Anda di halaman 1dari 20

i

BAB I
PENDAHULUAN

Fungsi jantung secara normal bergantung pada gelombang impuls listrik yang
berjalan dengan cara yang terkoordinasi dengan baik. Abnormalitas irama listrik dikenal
sebagai aritmia atau disritmia dimana kelainan ini merupakan masalah klinis yang sering
dijumpai (Lilly, 2012). Sirkulasi darah adalah hasil dari pompa jantung yang memberikan
kekuatan mekanis untuk memompa darah yang mengandung oksigen dan mendeoksigenasi
darah dari jaringan perifer, hal ini sangat bergantung pada aktivitas listrik jantung (Tse,
2016).
Artimia jantung dapat terjadi pada semua rentang usia dan terjadi pada kondisi
jantung yang sudah terganggu ataupun pada struktur jantung yang normal dimana
gangguan aritmia memiliki presentasi klinis yang luas. Presentasi klinis dari aritmia
jantung dapat berupa palpitasi yang ringan hingga gejala yang berat berupa curah jantung
yang rendah sampai dengan kematian (Gaztañaga et al., 2012).
Mekanisme utama yang mendasari terjadinya aritmia jantung adalah gangguan
dari pembentukan impuls jantung dan gangguan kondusi jantung. Gangguan pembentukan
impuls jantung dapat dibagi menjadi gangguan automatisasi dan triggered activity,
sedangkan untuk gangguan konduksi jantung dapat dibagi menjadi blok konduksi dan
gangguan reentry (Lilly, 2012). Kelainan pompa jantung akibat gangguan impuls memiliki
angka yang tinggi terhadap mortalitas dan morbiditas di populasi. Sebagian besar dari
kasus aritmia yang serius terjadi pada kondisi gagal jantung sebagai kondisi tahap akhir
dari banyak penyakit pada jantung (Klebber, 2004).
Sistem ritmis dan konduksi dalam jantung sangan rentan terhadap kerusakan
akibat penyakit jantung yang sering kali menimbulkan irama jantung yang aneh atau
serentetan kontraksi yang abnormal dari rongga jantung (Hall, 2011). Memahami
mekanisme dari aritmia bermanfaat untuk manajemen dan pengobatan yang tepat dari
berbagai tipe aritmia. Tinjauan pustaka dasar ini bertujuan untuk memberikan gambaran
mekanisme dasar aritmia yang dapat membantu untuk mendiagnosis dan memberikan
tatalaksanana yang tepat pada gangguan aritmia jantung.

1
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pembentukan Impuls Jantung

Kontraksi ritmik dari jantung didasarkan pada pembentukan dan konduksi impuls
yang terorganisasi. Potensial aksi terbentuk dari keluar masuknya ion melalui kanal ion
pada sarkolema yang tersusun dari phospholipid bilayer dengan protein spesifik yang
berfungsi sebagai kanal ion, kotransporter, dan transport aktif. Perpindahan dari ion
melewati membran sel sebagai salah satu dasar dari terbentuknya potensial aksi bergantung
pada kecenderungan ion dan permeabilitas membran. Perubahan voltasi pada membrane
dapat mempengaruhi kanal ion sehingga dapat merubah permeabilitas membran terhadap
ion (Lilly, 2012).
Sel otot jantung adalah sel yang sangat spesial dimana bertanggung jawab
terhadap konduksi impuls dan kontraksi mekanik. Beberapa sel otot jantung memiliki sifat
automatisasi yaitu kemampuan sel untuk melakukan depolarisasi spontan dan menginisiasi
impuls listrik tanpa stimulasi eksternal. Pembentukan impuls potensial aksi dapat sampai
ke sel otot jantung karena adanya gap junction, suatu struktur membran khusus yang terdiri
dari beberapa saluran ion antar sel yang memfasilitasi aktivitas listrik dan komunikasi
kimiawi antar sel. Potensial aksi pada jantung berbeda pada beberapa regional dikarenakan
setiap tipe sel memiliki jumlah dan tipe kanal ion yang berbeda (Gambar 1) (Gaztañaga et
al., 2012).

2
Gambar 1. A. Potensial aksi pada nodus sinus. B. Potensial aksi pada sel otot
jantung

Automatisasi mengacu pada kemampuan sel untuk mendepolarisasi dirinya ke


tegangan ambang batas untuk menghasilkan potensial aksi yang bersifat spontan.
Walaupun sel otot atrium dan ventrikel tidak memiliki sifat ini dalam kondisi normal, sel-
sel dari sistem konduksi yang spesifik memang memiliki automatisasi natural yang karena
itu disebut sel pacemaker. Sistem konduksi terspesialisasi meliputi nodus sinoatrial (SA),
regio nodus atrioventrikuler (AV), dan sistem konduksi ventrikuler. Sistem ventrikuler
terdiri dari bundle his, cabang bundel, dan serat Purkinje. Dalam situasi patologis, sel
miokardium di luar sistem konduksi juga dapat memperoleh automatisasi (Antzelevitch
dan Burashnikov, 2011).

