Anda di halaman 1dari 15

RESUME

1.1 KONSEP PENYAKIT


1.1.1 DEFINISI
Retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang
membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan
urin ini lebih dari 25-50% kapasitas kandung kemih (Stanton, 2009).
Retensi urin adalah ketidak mampuan seserorang untuk mengeluarkan urin
yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui
(Hidayati: 2012).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat
terjadi secara akut maupun kronis. Retensi urin postpartum merupakan tidak
adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat
berkemih spontan dengan urin sisa kurang dari 150 ml. Retensio urin adalah tidak
bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana
tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Literatur
lain menyabutkan juga batas waktu kejadian retensio urin adalah 6-10 jam
postpartum.(Manuaba, IBG (2013).

1.1.2 ANATOMI FISIOLOGI


Saluran perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria dan urethra.
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang dan terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibanding ginjal kiri
karena tertekan ke bawah oleh hati katup terletak di kosta ke-12, sedangkan ginjal
kiri terletak setinggi kosta ke-11. Berat Ginjal + 125 gram.
Ureter merupakan saluran yang menghubungkan ginjal dengan vesika
urinaria, panjang ureter 10 – 12 inci, berfungsi sebagai penyalur urine ke vesika
urinaria. Kandung kemih adalah suatu organ yang berongga yang terletak di
sebelah anterior tepat di belakang os pubis, yang tersusun dari otot polos, yang
berkontraksi dan berfungsi sebagai tempat penampungan urine sementara dan
menyalurkan urine ke uretra. Uretra merupakan saluran kecil yang dapat
mengembang dan berjalan dari kandung kemih keluar tubuh. Panjang uretra pada
wanita 1,5 inci dan pada pria 8 inci.
Fungsi- fungsi utama dari ginjal adalah :
a) Ultra filtrasi : Menyaring darah dan bahan-bahan yang terlarut serta
membuang cairan yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh.
b) Pengendalian cairan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
c) Keseimbangan asam basa : Mempertahankan derajat asam dan basa dengan
mensekresi ion H dan pembentukan Bicarbonat sebagai Buffer.
d) Mengatur tekanan darah dengan mengendalikan volume sirkulasi dan
sekresi urine.
e) Mengatur metabolisme dengan mengaktifkan vitamin D yang diatur oleh
kalsium fosfat ginjal.
f) Memproduksi eritrosit : eritropoetin yang disekresikan oleh ginjal dan
merangsang sumsum tulang agar membuat sel-sel eritrosit.
g) Ekskresi produk sisa : Membuang langsung produk metabolisme yang
terdapat pada filtrasi glomerulus.

1) Pembentukan Urine
Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal, yang merupakan awal
pembentuk urine. Ginjal ini tersusun + 1 juta nefron yang terdiri dari sebuah
glomerulus dan sebuah tubulus. Dinding kapiler glomerulus tersusun oleh sel-sel
endotel dan membran basalis, Glomerulus membentang dan membentuk tubulus
yang terdiri atas 3 bagian yaitu :
2) Tubulus proximal :
Dalam keadaan normal, + 20 % dari plasma melewati glomerulus akan
disaring ke dalam nefron dengan jumlah 80 liter per hari yang terdiri dari filtrat
yaitu : air, elektrolit dan molekul kecil lainnya masuk ke dalam tubulus proximal
di proses hingga 60 % dan filtrat tersebut di serap kembali ke dalam darah, kecuali
glukosa 100 % di serap yang disebut dengan “Reabsorbsi Obligat” (mutlak).

