Anda di halaman 1dari 8

Nama: Elviani Leki

NIM : 10110043

Prodi : IKP Reg.1A

MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN


Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif
meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya
kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan
atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga
kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad
tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya
dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan
kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan
mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.

Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah
terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).

Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.

Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan
apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin
berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

1. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan

(1)   Adanya indikasi medis


(2)   Bertindak secara hati-hati dan teliti
(3)   Bekerja sesuai standar profesi
(4)   Sudah ada informed consent.

1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya,
maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

1. Direct Causation (penyebab langsung)


2. Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa
atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.

Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi


pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai


b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
gugatan pasien .
Upaya pencegahan malpraktek :
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan  dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan
adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat
berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga perawatan
KASUS MALPRAKTEK OBSERVASI

Pada tahun 1979 terjadi kasus malpraktek pada William Milligan. Awalnya William
Milligan dituduh melakukan perampokan dan pemerkosaan atas tiga orang perempuan pada
1977. Sempat terjadi pro dan kontra mengenai kasus ini. Milligan sempat dimasukkan dalam
Lima State Hospital for The Criminally Insane, atau dalam kata lain penjara orang-orang gila di
kota Lima, Amerika. Kepala psikiater disana yang bernama Dr.Frederick Milkie mendiagnosis
berdasarkan DSM II (Diagnostic and Statistical Manual edisi kedua) bahwa Milligan mengalami
skizofrenia dengan axis I 295.5 pseudopsikofasis skizofrenia, 303.2 kecanduan alcohol menurut
riwayat, 304.6 ketergantungan obat stimulan menurut riwayat dan axis II 301.7 Kepribadian
antisosial subtipe kasar. Ketika ditanya dalam sidang, Dr.Frederick Milkie mengatakan bahwa ia
merawat Milligan dengan cara ‘skillful neglect’, yaitu dengan kemahiran mengabaikan dan
dengan memberikan obat stellazine (obat anti-psikotik). Ternyata cara ini tidak memberikan
kemajuan pada Milligan. Para psikiater lain menemukan bahwa Milligan bukan mengalami
skizofrenia, tetapi Kepribadian ganda, yang disebut Multiple Personality Disorder (sekarang
disebut Dissociative Personality Disorder). Dari kasus ini terlihat terjadinya malpraktek
observasi oleh Dr. Frederick Milkie, dalam bidang psikiatri. Malpraktek dalam bidang ini dapat
berdampak buruk karena dengan kesalahan observasi maka akan terjadi kesalahan diagnosis dan
akhirnya kesalahan obat dan treatment seperti yang dialami Milligan

ANALISA

Kasus diatas dapat dikatakan merupakan malpraktek observasi karena kesalahan diagnosis yang
terjadi disebabkan oleh observasi dari Dr.Frederick Milkie yang kurang seksama terhadap
Milligan. Kekurangan-kekurangan dalam hal observasi dari Dr.Frederick Milkie ini
menyebabkan terjadinya kesalahan diagnosis, seperti yang akan dijabarkan secara lebih
mendalam dalam paragraph-paragraf berikutnya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan diagnosis ini:

Pertama, Dalam DSM IV TR (DSM terbaru untuk saat ini), khususnya pada bagian Diffrential
Diagnosis untuk Dissociative Identity Disorder (kepribadian ganda), bahwa gangguan ini
memiliki gejala yang mirip dengan skizorenia atau gangguan alam perasaan. Pada saat seseorang
berpindah kepribadian, orang tersebut dapat dianggap mengalami delusi, yang mana delusi
adalah gejala pada skizofrenia. Saat orang yang mengalami kepribadian ganda berkomunikasi
dengan kepribadiannya yang lain, orang tersebut dapat dianggap mengalami halusinasi auditori
yang merupakan gejala skizoprenia. Karena alasan tersebut, maka kesalahan diagnosis antara
kepribadian ganda dan skizoprenia secara umum mudah terjadi bahkan mungkin sering terjadi.
Karena itu, untuk dapat membedakan kepribadian ganda dengan skizofren, tentu membutuhkan
observasi yang lebih seksama dalam waktu yang lama. Perlu diingat, DSM IV-TR juga
menuliskan bahwa “ factors that support a diagnosis of Dissociative Identity Disorder are the
presence of clear-cut dissociative symptematologywith sudden shifts in identity states, the
persistence and consistency of identity-specific demeanors and behaviors over time, reversible
amnesia,…(p. 529). Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa untuk mendiagnosis kepribadian
ganda dan membedakan gangguan ini dari gangguan lain dibutuhkan waktu yang lama untuk
melihat konsistensi karakter maupun pola tingkah lakunya.

Kedua, Dr, Frederick Milkie mengatakan bahwa ia baru pernah melihat Milligan tiga kali, yaitu
saat pertama kali Milligan dipindahkan ke bawah perawatannya pada 24 oktober 1979, saat
meninjau ulang pada 30 oktober 1979, dan pada pagi sebelum sidang dimulai, yaitu tanggal 30
november 1979 (Keyes, 1982/2006). Observasi untuk menentukan diagnosis tentu tidak cukup
hanya dengan melakukan observasi sebanyak tiga kali. Seperti yang dituliskan sebelumnya,
untuk melihat seseorang mengalami kepribadian ganda dibutuhkan melihat konsistensi karakter
dari waktu ke waktu, yang berarti butuh waktu yang lama dan jumlah pemeriksaan yang
berulang-ulang. Jadi, malpraktek ini terjadi salah satunya karena jumlah waktu yang dilakukan
untuk observasi cenderung terlalu sedikit.

