Anda di halaman 1dari 45

Modul Hak Anak

Nathalina Naibaho
PE NDA HUL UA N

Hak anak menjadi salah satu hak yang penting dipelajari karena setiap
manusia mengalami fase kehidupan mulai anak-anak hingga menjadi dewasa.
Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berhak atas jaminan
perlindungan sejak dalam kandungan dan hak asasi tersebut diakui dan
melekat padanya hingga ia mencapai usia 18 tahun. Anak-anak dipandang
perlu mendapat perlindungan karena mereka merupakan modal kemanusiaan,
karena tanpa mereka spesies manusia akan punah. Anak juga merupakan
modal budaya yaang akan meneruskan serta mengembangkan peradaban
manusia dan kebudayaannya. Sayangnya keterbatasan kondisi fisik dan
psikisnya maka anak rentan terhadap pelanggaran atas hak-hak yang
dimilikinya. Karena anak belum mampu melindungi dirinya, maka orang
dewasa mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak tersebut.
Dalam modul ini, akan dipaparkan dan didiskusikan berbagai hak yang
dimiliki oleh seorang anak, seperti hak atas kehidupan dan hak
mempertahankan hidup, hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan,
hak yang dimiliki anak cacat, hak anak untuk beribadah, hak anak untuk
mengetahui asal usulnya, hak untuk dipelihara dan dibesarkan oleh orang tua
atau walinya yang sah, hak atas perlindungan tatkala menjadi korban
pelanggaran HAM, hak atas pendidikan dan pengajaran dalam rangka
mengembangkan dirinya serta hak atas informasi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan usianya. Selanjutnya anak juga memiliki hak untuk
beristirahat, berekreasi, bermain, berhak atas pelayanan kesehatan, hak untuk
tidak dilibatkan dalam perang, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Anak juga berhak atas
perlindungan dari segala kegiatan eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual
termasuk penculikan, perdagangan anak penyalahgunaan narkotika, obat-
obatan terlarang dan zat adiktif lainnya (napza). Anak yang berkonflik
dengan hukum, dalam hal ia melakukan tindak pidana berhak pula atas
perlindungan atas hak asasinya. Setelah mempelajari modul ini, maka
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

pembaca diharapkan dapat menjelaskan prinsip-prinsip dalam pemenuhan


dan perlindungan anak, pengaturan hak anak dalam berbagai instrumen
Hukum dan HAM terkait serta ruang lingkup hak anak seperti yang
dirumuskan di dalam Undang-Undang HAM.

Setelah mempelajari modul ini, secara umum mahasiswa diharapkan


dapat menjelaskan dengan baik prinsip-prinsip perlindungan hak anak, hak
anak dalam berbagai instrumen hukum dan ham, dan ruang lingkup hak anak.
Selain itu, secara khusus, mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan tentang dan mampu mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi
atas hak-hak anak sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip pemenuhan dan perlindungan hak anak
2. Hak anak dalam berbagai instrumen ham internasional dan
nasional
3. Hak yang dimiliki anak di antaranya hak hidup
4. Hak atas suatu nama
5. Hak atas kewarganegaraan
6. Hak anak cacat
7. Hak untuk beribadah
8. Hak untuk mengetahui asal usulnya dan hak untuk dipelihara oleh
orang tuanya
9. Hak atas perlindungan dari kekerasan
10. Hak untuk tidak berpisah dengan orang tuanya
11. Hak atas pendidikan dan informasi
12. Hak atas istirahat dan rekreasi, hak atas kesehatan
13. Hak untuk tidak dilibatkan pada waktu perang dan berhak untuk
merasakan kedamaian
14. Hak untuk tidak dieksploitasi
15. Hak atas keadilan dan bantuan hukum bagi anak yang melakukan
tindak pidana
K eluarga merupakan kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat
dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. Anak,
sebagai bagian dari keluarga, tentu memerlukan pemeliharaan dan
perlindungan khusus dari orang dewasa di sekitarnya, terutama pada tahun-
tahun pertama dari kehidupannya. Semua usaha perlindungan anak mencakup
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Dalam memenuhi hak-haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya
sendiri disebabkan pengetahuan, kemampuan dan pengalamannya yang
masih terbatas. Orang dewasa, khususnya orang tua memegang peranan
penting dalam memenuhi hak-hak anak. Tak heran jika Undang-Undang
HAM sampai memuat 15 pasal (dalam Undang-Undang HAM, hak anak
terdapat dalam Pasal 52-66) yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena
pembentuk undang-undang menyadari bahwa anak merupakan kelompok
yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Selanjutnya Pasal 1 butir 12
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, turut
merumuskan hak anak sebagai bagian dari HAM yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah
dan negara.
Kita sadari bersama bahwa anak sebagai sebuah pribadi yang sangat
unik, memilki ciri yang khas. Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan
perasaan, pikiran dan kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar
mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang
anak. Untuk itu bimbingan, pembinaan dan perlindungan dari orang tua,
guru, serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak di dalam
perkembangannya.
Ironis, dalam kenyataannya justru banyak orang yang mengabaikan
kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anaknya sendiri. Kekerasan dan
eksploitasi yang dilakukan terhadap anak merupakan contoh konkrit dari
pelanggaran terhadap hak asasi anak. Tatkala membahas tentang pemenuhan
hak anak, terdapat berbagai masalah di dalamnya, antara lain: Beragamnya
ketentuan yang mengatur batas usia anak; belum adanya kriteria yang jelas
dalam menentukan ukuran kesejahteraan anak; serta masih kurangnya
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

kesadaran masyarakat tentang pentingnya memberikan perlindungan dan


pemenuhan terhadap hak-hak anak.
Berkenaan dengan usia, di Indonesia terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mencantumkan batasan usia anak, yang berkenaan
dengan batas usia menikah, batas usia dilindungi sebagai seorang anak, usia
bekerja dan batas usia pertanggung jawaban pidana jika melanggar hukum
dalam hal ini melanggar hukum pidana, yaitu:
1. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (dalam
undang-undang ini hanya diatur tentang usia yang diperbolehkan untuk
menikah yakni 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita
selanjutnya pasal 47 ayat (1) undang-undang ini juga mengatur tentang
batas umur kedewasaan anak yakni kurang dari 18 tahun atau belum
pernah menikah) merumuskan bahwa anak adalah mereka yang berusia
kurang dari 21 tahun sedangkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan bahwa anak
adalah mereka yang berusia kurang dari 21 tahun dan belum pernah
kawin;
2. Pasal 1 Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan
dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, dan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengatur: anak adalah mereka yang berumur
kurang dari 18 tahun sedangkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Pasal 1 butir 5 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur: anak adalah
mereka yang berumur kurang dari 18 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak untuk pertanggung jawaban
pidana maka usia minimal anak adalah 12 tahun.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak di dalam kandungan.

Dari berbagai peraturan perundangan-undangan itu dapat kita perhatikan


bahwa terdapat perbedaan perumusan batas usia anak, sebagai sbb:
a. mereka yang belum berumur 18;
b. mereka yang belum berumur 18 dan belum pernah kawin;
c. mereka yang belum berumur 21 tahun;
d. serta mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin;
e. mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan.

Perbedaan penentuan batas usia anak ini bukan tidak mungkin dapat
membingungkan para pihak (baik orang tua, aparat penegak hukum,
pemerintah, aktivis hak anak, dsb) dalam memenuhi hak anak. Baik ketika
anak berada dalam posisi sebagai korban pelanggaran HAM maupun pelaku
tindak pidana. Sebenarnya dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Anak dan berdasarkan Pasal 91 undang-undang tersebut maka batasan usia
anak inilah yang akan dipakai, kecuali khusus mengenai anak yang
berhadapan dengan hukum/melakukan tindak pidana, maka pengaturan
usianya tunduk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Untuk itu Penyusun memutuskan, dalam modul ini yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (sesuai Pasal 1 butir 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Menurut
pendapat penulis jika di dalam peraturan perundangan dirumuskan anak
adalah mereka yang berusia < …… tahun (mereka yang berusia kurang dari
….. tahun) dan belum menikah, maka bagi mereka yang masih dalam batas
usia belum dewasa namun telah menikah/kawin maka mereka akan
kehilangan hak-haknya sebagai anak. Hal ini tentu saja merugikan mereka.
Belum lama ini telah dilakukan persetujuan terhadap RUU Perkawinan
pada 16 September lalu. Perubahan terhadap UU Perkawinan dilakukan guna
mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017.
Putusan ini menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan,
sehingga batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
19 tahun. Mahkamah Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan
Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan paling lambat 3
tahun sejak putusan dibacakan. Sebelum lewat batas waktu tiga tahun itu,
DPR dan pemerintah diharapkan sudah melahirkan UU Perkawinan baru.
Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, salah satu materi muatan Undang-Undang adalah menindaklanjuti
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

putusan Mahkamah Konstitusi. Revisi UU Perkawinan ini jelas dalam


konteks melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Itu terbaca dari
konsiderans dan bagian penjelasan umum. Sayangnya, dua putusan lain
Mahkamah Konstitusi yang menyangkut UU Perkawinan tak ikut diubah.
Setidaknya, itu terlihat dari salinan draf yang diperoleh hukumonline pasca
persetujuan anggota Dewan dan Pemerintah. Pertama, putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010. Jauh sebelum putusan tentang batas minimal usia
perkawinan, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menyatakan dalam
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai hukum mengikat. Pasal ini menyebutkan “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Persidangan kasus ini menyita perhatian publik, bahkan
mendapat perhatian dari kalangan akademisi setelah putusan karena sejak
putusan itu anak luar kawin mempunyai hubungan darah dengan ayah
biologisnya sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan dalam amarnya, MK sudah membuat rumusan sehingga
tak sulit bagi DPR dan Pemerintah untuk memasukkannya ke dalam revisi
UU Perkawinan. Pasal itu, menurut MK, seharusnya dibaca: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk
kepentingan terbaik bagi anak, yang mana semakin mengokohkan
perlindungan negara terhadap anak.
Selanjutnya mengenai hal kesejahteraan. Berbagai peraturan telah dibuat
untuk melindungi anak, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
anak. Sayangnya indikator kesejahteraan itu sendiri masih belum jelas (dan
mungkin memang tidak dapat ditentukan secara baku) untuk tiap lapisan
masyarakat. Dengan indikator kesejahteraan yang tak dapat ditentukan secara
pasti tersebut, agaknya sulit jika kita mempertanyakan kriteria yang dijadikan
patokan/ukuran dalam menentukan kesejahteraan seorang anak. Pasal 1 butir
1a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menyebutkan kesejahteraan anak sebagai suatu tatanan kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hendaknya ketika
kita membicarakan/membahas serta melakukan perlindungan terhadap anak
serta pemenuhan hak anak, tujuannya adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak (sejalan dengan tujuan utama dari Konvensi Tentang Hak Anak).