II.1.1 Potensial Aksi Sel Otot Jantung

Pada sel jantung, perbedaan muatan listrik diantara bagian luar dan bagian dalam
sel sebelum terjadinya eksitasi disebut sebagai potensial istirahat. Konsentrasi potassium
memiliki nilai yang tinggi di dalam sel jantung. Salah satu transporter ion yang penting
pada membrane sel adalah Na+K+-ATPase dimana pompa protein ini bersama dengan ATP
mengeluarkan tiga ion Na+ dari dalam sel dan memasukan dua ion K+. Peristiwa ini
membantu menjaga kadar ion Na+ diluar sel pada nilai yang rendah dan ion K+ didalam sel
dalam nilai yang tinggi (Jalife et al., 2011; Lilly, 2012).
Sebelum depolarisasi, potensial istirahat dari sel otot jantung berada di nilai -90
mV yang disebut sebagai fase 4 dimana kanal sodium dan kalsium masih tertutup.
Masuknya ion sodium secara cepat disebut sebagai fase 0. Pada fase ini aktivasi dari kanal
sodium cepat menyebabkan depolarisasi cepat pada potensial aksi. Setelah depolarisasi
cepat, ion K+ bergerak keluar dari dalam sel yang mengembalikan potensial memban
kembali ke sekitar 0 mV, peristiwa ini disebut sebagai fase 1. Fase 2 dari siklus potensial
aksi sel otot jantung dimulai ketika masuknya ion Ca 2+ yang seimbang dengan keluarnya
ion K+ yang menyebabkan tidak ada perubahan pada potensial membrane pada periode ini
yang disebut juga fase plateu. Fase 3 potensial aksi dimulai ketika kanal Ca 2+ mulai
tertutup dan keluarnya ion K+ mulai melebihi masuknya ion kalsium yang merupakan fase
terakhir dari repolarisasi. Pada fase ini potensial membrane kembali ke potensial istirahat

3
yaitu -90 mV. Perubahan aliran ion sel otot jantung selama potensial aksi dapat
disimpulkan melalui ilustrasi Gambar 2 yang dikutip dari Lilly (2012).

Gambar 2. Skematik potensial aksi sel otot jantung dan korelasinya dengan aliran ion Na+,
Ca++, dan K+.

Depolarisasi pada sel otot jantung tidak terjadi secara spontan. Potensial aksi
terjadi karena ketika gelombang depolarisasi mencapai sel otot jantung sebelahnya,
membran sel otot jantung tersebut menjadi lebih negatif dan menstimulasi terjadinya
potensial aksi (Antzelevitch et al., 2003).

II.1.2 Potensial Aksi Sel Pacemaker

Sel jantung tertentu tidak memerlukan stimulus eksternal untuk memulai potensial
aksi melainkan sel tersebut mampu menginisiasi depolarisasi, yang dinamakan sel
pacemaker. Sel pacemaker dapat melakukan depolarisasi spontan atau automatisasi selama
fase 4. Sel yang memperlihatkan kemampuan tersebut yaitu nodus SA dan nodus AV. Sel
otot ventrikel dan atrium dapat memiliki sifat automatisasi dalam kondisi tertentu seperti
pada kondisi iskemia (Lilly, 2012). Nodus Sinoatrial dalam kondisi normal menunjukan
kecapatan intrinsic yang paling tinggi sedangkan sel pacemaker lain berfungsi sebagai
pacemaker latent yang akan mengambil alih fungsi eksitasi jantung hanya ketika nodus SA
tidak dapat menghasilkan impuls (Antzelevitch dan Burashnikov, 2011).
Sel dengan sifat automatisasi alami tidak memiliki tegangan istirahat statis.
Sebaliknya, mereka secara inheren menampilkan depolarisasi bertahap selama fase 4

4
potensial aksi dengan ambang negatif maksimal -60 mV. Jika depolarisasi diastolik
spontan ini mencapai kondisi ambang, suatu potensial aksi akan dihasilkan. Arus ionik
penting yang bertanggung jawab untuk depolarisasi spontan fase 4 dikenal sebagai arus
pacemaker (If). Ketika potensial ambang telah tercapai (pada nilai sekitar -40 mV),
peningkatan potensial terjadi (fase 0). Fase 0 pada sel pacemaker kurang cepat
dibandingkan dengan sel otot jantung. Hal ini disebabkan pada sel pacemaker kanal
sodium cepat tidak aktif dan peningkatan potensial aksi hanya bergantung pada masuknya
ion Ca++ melalui kanal kalsium yang relatif lambat. Perubahan aliran ion pacemaker
selama potensial aksi dapat disimpulkan melalui ilustrasi Gambar 3 yang dikutip dari Lilly
(2012).

Gambar 3. Skematik potensial aksi sel pacemaker.