Ketiga, Dr. Frederick Milkie sendiri mengatakan bahwa ia tidak menerima definisi kepribadian
ganda dalam DSM II (Keyes, 1982/2006). Dengan pandangan tersebut, maka tentu saja Dr.
Frederick Milkie akan cenderung menghindari utnuk mendiagnosis seseorang mengalami
kepribadian ganda. Fenomena ini biasa disebut dengan Accessibility, yaitu “the extent to which
schemas and concepts are at the forefront of people’s minds and are therefore likely to be used
when making judgements about the social world” (Aronson, Wilson, Akert, 2004). Dalam kata
lain, suatu keputusan yang dibuat sangat dipengaruhi oleh apa yang dipercayai dan ada dalam
skema seseorang. Dalam kasus ini, Dr. Frederick Milikie memiliki pandangan bahwa
kepribadian ganda yang dituliskan dalam DSM II kurang tepat sehingga dengan sendirinya
segala tingkah laku yang diobservasinya akan cenderung terlihat bebeda dari cirri-ciri
kepribadian ganda. Subjektifitas Dr.Frederick Milkie ini juga dapat dilihat ketika ia menjelaskan
gejala yang dilihatnya. Ia mengatakan bahwa gejala yang dialami Milligan adalah marah, panik,
segalanya berjalan tidak sesuai denga keinginan Milligan sehingga kemarahan menguasai dirinya
dan bertindak sesuai dorongan hati. Gejala ini mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai
diagnosis kepribadian anti sosial yang dibuatnya, tetapi sama sekali tidak berhubungan dengan
diagnosis skizofrenia, dimana diagnosis utama skizofrenia dibuat berdasarkan adanya delusi dan
halusinasi.
Malpraktik dalam bidang Medis
Malpraktik dalam bidang Medis

Medical Negligence

Dalam beberapa dekade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat
umum khususnya malpraktik bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika
kita flashback beberapa dekade ke belakang khususnya di Indonesia anggapan banyak orang, dokter
adalah profesional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini
berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun
administratif yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil
perawatan atau pengobatan.

Yang masih perlu dikaji  dan didiskusikan kembali adalah apakah sudah benar dasar penuntutan yang
disampaikan kepada dokter atau rumah sakit dengan dasar dokter atau rumah sakit bersangkutan telah
melakukan tindakan malpraktik jika kita tinjau dari kaca mata Undang – Undang Hukum Pidana, Hukum
Perdata dan Undang – Undang Praktek Kedokteran, KODEKI serta standar profesi dokter dalam
menjalankan profesinya.

Transaksi terapeutik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian antara pasien dengan penyedia
layanan dimana dasar dari perjanjian itu adalah usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang
dilakukan dengan cermat dan hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan
usaha/ikhtiar. Agar dapat berlaku dengan sah, trasaksi tersebut harus memenuhi empat syarat, pertama
ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan untuk membuat sesuatu, ketiga
mengenai suatu hal atau obyek dan yang keempat karena suatu causa yang sah. Transaksi atau perjanjian
menurut hukum dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya
transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku dokter dan oleh karena itu
bersifat menjelaskan, merinci ataupun menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat
memberikan perlindungan bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan
perlindungan hak pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomer 29 tahun 2004 tentang praktek
kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang
akan dilakukan, hak meminta penjelasan pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan
medis, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban pasien dalam
menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang
masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di
sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Menurut Leenen kewajiban yang harus dilakukan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan
kesehatan adalah melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan standar profesi medik (SPM) yang pada
hakekatnya terdiri dari beberapa unsur diantaranya bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama, sesuai
dengan ukuran medik, sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori
keahlian medik yang sama, dalam keadaan yang sebanding dan dengan sarana dan upaya yang sebanding
wajar dengan tujuan konkrit dari tindakan medik tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara hukum pidana umum dengan hukum pidana medik adalah sebagai
berikut hukum pidana umum yang diperhatikan adalah akibat dari peristiwa hukumnya sedangkan hukum 
pidana medik yang diperhatikan adalah sebabnya. Jika akibat suatu perawatan medis hasil yang didapat
tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasien mengalami kerugian maka belum tentu dokter yang
merawat telah melakukan kesalahan. Harus diteliti terlebih dahulu apakah dalam melakukan perawatan
tersebut dokter telah menerapkan tindakannya sesuai dengan standar profesi yang dibenarkan oleh hukum
dan nilai-nilai kode etik profesi sebagaimana yang tertuang dalam KODEKI. Karena menurut penulis
ilmu kedokteran/kesehatan merupakan paduan antara ilmu pengetahuan dan seni, 3 dikali 3 tidak harus 9
hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang ingin dicapai seperti kondisi tubuh
pasien, cara penanganannya, komplikasi dan banyak faktor yang lain termasuk tidak atau tersedianya
peralatan kedokteran yang memadai. Sehingga tidak ada 2 kasus yang diselesaikan dengan hasil yang
sama.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu
tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan
dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik
sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the
result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi
hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence
in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat
oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada
umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut
Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan
pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan
oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang
malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada
undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter
sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai
pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum
yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan
malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter
ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter, resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :

1. Kecelakaan

2. Resiko tindakan medik (risk of treatment)


3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Resiko
dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan
tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan
dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab
pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum
harus terpenuhi syarat sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)

2. Perbuatan itu melanggara hukum

3. Ada kerugian yang ditanggung pasien

4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan

5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam menentukan telah
terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum indonesia belum diatur mengenai standar
profesi dokter sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter
merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal
biasa, misalnya : pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita
berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk
hukum yang mengatur tentang standar profesi.

Anda mungkin juga menyukai