Prinsip-Prinsip Pemenuhan Dan Perlindungan Hak Anak


Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam perlindungan dan
pemenuhan hak anak seperti yang diatur dalam Bab 2 Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu:
1. Non diskriminasi;
Yang dimaksud dengan prinsip non diskriminasi adalah tidak adanya
perlakuan yang membeda-bedakan anak berdasarkan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental. Sehingga pada
prinsipnya, semua anak berhak atas jaminan dan perlindungan akan hak-
haknya tanpa diskriminasi dengan alas an apapun.
2. Kepentingan terbaik bagi anak;
Kepentingan terbaik bagi anak atau dalam Bahasa Inggrisnya dikenal
dengan istilah the best interest for the child, mempunyai pengertian
bahwa setiap hak yang diberikan kepada anak bertujuan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak tersebut, di masa kini maupun di
masa yang akan datang. Termasuk pula prinsip bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
Prinsip ini memberikan pengertian bahwa hak ini merupakan hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Yang tentunya disesuaikan
dengan usia dan kondisi intelektual masing-masing anak.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Di Indonesia terdapat berbagai persoalan yang terkait dengan anak,


diantaranya masalah anak jalanan, kekerasan terhadap anak, anak yang
kekurangan gizi, banyaknya anak yang tidak bersekolah, perdagangan
remaja/ABG, prostitusi/pelacuran yang dilakukan oleh anak, anak korban
perkosaan, kurangnya tempat bermain bagi anak, anak yang terlibat narkoba,
dll. Dalam kasus-kasus tersebut terjadi pelanggaran terhadap hak anak dan
tidak terpenuhinya hak-hak anak. Sering kali orang tua memberikan berbagai
alasan yang “masuk akal” jika ia tidak dapat memenuhi hak anaknya,
demikian pula jika ia melanggar hak anak. Alasan ekonomi biasanya menjadi
senjata ampuh bagi mereka untuk terhindar dari kewajibannya. Misalnya
karena alasan keuangan maupun kemisikinan maka orang tua tidak
memberikan pemeliharaan kesehatan dan pendidikan yang baik pada anak-
anakya. Namun demikian bila kita mengingat kembali prinsip-prinsip
pemenuhan dan perlindungan anak yang telah dipelajari, maka alasan-alasan
tersebut tidak dapat dibenarkan.

RA NG KUMAN
Terdapat empat prinsip utama dalam pemenuhan dan perlindungan
hak anak yaitu: nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan
terhadap pendapat anak.
H ak-hak anak yang akan dikemukakan dalam modul ini berpedoman
pada hak-hak anak yang dirumuskan dalam Bagian Kesepuluh tentang
Hak Anak Pasal 52–66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Dilengkapi dengan instrumen Hukum dan HAM baik yang
berskala nasional maupun internasional yang kesemuanya menjadi landasan
dalam pemberian jaminan dan pemenuhan hak anak, maka saat ini akan
dipaparkan tentang beragam instrumen itu. Uraian ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan yang kuat yang menjadi dasar bagi pihak yang
berkepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.

Beberapa instrumen dan perundang-undangan yang mengatur tentang anak,


diantaranya:

A. HAK ANAK DALAM BERBAGAI INSTRUMEN HAM


INTERNASIONAL
1. Deklarasi Umum Tentang Hak Asasi (DUHAM-Universal
Declaration of Human Rights).
2. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR-
International Covenant on Civil and Political Rights), diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
3. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (ICESRC/ECOSOC - International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights), diratifikasi melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005.
4. Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak Tahun 1924.
5. Konvensi PBB tentang Hak Anak Tahun 1989 (CRC –
Convention on Rights of The Child) Pasal 6–41, diratifikasi
melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990.
6. Peraturan Standar PBB untuk Administrasi Peradilan Anak (Beizing
Rules), Rule Number 7.
B. INSTRUMEN HAM NASIONAL
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
2. Pasal 28 Amandemen IV Konstitusi (UUD 1945)
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


(seperti diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang mulai berlaku tahun 2014)
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP
8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan
Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
(Keppres No. 12/2001 dan Keppres No. 59/2002)
10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Batas Usia Minimum untuk
Bekerja
11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
beserta perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
serta perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
15. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
16. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa Hak–Hak Anak yang dimuat


dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) diatur mulai dari pasal 52 sampai pasal 66. Hak-hak anak yang diatur
meliputi hak-hak yang bersifat umum dan khusus. Bersifat umum maksudnya
bahwa hak tersebut dimiliki oleh semua anak secara universal, sedangkan hak
yang bersifat khusus merupakan hak yang hanya dimiliki oleh anak yang
berada dalam kondisi tertentu, misalnya anak cacat atau anak yang
melakukan tindak pidana/kejahatan. Hak-hak anak yang terdapat dalam
Undang-Undang HAM ini pada umumnya hampir sama dengan hak-hak anak
yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Pembedaan antara hak yang bersifat umum dan khusus yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM tersebut dapat dilihat
dalam tabel. Pada prinsipnya hak-hak yang terdapat dalam Undang-Undang
HAM bersifat universal artinya berlaku umum untuk seluruh anak. Namun
bagi anak yang berada dalam situasi tertentu diberikan hak yang lebih
khusus.

Pasal Hak yang Bersifat Umum


Pasal 52 § Hak anak untuk dilindungi oleh orang tua, masyarakat
dan negara yang diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan
Pasal 53 § Hak atas kehidupan dan kelangsungan hidup
§ Hak atas nama dan kewarganegaraan
Pasal 55 § Hak untuk beribadah menurut agamanya
§ Hak untuk berpikir dan berekspresi, sesuai dengan
tingkat intelektualitasnya di bawah bimbingan orang
tuanya
Pasal 56 § Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya
§ Hak untuk dibesarkan dan dipelihara sendiri oleh orang
tuanya
§ Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik,
Pasal 57 diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang
tua/walinya sampai dewasa
§ Hak untuk memperoleh orang tua angkat
Pasal 58 § Anak berhak atas perlindungan hukum dari segala
bentuk kekerasan, penganiayaan, penelantaran,
perlakuan buruk dan pelecehan seksual dari orang
tuanya/walinya.
Pasal 59 § Hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya,
(jika orang kecuali atas alasan/aturan hukum yang sah yang
menunjukkan bahwa pemisahan tersebut adalah untuk
tua bercerai)
kepentingan terbaik anak. Dan anak tetap boleh
berhubungan dengan orang tuanya.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Pasal Hak yang Bersifat Umum


Pasal 60 § Hak anak untuk memperoleh pendidikan dan informasi
yang bermanfaat bagi pengembangan pribadi serta
untuk meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan
Pasal 61 § Hak untuk beristirahat
Pasal 62 § Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
Pasal 63 § Hak anak untuk tidak dilibatkan pada waktu perang,
kerusuhan sosial, sengketa bersenjata,
Pasal 64 § Hak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk
eksploitasi dan setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya
Pasal Hak yang Bersifat Khusus
Pasal 54 § Hak anak yang mengalami cacat fisik dan/ atau mental
untuk memperoleh perawatan dan penddikan, pelatihan
dan bantuan khusus atas biaya negara untuk
meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara

§ Anak yang melakukan tindak pidana tidak boleh


dianiaya, disiksa dan dijatuhi hukuman yang tidak
Pasal 66 manusiawi
§ Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak boleh
dijatuhkan pada anak
§ Anak tidak boleh dirampas kebebasannya secara
melawan hukum, penangkapan, penahanan dan
pemidanaan terhadap anak harus sesuai dengan
prosedur hukum
§ Anak yang dipidana berhak diperlakukan secara
manusiawi dan dipisahkan dari orang dewasa
§ Anak tersebut berhak memperoleh bantuan hukum,
membela diri dan memperoleh keadilan di muka
Pengadilan Anak dalam sidang yang tertutup untuk
umum.
Perlindungan anak di sini mencakup segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Berkaitan dengan hal ini Undang-Undang HAM Pasal 52 ayat (1) telah
mengatur bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, dan negara. Pasal 24 ayat (1) Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR - International Covenant on Civil
and Political Rights) juga mencantumkan bahwa setiap anak berhak untuk
mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan yang diperlukan karena
statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa,
agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran. Hal yang
sama juga diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial , dan Budaya.
Sehubungan dengan itu menurut Undang-Undang HAM Pasal 52 ayat
(2) hak anak adalah HAM dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan
dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Seorang anak
meskipun ia belum mengetahui hak dan kewajibannya secara jelas dan belum
dapat mengambil keputusan dalam lingkup hukum, seyogyanya ia diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum di manapun ia berada (Pasal 16 Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan dalam keadaan apapun
ia berhak atas perawatan khusus, bantuan khusus dan jaminan sosial menurut
pasal 25 ayat (2) DUHAM. Oleh karena alasan ini pula maka konstitusi pun
mengatur tentang hak anak. Pasal 28B ayat (2) Amandemen IV Konstitusi
(UUD 1945) menentukan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Anak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan haknya sendiri
membutuhkan bantuan dan perlindungan dari orang lain.
Ketentuan yang saat ini khusus mengatur tentang Anak adalah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang
ini mengatur mengenai hak-hak anak yang isinya hampir sama dengan
Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Pasal 4-18 mengatur tentang hak anak atas perlindungan, hak hidup,
hak atas identitas diri dan status kewarganegaraan, hak untuk beribadah
sesuai agama dan keyakinannya (dalam bimbingan orang tuanya), hak untuk
dipelihara oleh orang tuanya, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

untuk beristirahat dan berekreasi, hak anak cacat, anak pidana berhak atas
bantuan hukum, dsb. Selain hak anak, dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 dirumuskan pula kewajiban anak dan kewajiban orang tua. Anak
berkewajiban untuk: menghormati orang tua, wali dan guru; mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa
dan negara; menunaikan ibadah sesuai denga ajaran agamnya; dan
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Sementara orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; menumbuh kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak. Dalam Bab XII undang-undang ini dicantumkan pula
ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan penelantaran,
diskriminasi, penganiayaan, eksploitasi, penculikan, dan berbagai perbuatan
lain yang dapat membuat anak menderita baik secara moril maupun materiil
sehingga menghambat perkembangannya. Kesemua ketentuan di atas
menjadi landasan bagi para pemangku kepentingan (pemerintah, penegak
hukum, masyarakat serta pemerhati hak anak) dalam rangka pemberian
perlindungan dan pemenuhan terhadap hak anak.