Menurut Groenke et al. (2013), asal dari aktivitas pacemaker pada jantung masih
kontrobersial. Beberapa teori yang paling mewakili dari kejadian ini adalah depolariasi
diastolik oleh arus pacemaker “funny” (If) (hipotesis “Membrance Clock”, depolarisasi
dengan pertukaran Na-Ca sebagai respons dari siklus Ca (hipotesis “Calcium Clock”) dan
gabungan dari keduanya yang disebut hipotesis “Coupled Clock” (Lakatta et al., 2006).
Populasi yang berbeda dari sel-sel pacemaker dalam jalur konduksi khusus
memiliki laju arus intrinsik yang berbeda. Tingkat ini ditentukan oleh tiga variabel yang
mempengaruhi seberapa cepat potensial membran mencapai kondisi ambang batas: (1) laju
fase 4 depolarisasi spontan, (2) potensi diastolik negatif maksimum, dan (3) potensial
ambang batas. Potensi diastolik maksimum yang lebih negatif, atau potensial ambang yang

5
kurang negatif, memperlambat laju inisiasi impuls karena dibutuhkan waktu lebih lama
untuk mencapai nilai ambang. Sebaliknya, semakin besar If, semakin curam kemiringan
fase 4 dan semakin cepat sel terdepolarisasi. Ukurannya tergantung pada jumlah dan
kinetika masing-masing kanal pacemaker yang dilalui arus ini. Karena semua sel miokard
yang sehat terhubung secara elektrik dengan gap junction, suatu potensial aksi yang
dihasilkan di satu bagian miokardium akhirnya akan menyebar ke semua wilayah lainnya.
Ketika sebuah impuls tiba di sel yang belum dekat dengan ambang batas, arus dari sel yang
didepolarisasi akan membawa potensial membran sel yang berdekatan ke batas ambang
sehingga akan teraktivasi (terlepas dari seberapa dekat impulsnya) (Groenke et al., 2013).
Dengan demikian, sel-sel pacemaker dengan laju depolariasai tercepat akan
mengatur detak jantung. Pada jantung normal, pacemaker yang dominan adalah nodus SA
yang memulai impuls pada kecepatan 60 hingga 100 kali permenit. Karena laju nodus SA
lebih cepat dari pada jaringan lain yang memiliki automatisasi, automatisasi yang berulang
mencegah depolarisasi spontan dari sel pacemaker potensial lainnya. Node SA dikenal
sebagai pembuat kecepatan asli karena biasanya menentukan denyut jantung. Sel lain
dalam sistem konduksi khusus menyimpan potensi untuk bertindak sebagai pacemaker jika
perlu, dan karena itu disebut pacemaker laten (atau ektopik pacemaker). Berbeda dengan
SA node, AV node dan his bundle memiliki laju arus intrinsik 50 hingga 60 kali permenit,
dan sel-sel dari sistem Purkinje memiliki tingkat sekitar 30 hingga 40 kali permenit.
Pacemaker laten ini dapat memulai impuls dan mengambil alih fungsi pacemaker jika
nodus SA melambat atau gagal menghasilkan impuls, atau jika terjadi konduksi abnormali
yang mencegah gelombang depolarisasi normal mencapai mereka (Lilly, 2012).

II.2 Gangguan Pembentukan Impuls Jantung

Aritmia dapat timbul dari gangguan pembentukan impuls dari nodus SA atau lokasi
lain termasuk jalur konduksi atau daerah otot jantung, kelainan pembentukan impuls yang
dapat menimbulkan aritmia mencakup perubahan dari automatisasi dari nodus SA atau
pacemaker lain, gangguan automatisasi pada otot atrium atau ventrikel, dan triggered
activity (Lilly, 2012). Hal serupa dikemukakan oleh Tse, (2016) yang menjelaskan bahwa
kelainan utama inisiasi impuls yang menyebabkan aritmia adalah (1) perubahan
automatisasi dari nodus sinus atau pacemaker laten dalam jalur konduksi khusus, (2)
kelainan automatisasi pada miosit ventrikel atau ventrikel, dan (3) Triggered activity.

6
Meskipun mekanisme terjadinya aritmua dapat dibagi menjadi gangguan
pembentukan impuls, gangguan konduksi impuls, ataupun keduanya, Loscalzo, (2013)
menyebutkan bahwa masih sulit untuk memastikan penyebab dari timbulnya aritmia yang
dijumpai sehari-hari. Berikut tabel intisari mekanisme dan contoh gangguan aritmia
berdasarkan mekanisme elektrofisiologi yang terlibat dalam aritmia tersebut (Lilly, 2012;
Loscalzo, 2013; Mann et al., 2014).

