan (menyambung
hadits) yang munqathi’(terputus sanadnya), me-marfu’-kan (menyandarkan
40
kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf(tidak sampai kepada Nabi SAW atau
terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam hadits lain,
mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-
matan hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali
digunakan. Dari ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari
ilmu gharibul hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat
yang sulit difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak
menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan
ahlinya.[12]
g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Nasikh artinya menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah
yang dihapus atau dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan
oleh syari’ (pembuat hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW)
terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.[13]
Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang
bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu
menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang dahulu
disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah
yang berlaku selanjutnya.
h. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya
dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal
adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab wurud al-
Hadits. Terkadang ada hadits yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan.
i. Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan
41
ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Manfaat ilmu ini adalah membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
1. Kedudukan As-Sunnah
Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan ke-2
setelah al-Qur'an. Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah
pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah: 1. Al-
Qur'an memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhanni al-wurud.
Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan. 2. As-sunnah memiliki
peran sebagai penjabaran al-Qur'an. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan
(as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawah yang menjelaskan (al-Qur'an). 3.
Adanya beberapa hadits dan atsar yang memberikan keterangan tentang urutan
dan kedudukan as-sunnah setelah al-Qur'an hal ini bisa dilihat dari dialog antara
Nabi dengan Mu’az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai
Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”. Mu’az
menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka dengan
sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnah maka dengan
berijtihad. 4. Al-Qur'an berasal dari Allah sedang sunnah/hadits berasal dari
hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu
lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.
Selain argumen di atas al-Qur'an dan as-sunnah sendiri menyatakan bahwa
kedudukan as-sunnah memang berada di nomor kedua setelah al-Qur'an. Hal itu
bisa ditemui dalam surat an-Nisa’ ayat 59: َّس•و َل ُ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُ•وا الر
َوأُولِي األ ْم ِر ِم ْن ُك ْمArtinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Dan dalam ayat 80: َم ْن يُ ِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد
َ •ولَّى فَ َم••ا أَرْ َس• ْلنَا
)٨٠( ك َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظً••ا َ •َ أَطَ••ا َع هَّللا َ َو َم ْن تArtinya: “Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. Selanjutnya dalam hadits Nabi ditegaskan: تركت فيكم امرين ماان تمسكتم بهما لن
42
)(رواه اب••وداود. تضلوا ابد اكتاب هللا وسنة رسولهAku tinggalkan untuk kalian dua perkara
atau pusaka, selama kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat,
yaitu Kitabullah (Qur’an) dan sunnah rasul-Nya (HR. Abu Daud) Terlepas dari
berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan as-sunnah
menempati posisi kedua setelah al-Qur’an banyak ayat-ayat yang tidak dapat
dijelaskan, dan itu bisa ditemui dalam penjelasan-penjelasan yang ada di dalam
as-sunnah. Penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW terhadap maksud
ayat-ayat tersebut sesuai dengan perintah yang diberikan Allah SWT kepada
beliau: Sebagaimana dalam surat an-Nahl ayat 44: اس َما نُ ِّز َل َ َوأَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي
ِ َّك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن
)٤٤( َ إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُونArtinya: dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, Dan dalam surat Ali Imran 164: َلَق
َ•اب َو ْال ِح ْك َم• ة
َ •َث فِي ِه ْم َرسُوال ِم ْن أَ ْنفُ ِس ِه ْم يَ ْتلُ••و َعلَ ْي ِه ْم آيَاتِ• ِه َويُ• َز ِّكي ِه ْم َويُ َعلِّ ُمهُ ُم ْال ِكت
َ ين إِ ْذ بَ َع
•َ ِْد َم َّن هَّللا ُ َعلَى ْال ُم ْؤ ِمن
َ َوإِ ْن َكانُوا ِم ْن قَ ْب ُل لَفِيArtinya : Sungguh Allah telah memberi karunia
)١٦٤ ( ضال ٍل ُمبِي ٍن
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab
dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
43
Contoh fungsi as-sunnah sebagai bayan tafshil yaitu masalah perintah shalat,
mengeluarkan zakat, melaksanakan haji dan qishash. Perintah untuk melakukan
hal-hal di atas, secara gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur’an. Namun teknik
operasional dari hal-hal tersebut tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi
didapati dalam as-sunnah. Dalam permasalahan shalat misalnya, wa aqimu shalat
(dirikanlah shalat) merupakan perintah oleh Allah kepada manusia untuk
melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama, kalimat tersebut merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi tata cara dan bilangan rakaatnya tidak
diperjelas dalam al-Qur’an, oleh sebab itu muncullah hadits yang menjelaskan
bagaimana pelaksanaan shalat, sebagaimana hadits: ص•••لواكماء أيتم•••وني اص•••لى
”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat” Begitu pula
hal-hal yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim,
bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang lainnya.