Sumber gambar: https://4.bp.blogspot.com/-


gwRuKbgnvHo/W2QkLaBG2BI/AAAAAAAAP_s/lExnV41VagAxfuTgwJUIIsN7prLDVd7lgCLcBGAs/s1600/kerja_bakti.jpg

RA NG KUMAN
Terdapat berbagai instrumen Hukum dan HAM baik yang memiliki
ruang lingkup nasional maupun internasional. Instrumen tersebut
menjadi dasar hukum bagi para pemangku kepentingan di Indonesia
dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak anak.
Ruang Lingkup Hak Anak

H ak-hak anak yang dijelaskan dalam kegiatan belajar 3 ini merupakan


hak-hak anak yang terdapt dalam Undang-Undang HAM. Adapun hak-
hak tersebut meliputi: hak atas kehidupan dan hak mempertahankan
hidup, hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, hak yang dimiliki
anak cacat, hak anak untuk beribadah, hak anak untuk mengetahui asal
usulnya, hak untuk dipelihara dan dibesarkan oleh orang tua atau walinya
yang sah, hak atas perlindungan tatkala menjadi korban pelanggaran HAM,
hak atas pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan dirinya
serta hak atas informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya.
Kemudian, anak juga memiliki hak untuk beristirahat, berekreasi, bermain,
berhak atas pelayanan kesehatan, hak untuk tidak dilibatkan dalam perang,
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa lain yang mengandung
unsur kekerasan. Anak juga berhak atas perlindungan dari segala kegiatan
eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual termasuk penculikan,
perdagangan anak penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan zat
adiktif lainnya (napza). Anak yang berkonflik dengan hukum, dalam hal ia
melakukan tindak pidana berhak pula atas perlindungan atas hak asasinya.
Selain UU HAM, UU Perlindungan Anak dan beberapa perubahannya
diharapkan dapat pula memberikan perlindungan terhadap anak, memberikan
hukuman yang jelas berupa sanksi yang cukup berat terhadap pelaku
kejahatan terhadap anak, terutama kejahatan seksual dan kejahatan-kejahatan
lainnya yang kerap terjadi pada anak-anak.
UU Perlindungan anak Nomor 35 tahun 2014 yang merupakan
perubahan atas UU perlindungan anak Nomor 23 tahun 2002, semakin
mempertegas sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan terhadap
anak, serta lebih memberikan jaminan perlindungan terhadap anak.
Walaupun UU perlindungan anak ini telah memberikan sanksi tegas dan
berat terhadap pelaku kejahatan terhadap anak, akan tetapi tidak begitu dapat
memberikan efek jera terhadap para pelaku kejahatan, oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 tahun 2016. Saat ini, Perppu tersebut telah disahkan menjadi UU
Perlindungan Anak Terbaru yakni UU Nomor 17 tahun 2016, yang mana
dalam Perppu tersebut dipertegas sanksi terhadap para pelaku kejahatan
seksual terhadap anak seperti hukuman kebiri, pidana mati, serta pemasangan
chip elektronik bagi pelaku.
UU Perlindungan Anak tahun 2016 ini juga menyebutkan bahwa,
setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
aktivitas politik, yakni dalam pasal 15 Undang Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Walaupun disebutkan secara eksplisit, UU
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

perlindungan anak ini melarang siapa saja, baik itu perorangan ataupun
kelompok dan partai politik untuk melibatkan anak dalam aktivitas politik
mereka, seperti misalnya kampanye, demonstrasi, dan lain sebagainya.
Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak.

PEMBAHASAN

Masing-masing hak tersebut akan diuraikan dalam bentuk paparan sebagai


berikut ini:

1. HAK HIDUP
Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar bagi seluruh umat
manusia dan merupakan anugerah dari Tuhan YME. Pada dasarnya
kehidupan seseorang ditentukan oleh Tuhan, namun pada kenyataannya
manusia dapat pula mempercepat kematian seseorang, misalnya melalui
aborsi (karena hamil di luar nikah), euthanasia dan hukuman mati. Banyak
anak yang tak dapat menikmati kelanjutan hidupnya karena keegoisan orang
dewasa, salah satunya melalui aborsi. Di beberapa tempat di Jakarta mudah
ditemukan klinik dan dokter yang melayani praktik aborsi. Aborsi (tanpa
alasan yang sah) pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM. Hal ini
mengacu pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang HAM yang mengatur
bahwa setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu,
Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
juga merumuskan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya yang wajib dilindungi oleh hukum dan pada prinsipnya
tak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Secara implisit hal tersebut juga diatur dalam Pasal 346 (larangan aborsi atau
pengguguran kandungan) dan 356 KUHP (penganiayaan berat terhadap anak
sendiri) serta dalam Pasal 476 dan 480 (kejahatan terhadap anak di dalam
kandungan) Rancangan KUHP tahun 1999-2000.
Undang-Undang Nomor 3 Tahuun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak
secara tegas mengatur tentang hak anak untuk hidup namun dengan
peniadaan hukuman mati terhadap anak yang melakukan tindak pidana maka
dapat disimpulkan demikian. Pasal 26 UU ini menyebutkan bahwa pidana
penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak adalah ½ dari hukuman
terhadap orang dewasa, jika ia melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara
yang dapat dijatuhkan pada anak tersebut paling lama 10 tahun.
Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pada Pasal 75
diatur secara tegas tentang larangan aborsi/pengguguran kandungan dengan
pengecualian, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan jika ditemukan adanya
indikasi kedaruratan medis dan dalam kondisi kehamilan yang diakibatkan
oleh perkosaan sesuai dengan syarat yang dirumuskan dalam Pasal 75 dan
Pasal 76 Undang-Undang Kesehatan.

2. HAK ATAS SUATU NAMA


Nama adalah identitas utama untuk membedakannya dari anak (manusia)
lain. Nama ini sangat diperlukan karena dicantumkan dalam setiap dokumen
yang berkaitan dengan dirinya, seperti akte kelahiran, buku rapor, ijazah, dsb.
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang HAM mengatur bahwa setiap anak sejak
kelahirannya, berhak atas suatu nama. Selain memiliki nama Pasal 24 ayat
(2) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatur
bahwa setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya. Suatu
nama di sini adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau
nama marga, dan atau nama keluarga. Di Indonesia setiap orang/anak
diwajibkan untuk memiliki Akta Kelahiran (Staatblad 1920-751 jo 1957-564
bagian 3 Pasal 29 tentang Akta Kelahiran).
Akta Kelahiran adalah akta/catatan otentik yang dibuat oleh pegawai
catatan sipil berupa catatan resmi tentang tempat dan waktu kelahiran anak,
nama anak dan nama orang tua anak secara lengkap dan jelas, serta status
kewarganegaraan anak (Pentingnya Akta Kelahiran, Lembar Info seri 22,
LBH APIK). Permohonan pembuatan Akta Kelahiran dapat diajukan ke
kantor catatan sipil. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 5a mengatur bahwa setiap anak berhak atas suatu
nama sebagai identitas diri. Pasal 27-28 undang-undang ini lebih lanjut
mengatur tentang identitas anak. Dicantumkan bahwa identitas anak harus
diberikan sejak kelahirannya, dituangkan dalam akta kelahiran berdasarkan
pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu
proses kelahiran, jika tidak diketahui maka pembuatan akta kelahiran anak
tersebut dibuat berdasarkan keterangan orang yang menemukannya.
Pembuatan akta ini dilakukan tanpa dipungut biaya apapun.
Pada prinsipnya akta ini hanyalah sebuah catatan administratif. Dianggap
penting karena data yang ada di dalamnya dapat digunakan sebagai jati diri
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

anak, sehubungan dengan hak waris, klaim asuransi, tunjangan keluarga,


pembuatan paspor, ijazah, KTP, kartu keluarga, mengurus beasiswa,
perkawinan, dll. Dengan adanya data tersebut, secara administratif pula
negara berkewajiban memberi perlindungan terhadap anak dari segala bentuk
kekerasan fisik, mental, penyanderaan, penganiayaan, penelantaran,
eksploitasi termasuk penganiayaan seksual dan perdagangan anak. Untuk itu
pihak yang berwenang dapat menjerat pelaku dengan ketentuan melakukan
kejahatan terhadap anak di bawah umur. Di samping itu, bagi anak di luar
kawin (perkawinannya tidak sah/tidak tercatat di kantor catatan sipil) jika
ayahnya mengakuinya, maka ia tetap berhak menyandang nama ayahnya dan
berhak pula mencantumkan nama ayahnya di Akta Kelahiran.

