Nathalina Naibaho
PE NDA HUL UA N
Hak anak menjadi salah satu hak yang penting dipelajari karena setiap
manusia mengalami fase kehidupan mulai anak-anak hingga menjadi dewasa.
Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berhak atas jaminan
perlindungan sejak dalam kandungan dan hak asasi tersebut diakui dan
melekat padanya hingga ia mencapai usia 18 tahun. Anak-anak dipandang
perlu mendapat perlindungan karena mereka merupakan modal kemanusiaan,
karena tanpa mereka spesies manusia akan punah. Anak juga merupakan
modal budaya yaang akan meneruskan serta mengembangkan peradaban
manusia dan kebudayaannya. Sayangnya keterbatasan kondisi fisik dan
psikisnya maka anak rentan terhadap pelanggaran atas hak-hak yang
dimilikinya. Karena anak belum mampu melindungi dirinya, maka orang
dewasa mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak tersebut.
Dalam modul ini, akan dipaparkan dan didiskusikan berbagai hak yang
dimiliki oleh seorang anak, seperti hak atas kehidupan dan hak
mempertahankan hidup, hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan,
hak yang dimiliki anak cacat, hak anak untuk beribadah, hak anak untuk
mengetahui asal usulnya, hak untuk dipelihara dan dibesarkan oleh orang tua
atau walinya yang sah, hak atas perlindungan tatkala menjadi korban
pelanggaran HAM, hak atas pendidikan dan pengajaran dalam rangka
mengembangkan dirinya serta hak atas informasi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan usianya. Selanjutnya anak juga memiliki hak untuk
beristirahat, berekreasi, bermain, berhak atas pelayanan kesehatan, hak untuk
tidak dilibatkan dalam perang, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Anak juga berhak atas
perlindungan dari segala kegiatan eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual
termasuk penculikan, perdagangan anak penyalahgunaan narkotika, obat-
obatan terlarang dan zat adiktif lainnya (napza). Anak yang berkonflik
dengan hukum, dalam hal ia melakukan tindak pidana berhak pula atas
perlindungan atas hak asasinya. Setelah mempelajari modul ini, maka
Hukum dan Hak Asasi Manusia l
Perbedaan penentuan batas usia anak ini bukan tidak mungkin dapat
membingungkan para pihak (baik orang tua, aparat penegak hukum,
pemerintah, aktivis hak anak, dsb) dalam memenuhi hak anak. Baik ketika
anak berada dalam posisi sebagai korban pelanggaran HAM maupun pelaku
tindak pidana. Sebenarnya dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Anak dan berdasarkan Pasal 91 undang-undang tersebut maka batasan usia
anak inilah yang akan dipakai, kecuali khusus mengenai anak yang
berhadapan dengan hukum/melakukan tindak pidana, maka pengaturan
usianya tunduk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Untuk itu Penyusun memutuskan, dalam modul ini yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (sesuai Pasal 1 butir 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Menurut
pendapat penulis jika di dalam peraturan perundangan dirumuskan anak
adalah mereka yang berusia < …… tahun (mereka yang berusia kurang dari
….. tahun) dan belum menikah, maka bagi mereka yang masih dalam batas
usia belum dewasa namun telah menikah/kawin maka mereka akan
kehilangan hak-haknya sebagai anak. Hal ini tentu saja merugikan mereka.
Belum lama ini telah dilakukan persetujuan terhadap RUU Perkawinan
pada 16 September lalu. Perubahan terhadap UU Perkawinan dilakukan guna
mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017.
Putusan ini menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan,
sehingga batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
19 tahun. Mahkamah Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan
Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan paling lambat 3
tahun sejak putusan dibacakan. Sebelum lewat batas waktu tiga tahun itu,
DPR dan pemerintah diharapkan sudah melahirkan UU Perkawinan baru.
Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, salah satu materi muatan Undang-Undang adalah menindaklanjuti
Hukum dan Hak Asasi Manusia l
RA NG KUMAN
Terdapat empat prinsip utama dalam pemenuhan dan perlindungan
hak anak yaitu: nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan
terhadap pendapat anak.