3) Ansa Henle
Cairan dari tubulus proximal masuk ke Ansa henle. Ketika cairan turun ke
ansa henle desenden, ada transportasi aktif ureum yang menyebabkan kepekatan
meningkat, ketika naik lewat ansa henle asenden ada transportasi aktif H2O
(dikeluarkan)
4) Tubulus Distal
Di dalam tubulus ini terjadi 3 proses yaitu :
a. Reabsorbsi air oleh Anti Diuretik Hormon
Bila tubuh kekurangan air maka otak akan membuat banyak anti diuretic
hormon sehingga penyerapan di distal banyak juga dan urine menjadi
sedikit. Begitu sebaliknya bila air berlebih jumlah anti diuretik hormon
sedikit dan filtrat dapat lolos yang akhirnya jadi urine banyak.
b. Bekerjanya anti diuretik hormon
Anti diuretik hormon dapat juga dikeluarkan oleh korteks anak ginjal
untuk melakukan transportasi aktif yaitu mengeluarkan kalsium dan
menarik natrium.
c. Sekresi zat-zat sisa metabolime dan zat racun tubuh.
5) Ductus Kolligentes
Merupakan tubulus penampung setelah tubulus distal. Di sini masih terjadi
proses reabsorbsi air oleh anti diuretik hormon. Bila cairan sudah melewati ductus
kolligentes maka disebut dengan “urine” yang dilanjutkan ke kalix minor menuju
kalix mayor dan melewati pelvis ginjal mengalirkan urine ke ureter menuju ke
vesika urinaria dengan gerakan peristaltik yang membuka sfingter ureter,
kemudian urine masuk ke dalam vesika urinaria, sebagai tempat penampungan
sementara.
6) Vesika Urinaria
Suatu kantong berotot yang disebut musculus Detrusor, yang terisi sedikit
demi sedikit urine, mulai dari volume 0 – 100 cc, tekanan kandung kemih sedikit
bertambah. Dari volume 100 – 400 cc tekanan kandung kemih tidak berubah,
karena Musculus Detrusor mengembang mengikuti jumlah air kemih lewat 400
cc ke atas tekanan meningkat dan meregangkan Musculus Detrusor.
Regangan ini mengirim impuls afferent ke medula spinalis lumbal dan
sacral dengan susunan saraf pusat. Dari lumbal sacral keluar impuls efferent ke
Musculus Detrusor (mengerut). Merangsang pembukaan sfingter urethra internal
untuk membuka sehingga timbul keinginan untuk BAK, dengan mengalirkan
urine keluar tubuh melalui sfingter urethra eksterna.
7) Komposisi Urine
Urine yang normal biasanya berwarna jernih sampai dengan kuning muda,
tidak terdapat glukosa, eritrosit, leukosit dan trombosit serta protein. Bau sedikit
pesing, berat jenis 1010 – 1030.Urine terdiri dari :Air, Elektrolit, Zat asam sisa
metabolisme

1.1.3 ETIOLOGI
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos
operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.

1.1.4 PATOFISIOLOGI
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih,
sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot
detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan
kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil
biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin.
Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria.
Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu.
Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan
terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan
obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika
urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria
menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama.
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot
detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak
sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.

1.1.5 KLASIFIKASI
a. Retensi urin akut
Merupakan retensi urine yang berlangsung ≤ 24 jam post partum. Retensi
urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya
gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak
adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra,
karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa
pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post
partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi
akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematomapelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh
trauma kandung kemih. Nyeri atau interfensi sementara pada persyarafan kandung
kemih, nyeri sering mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai
urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada keadaan ini,
kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan kemampuan untuk
berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat
dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu.
1. Retensio urin pasca persalinan pervaginam
Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain itu
penekanan yang lama bagian terendah janin terhadap periuretra
menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor, sehingga terjadi
ekstravasasi ke otot kandung kemih Nyeri karena laserasi atau episiotomi
juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor .
2. Retensio urin pasca seksio sesaria :
a. Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan
hematom jaringan periuretra
b. Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan
mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin
c. Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan spastik
sfingter uretra
d. Anestesi
b. Retensi urin kronik
Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus
retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan
intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian
atas dan penurunan fungsi ginjal.

Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu:


a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post
partum tanpa gejala klinis). Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi
(covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat
diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan
yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih
dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥
150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori
ini.
b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah
ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan.
Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang
digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6
jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang
menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara
klinisdibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat
secarakeseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%.
1.1.6 MANIFESTASI KLINIS (TANDA & GEJALA)
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk
diantaranya:
a. Kesulitan buang air kecil
b. Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
c. Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik
saat berkemih
d. Rasa tidak puas setelah berkemih
e. Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen)
f. Kencing menetes setelah berkemih
g. Sering berkemih dengan volume yang kecil
h. Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI
i. Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan
j. Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan
k. Letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih
yang teraba ( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut
bagian bawah.

1.1.7 KOMPLIKASI
a. Perdarahan.
b. Ekstravasasi urin

1.1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine
adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan specimen urine.
b. Pengambilan: steril, random, midstream
c. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
d. Sistoskopy, IVP.