3. HAK ATAS KEWARGANEGARAAN


Selain hak untuk memperoleh nama, seorang anak juga berhak atas
status kewarganegaraan yang jelas (Pasal 53 ayat 2 Uuu HAM, Pasal 24 ayat
3 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan DUHAM
Pasal 15 ayat 1), terutama bagi anak yang dilahirkan oleh pasangan yang
berbeda status kewarganegaraannya. Status kewarganegaraan bagi anak
menentukan hak-hak dan kewajibannya di kemudian hari terhadap suatu
negara. Undang-undang yang mengatur mengenai Kewarganegaraan di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Asas umum
kewarganegaraan di Indonesia adalah ius sanguinis (kewarganegaraan
berdasarkan keturunan berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958), tetapi di samping itu digunakan pula asas ius soli
(kelahiran, Pasal 1 huruf f, g, h, dan i, serta pasal 4) sebagai pengecualian
yaitu jika orang tersebut lahir atau ditemukan di wilayah RI sedangkan kedua
orang tuanya tidak diketahui, orang tuanya tidak memiliki kewarganegaraan,
atau selama kewarganegaraan orang tuanya tidak diketahui, tidak
mendapatkan kewarganegaraan dari orang tuanya atau selama tidak
mendapatkan kewarganegaraan dari orang tuanya, serta kepada keturunan
orang asing yang mengajukan permohonannya untuk menjadi WNI (Abdul
Bari Azed, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: Ind Hill Co,
1996. Hlm. 22, 68-70.)
Seorang anak yang lahir di Indonesia sedangkan orang tua anak tersebut
tidak diketahui (dapat terjadi jika setelah lahir ia dibuang oleh orang tuanya,
terpisah karena konflik/perang/bencana alam, dsb) dan bagi anak yang orang
tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan, dapat menjadi WNI demi
kepentingannya.
Yang harus dihindarkan adalah ketika orang menjadi stateless/tanpa
kewarganegaraan karena ia tidak akan mendapat perlindungan dari negara
manapun. Pada prinsipnya seorang anak mengikuti kewarganegaraan
ayahnya (Pasal 1 sub b dan c), jika ia tidak memiliki hubungan hukum
dengan ayahnya maka ia ikut kewarganegaraan ibunya (Pasal 1 sub e).
Demikian pula terhadap anak angkat, terutama anak yang masih kecil ia
mengikuti warga negara orang tua angkatnya (Pasal 2).
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur jika terjadi
perkawinan campuran antara WNI dengan WNA, maka anak yang lahir dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau
ibunya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jika terjadi perceraian
dalam perkawinan campuran, maka anak berhak untuk memilih
kewarganegaraannya atau berdasarkan putuskan pengadilan berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. Dalam hal anak belum
mampu untuk menentukan pilihan sedangkan ibunya adalah WNI maka
pemerintah wajib untuk mengurus status kewarganegaraan RI bagi anak
tersebut. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 lebih sederhana dan jelas
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Saat ini terdapat Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu
Nomor 12 Tahun 2006, yang mengatur berbagai hal tentang
kewarganegaraan: bagaimana memperoleh dan melepaskan kewarganaan,
termasuk aturan tentang kewarganegaraan anak yang lahir dari hasil
perkawinan campuran. Dalam hal ini anak yang lahir dari perkawinan
campuran antar bangsa yang sah memiliki kewarganegaraan ganda dari ayah
dan ibunya hingga ia berusia 18 (delapan belas) tahun.

4. HAK ANAK CACAT


Pasal 54 Undang-Undang HAM, Pasal 23 Konvensi Hak Anak dan Pasal
12, 51 serta 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menentukan bahwa setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara. Hal ini dilakukan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan
martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Dalam hal ini pelaksanaan terhadap hak anak yang mengalami cacat fisik dan
atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 9 ayat (2), 12, 51, 59 serta 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa setiap anak yang cacat
fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa, perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara. Hal ini
dilakukan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini
pelaksanaan terhadap hak anak yang mengalami cacat fisik dan atau mental
atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan
terhadap anak cacat ini dilakukan dalam upaya:
a. Memperlakukan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
anak;
b. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus anak;
c. Memperoleh perlakukan yang sama dengan anak lainnya dalam untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dalam pengembangan
individu;
d. Melakukan pelarangan pemberian labelisasi dan diskriminasi dalam
bidang pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat fisik dan mental.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional turut pula mencantumkan dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa warga
negara yang memeiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

5. HAK UNTUK BERIBADAH


Pasal 55 Undang-Undang HAM menyebutkan: Setiap anak berhak untuk
beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Mengenai pemenuhan hak untuk beribadah, orang tua diberi kebebasan
untuk memberikan pendidikan agama dan moral bagi anaknya sesuai dengan
keyakinan mereka sendiri. Dalam hal ini kebebasan anak untuk memilih
agamanya sendiri dibatasi.
Hak ini diatur pula dalam pasal 18 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik, pasal 14 dan 30 Konvensi Hak Anak, serta dalam pasal 6,
42-43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Hak untuk beragama diatur
pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur bahwa
setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamnya, berpikir, dan
berekspresi….. dalam bimbingan orang tuanya.
Dalam hal beribadah, berdasarkan Pasal 42-43 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002, anak:
a. Berhak mendapatkan jaminan perlindungan untuk beribadah menurut
agamanya dari negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali
dan lembaga sosial. Perlindungan ini mencakup pembinaan,
pembimbingan dan pengamalan ajaran agama;
b. Mengikuti agama orang tuanya sebelum ia mampu menentukan
pilihannya.

Dalam pemenuhan hak anak untuk berekspresi, hendaknya orang tua


memberikan bimbingan dan pengarahan bagi anak, agar bakat-bakatnya baik
dalam bidang seni maupun bidang lain dapat ditujukan ke arah yang positif,
seperti: menari, main drama, menyanyi, melukis, dsb.
Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 selanjutnya
merumuskan ancaman pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri…… dengan
pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda Rp 100 juta.

6. HAK UNTUK MENGETAHUI ASAL USULNYA & HAK UNTUK


DIPELIHARA OLEH ORANG TUANYA
Beberapa anak yang kurang beruntung tidak dapat mengetahui orang
tuanya yang asli, mungkin saja sejak bayi ditinggalkan orang tuanya di panti
asuhan, karena perang, lahir di daerah konflik, anak hasil korban perkosaan,
karena alasan ekonomi, tugas belajar atau kedinasan, terpisah karena bencana
alam, dsb. Meskipun demikian sedapat mungkin anak mengetahui siap orang
tuanya yang sebenarnya, tapi kemudian menjadi masalah apabila anak
tersebut telah diadopsi oleh orang lain dan jika diberitahukan asal usulnya
dikhawatirkan akan menganggu perkembangan jiwa si anak.
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang HAM tidak hanya mengatur tentang
hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya ia semestinya juga dibesarkan
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri Demikian pula Pasal 57 ayat (1) juga
mengatur bahwa setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat,
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya
sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya (tujuannya adalah untuk menghindari terputusnya silsilah dan
hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya), dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri (agar anak dapat patuh dan menghormati
orang tuanya). Selanjutnya dalam Pasal 26 undang-undang ini disebutkan
bahwa hal tersebut merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab
orang tua untuk
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Namun, jika orang tuanya tidak diketahui/tidak ada maka tanggung jawab
tersebut beralih pada keluarga. Lebih khusus dalam Pasal 13 dirumuskan
bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan di antaranya adalah penelantaran. Kemudian
Pasal 13 ayat (2) menambahkan bahwa dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud di
atas maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 55 dan 57 mengatur tentang penentuan anak dalam status anak
terlantar jika orang tua/keluarga mengabaikan kewajiban pemeliharaan
tersebut. Lebih tegasnya lagi Pasal 77 sub b mencantumkan sanksi pidana
paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran pada
anak sehingga mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental maupun
sosial. Selain orang tua dan keluarga, perubahan ke 4 UUD 1945 tahun 2002
dalam Pasal 34 ayat (1) menyebutkan tanggung jawab negara dalam
memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Pasal 56 ayat (2) HAM
melakukan pengecualian terhadap pasal 56 ayat (1):
“Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara
anaknya dengan baik sesuai dengan undang-undang ini, maka anak tersebut
boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mengenai orang tua angkat dirumuskan pula dalam pasal 7 dan 14 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002. Ketentuan mengenai adopsi anak bagi
pasangan suami isteri diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 (mengatur
tentang pengangkatan anak antar WNI, yang boleh mengangkat anak bukan
saja mereka yang telah terikat oleh perkawinan yang sah tapi boleh juga
dilakukan oleh orang tua tunggal-orang yang belum menikah) atau tentang
penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan
Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak. Selain itu, Keputusan Menteri
Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan
adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun.
Setelah permohonan pengangkatan anak disetujui oleh Pengadilan, pemohon
anak menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak.
Salinan ini harus dibawa ke kantor catatan sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa
anak tersebut telah diadopsi dan di dalam tambahan itu disebutkan pula nama
pemohon sebagai orangtua angkatnya. Akibat hukum pengangkatan anak
berdampak pada perwalian dan hak waris.
Ketentuan dalam Undang-Undang HAM yang mengatur tentang orang tua
angkat, adalah:
Pasal 57 ayat (2) :

Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat


atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab
yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
orang tua.

Pasal 57 ayat (3) :


Orang tua angkat/wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Kewajiban orang tua ini terdapat pula dalam Pasal 45-49 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain mengenai anak terlantar, perlu juga
diperhatikan mengenai hak-hak anak luar kawin. Ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 43-44 yang
menyebutkan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya, di samping itu seorang ayah dapat mengingkari anak yang
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

dilahirkan isterinya jika ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina


dan anak itu lahir akibat perzinahan.

7. HAK ATAS PERLINDUNGAN DARI KEKERASAN


Berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan, anak, baik laki-laki maupun
perempauan, sering mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan baik
dalam bentuk fisik maupun psikis baik di dalam maupun di luar rumah
tangga/keluarga. Khusus untuk anak perempuan terkadang meliputi pula
adanya larangan untuk melakukan aktualisasi diri seperti misalnya
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja sehingga
menjadi wanita karir yang sukses.
Anak dengan kekhasan yang dimilikinya cenderung rentan menjadi
korban dari tindak pidana. Tindak pidana yang dialami biasanya menjadi
korban dari kekerasan dalam rumah tangga, korban dari tindak pidana di
bidang kesusilaan, korban eksploitasi, korban kejahatan terhadap tubuh dan
nyawa, korban perdagangan orang dan sering tersangkut dalam perkara
narkoba sebagai kurir. Dalam kasus-kasus ini, anak biasanya dijebak dengan
cara-cara tertentu sehingga dapat dibujuk/dengan tipu daya akhirnya tanpa
disadari terlibat dalam kasus narkotika dan psikotropika. Anak mempunyai
keadaan khusus yang khas menjadikan mereka sebagai kelompok yang rentan
menjadi korban.
Bukan hanya menjadi korban dari tindak pidana, anak juga
cenderung menjadi korban dari sistem peradilan pidana baik ketika menjadi
korban, pelaku maupun sebagai saksi. Misalnya pada kasus kekerasan
seksual, anak sebagai korban merasa malu dan takut untuk menceritakan
kejadian yang menimpanya, belum lagi trauma yang senantiasa
menghantuinya, sehingga kasus-kasus seperti ini menguap begitu saja dan
menjadi ‘unspeakable crime’. Khusus untuk saksi dan/atau korban kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) biasanya saksi dan/atau korban tidak berani
untuk melaporkan KDRT yang dialaminya dengan berbagai alasan di bawah
ini, di antaranya :
a. Rasa takut, jika mengadu pada orang lain apalagi melapor pada polisi
akan menyebabkan pelaku marah dan mengulangi lagi perbuatannya
disertai ancaman agar jangan mengadu pada siapa pun;
b. Rasa malu, karena masalah rumah tangga adalah aib keluarga dan
merupakan urusan ‘domestic’ yang tidak perlu diketahui orang lain;
c. Budaya patriarkhi, yang menempatkan laki-laki dewasa dalam posisi
paling benar, sebagai pemimpin, tidak pernah salah, sementara anak
adalah orang yang perlu dipimpin, selalu kurang pengetahuannya
dibandingkan orang tua. Orang yang lebih dewasa dalam kehidupan
sosial turut menyumbang kasus KDRT. Seolah-olah sesuatu yang wajar
bila perempuan mendapat kekerasan dari orang tua atau orang dewasa
dengan alasan "mendidik".