H ak-hak anak yang akan dikemukakan dalam modul ini berpedoman
pada hak-hak anak yang dirumuskan dalam Bagian Kesepuluh tentang
Hak Anak Pasal 52–66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Dilengkapi dengan instrumen Hukum dan HAM baik yang
berskala nasional maupun internasional yang kesemuanya menjadi landasan
dalam pemberian jaminan dan pemenuhan hak anak, maka saat ini akan
dipaparkan tentang beragam instrumen itu. Uraian ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan yang kuat yang menjadi dasar bagi pihak yang
berkepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.
untuk beristirahat dan berekreasi, hak anak cacat, anak pidana berhak atas
bantuan hukum, dsb. Selain hak anak, dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 dirumuskan pula kewajiban anak dan kewajiban orang tua. Anak
berkewajiban untuk: menghormati orang tua, wali dan guru; mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa
dan negara; menunaikan ibadah sesuai denga ajaran agamnya; dan
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Sementara orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; menumbuh kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak. Dalam Bab XII undang-undang ini dicantumkan pula
ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan penelantaran,
diskriminasi, penganiayaan, eksploitasi, penculikan, dan berbagai perbuatan
lain yang dapat membuat anak menderita baik secara moril maupun materiil
sehingga menghambat perkembangannya. Kesemua ketentuan di atas
menjadi landasan bagi para pemangku kepentingan (pemerintah, penegak
hukum, masyarakat serta pemerhati hak anak) dalam rangka pemberian
perlindungan dan pemenuhan terhadap hak anak.
RA NG KUMAN
Terdapat berbagai instrumen Hukum dan HAM baik yang memiliki
ruang lingkup nasional maupun internasional. Instrumen tersebut
menjadi dasar hukum bagi para pemangku kepentingan di Indonesia
dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak anak.
Ruang Lingkup Hak Anak
perlindungan anak ini melarang siapa saja, baik itu perorangan ataupun
kelompok dan partai politik untuk melibatkan anak dalam aktivitas politik
mereka, seperti misalnya kampanye, demonstrasi, dan lain sebagainya.
Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak.
PEMBAHASAN
1. HAK HIDUP
Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar bagi seluruh umat
manusia dan merupakan anugerah dari Tuhan YME. Pada dasarnya
kehidupan seseorang ditentukan oleh Tuhan, namun pada kenyataannya
manusia dapat pula mempercepat kematian seseorang, misalnya melalui
aborsi (karena hamil di luar nikah), euthanasia dan hukuman mati. Banyak
anak yang tak dapat menikmati kelanjutan hidupnya karena keegoisan orang
dewasa, salah satunya melalui aborsi. Di beberapa tempat di Jakarta mudah
ditemukan klinik dan dokter yang melayani praktik aborsi. Aborsi (tanpa
alasan yang sah) pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM. Hal ini
mengacu pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang HAM yang mengatur
bahwa setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu,
Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
juga merumuskan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya yang wajib dilindungi oleh hukum dan pada prinsipnya
tak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Secara implisit hal tersebut juga diatur dalam Pasal 346 (larangan aborsi atau
pengguguran kandungan) dan 356 KUHP (penganiayaan berat terhadap anak
sendiri) serta dalam Pasal 476 dan 480 (kejahatan terhadap anak di dalam
kandungan) Rancangan KUHP tahun 1999-2000.
Undang-Undang Nomor 3 Tahuun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak
secara tegas mengatur tentang hak anak untuk hidup namun dengan
peniadaan hukuman mati terhadap anak yang melakukan tindak pidana maka
dapat disimpulkan demikian. Pasal 26 UU ini menyebutkan bahwa pidana
penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak adalah ½ dari hukuman
terhadap orang dewasa, jika ia melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara
yang dapat dijatuhkan pada anak tersebut paling lama 10 tahun.
Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pada Pasal 75
diatur secara tegas tentang larangan aborsi/pengguguran kandungan dengan
pengecualian, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan jika ditemukan adanya
indikasi kedaruratan medis dan dalam kondisi kehamilan yang diakibatkan
oleh perkosaan sesuai dengan syarat yang dirumuskan dalam Pasal 75 dan
Pasal 76 Undang-Undang Kesehatan.
Dalam hal ini pelaksanaan terhadap hak anak yang mengalami cacat fisik dan
atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 9 ayat (2), 12, 51, 59 serta 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa setiap anak yang cacat
fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa, perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara. Hal ini
dilakukan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini
pelaksanaan terhadap hak anak yang mengalami cacat fisik dan atau mental
atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan
terhadap anak cacat ini dilakukan dalam upaya:
a. Memperlakukan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
anak;
b. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus anak;
c. Memperoleh perlakukan yang sama dengan anak lainnya dalam untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dalam pengembangan
individu;
d. Melakukan pelarangan pemberian labelisasi dan diskriminasi dalam
bidang pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat fisik dan mental.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional turut pula mencantumkan dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa warga
negara yang memeiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya
sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya (tujuannya adalah untuk menghindari terputusnya silsilah dan
hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya), dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri (agar anak dapat patuh dan menghormati
orang tuanya). Selanjutnya dalam Pasal 26 undang-undang ini disebutkan
bahwa hal tersebut merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab
orang tua untuk
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Namun, jika orang tuanya tidak diketahui/tidak ada maka tanggung jawab
tersebut beralih pada keluarga. Lebih khusus dalam Pasal 13 dirumuskan
bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan di antaranya adalah penelantaran. Kemudian
Pasal 13 ayat (2) menambahkan bahwa dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud di
atas maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 55 dan 57 mengatur tentang penentuan anak dalam status anak
terlantar jika orang tua/keluarga mengabaikan kewajiban pemeliharaan
tersebut. Lebih tegasnya lagi Pasal 77 sub b mencantumkan sanksi pidana
paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran pada
anak sehingga mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental maupun
sosial. Selain orang tua dan keluarga, perubahan ke 4 UUD 1945 tahun 2002
dalam Pasal 34 ayat (1) menyebutkan tanggung jawab negara dalam
memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Pasal 56 ayat (2) HAM
melakukan pengecualian terhadap pasal 56 ayat (1):
“Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara
anaknya dengan baik sesuai dengan undang-undang ini, maka anak tersebut
boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mengenai orang tua angkat dirumuskan pula dalam pasal 7 dan 14 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002. Ketentuan mengenai adopsi anak bagi
pasangan suami isteri diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 (mengatur
tentang pengangkatan anak antar WNI, yang boleh mengangkat anak bukan
saja mereka yang telah terikat oleh perkawinan yang sah tapi boleh juga
dilakukan oleh orang tua tunggal-orang yang belum menikah) atau tentang
penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan
Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak. Selain itu, Keputusan Menteri
Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan
adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun.
Setelah permohonan pengangkatan anak disetujui oleh Pengadilan, pemohon
anak menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak.
Salinan ini harus dibawa ke kantor catatan sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa
anak tersebut telah diadopsi dan di dalam tambahan itu disebutkan pula nama
pemohon sebagai orangtua angkatnya. Akibat hukum pengangkatan anak
berdampak pada perwalian dan hak waris.
Ketentuan dalam Undang-Undang HAM yang mengatur tentang orang tua
angkat, adalah:
Pasal 57 ayat (2) :
Hak atas perlindungan dari kekerasan diatur dalam pasal 58 ayat (1)
yang menyebutkan: Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua
atau walinya, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut. Jika dilanggar maka pasal 58 ayat (2) Undang-
Undang HAM menentukan: Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau
pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.