1.1.9 PENATALAKSANAAN MEDIS


1. Bladder Training
Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin.
Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada
ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum.Ketika
kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi, kateter
Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga
kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan
kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat
berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara
spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa
residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml
residu urin , drainase kandung kemihdilanjutkan lagi. Residu urin setelah
berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml.Program latihan bladder
training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan memberikan
umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung
kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan
meningkatkan kemampuan berkemih.
2. Hidroterapi
Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan
dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah
penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari hidroterapi. Dari
beberapa literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi adalah untuk
memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat memperbaiki fungsi jaringan dan
organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi alternatif
untukpemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada
masa post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah,
efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri.

1.2 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN


1.2.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Untuk mengetahui apakah klien pernah atau tidak pernah menderita
penyakit menular (seperti TBC, kusta), penyakit menurun (DM, HT, asma,
dll)
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk mengetahui bagaimana keadaan kesehatan klien saat ini, apakah
klien sedang menderita menular (seperti TBC, kusta), penyakit menurun
(jantung, Diabetes,hipertensi, asma, dll).
5. Riwayat Kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarganya/ keluarga suaminya ada atau
tidak yang mempunyai penyakit menurun (seperti DM, HT, asma, dll),
penyakit menular(TBC, Kusta) serta ada atau tidak yang mempunyai
keturunan kembar, bila ada siapa. Perlu dikaji untuk mengetahui penyakit
yang diderita keluarga yang dapat menurunatau menular pada ibu sehingga
mempengaruhi masa kehamilan.
6. Pemeriksaan fisik:
1) Keadaan umum, TTV
a. B1 (Breathing)
Meliputi bentuk dada: simetris, apakah ada nyeri dada, sesak nafas,
irama pernapasan, suara nafas normal dan tambahan
b. B2 (Blood)
Crt <2detik, apakah ada edema pada bagian ekstremitas,irama jantung
regular,Apakah ada pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran pembuluh
limfe, dan pembesaran vena jugularis.
c. B3 (Brain)
Meliputi tingkat kesadaran, keadaan rambut, apakah ada edema pada
wajah , warna pada sklera mata,warna konjungtiva.

d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan
cairan, karena itu perawat perlu memantau. Adanya edema ekstremitas
mendadak terjadi retensi cairan yang parah.
e. B5 (Bowel)
Pasien biasanya merasakan mual dan muntah, penurunan nafsu
makan, serta penurunan berat badan.Terdapat linea nigra, striae
uvidae/albican,dan terdapat pembesaran abdomene.
f. B6 (Bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, serta mudah
lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2) Sistem Reproduksi
Payudara : Mengamati bentuk, ukuran, dan kesimetrisannya, puting susu
menonjol atau masuk ke dalam. Adanya kolostrum atau cairan lainnya,
misalnnya ulkus, retraksi akibat adanya lesi,masa atau pembesaran
pembuluh limfe.
Genetalia : Apakah terdapat varices pada vulva dan vagina, oedema,
condilomatalata, condylomaacuminata, pembesaran kelenjar skene dan
bartholini, keputihan dan untuk mengetahui adanya kelainan alat
reproduksi

1.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a) Nyeri Akut Berhubungan Dengan peningkatan tekanan uretraditandai
dengan :Subyektif : Sensasi penuh pada kandung kemih. Obyektif : Disuria,
Distensi kandung kemih
b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan
:Subyektif :Mengeluh lelah, Merasa lemah, Merasa tidak nyaman setelah
beraktivitas. Objektif :Tekanan darah berubah >20%dari kondisi istirahat,
Terpasang kateter, Sianosis
c) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan:
Subyektif :Merasa khawatir dengan kondisi yang dihadapi ,Merasa gelisah,
Merasa tidak berdaya. Objektif :Tampak tegang , gelisah, Muka tampa
pucat, Frekuensi nadi,nafas, tekanan darah meningkatSulit tidur
d) Risiko terjadi infeksi berhubungan dengan efek prosedur infasif(terpasang
kateter) ditandai dengan:Subyektif :Objektif :Terpasang kateter
e) Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat ditandai dengan: Subyektif:-. Objektif:Terpasang kateter,
Sulit BAK setelah melahirkan, Perut kembung