Hak atas perlindungan dari kekerasan diatur dalam pasal 58 ayat (1)
yang menyebutkan: Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua
atau walinya, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut. Jika dilanggar maka pasal 58 ayat (2) Undang-
Undang HAM menentukan: Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau
pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.
Pada kenyataannya banyak orang tua yang melakukan
kekerasan/penganiayaan kepada anak dengan alasan memberikan
“didikan/ajaran supaya anak tidak kurang ajar”. Tidak hanya penganiayaan,
anak pun diterlantarkan begitu saja, tidak dipelihara dengan baik bukan saja
secara jasmani maupun rohani (orang tua yang bekerja mempunyai waktu
yang tak banyak untuk mendampingi anak-anaknya, anak lebih banyak
diasuh oleh nenek dan baby sitter atau pembantu rumah tangga). Yang sangat
menyedihkan adalah apabila orang tua melakukan pelecehan dan kekerasan
seksual terhadap anak. Dalam beberapa media misalnya disebutkan bahwa
keluarga yang mempunyai rumah yang sangat sempit memiliki potensi
terjadinya incest, hal ini biasanya dilakukan oleh ayah kandung/tiri terhadap
anak perempuannya. Penyalahgunaan seksual (sexual abuse) terhadap anak,
adalah perbuatan pemaksaan untuk melakukan hubungan maupun aktivitas
seksual lainnya yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak baik
dengan kekerasan maupun tidak (Penyalahgunaan Seksual terhadap Anak,
Lembar info seri 24, LBH Apik).
KUHP juga mengatur pemberatan hukuman jika kekerasan berupa
penganiyaan dilakukan tehadap anak sendiri (Pasal 356). Pasal-pasal dalam
KUHP yang mengatur perbuatan/kejahatan terhadap anak yang dilakukan
oleh orang tua, wali atau orang lain yang bertanggung jawab atas anak
tersebu, al: Pornografi (283), perkosaan (287), percabulan (288, 290, 292,
294, 295), dan penculikan terhadap anak (330). Perlu juga disinggung
Rancangan KUHP (RKUHP) meskipun belum berupa undang-undang.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Sedangkan dalam RKUHP kejahatan terhadap anak dirumuskan, al:


Perkosaan (423), percabulan (425), incest (428-430), dan penganiayaan
(487).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam Bab X telah mengatur tentang hukuman yang dapat diancamkan bagi
mereka yang melakukan kekerasan, penelantaran, dan berbagai perbuatan
yang merugikan anak baik secara materiil maupun moril. Ketentuan pidana
ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang melakukan namun juga terhadap
mereka yang mengetahui dan sengaja membiarkan perbuatan itu terjadi.
Pasal 13 undang-undang ini seterusnya merumuskan bahwa setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud di atas maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman. Selain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 28 B ayat (2)
UUD’45 dalam perubahan ke-2 dirumuskan bahwa setiap anak berhak
mendapat perlindungan dari kekerasan……. dst.
Selain KUHP dan RKUHP yang memuat ancaman pidana terhadap
orang-orang yang melakukan perbuatan cabul, pemerkosaan, penculikan,
penyalahgunaan seksual terhadap anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dalam Bab X juga mengatur tentang pidana
penjara dan/atau denda yang cukup besar bagi mereka yang melakukan:
diskriminasi-penelantaran (77), membiarkan anak dalam situasi darurat (78),
pengangkatan anak yang bertentangan dengan UU (79), kekejaman-
kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (80),
persetubuhan dengan anak (81), memaksa atau membujuk anak untuk
melakukan perbuatan cabul (82), perdagangan-penculikan-penjualan anak
(83), melakukan transplantasi organ/jaringan secara melawan hukum
terhadap tubuh anak (84-85) dan berbagai perbuatan yang merugikan anak
baik secara materiil maupun moril.
Ketentuan pidana ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang melakukan
namun juga terhadap mereka yang mengetahui dan sengaja membiarkan
perbuatan itu terjadi. Bahkan Pasal 54 undang-undang tersebut menyebutkan
anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam
sekolah yang bersangkutan…. dst. Diatur pula dalam Pasal 69 dan 71 bahwa
anak yang menjadi korban perlakuan salah berhak atas perlindungan khusus
berupa rehabilitasi…….oleh pemerintah dan masyarakat juga berhak
dirahasiakan (Pasal 17 ayat 2).
Terhadap anak yang terlanjur mengalami hal tersebut Pasal 39
KONVENSI PBB Tentang HAK ANAK Tahun 1989 (CRC - Convention on
The Rights of The Child) mengatur: Negara-negara peserta harus mengambil
semua langkah-langkah yang layak untuk meningkatkan pemulihan jasmani
dan rohani, dan penyatuan kembali dalam masyarakat (resosialisasi), seorang
anak yang menjadi korban dari: setiap bentuk penelantaran, eksploitasi, atau
penganiayaan; penyiksaan atau bentuk perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; atau konflik bersenjata.
Pemulihan atau reintegrasi seperti tersebut di atas harus dilakukan dalam
suatu lingkungan yang memupuk kesehatan, harga diri dan martabat anak
yang bersangkutan.

8. HAK UNTUK TIDAK BERPISAH DENGAN ORANG TUANYA


Adalah sifat alami dari anak untuk selalu dekat dengan kedua
orangtuanya. Insting alami ini merupakan bagian dari hak asasi yang dimiliki
oleh seorang anak. Dalam berbagai kasus, pemenuhan terhadap hak ini
menjadi masalah manakala anak berda dalam suatu situasi dimana
terpisahnya anak dari orang tuanya akibat perceraian, akibat kematian salah
seorang dari orang tuanya, karena kuasa asuh orang tua dicabut atau bila anak
disiksa atau tidak dilindungi atau akibat ketidakmampuan orang tuanya untuk
memelihara anak. Oleh karena itu, hak ini menjadi salah satu fokus yang
dilindungi oleh berbagai ketentuan dalam pemenuhannya.
Dalam berbagai ketentuan, hal tersebut diatas dapat dijumpai dalam peraturan
sebagai berikut:
a. Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang HAM,
b. Pasal 23 ayat (4) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Kedua aturan tersebut mengatur akibat-akibat hukum yang mungkin


timbul bagi si anak dimana adanya peristiwa berakhirnya perkawinan, untuk
itu harus dibuat ketentuan yang diperlukan untuk melindungi anak-anak.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata demi kepentingan anak. Bila terjadi perselisihan
mengenai penguasan anak, pengadilanlah yang akan memberi keputusan.
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, jika terbukti bapak tidak mampu,
pengadilan dapat memutuskan bahwa ibu ikut memilkul biaya tersebut.
Dalam undang-undang tersebut telah diatur jika terjadi perceraian, suami
istri mempunyai hak yang sama untuk memelihara anak, jika terjadi
perselisihan maka pengadilan yang berhak memutus. Pada prakteknya, bagi
anak yang masih di bawah umur (terutama bayi), biasanya hak perwalian dan
pemeliharaan diberikan pada ibunya.

9. HAK ATAS PENDIDIKAN DAN INFORMASI


Hak atas pendidikan dan informasi ini mencakup pengertian yang amat
luas. Pendidikan yang dimaksud mencakup pendidikan tata krama dan budi
pekerti. Sementara informasi dimaksudkan sebagai hak anak
untukmendapatkan informasi yang dibutuhkannya dalam rangka
mengembangkan diri. Dalam hal ini ada suatu kaitan erat antara hak untuk
mendapatkan pendidikan dan informasi. Pada kenyataanya tak sedikit anak
yang harus kehilangan hak ini, terutama anak jalanan yang umumnya berasal
dari keluarga tak mampu. Orang tua mereka yang mengalami kesulitan
ekonomi tak mampu membiayai sekolah sedangkan anak sendiri seharian
berkeliaran di jalan untuk membantu orang tua. Selain dalam Undang-
Undang HAM, hak ini juga diatur dalam Pasal 14 Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang HAM mengatur bahwa setiap anak
berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya. Selanjutnya Pasal 60 ayat (2) UU HAM mencatat bahwa
setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Saat ini yang menjadi sorotan dan isu penting adalah mahalnya biaya
pendidikan, hal ini terjadi khususnya di DKI Jakarta. Untuk masuk SD negeri
di Jakarta pada tahun 2003 mencapai dua juta rupiah. Jumlah itu hanya
mencakup uang pendaftaran, sumbangan pembangunan, buku, SPP dan
seragam. Memang setiap anak diberikan kebebasan dan hak untuk
memperoleh pendidikan, tapi sepertinya ada syarat lain yang harus dipenuhi
yaitu mempunyai uang, perlu kemampuan finansial.
Isu tentang penggusuran sekolah untuk kepentingan bisnis disuatu kawasan
di Jakarta beberapa saat yang lalu juga patut dicermati sebagai suatu
permasalahn dimana kebijakan pemerintah yang dianggap sebagian kalangan
sebagai suatu bentuk pelanggaran terhadap komitmen mencerdaskan anak.
Terlepas dari berbagai persepsi yang ada , kasus ini dapat dilihat sebagai
suatu masalah yang amat terkait dengan komitmen pemerintah dalam upaya
pemenuhan terhadap hak ini.
Banyak dijumpai anak-anak usia sekolah dasar yang telah menguasai
berbagai permainan di komputer dan menjelajahi berbagai situs di internet.
Orang tua diharapkan berperan secara aktif untuk memberikan bimbingan,
pendampingan dan pengarahan yang tepat agar anak tidak terjerumus dalam
hal-hal yang tidak baik sebagi dampak negatif dari teknologi dan informasi.
Jangan sampai anak menyaksikan tayangan TV/VCD yang tidak cocok
dengan usianya, membuka situs porno, membaca komik/majalah porno, dsb.
Berbagai pemberitaan tentang perilaku seksual menyimpang yang dilakukan
oleh anak merupakan cerminan betapa orangtua dan pendidik harus waspada
terhadap berbagai media informasi yang tersedia saat ini. Dengan
kemudahan mengakses informasi yang ada rasanya tidak adasuatu lembaga
pun yang dapat menjadin sistem sensor yang mampu menyaring berita untuk
sampai pada anak, kecuali lembaga tersebut adalah orang tua.