Pada kenyataannya banyak orang tua yang melakukan
kekerasan/penganiayaan kepada anak dengan alasan memberikan
“didikan/ajaran supaya anak tidak kurang ajar”. Tidak hanya penganiayaan,
anak pun diterlantarkan begitu saja, tidak dipelihara dengan baik bukan saja
secara jasmani maupun rohani (orang tua yang bekerja mempunyai waktu
yang tak banyak untuk mendampingi anak-anaknya, anak lebih banyak
diasuh oleh nenek dan baby sitter atau pembantu rumah tangga). Yang sangat
menyedihkan adalah apabila orang tua melakukan pelecehan dan kekerasan
seksual terhadap anak. Dalam beberapa media misalnya disebutkan bahwa
keluarga yang mempunyai rumah yang sangat sempit memiliki potensi
terjadinya incest, hal ini biasanya dilakukan oleh ayah kandung/tiri terhadap
anak perempuannya. Penyalahgunaan seksual (sexual abuse) terhadap anak,
adalah perbuatan pemaksaan untuk melakukan hubungan maupun aktivitas
seksual lainnya yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak baik
dengan kekerasan maupun tidak (Penyalahgunaan Seksual terhadap Anak,
Lembar info seri 24, LBH Apik).
KUHP juga mengatur pemberatan hukuman jika kekerasan berupa
penganiyaan dilakukan tehadap anak sendiri (Pasal 356). Pasal-pasal dalam
KUHP yang mengatur perbuatan/kejahatan terhadap anak yang dilakukan
oleh orang tua, wali atau orang lain yang bertanggung jawab atas anak
tersebu, al: Pornografi (283), perkosaan (287), percabulan (288, 290, 292,
294, 295), dan penculikan terhadap anak (330). Perlu juga disinggung
Rancangan KUHP (RKUHP) meskipun belum berupa undang-undang.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l
diteruskan dengan berbagai macam les, dan esoknya harus berangkat pagi-
pagi ke sekolah. Jadwal yang terlalu padat ini dikhawatirkan dapat
menganggu perkembangannya, baik mental maupun fisik. Program full day
School juga patut dicermati apakah kurikulum yang diterapkan masih
memungkinkan seorang anak untuk beristirahat sebagaimana mestinya.
Hal tersebut diatas kiranya dapat dibandingkan dengan kasus yang
dialami oleh anak-anak di Jepang, yaitu berupa tekanan orang tua untuk
menjadikan anak sebagai number one mengakibatkan mereka stres dan ada
pula yang bunuh diri jika rapornya jelek, terjadi juga di Indonesia. Ternyata
mereka merasa sangat lelah dan merasa terlalu dipacu/dituntut untuk terus
berprestasi. Memang tujuan orang tua baik agar anaknya berhasil dan mandiri
tapi sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan anak. Suatu studi
membuktikan jika anak terlalu dipaksakan untuk selalu belajar, pada suatu
titik dalam hidupnya ia akan merasa sangat bosan dan lelah, dan tidak mau
belajar lagi. Pemaksaan ini tentu saja tidak sesuai dengan Pasal 61 Undang-
Undang HAM:
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
L A T IHA N
RA NG KUMAN
Hak anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan, meliputi
berbagai hal dan terdapat dalam berbagai bidang hukum. Kesemuanya
itu berkenaan dengan hak anak dalam lingkup hukum administrasi dan
kependudukan, hukum perdata dan hukum pidana. Dalam rangka
menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak anak ini
maka kita memerlukan suatu landasan hukum yang akan menguatkan
kompetensi para pemangku kepentingan dalam memberikan jaminan
akan hak-hak tersebut demi kepentingan terbaik bagi anak.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l
Daftar Pustaka
Nathalina (2006). HAM Bagi Saksi dan Korban dalam Modul TOT Petugas
Penegak Hukum. Jakarta: IASTP, Sucofindo, Ditjen HAM
Departemen Hukum dan HAM RI dan Sentra HAM FHUI.
Smith, Rhona K, et.al (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat
Studi HAM UII.
Stark, Barbara (2017). Human Rights and Children (Human Rights Law 9).
Edward Elgar Publishing Limited.
Susilawati, Ima et.al. (2004). Pengertian Konvensi Hak Anak. Tanpa kota:
Tanpa Penerbit.