Gangguan Mekanisme Contoh Klinis


Gangguan Pembentukan Impuls
Automatisasi
- Automatisasi normal Akselerasi atau supresi dari Sinus bradikardia, Sinus
fase 4 takikardia
- Automatisasi tidak Depolarisasi yang Accelerated Ventricular
nomal terinduksi oleh automatisasi Rhythm setelah infark
purkinje di miosit miokard
Trigerred Activity
- EAD Penggunaan obat (sotalol, Long QT Syndrome
N-asetilsistein, terfenadin, (berhubungan juga dengan
eritromisin), Hipokalemia aritmia ventrikuler),
Torsade des pointes
- DAD Mutasi gen yang mengkode Ventrikel takikardia
RyR2, Intoksikasi digitalis reperfusi, Ventrikel
takikardia polimorfik
Gangguan Konduksi Impuls
Block
- Blok bidirectional atau Blok konduksi SA, AV, dan
unidirectional tanpa berkas his
reentry
- Blok unidirectional AVNRT, Ventrikular
dengan reenty takikardia oleh karena
reentri berkas his

7
II.2.1 Automatisasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa depolarisasi spontan (fase 4)


merupakan fase yang mendasari terjadinya automatisasi dari sel pacemaker pada nodus SA
(sinoatrial), nodus AV (atrioventricular), berkas his dan purkinje. Laju depolarisasi pada
fase 4 ini teregulasi secara dinamis (Loscalzo, 2013). Gaztañaga et al., (2012)
menyebutkan bahwa kecepatan pembentukan impuls ditentukan dari interaksi 3 faktor
yaitu potensial diastolik maksimal, ambang potensial dimana potensial aksi dibentuk, dan
kecepatan atau kecuraman fase 4 depolarisasi. Perubahan dari ketiga faktor ini akan
mempengaruhi kecepatan dari pembentukan impuls (Gambar 4).

Gambar 4. Mekanisme dari peningkatan automatisasi. A : Normal, B : Peningkatan


ambang tegangan, C : Penurunan potensial membran diastolik, D : Peningkatan kecuraman
fase 4 depolarisasi. MDP: membrane diastolic potential; Th: threshold.

8
Ketika proses peningkatan automatisasi ini terjadi pada nodus SA maka akan
menimbulkan suatu sinus takikardia. Kondisi ini dapat merupakan suatu proses yang
fisiologis seperti karena peningkatan tonus simpatis ketika beraktifitas, atau suatu kondisi
yang patologis dikarenakan hipovolumia, iskemik, atau gangguan elektrolit (Tse, 2016).
Faktor yang prominen dalam mengatur fase 4 ini adalah sistem saraf otonom.
Kecepatan dari impuls pada nodus SA dan pacemaker laten diregulasi oleh system
neurohormonal (Gambar 5) (Lilly, 2012; Loscalzo, 2013).

Gambar 5. Efek dari stimulasi simpatis dan parasimpatis pada arus kanal
pacemaker.

Modulator paling penting dari automatisasi nodus SA adalah sistem saraf otonom.
Stimulasi simpatis melalui reseptor β1 adrenergik atau penggunaan obat antikolinergik
meningkatkan probabilitas terbukanya kanal pada pacemaker (If). Peningkatan If
mengakibatkan peningkatan kecuraman dari fase 4 depolarisasi yang menyebabkan nodus
SA dapat mencapai ambang batas lebih awal dari normal sehingga meningkatakan denyut
jantung. Stimulasi simpatis juga menggeser ambang potensial aksi menjadi lebih negatif
dengan meningkatkan probabilitas terbukanya kanal kalsium yang berkerja pada fase 0
depolarisasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada sel pacemaker arus kalsium
merupakan ion yang membawa sel menuju depolarisasi, sehingga pacemaker dapat

9
mencapai ambang potensial depolarisasi lebih awal. Dua mekanisme ini yang
menyebabkan stimulasi simpatis dapat meningkatkan denyut jantung (Lilly, 2012).
Penurunan dari automatisasi nodus SA dapat terjadi pada penurunan stimulasi saraf
simpatis atau peningkatan stimulasi saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis adalah
pengontrol utama dari denyut jantung pada kondisi istirahat. Berkebalikan dengan
stimulasi saraf simpatis, stimulasi saraf parasimpatis melalui nervus vagus menurunkan
probabilitas kanal pacemaker untuk terbuka (Gambar 1) yang menyebabkan kecuraman
pada fase 4 berkurang sehingga nodus SA lebih lambar mencapai ambang batas
depolarisasi. Stimulasi saraf parasimpatis juga menurunkan probabilitas pembukaan kanal
kalsium sehingga ambang batas depolarisasi menjadi lebih tinggi. Selain dua mekanisme
tersebut, stimulasi kolinergik juga meningkatkan probabilitas dari acetylcholine-sensitive
K+ terbuka saat istirahat yang menyebabkan ion K + keluar melalui kanal ini sehingga
potensial diastolik menjadi lebih negatif. Ketiga mekanisme ini menyebabkan stimulasi
saraf parasimpatis menurunkan laju denyut jantung. Sifat perubahan automatisasi dari
nodus SA terhadap pengaruh sistem saraf simpatis dan parasimpatis ini juga dapat
diaplikasikan dengan pemberian terapi yang mensupresi kedua sistem saraf tersebut. (Lilly,
2012).
Pada kondisi dimana nodus SA tersupresi, lokasi pembentukan impuls sering
bergeser kepada pacemaker lainnya dan menjadi suatu impuls yang dinamakan escape
beat. Terganggunya nodus sinus secara persisten akan mengakibatkan timbulnya serial dari
escape beat yang disebut dengan escape rhythm. Hal ini bersifat protektif dimana escape
rhythm mencegah denyut jantung terlalu rendah ketika nodus SA mengalami gangguan.
Berbagai daerah pada jantung memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap stimulasi
parasimpatis. Nodus SA dan AV merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap
stimulus tersebut, diikuti oleh jaringan atrial dan ventrikular. Stimulasi parasimpatis dapat
menurunkan laju sinus dan bergeser menjadi nodus AV, sedangkan stimulasi parasimpatis
yang sangat kuat dapat menekan rangsangan dari nodus SA dan AV sehingga
mengakibatkan munculnya ventricular escape pacemaker (Lilly, 2012).
Ectopic beat terjadi saat pacemaker lain memiliki kecepatan depolarisasi intrinsik
yang lebih cepat dibandingkan dengan nodus SA dimana impuls akan terjadi secara
premature dibandingkan dengan irama normal. Bila hal ini terjadi berkepanjangan dengan
morfologi yang serupa maka dinamakan ectopic rhythm. Ectopic beat dapat muncul dalam
beberapa kondisi seperti saat konsentrasi katekolamin yang tinggi sehingga dapat