10. HAK ATAS ISTIRAHAT DAN REKREASI


Ambisi orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi anak agaknya
mulai diterjemahkan secara keliru oleh berbagai kalangan saat ini, terutama
orang-orang tua yang memiliki cukup dana untuk dapat memberikan berbagai
sarana pendidikan bagi anak. Upaya orangtua agar anaknya dapat menguasai
berbagai hal justru tidak lagi memperhitungkan kondisi fisik anak yang juga
tengah berkembang.
Di berbagai daerah terutama dikota-kota besar banyak ditemui anak-anak
yang mempunyai jadwal yang sangat padat. Pulang sekolah jam 3 sore,
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

diteruskan dengan berbagai macam les, dan esoknya harus berangkat pagi-
pagi ke sekolah. Jadwal yang terlalu padat ini dikhawatirkan dapat
menganggu perkembangannya, baik mental maupun fisik. Program full day
School juga patut dicermati apakah kurikulum yang diterapkan masih
memungkinkan seorang anak untuk beristirahat sebagaimana mestinya.
Hal tersebut diatas kiranya dapat dibandingkan dengan kasus yang
dialami oleh anak-anak di Jepang, yaitu berupa tekanan orang tua untuk
menjadikan anak sebagai number one mengakibatkan mereka stres dan ada
pula yang bunuh diri jika rapornya jelek, terjadi juga di Indonesia. Ternyata
mereka merasa sangat lelah dan merasa terlalu dipacu/dituntut untuk terus
berprestasi. Memang tujuan orang tua baik agar anaknya berhasil dan mandiri
tapi sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan anak. Suatu studi
membuktikan jika anak terlalu dipaksakan untuk selalu belajar, pada suatu
titik dalam hidupnya ia akan merasa sangat bosan dan lelah, dan tidak mau
belajar lagi. Pemaksaan ini tentu saja tidak sesuai dengan Pasal 61 Undang-
Undang HAM:
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

11. HAK ATAS KESEHATAN


Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur
mengenai kesehatan ibu, bayi, dan anak dan anak. Perhatian terhadap
kesehatan ibu juga diberikan dengan pemikiran bahwa para ibu diharapkan
akan melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas. Hal ini dijamin oleh
pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan bersama-sama oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Kesehatan anak diselenggarakan
untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak, dilakukan melalui
peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia
prasekolah, dan usia sekolah. Yang bertujuan demi generasi penerus yang
sehat dan berkulaitas sekaligus mengurangi angka kematian bayi dan anak.
Perwujudan hak ini tampaknya agak sulit dilakukan oleh orang tua yang
tidak mampu. Walaupun Undang-Undang HAM dalam Pasal 62 telah
merumuskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya
Bukan saja ketika anak sakit namun juga menyangkut pemberian
makanan sehat sehari-hari. Kasus-kasus bayi yang meninggal akibat
kekurangan gizi mungkin dapat dijadikan suatu gambaran tentang buruknya
pemenuhan atas hak ini. Kondisi dimana statistik memberikan suatu
gambaran yang tidak menguntungkan tentang tingkat taraf kehidupan
masyarakat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan yang
berkorelasi secara langsung terhadap pemenuhan akan hak atas kesehatan
bagi anak.
Dalam kurun periode pemerintahan terdahuil,u kebijakan pemberian
susu atau makanan tambahan disekolah mungkin dapat dipikirkan lagi dalam
periode saat ini. Pemerintah dan pihak sekolah dapat menggantikan peran
orangtua yang tidak mampu dalam pemenuhan terhap hak ini. Sekolah yang
dapat menjadwalkan pemberian makanan tambahan bagi siswa yang kurang
mampu seminggu sekali. Makanan tambahan tersebut dapat berupa: bubur
kacang hijau, susu, dan buah-buahan. Kita dapat bernafas lega dengan
beberapa kebijakan pemerintah yang masih bertahan sam[pai sekarang dalam
bidang kesehatan lainnya. Wujud nyata kepedulian pemerintah terhadap
kesehatan anak-anak sebenarnya telah dibuktikan antara lain dengan
melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yaitu pemberian imunisasi gratis
bagi anak-anak dan pemberian makanan tambahan di beberapa sekolah dan
Puskesmas. Selain itu partisipasi masyarakat dirasakan juga cukup besar
dengan banyaknya pihak-pihak yang menyelengarakan sunatan massal,
pemeriksaan gigi gratis, pemberian susu gratis, atau posyandu yang
diselenggarakan secara swadana dan swakarsa oleh masyarakat.

12. HAK UNTUK TIDAK DILIBATKAN PADA WAKTU PERANG &


BERHAK UNTUK MERASAKAN KEDAMAIAN
Dalam Pasal 63 Undang-Undang HAM disebutkan bahwa setiap anak
berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur
kekerasan. Kasus demikian memng belum nyata terjadi di Indonesia. Namun
demikian di beberapa negara, anak bahkan dijadikan sebagai tentara cilik dan
dilatih dengan serius cara berperang dan mempergunakan senjata.
Hak ini terdapat pula dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur pelarangan perekrutan dan
perbuatan memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya yang
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

membahayakan jiwa anak serta perbuatan yang membiarkan anak tanpa


perlindungan jiwa.

13. HAK UNTUK TIDAK DIEKSPLOITASI


Eksploitasi adalah segala tindakan yang memperalat, memanfaatkan,
atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau
golongan (Pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak). Pasal 64 Undang-Undang HAM mengatur
bahwa: ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya,
sehingga dapat menganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan
sosial dan mental spiritualnya.”
Keprihatinan pasti akan muncul bila menyaksikan potret kehidupan
anak-anak yang terkategori rawan (children in need of special protection).
terpaksa bekerja di sektor yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Bayangkan, anak-anak berusia belasan tahun -bahkan sebagian di antaranya
belum genap 10 tahun −yang seharusnya masih menjadi tanggungan dan haus
kasih sayang orang tua− terpaksa harus memeras keringat dan membanting
tulang untuk mencari uang, baik bagi orang tua maupun dirinya sendiri.
Bahkan lebih dari itu anak-anak yang kemudian menjadi yatim-piatu
(yang banyak terjadi didaerah konflik) terpaksa berusaha untuk memenuhi
kehidupannya sendiri dan bahkan secara tidak sadar telah menjadi obyek
pendagangan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka
bekerja diperkebunan-perkebunan hanya demi sesuap nasi dan tidak
mendapatkan imbalan dan perlindungan apapun terhadap kesehatan dan
tannya sendiri. Kondisi demikian sebenarnya di dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2003 telah diatur mengenai pekerja anak. Pada prinsipnya
pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), namun hall ini
dikecualikan bagi anak-anak yang berusia 13-15 tahun (Pasal 69), khusus
untuk pekerjaan-pekerjaan ringan (yang tidak menganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental dan sosial) dengan berbagai persyaratan, seperti: izin
dari orang tua/wali, adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang
tua/wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak
mengganggu waktu sekolah, adanya jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja. Dalam implementasinya apakah persyaratan itu dipenuhi? Biaya yang
dikeluarkan lebih murah dan tuntutan yang lebih ringan menjadi alasan
mengapa pekerja anak lebih menjadi pilihan daripada pekerja dewasa.
Contoh kasus yang berkaitan dengan anak yang melakukan pekerjaan
berbahaya, antara lain:
a. Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga atau pabrik-pabrik.
b. Pembantu rumah tangga,
c. Anak-anak yang bekerja di pagan dan jermal
Aturan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
(Keppres Nomor 12 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 59 Tahun 2002),
“bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak” mengandung pengertian:
a. Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan,
seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage)
dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk
pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan
dalam konflik bersenjata;
b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk
produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram,
khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana
diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
d. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat kerja itu dilakukan dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
Berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pada prinsipnya pengusaha dilarang mempekerjakan anak,
namun hal ini dikecualikan bagi anak-anak yang berusia 13-15 tahun (Pasal
69), namun khusus untuk pekerjaan-pekerjaan ringan (yang tidak menganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial) dengan berbagai
persyaratan, seperti: izin dari orang tua/wali, adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan orang tua/wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, adanya jaminan
keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas, dan
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 69 ayat [2]).
Dalam implementasinya apakah persyaratan ini dipenuhi?
Pasal 71 mengatur bahwa anak dapat melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan minatnya di bawah pengawasan langsung dari orang
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

tua.wali (mungkin menjadi pelukis, penari, penyanyi, pemain musik, artis-


artis cilik, dsb), dengan ketentuan yang hampir sama dengan Pasal 69 ayat
(2). Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh
dewasa maka tempat kerja anak harus dipisahkan dengan tempat kerja
pekerja/buruh dewasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Keppres
Nomor 12 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 59 Tahun 2002), dapat dilihat
rumusan: siapapun dilarang untuk mempekerjakan dan melibatkan anak pada
pekerjaan-pekerjaan terburuk.
Sayangnya masih banyak orang tua yang menganggap anak usia sekolah
yang dipekerjakan adalah pahlawan keluarga dan merupakan bentuk
pengabdian pada orang tua, karena kecil-kecil sudah mempunyai
penghasilan. Pendapat ini keliru karena anak seharusnya (sebaiknya) tidak
bekerja karena masih dalam tahap pertumbuhan dan memerlukan kasih
sayang, belum dapat seutuhnya bertanggung jawab bagi dirinya sendiri
terlebih lagi bagi orang lain.
Selain itu, Undang-Undang HAM juga mengatur tentang pelarangan
beberapa perbuatan yang dianggap membahayakan anak. Dalam Pasal 65
diatur bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak,
serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya. Khusus mengenai perhambaan dan perdagangan budak juga
diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik: Tidak seorangpun dapat diperbudak; perbudakan dan
perdagangan budak dalam segala bentuknya harus dilarang.
Faktor-faktor yang menyuburkan perdagangan anak, antara lain:
1. Tekanan ekonomi; yang berdampak pada: sulitnya mencari pekerjaan,
putus sekolah, dorongan orang tua untuk bekerja, orangtua yang justru
menjual anaknya dengan berbagai alasan
2. Korban kekerasan fisik/seksual;
3. Menikah di usia muda dan bercerai;
4. Tidak ada akte kelahiran (pemalsuan umur);
5. Tertipu penyalur tenaga kerja;
6. Tertipu model pengadopsian anak oleh orang asing dengan dalih akan
disekolahkan
7. Lemahnya sanksi hukum;
8. Perlindungan yang lemah dari negara terhadap anak-anak yatim piatu
yang merupakan korban didaerah yang dilanda konflik;
9. Kebodohan, sehingga mudah dipengaruhi.

Anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia pada dasarnya dapat


dibagi dalam 3 (tiga) golongkan yaitu:
1). Bayi sebagai korban
2). Anak-anak (baik laki-laki maupun perempuan)
3). Perdagangan Remaja (ABG)
Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus perdagangan remaja ini
terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh aparat. Faktor usia menjadi
faktor penentu. Aturan hukum hanya membatasi batasan usia anak sampai
dengan 18 tahun padahal kasus-kasus penjualan remaja yang banyak terjadi
justru berkisar antara usia antara 18-20 tahun yang menurut hukum pidana
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak merupakan usia dewasa.
Menurut hukum pidana Indonesia hal tersebut menyebabkan kurangnya
upaya penanggulangan perdagangan remaja dan lemahnya penegakan hukum
terhadap para pelaku disebabkan oleh kurangnya pengetahuan hukum
masyarakat dan penegak hukum tentang berbagai peraturan yang mengatur
perdagangan anak/manusia. Meskipun belum terdapat suatu definisi pasti
mengenai perdagangan manusia dan rumusan resmi berkaitan dengan hal
tersebut, bukanlah suatu alasan bagi para aparat penegak hukum untuk
membiarkan kasus perdagangan perempuan, karena perbuatan itu merupakan
suatu tindak pidana. Sebagai contoh rumusan dalam Pasal 297 KUHP
mengatur bahwa tindakan memperdagangan perempuan dan anak laki-laki
diancam dengan pidana selamanya 6 tahun) dapat menjadi suatu sarana guna
menjerat perbuatan tersebut diatas.
Keterlibatan anak terutama usia remaja dengan narkotika dan
psikotropika juga menjadi perhatian utama pemerintah saat ini. Ditemukan
banyak remaja yang terlibat dengan berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan, sampai dengan penggunaannya yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang menjadi sorotan utama
dalam hal ini bukan saja ketika anak menjadi pelaku/pengedar
narkotika/psikotropika atau korban/pengguna, tapi anak digunakan sebagai
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

alat untuk memperjualbelikan narkoba. Karena anak jarang sekali dicurigai,


tapi bukan tak mungkin anak dijadikan kurir oleh orang tua mereka yang
menjadi Bandar narkoba (Penulis pernah beberapa kali menyaksikan
tayangannya di TV).

14. HAK ATAS KEADILAN DAN BANTUAN HUKUM BAGI ANAK


YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Dalam perkembangan kehidupannya, tidak jarang anak melakukan
sesuatu yang tidak lagi sesuai dengan norma umum yang berlaku dalam
masyarakat. Apakah itu merupakan suatu bentuk perilaku nakal atau perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan kaedah kesopanan dan kesusilaan
dalam masyarakat seperti perbuatan tidak santun pada orang tua atau bahkan
perbuatan yang melanggar norma adat, agama ataupun hukum. Salah satu
perbuatan yang merupakan penyimpangan norma tersebut adalah dalam
bentuk tindak pidana. Pada anak-anak, tindak pidana mungkin dilakukan
secara sadar dalam pengertian ia tahu bahwa perbuatannya adalah suatu tidak
pidana, atau dengan tidak sadar mengira bahwa dirinya belum dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pidana.
Tawuran pelajar dapat menjadi salah satu contoh disini. Tawuran pelajar
sering dilakukan oleh anak-anak dalam tingkat pendidikan SMP (Sekolah
Menengah Pertama) atau SMU (sekolah Menengah Atas) dimana usia anak-
anak yang terlibat didalamnya sudah berada diatas 12 tahun yang menurut
Undang-Undang Pengadilan Anakmerupakan Usia dimana mereka dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Padahal dalam tawuran pelajar tidak
jarang membawa korban teraniaya atau terbunuh. Tidak jarang pula anak-
anak melakukan pencurian, meskipun tidak selalu motivasi mencuri
disebabkan oleh faktor ekonomi. Perbuatan-perbuatan menyimpang tersebut
tidak selalu dilakukan oleh anak-anak yang memiliki latar belakang ekonomi
yang sulit, namun juga dilakukan oleh anak-anak yang berkecukupan secara
ekonomi. Beberapa faktor penyebab dilakukannya perbuatan tersebut antara
lain:
a. Dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat;
b. Arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi;
c. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua.
Salah satu sifat khas dan unik yang dimiliki oleh anak-anak adalah sifat
meniru perbuatan orang lain. Contoh yang baik biasanya mereka peroleh dari
keluarga dekat atau orang orang yang intik dengan mereka.Contoh yang baik
memungkinkan anak-anak untuk membentuk suatu perilaku yang baik.
Sebaliknya anak-anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang,
asuhan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku,
penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh
akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya
yang kurang sehat serta merugikan perkembangan pribadinya.
Terhadap anak-anak yang telah mengalami masalah dengan hukum dan
dapat diminta pertanggungjawaban pidana, seharusnya pidana yang diberikan
tidak makin menyebabkan mereka terjerumus kearah yang lebih buruk.
Mengingat ciri dan sifat yang khas dari anak tersebut, maka dalam
menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal agaknya perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya.
Hal ini disebabkan agar mereka tetap memiliki figur yang baik untuk
membimbing mereka alah perkembangannya.
b. Demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan
pembedaan perlakuan dalam proses didalam sintem peradilan pidana
yang harus dilaluinya yang disebabkan karena perbuatan yang
dilakukannya.
c. Demi pertumbuhan dan perkembangan itu pula agaknya perlu
diperhatikan bentuk dan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada
mereka.
Berbeda dengan tujuan pemidanaan pada umumnya, tujuan pemidanaan
pada anak adalah untuk lebih mengayomi anak agar anak tersebut dapat
menyongsong masa depannya yang masih panjang. Oleh karena itu
hendaknya bentuk pemidanaan yang dijatuhkan hendaknya memberi
kesempatan bagi anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya
untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi
dirinya sendiri dan orang lain.
Anak-anak yang telah berstatus sebagai seorang tersangka, terdakwa,
atau terpidana pada dasarnya juga memiliki hak-hak yang sama dengan hak-
hak yang dimiliki oleh seorang seorang tersangka, terdakwa, atau terpidana
dewasa. Bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana, sistem peradilan
pidana yang dijalankan hendaknya dilakukan dengan tujuan untuk untuk
memberikan pembinaan dan bimbingan terhadap anak yang terlanjur
melakukan kenakalan di luar batas kewajaran seorang anak. Anak yang telah
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

melakukan tindak pidana, dalam seluruh proses pemeriksaan berhak


didampingi penasehat hukum dan memperoleh bantuan hukum.
Prinsip-prinsip dasar yang haus diperhatikan dalam menangani perkara
anak nakal terdapat dalam Peraturan Standar PBB untuk Administrasi
Peradilan Anak (Beizing Rules), yakni Rule Number 7. Instrumen
internasional ini memusatkan perhatian pada hak-hak prosedural yang
menjadi hak anak selama penangkapan dan penahanan sebelum peradilan dan
pada semua tahap pemeriksaan:
i. Praduga tak bersalah;
ii. Hak untuk diberitahukan dakwaan;
iii. Hak tidak dipaksa memberikan kesaksian dan mengakui kesalahan;
iv. Hak atas penasehat hukum;
v. Hak atas kehadiran orang tua atau walinya;
vi. Hak untuk menghadapi dan memeriksa silang para saksi (cross
examination);
vii. Hak banding terhadap otorita yang lebih tinggi.

Di Indonesia sendiri secara khusus sebenarnya ketentuan yang mengatur


tentang anak yang melakukan tindak pidana telah dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
atau SPPA. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, dalam Pasal 6 menyatakan bahwa Pengadilan HAM tidak berwenang
memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Jadi seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang melakukan
pelanggaran HAM yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.
UU SPPA diperuntukkan untuk menentukan penanganan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum yakni mereka yang menjadi pelaku tindak pidana
saat usianya belum mencapai 18 tahun. Berdasarkan usia pelaku saat
melakukan tindak pidana, maka terhadap pelaku dapat diterapkan ketentuan
dalam UU Perlindungan Anak (untuk menentukan tindak pidana apa yang
telah dilakukan) dan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA), terkait bagaimana memperlakukan anak yang
melakukan tindak pidana serta konsekuensi apa yang timbul sebagai akibat
perbuatannya tersebut. Menurut UU SPPA, pelaku dapat dikategorikan
sebagai anak yang berhadapan dengan hukum dengan status anak yang
diduga berkonflik dengan hukum (anak yang –diduga- melakukan tindak
pidana); masih menurut SPPA, anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang telah berumur 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun,
yang diduga melakukan tindak pidana.
Pidana yang dijatuhkan adalah paling lama ½ dari ancaman pidana yang
dijatuhkan pada orang dewasa dan tidak boleh djatuhi hukuman mati (diatur
pula dalam Pasal 66 Undang-Undang HAM ayat (2) yang sejalan dengan
Pasal 6 ayat (5) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
yang menyatakan bahwa Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak
dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak-anak.
Dalam perkara Anak Nakal, anak diperiksa dalam sidang yang tertutup
untuk umum sesuai UU SPPA, Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang
KUHAP Pasal 153 ayat (3), di samping itu anak juga diberikan bantuan
hukum/didampingi penasihat hukum (Pasal 51 dan 52 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 66 ayat (6 dan 7) Undang-Undang HAM, Pasal
14 ayat (1) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan
wajib disidangkan pada Pengadilan Anak dalam lingkup Peradilan Umum.
Dalam sidang anak, hakim, penuntut umum, penyidik dan penasihat hukum,
serta petugas lainnya tidak memakai toga atau pakaian dinas. Dengan
demikian, proses peradilan perkara anak nakal sejak ditangkap, ditahan,
diadili, dan pembinaan selanjutnya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang
benar-benar memahami masalah anak.
Dalam penyelesaian perkara anak nakal, hakim wajib
mempertimbangkan laporan hasil penelitian yang bermanfaat terhadap anak.
Dalam hal ini laporan tersebut merupakan rujukan sehingga hakim
memperoleh gambaran yang tepat dalam memberikan keputusan yang adil
bagi anak. Bahkan setelah itu anak pun dalam menjalani hukumannya
dipisahkan dari orang dewasa (Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang HAM dan
Pasal 10 ayat Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Kesemua aturan diatas pada prinsipnya membatasi pemberian hukuman
bagi anak bertujuan bukan semata untuk menghukum (not to punish the
child). Pemberian hukuman lebih bertujuan untuk mendidik kembali (re-
educate), dan memperbaiki anak (rehabilitate). Karena itu sanksi yang
dujatuhkan kepada anak nakal harus disesuaikan dengan kebutuhan
pembinaan anak dan kepentingan terbaik bagi anak. Saat ini sedang
dikembangkan suatu asas yang disebut diversion. Asas ini berupaya untuk
mengalihkan anak yang melakukan tindak pidana dari sistem peradilan
pidana. Anak yang terlibat dalam hukum dapat diberikan alternatif
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