Secara syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya, semua dijelaskan oleh
Rasulullah. 2. Bayan takhsish Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur’an
juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi as-sunnah yakni
mengususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil,
sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan,
sedangkan pada bagian takhsish ini di samping as-sunnah sebagai bayan, juga
antara al-Qur’an dan as-sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan. Contoh
sunnah yang mentakhsishkan al-Qur’an: a) Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa
setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi
dalam hadits dikatakan: )” التبم••ع بين الم••رأ وعمته••ا والبين الم••رأة وخالته••ا (منف••ق عليهTidak
boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammeh (saudara
bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”. Dan juga dalam
hadits : ان هللا حرم من الرض•اعة م•احرم من النس. ”Sesungguhnya Allah mengharamkan
mengawani seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah
mengharamkannya karena senasab”.(HR.Bukhori Muslim) Dari uraian di atas,
dapat dipahami bahwa al-Qur’an mengemukakan hukum atau aturan-aturan yang
bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan as-sunnah. b) Dalam al-
Qur’an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan keluarganya,
44
hal itu berada dalam surat an-Nisa ayat 11: صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ ال ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَي ِْن
ِ يُو
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapat
harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan,
kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah yang berbunyi: ال ي••رث المس••لم
الكافروالالكافرالمسلم. ”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir
pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”.(HR.Jama’ah) Begitu juga dalam
hadits: )” اليرث القاتل من المقت••ول ش••يعا (رواه النس••اىSeorang pembunuh tidak mewarisi
harta orang yang dibunuh”. 3. Bayan ta’yin Definisi bayan ta’yin ialah bahwa as-
sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara
yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an. Seperti diketahui, dalam al-Qur’an
banyak ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, oleh
karena itu bayan ta’yin berperan dalam hal ini. Contoh dalam kasus ini, di dalam
al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa
iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ dalam ayat yang berbunyi: Ini
mempunyai arti haid dan suci. Oleh karena itu, apakah yang dimaksud ayat
tersebut adalah perempuan yang ditalak itu tiga kali atau tiga kali suci. Masih
belum jelas keterangannya maka pada kasus ini, hadits berperan dalam
menentukan waktu yang dimaksud oleh lafal quru’. Menurut asal lughah, makna
harfiahnya, qur’un itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad)
sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa yang dimaksud waktu
yang dibiasakan itu tidak lain kecuali haid. Untuk menguatkan pendapat tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut: a). Iddah itu diketahui dengan tidak adanya
kehamilan di rahim, dan hal itu bisa diketahui dengan adanya haid. b). Di dalam
al-Qur’an, tidak pernah disebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang
dianggap tidak sopan, meskipun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.
c). Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa iddah perempuan yang di talak itu
dengan 3x haid. 4. Bayan nasakh Selain ketiga fungsi di atas, fungsi as-sunnah
juga sebagai penjelas ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang
dimansukh (dihapus) yang secara lahiriyah ayat-ayat tersebut. Bayan nasakh ini
45
juga disebut bayan tabdil (pengganti suatu hukum atau menghapusnya). C.
Menetapkan dan menentukan suatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-
Qur’an. Segala tingkah laku manusia di dunia sudah diatur oleh Allah di dalam al-
Qur’an, secara garis besar. Hal tersebut bisa dipahami dari wahyu Allah yang
terakhir diturunkan kepada Nabi yakni surat al-Maidah ayat 3: Yang dimaksud
sempurna dalam ayat tersebut adalah bahwa secara global segala masalah
keagamaan sudah diungkapkan dalam al-Qur’an. Meskipun demikian Rasulullah
dalam prakteknya memberikan penjelasan yang lebih jelas dan terperinci guna
memberikan kemudahan umatnya dan menjalankan perintah agama. Contoh-
contoh hukum yang ditetapkan as-sunnah antara lain, hukum haram memakan
daging himar, daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki
mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus.
KESIMPULAN
Sunnah / Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam
Pengertian
46
Sunnah merinci pernyataan Alquran yang bersifat global.
Sunnah membatasi kemutlakan yang dinyatakan oleh Alquran.
Sunnah memberi pengecualian pada pernyataan Alquran yang bersifat umum.
Sunnah menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Alquran.
Macam-macam Hadis
47
3. Hadis ahad: adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau
lebih, tetapi tidak mencapai syarat masyhur dan mutawatir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abuddinnata, Al-Qur'an dan Hadits, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1996. 2. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: RAjawali Pers, 2006.
2. Usman, Suparman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
3. Syaikh Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits. 2005. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar
4. Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman. Mushthalah Al
Hadits. Yogyakarta : Media Hidayah
5. Warsito, Lc. Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami Sunnah. 2001.
Bogor : LPD Al Huda
48