10
meningkatkan automatisasi dari pacemaker lainnya, dapat juga terjadi pada kondisi
hipoksemia, iskemia, gangguan elektrolit dan efek toksisitas dari obat tertentu.
Perubahan patologis dari pembentukan impuls jantung juga dapat terjadi pada
cedera jaringan jantung dimana terjadi automatisasi dan depolarisasi spontan pada sel sel
miokard. Jika tingkat depolarisasi sel miokard tersebut melebihi dari nodus SA, maka sel
miokard tersebut akan mengambil alih fungsi pacemaker dan menjadi sumber dari irama
ektopik yang abnormal. (Lilly, 2012)
Automatisasi yang tidak normal dapat mendasari dari takikardia atrium,
accelerated idioventricular rhythm, dan takikardia ventrikular khususnya yang
berhubungan dengan iskemia dan reperfusi. Diperkirakan bahwa daerah miokard di
perbatasan yang mengalami iskemik dapat mendepolarisasi daerah yang tidak mengalami
iskemik sehingga dapat menjadi predisposisi automatisasi menjadi takikardia ventrikular
(Loscalzo, 2013).

II.2.1 Triggered Activity

Dalam kondisi tertentu, suatu potensial aksi dapat memicu depolarisasi abnormal
yang menghasilkan detak jantung ekstra atau aritmia yang cepat, proses ini terjadi saat
potensial aksi pertama yang memicu osilasi membran yang dinamakan Afterdepolarization
dimana tipe automatisasi ini dirangsang oleh potensial aksi sebelumnya. Terdapat dua
macam dari Afterdepolarization bergantung kepada waktu timbulnya potensial aksi, Early
Afterdepolarization terjadi selama fasi reloparisasi sedangkan Delayed Afterdepolarization
terjadi setelah fase repolarisasi selesai (January et al., 2012).
Early Afterdepolarization adalah perubahan potensial membrane kea rah positif
yang mengganggu repolarosasi normal, hal ini dapat terjadi pada fase plateau dari
potensial aksi (fase 2) atau selama repolarisasi cepat (fase 3). Early Afterdepolarization
memungkinkan memperpajang durasi dari potensial aksi (dalam EKG dapat terlihat
pemanjangan segmen QT).

11
A

Gambar 6. A. Early Afterdepolarization yang terjadi sebelum potensial aksi mengalami


repolarisasi sempurna. Afterdepolarization yang berulang dapat mencetuskan suatu
rangkaian dari potensial aksi dan menimbulkan takiaritmia. B. Delayed
Afterdepolarization muncul setelah sel sepenuhnya repolarisasi dimana jika mencapai
ambang tegangan akan memicu potensial aksi.

Delayed Afterdepolarization dapat muncul seketika setelah selesainya fase


repolarisasi. Seringkali muncul pada kondisi tingginya kadar kalsium intraseluler seperti
yang terjadi pada keracunan digitalis atau selama stimulasi katekolamin. Beberapa
takikardia ventrikel idiopatik yang terjadi pada jantung dengan struktur normal mungkin
disebabkan oleh mekanisme ini, seperti yang terjadi pada takikardia atrium dan ventrikel
yang terkait dengan toksisitas digitalis (January et al., 2012; Lilly, 2012).