pemidanaan lain misalnya dengan melakukan kerja sosial atau melakukan


pelatihan wajib kerja.
Diversi merupakan upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Mengapa dalam
hal anak melakukan tindak pidana masih perlu diupayakan diversi ? Karena
hukum pidana dan sistem peradilan pidana ditengarai tidak membawa
dampak yang konstruktif bagi perkembangan jiwa anak, baik kini dan nanti.
Dalam proses diversi akan dilakukan musyawarah dengan melibatkan pelaku
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif yang wajib memperhatikan: kepentingan korban,
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif,
penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk: pengembalian kerugian
dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali
kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan
masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Diversi tetap menghendaki agar
pelaku yang masih di bawah umur menyadari kesalahan yang dilakukan serta
memiliki rasa tanggung jawab atas konsekuensi perbuatannya. Khusus untuk
kasus perundungan ini petugas penegak hukum harus menjaga agar proses ini
dilakukan dengan tetap memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar
anak serta memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Upaya diversi telah diterapkan di banyak negara dengan tujuan
memberikan anak yang melakukan tindak pidana kesempatan kedua untuk
memperbaiki dirinya. Bahkan UU SPPA juga menyitir Konvesi Hak Anak
yang mengacu pada prinsip perlindungan hukum terhadap anak. Diversi
menjadi penting untuk diupayaan oleh karena seluruh proses pemeriksaan,
penyidikan, dan penuntutan bahkan perampasan kemerdekaan terhadap
pelaku anak dianggap tidak membawa dampak yang positif bagi mereka dan
jikalau proses tersebut harus dijalani maka seyogyanya semua proses yang
ada tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dalam kerangka
koridor hukum perlindungan anak meskipun mereka adalah pelaku dengan
tetap memperhatikan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Tujuannya untuk mempersiapkan anak menyongsong masa depannya yang
masih panjang serta memberikan kesempatan bagi pelaku agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab dan berguna.
Dalam ranah hukum, anak karena kondisi kejiwaannya yang belum
matang dapat berada di posisi yang rentan, baik dalam kedudukannya sebagai
korban maupun pelaku. Untuk itu kedua belah pihak perlu mendapat
perhatian dan perlindungan yang seimbang. Menurut Penulis, anak dalam
kedua status tersebut perlu dilindungi di muka hukum dan demi penegakan
hukum. Untuk itu penting bagi semua pihak terkait untuk tetap merahasiakan
identitas anak, memastikan proses yang ada berjalan sesuai koridor hukum
dengan mengingat pemeriksaan harus dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari publikasi yang berlebihan dan akan membawa pengaruh yang
tidak kondusif terhadap penyelesaian kasus ini, mengingat munculnya
beragam komentar keras dan stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap
pihak yang berurusan dengan perkara ini. Akhirnya, semuanya berujung pada
asa agar tercapai solusi untuk perbaikan dan pemulihan bagi anak yang tidak
berdasarkan pada pembalasan.
Berdasarkan aturan ini dapat kita cermati bersama bahwa anak dalam
situasi apapun berhak mendapatkan perlindungan dalam segala aspek
kehidupannya, terutama perlindungan hukum yang tujuannya adalah demi
kepentingan terbaik bagi diri sendiri baik di masa kini maupun di masa
depan.

Sumber: Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI.


Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Anakmu, putra-putri Sang Hidup


Lewat engkau mereka lahir
Patut kau berikan rumah untuk raganya., tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab, jiwa mereka adalah penghuni masa depan.
(Kahlil Gibran)

L A T IHA N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Seorang anak perempuan yang sering merekam dirinya berdandan dan


bernyanyi lalu mengunggahnya di sosial media, mendapat kecaman
keras dan kasar dari netizen. Kecaman itu memang sampai dalam taraf
bullying di media online. Menurut pendapat Anda, adakah pelanggaran
terhadap hak anak yang dialami oleh anak perempuan tersebut ? Uraikan
jawaban Anda berdasarkan Instrumen Hukum dan HAM Nasional.
2) Akibat mendengar cerita sukses temannya yang menjadi TKI di negara
tetangga, Joko (15th) yang berwajah cukup tampan akhirnya menerima
tawaran kerja melalui sebuah agen penyalur TKI. Setelah menempuh
perjalanan dengan kapal laut, akhirnya ia sampai di tempat tujuan.
Bukannya pekerjaan seperti yang telah dijanjikan sebelumnya yang
dilakukan Joko, anak laki-laki ini malah dipekerjakan di sebuah tempat
hiburan malam dan bertugas melayani pria-pria dewasa untuk berkencan.
Pertanyaan:
Identifikasi hak-hak anak apa saja yang telah dilanggar dalam kasus
tersebut, kaitkan dengan 4 (empat) prinsip dasar perlindungan anak
disertai dengan instrumen hukum dan HAM yang relevan.
3) Keinginan Melati (17thn) untuk melanjutkan pendidikan dan melakukan
perjalanan rohani menyebabkan ia menerima pinangan seorang pria
kaya di daerahnya. Perjodohan ini diatur oleh kedua orang tuanya yang
menginginkan anak gadisnya memperoleh kehidupan yang lebih baik,.
Namun bukan kebahagiaan yang diperoleh Melati setelah dinikahi secara
agama, Mawar tidak disekolahkan maupun dibiayai untuk melakukan
perjalanan rohani melainkan sering diintimidasi dan tak lama kemudian
diceraikan secara mendadak melalui pesan pendek lewat telepon seluler.
Pertanyaan :
Identifikasi hak-hak anak apa saja yang telah dilanggar dalam kasus
tersebut, kaitkan dengan 4 (empat) prinsip dasar perlindungan anak
disertai dengan instrument hukum dan HAM yang relevan.
4) C (15thn) dan D (13thn) terpergok melakukan pencurian di sebuah toko
sepatu oleh beberapa petugas keamanan di sebuah pusat perbelanjaan
terkemuka dan digelandang ke kantor polisi terdekat. Selama di kantor
polisi mereka berdua jarang diberi makan, dilarang bertemu keluarganya,
dan kerap mengalami kekerasan fisik saat diperiksa oleh yang berwajib.
Suatu hari keduanya ditemukan pingsan di sel tahanan.
Pertanyaan :
Identifikasi hak-hak anak apa saja yang telah dilanggar dalam kasus
tersebut, kaitkan dengan 4 (empat) prinsip dasar perlindungan anak
disertai dengan instrumen hukum dan HAM yang relevan.

RA NG KUMAN
Hak anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan, meliputi
berbagai hal dan terdapat dalam berbagai bidang hukum. Kesemuanya
itu berkenaan dengan hak anak dalam lingkup hukum administrasi dan
kependudukan, hukum perdata dan hukum pidana. Dalam rangka
menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak anak ini
maka kita memerlukan suatu landasan hukum yang akan menguatkan
kompetensi para pemangku kepentingan dalam memberikan jaminan
akan hak-hak tersebut demi kepentingan terbaik bagi anak.
Hukum dan Hak Asasi Manusia l

Daftar Pustaka

Azed, Abdul Bari (1996). Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan.


Jakarta: Ind Hill Co.

Colbran, Nicola (2010). Access to Justice: Persons with Disabilities in


International Background Assessment Report.

Davies, Croall, and Tyrer (1995). Criminal Justice: An Introduction to the


Criminal Justice System in England and Wales. London: Longman.

Detrick, Sharon (1999). A Commentary on the United Nations Conventions


on The Rights of The Child. Kluwer Law.

Munandar, Satrio Aris (2010). Pemberitaan Media tentang Korban Tindak


Kejahatan dalam Perspektif Etika Jurnalistik.

Nathalina (2006). HAM Bagi Saksi dan Korban dalam Modul TOT Petugas
Penegak Hukum. Jakarta: IASTP, Sucofindo, Ditjen HAM
Departemen Hukum dan HAM RI dan Sentra HAM FHUI.

Naibaho, Nathalina. 2001. Perdagangan Manusia: Masalah Penegakan


Hukum. Jakarta: Tesis Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
UI.
_______________ . 2010. Hak Anak Modul Ajar Mata Kuliah Hukum dan
HAM FHUI. Depok: Tanpa penerbit.

Naibaho, Nathalina. 2019. Problematika Anak Berhadapan Dengan Hukum


Kolom hukumonline.com, terbit 15 April 2019, akses
melalui:https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cb3e93a1fc
46/problematika-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum-oleh--
nathalina-naibaho

Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) dan AusAid (2010).


Akses Terhadap Keadilan: Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga di Indonesia.
Reksodiputro, Mardjono (1999). HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana.
Kumpulan Karangan Buku ke III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum.

Smith, Rhona K, et.al (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat
Studi HAM UII.

Sentra HAM FHUI (2010). Laporan Hasil Penelitian: Akses Ke Peradilan.


Sentra HAM dan Komisi Hukum Nasional RI.

_________________ (2004). Modul HAM Bagi Brimob. Jakartat: Sentra


HAM, PGRI (Kemitraan) dan Brimob POLRI.

Schmalleger, Frank dan Clemens Bartollas (2008). Juvenile Deliquency.


Pearson Education Inc.

Stark, Barbara (2017). Human Rights and Children (Human Rights Law 9).
Edward Elgar Publishing Limited.

Susilawati, Ima et.al. (2004). Pengertian Konvensi Hak Anak. Tanpa kota:
Tanpa Penerbit.

United States Department of Justice Bureau of Justice Statistic (1984).


Criminal Justice Policy Victim or Witness Legislation: An
Overview. Washington DC.

Anda mungkin juga menyukai