1.2.3 INTERVENSI
Rencana Tindakan
Diagnosa
No Tujuan Intervensi TTD
Keperawatan
Keperawatan
1. Nyeri Akut Setelahdilakukantindakankeperawatanselama - Ajarkan teknik
Berhubungan 3 x 24 jam diharapkannyeriberkurang / nonfarmakologi
Dengan hilangdengankriteriahasil : s untuk
peningkatan - Melaporkan nyeri berkurang / hilang mengurangi
tekanan - Skala nyeri berkurang rasa nyeri
uretra - Ketegangan otot berkurang / hilang - Berikan plester
- Dapat istirahat dan tidur selang drainase
pada paha dan
kateter pada
abdome
- Anjurkan
monitor nyeri
secara mandiri
- Identifikasi
skala nyeri
- Monitor
kualitas nyeri
(mis: terasa
tajam,tumpul
diremas-
remas,ditimpa
beban berat)
- Monitor lokasi
dan penyebaran
nyeri
- Monitor
intensitas nyeri
dengan
menggunakan
skala
- Monitor durasi
dan frekuensi
nyeri
- Kolaborasi
pemberian
analgetik

Diagnosa Rencana Tindakan


No Tujuan Intervensi Keperawatan TTD
Keperawatan
2. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan - Monitor lokasi
aktifitas b.d. keperawatan selama 3x24 ketidaknyamanan / nyeri
kelemahan jam, masalah keperawatan selama gerakan atau
intoleransi aktifitas teratasi aktifitas
dengan indikator: - Kaji kemampuan pasien
- Klien mampu dalam aktifitas
menunjukkan kemampuan - Latih pasien dalam
berpindah pemenuhan kebutuhan
- Klien menunjukkan ADL secara mandiri sesuai
kemampuan ambulasi : kebutuhan
berjalan/kursi roda - Dampingi dan bantu pasien
- Tidak terdapat adanya saat mobilisasi dan bantu
tanda dan gejala gangguan pemenuhan kebutuhan
sirkulasi akibat aktifitas ADL
yang terbatas - Berikan alat bantu bila
pasien membutuhkan
Diagnosa Rencana Tindakan
No Tujuan Intervensi Keperawatan TTD
Keperawatan
3. Ansietas  b.d. Setelah dilakukan tindakan - Ciptakan suasana terapeutik
perubahan status keperawatan selama 3x24 untuk meenumbuhkan
kesehatan jam, masalah keperawatan kepercayaan
cemas teratasi dengan - Anjurkan mengungkapkan
indikator: perasaan presepsi
- Klien menunjukkan - Temani pasien untuk
kecemasan berkurang mengurangi kecemasan,jika
- Secara verbal klien memungkinkan
mengatakan cemas dapat - Berikan informasi adekuat
teratasi pada level yang mengenai diagnosis,
dapat ditangani oleh pasien tindakan,pengobatan dan
sendiri prognosis
- Klien merasa tenang - Anjurkan keluarga untuk
menemani pasien
- Bantu pasien mengenali
situasi yang menimbulkan
kecemasan
- Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
- Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi

Diagnosa Rencana Tindakan


No Tujuan Intervensi Keperawatan TTD
Keperawatan
4. Retensi urin b.d Setelah dilakukan tindakan - Dorong pasien utnuk
ketidakmampuan keperawatan selama 3x24 berkemih tiap 2-4 jam dan
kandung kemih jam, masalah keperawatan bila tiba-tiba dirasakan.
untuk retensi urine teratasi dengan - Tanyakan pasien tentang
berkontraksi indikator: inkontinensia stres.
dengan adekuat - Berkemih dengan jumlah - Observasi aliran urin,
yang cuk perhatikan ukuran dan
- Tidak teraba distensi ketakutan.
kandung kemih - Awasi dan catat waktu dan
jumlah tiap berkemih..
- Perkusi/palpasi area
suprapubik

1.2.4 IMPLEMENTASI
Implementasi adalah suatu perencanaan dimasukkan dalam tindakan, selama
fase implementasi ini merupakan fase kerja aktual dari proses keperawatan.
Rangkaian rencana yang telah disusun harus diwujudkan dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan. Pelaksanaan dapat dilakukan oleh perawat yang bertugas
merawat klien tersebut atau perawat lain dengan cara didelegasikan pada saat
pelaksanaan kegiatan maka perawat harus menyesuaikan rencana yang telah
dibuat sesuai dengan kondisi klien maka validasi kembali tentang keadaan klien
perlu dilakukan sebelumnya.
1.2.5 EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses perawatan untuk mengukur
keberhasilan dari rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien  Bila
masalah tidak dipecahkan atau timbul masalah baru, maka perawat harus berusaha
untuk mengurangi atau mengatasi beban masalah dengan meninjau kembali
rencana perawatan dengan menyesuaikan kembali terhadap keadaan masalah yang
ada

Anda mungkin juga menyukai