12
Mekanisme selular yang diketahui dapat memicu terjadinya delayed
afterdepolatization adalah adanya peningkatan kalsium intraselular di sitosol dan retikulum
sarkoplasma. Peningkatan dari katekolamin dan kondisi iskemik dapat mencetuskan
peningkatan kalsium intrasel. Sel dari area yang mengalami kerusakan atau selamat dari
infark dapat mengeluarkan kalsium secara spontan dari retikulum sarkoplasma dan
menimbulkan gelombang peningkatan kalsium intrasel sampai mencetuskan aritmia. Jika
amplitudo dari delayed afterdepolatization ini mencapai ambang voltasi, potensial aksi
dapat terjadi dan beberapa dapat mengulang proses ini secara terus menerus yang
menimbulkan sebuah takiartimia seperti ventrikular takikardia idiopatik pada struktur
jantung yang normal dan pada atrial atau ventrikular takikardia yang berhubungan dengan
toksisitas digitalis (Lilly, 2012; Loscalzo, 2013).
Penyebab dari early afterdepolarization tidak didasarkan pada peningkatan
kalsium intraselular, melainkan pemanjangan dari potensial aksi dan reaktivasi dari arus
depolarisasi. Kalsium sitosolik akan meningkat ketika terjadi pemanjangan potensial aksi
dan mereaktivasi dari arus ion Ca melalui kanal tipe L sehingga menimbulkan arus ion
yang dapat menghasilkan early afterdepolarization. Mekanisme ini dapat terjadi pada fase
pleatau (fase 2) atau repolarisasi cepat (fase 3) yang biasanya terjadi pada kondisi
pemanjangan potensial aksi seperti pada penggunaan beberapa obat dan long-QT
syndrome. Early after depolarization dapat menjadi mekanisme yang menginisiasi
timbulnya ventrikular takikardi polimorfik atau torsades de pointes. (Lilly, 2012; Loscalzo,
2013).
Ganngguan elektrolit seperti hipokalemia, hipomagnesemia, dan penggunaan obat
obatan yang memperpanjang potensial aksi dapat memicu terjadinya early
afterdepolarization. Obat anti aritmia kelas 1A dan III mentargetkan pemanjangan
potensial aksi dan interval QT namun kadang bisa memicu terjadinya aritmia. Beberapa
obat lain seperti phenothiazine, anti histamin, dan beberapa antibiotik dapat pula
memperpanjang potensial aksi dan memicu terjadinya early afterdepolarization (Loscalzo,
2013).

II.3. Gangguan Konduksi Impuls Jantung

Gangguan pada konduksi impuls jantung juga dapat menyebabkan aritmia. Blok
konduksi umumnya memperlambat denyut jantung (bradyarrhythmias) namun dalam

13
keadaan tertentu, proses reentry dapat terjadi dan menghasilkan irama cepat abnormal
(tachyarrhythmias).
Suatu impuls akan diblok ketika impuls tersebut mencapai wilayah jantung yang
tidak dapat dirangsang elektrik. Blok konduksi dapat bersifat sementara atau permanen dan
mungkin searah atau bidirectional. Berbagai kondisi dapat menyebabkan blok konduksi,
termasuk iskemia, fibrosis, inflamasi, dan obat-obatan tertentu. Ketika konduksi blok
terjadi karena suatu pembentukan impuls sampai di sel jantung yang masih dalam fase
refrakter, maka blok konduksi ini dikatakan blok fungsional.
Blok konduksi pada nodus AV node atau jalur His-Purkinje mencegah penyebaran
impuls normal jantung dari nodus sinus ke daerah distal. Blok atrioventrikular (AV blok)
ini menghilangkan supresi overdrive yang menjadikan pacemaker pada His-Purkinje dalam
kendali. Dengan demikian, blok konduksi biasanya mengakibatkan suatu “escape beat”
atau “escape rhythm”.
“Reentry” adalah mekanisme dimana terjadi gangguan konduksi impuls yang
mengakibatkan takiaritmia dikarenakan impuls listrik beredar berulang kali pada jalur
“reentry”. Selama konduksi jantung yang normal, setiap impuls listrik yang berasal dari
nodus SA berjalan secara teratur dimana pada akhirnya akan menyebabkan depolarisasi
seluruh serabut miokard. Periode refraktori setiap sel mencegah eksitasi segera dari sel-sel
yang didepolarisasi secara berdekatan, sehingga impuls berhenti ketika semua otot jantung
telah tereksitasi. Namun, blok konduksi yang mencegah depolarisasi cepat pada bagian
miokardium dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk melanjutkan propagasi
dan memasuki siklus reentry (Lilly, 2012; Mann et al., 2014).
Gaztanaga et.al. (2012) menyatakan bahwa syarat untuk dapat terjadinya sebuah
reentry meliputi :
1. Substrat : Adanya jaringan miokard yang berdekatan dengan elektrofisiologi,
konduksi, dan refraktori periode yang berbeda
2. Blok area : Area jaringan yang tidak dapat dieksitasi disekitar tempat dimana
gelombang impuls dapat bersirkulasi
3. Blok konduksi satu arah
4. Jalur konduksi lambat yang memungkinkan impuls dapat kembali repolarisasi
5. Faktor pemicu yang memulai

Berikut skema dari proses terjadinya reentry yang dikutip dari Lilly (2012), (Gambar 7)

14
Gambar 7. Mekanisme Reentry.

Gambar tersebut menggambarkan aktivitas listrik saat mengalir melalui titik


cabang di mana saja dalam jalur konduksi. Panel A menunjukkan propagasi dari potensi
aksi normal. Pada titik x, impuls mencapai dua jalur paralel dan bergerak turun masing-
masing ke jaringan konduksi yang lebih distal. Pada jantung normal tiap jalur memiliki
kecepatan konduksi dan periode refraktori yang serupa sehingga bagian depan gelombang
yang melewatinya dapat bertabrakan di jaringan konduksi distal (Baruscotti et al.,2005;
Lilly, 2012).
Panel B menunjukkan apa yang terjadi jika konduksi terhalang di salah satu sisi
jalur. Dalam contoh ini, potensial aksi terhambat ketika bertemu jalur yang terhalang dan
oleh karena itu merambat hanya ke kanal yang tidak terhambat. Ketika dorongan terus
menyebar, arus menemui ujung distal jalur beta. Jika jaringan di bagian distal dari jalur
beta juga tidak mampu mengkonduksikan impuls, impuls akan berlanjut untuk melakukan
propagasi ke jaringan yang lebih dalam dan proses reentry tidak terjadi. Namun, jika
impuls pada titik y mampu merambat secara retrogad (mundur) ke jalur y, salah satu
kondisi yang diperlukan untuk reentry telah terpenuhi.

15
Pada panel C, jika impuls mampu merambat secara retrograde pada jalur
konduksi, akan tetapi jalur alfa belum memiliki waktu yang cukup untuk repolarisasi, maka
impuls akan berhenti (Baruscotti et al.,2005; Lilly, 2012). Panel D menggambarkan jika
ketika konduksi retrograde cukup lambat sehingga impuls sampai pada titik x setelah jalur
alfa telah pulih, maka impuls tersebut akan dapat mengeksitasi jalur alfa kembali dan
lingkaran reentry akan terjadi. Stimulasi melingkar ini dapat berlanjut tanpa batas waktu,
dan setiap gerakan impuls melalui loop merangsang sel-sel jaringan konduksi distal, yang
merambat ke seluruh miokardium, pada kecepatan tinggi yang tidak normal akan
menghasilkan suatu takiaritmia.
Dua kondisi penting untuk dapat menimbulkan suatu reentry adalah adanya blok
searah dan konduksi lambat pada jalur reentry. Kondisi seperti ini biasa kita jumpai pada
daerah jantung yang mengalami fibrosis atau skar. Suatu reentry dengan mekanisme
seperti ini selalu menunjukan sebuat takikardia monomorfik pada rekam jantung. Hal ini
dikarenakan jalur reentry selalu sama dari setiap denyut jantung yang akan menimbulkan
suatu aritmia yang reguler dan stabil (Lilly, 2012). Terdapat jenis lain dari reentry dimana
untuk gelombang reentri merupakan gelombang spiral yang tidak stabil dan tidak melalui
jalur yang tetap. Gelombang ini dapat muncul ketika gelombang dari depolarisasi menemui
blok pada area yang cukup luas yang dapat menjadi refrakter terhadap gelombang
depolarisasi yang kemudian menyebar secara retrograde melalui jalur spiral yang tidak
pasti. Gelombang spiral ini dapat berjalan melalui miokardium dan terpecah menjadi dua
atau lebih gelombang reentry. Pada ventrikel, kondisi ini dapat menyebabkan takikardia
ventrikular polimorfik sampai dengan fibrilasi ventrikel (Lilly, 2012).
Antzelevitch dan Burashnikov (2011) menjelaskan bahwa reentry dapat dibagi
secara anatomis dan fungsional. Kelainan anatomis seperti adanya jalur aksesoris dapat
turut berkontribusi dalam suatu pembentukan gelombang reentry (Gambar 8).

16
Gambar 8. Mekanisme reentry pada Wolf-Parkinson-White syndrome yang melibatkan
nidus AV dan jalur aksesoris.

Pada beberapa kasus, AV reentry dapat terjadi pada jalur aksesoris. Konsep reentri
juga dapat ditemukan pada sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW). Pada jantung normal,
impuls yang dihasilkan oleh nodus SA merambat melalui jaringan atrium ke nodus AV, di
mana konduksi yang lambat diperkirakan menyebabkan penundaan singkat sebelum
melanjutkan ke ventrikel. Namun, secara epidemiologi sekitar 1 dari 1500 orang memiliki
sindrom WPW dan dilahirkan dengan jalur tambahan antara atrium dan ventrikel. Disebut
jalur aksesori atau kanal pintas, koneksi ini memungkinkan kondisi antara atrium dan
ventrikel untuk memotong nodus AV. Jenis jalur aksesori yang paling umum terdiri dari
serat mikroskopis yang menjangkau alur AV di suatu tempat di sepanjang annuli mitral
atau trikuspid (dikenal sebagai bundle of kent). Karena jaringan jalur aksesori melakukan
impuls lebih cepat dari AV node, stimulasi ventrikel selama irama sinus dimulai lebih awal
dari biasanya dan dapat dilihat dari interval PR yang memendek (Lilly,2012).
Jalur aksesori menghubungkan impuls ke miokardium ventrikel dibandingkan ke
sistem purkinje sehingga penyebaran impuls berikutnya melalui ventrikel lebih lambat dari
biasanya. Kompleks QRS pada pasien dengan WPW lebih lebar dari normal dan
menunjukkan kenaikan awal yang tidak normal, yang dikenal sebagai delta wave.
Konduksi melalui jalur aksesori dan AV node menciptakan penampilan EKG yang khas
namun tidak menyebabkan gejala. Kehadiran jalur abnormal, bagaimanapun, menciptakan
kondisi yang ideal untuk reentri karena periode refrakter jalur biasanya berbeda dari AV
node. Impuls abnormal (premature beat) dapat menemukan bahwa jalur yang awalnya
diblokir searah (blok unidireksional) dapat kembali secara retrograde hingga ke atrium dan
kemudian menuruni jalur lain (aksesoris). Dengan demikian, sebuah loop anatomis telah
tercipta (Scheinman, 2012)
Penyakit jantung struktural sangat berhubungan dengan perubahan dari konduksi
dan periode refreakter yang dapat menjadi faktor resiko aritmia reentry. Zona batas dari
miokard ventrikel yang mengalami infark tidak hanya menunjukan kelainan dari fungsi
arus ion namun juga menunjukan remodeling jaringan yang dapat menimbulkan gangguan
pada gap junction yang mendukung terbentuknya konduksi lambat dari aritma reentry
(Loscalzo, 2013)..

17
DAFTAR PUSTAKA

Antzelevitch, C., Burashnikov, A., 2011. Overview of Basic Mechanisms of Cardiac


Arrhythmia. Card. Electrophysiol. Clin. doi:10.1016/j.ccep.2010.10.012
Antzelevitch, C., Burashnikov, A., Di Diego, J.M., 2003. Cellular and Ionic Mechanisms
Underlying Arrhythmogenesis. pp. 201–251. doi:10.1007/978-1-59259-362-0_11
Baruscotti, M., Bucchi, A., therapeutics, D.D.-P.&, 2005, undefined, n.d. Physiology and
pharmacology of the cardiac pacemaker (“funny”) current. Elsevier.
Gaztañaga, L., Marchlinski, F.E., Betensky, B.P., 2012. Mechanisms of Cardiac
Arrhythmias. Rev. Española Cardiol. (English Ed. 65: 174–185.
doi:10.1016/J.REC.2011.09.020
Groenke, S., Larson, E.D., Alber, S., Zhang, R., Lamp, S.T., Ren, X., Nakano, H., Jordan,
M.C., Karagueuzian, H.S., Roos, K.P., Nakano, A., Proenza, C., Philipson, K.D.,
Goldhaber, J.I., 2013. Complete Atrial-Specific Knockout of Sodium-Calcium
Exchange Eliminates Sinoatrial Node Pacemaker Activity. PLoS One 8: e81633.
doi:10.1371/journal.pone.0081633
Hall, J.E., 2011. Guyton and Hall textbook of medical physiology. Philadelphia, PA
Saunders Elsevier 107.
Jalife, J., Delmar, M., Anumonwo, J., Berenfeld, O., Kalifa, J., 2011. Basic cardiac
electrophysiology for the clinician.
January, C.T., Chau, V., Makielski, J.C., 2012. Triggered activity in the heart: cellular
mechanisms of early after-depolarizations. Eur. Heart J. 12: 4–9.
doi:10.1093/eurheartj/12.suppl_f.4
KLÉBER, A.G., RUDY, Y., 2004. Basic Mechanisms of Cardiac Impulse Propagation and
Associated Arrhythmias. Physiol. Rev. 84: 431–488. doi:10.1152/physrev.00025.2003
Lakatta, E.G., Vinogradova, T., Lyashkov, A., Sirenko, S., Zhu, W., Ruknudin, A.,
Maltsev, V.A., 2006. The integration of spontaneous intracellular Ca2+ cycling and
surface membrane ion channel activation entrains normal automaticity in cells of the
heart’s pacemaker, in: Annals of the New York Academy of Sciences. pp. 178–206.
doi:10.1196/annals.1380.016

18
Lilly, L., 2012. Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of medical
students and faculty.
Loscalzo, J., 2013. Harrison’s Cardiovascular Medicine 2/E.
Mann, D., Zipes, D., Libby, P., Bonow, R., 2014. Braunwald’s Heart Disease E-Book: A
Textbook of Cardiovascular Medicine.
Scheinman, M.M., 2012. The history of the Wolff–Parkinson–White syndrome. Rambam
Maimonides Med. J. 3.
Tse, G., 2016. Mechanisms of cardiac arrhythmias. J. Arrhythmia.
doi:10.1016/j.joa.2015.11.003

19

Anda mungkin juga menyukai