Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HEMATOTHORAX

Untuk memenuhi tugas matakuliahKeperawatanMedikalBedah (KMB) yang dibina oleh

Oleh kelompok 3 :
Akhmad Maulana
Suci Indah Pratiwi

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
Tahun 2018/2019
HALAMAN 1 Mata Kuliah : KMB Nama : Akhmad Maulana Tingkat/Semester :
Suci Indah Pratiwi PROGRAM PROFESI NERS

Disetujui
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Clinical Instructure Clinical Teacher
LAPORAN
DENGAN
PENDAHULUAN
GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN:
HEMATOTORAKS ………………………………………….. ………………………………..

A. DEFINISI
Hematotoraks merupakan suatu keadaan dimana darah terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang menjadi
predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul dikantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura. (Muttaqin, Arif. 2012)
Hemothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Perdarahan mungkin berasal dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah
besar. (Mancini, 2011). Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada
dada yang menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura. (Muttaqin, 2012)

B. ETIOLOGI
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang akan menyebabkan rongga paksa tumpul pada rongga thorak (hemothoraks) dan
rongga abdomen. Trauma tajam dapat disebabkan oleh tikaman dan tembakan. (Bararah, 2013)
Penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hemotoraks juga dapat terjadi pada pasien dengan defek pembekuan darah, operasi toraks atau
jantung, kanker pleura atau paru, dan tuberculosis. Selain itu, penyebab lainnya adalah pemasangan kateter vena sentral dan tabung torakostomi.Laporan kasus
melibatkan terkait gangguan seperti penyakit hemoragik pada bayi baru lahir (misalnya, kekurangan vitamin K), Henoch-Schönlein purpura, dan beta
thalassemia / penyakit E hemoglobin. Kongenital malformasi adenomatoid kistik sesekali menghasilkan hemothorax. (Mancini, 2015)

C. PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan
anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan
komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung
pada jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan
fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang
pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan
gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah.
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL).
Karena rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari
kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan
ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien
mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi
tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan
osmotik tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga
pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri
pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis. (Mancini, 2015)

PATHWAY HEMATORAK

TRAUMA PADA THORAX

Perdarahan jaringan interstitium,


pendarahan intra alveolar, kolaps
arteri dan arteri-arteri kecil, hingga
tahanan perifer pembuluh darah paru
menigkat.
Cerdera jaringan lunak,
cedera/hilangnya hilangnya Reabsorbsi darah oleh pleura tidak
kontinuitas struktur tulang memadai/ tidak optimal

Nyeri, adanya luka pascatrauma,


Akumulasi darah di kantong
pergerakan fragmen tulang
pleura

Gangguan ventilasi:
 Nyeri Pengembangan paru tidak
 Kerusakan integritas jaringan. optimal, gangguan difusi,
distribusi, dan transportasi
 Resiko tinggi Infeksi
oksigen.

Edema trakheal/faringeal,
peningkatan produksi sekret dan Ketidakefektifan
penurunan kemampuan batuk efektif pola nafas

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas


D. KLASIFIKASI
Pada orang dewasa secara teoritis hemothoraks terbagi dalam 3 golongan yaitu :
a. Hemothorak ringan
1) Jumlah darah kurang dari 400 cc
2) Tampak sebagian bayangan kurang dari 15% pada foto rontgen.
3) perkusi pekak sampai iga IX.
b. Hemathorak sedang
1) Jumlah darah 500 cc – 200 cc
2) 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen.
3) perkusi pekak sampai iga VI.
c. Hemothorak berat
1) Jumlah darah lebih dari 2000 cc
2) 35% pada foto rontgen
3) Perkusi pekak sampai cranial iga IV.
E. MANIFESTASI KLINIK
Respon tubuh dengan adanya hemothoraks di manifestasikan dalam dua area mayor (Mancini, 2011):
a. Respon hemodinamik
Respon hemodinamik tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi. Tanda – tanda shok seperti takhikardia, takhipneu, dan nadi yang lemah dapat
muncul pada pasien yang kehilangan 30 % atau lebih volume darah.
b. Respon respiratori
Respon respiratori akumulasi darah pada pleura dapat mengganggu pergerakan nafas. Pada kasus trauma, dapat terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi,
khususnya jika terdapat injuri pada dinding dada. Akumulasi darah dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan dispneu.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X dada: Menyatakan akumulasi udara/ cairan pada area pleura, dapat menunjukkan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
b. GDA: Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang yang dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengompensasi. PaCO2 kadang-
kadang meningkat PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
c. Torasentesis: Menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
d. Hb: Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan perdarahan, dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura.
Penanganan pada hemothoraks adalah:
a. Resusitasi cairan
Terpi awal hemothoraks adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan
infuse cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura
dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infuse di pasang pula chest tube (WSD).
b. Pemasangan chest tube
Pemasangan chest tube (WSD) ukuran besar agar darah pada thoraks dapat cepat keluar sehingga tidak membeku di dalam pleura. Hemothoraks akut
yangcukup banyak sehingga terlihat pada photo thoraks sebaiknya di terapi dengan chest tube caliber besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah
dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah
selanjutnya.
WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negative intrapleura.
Macam – macam WSD antara lain :
1) WSD aktif
Continous suction, gelembung berasal dari gelombang sistem
2) WSD pasif
Gelembung udara berasal dari cavum thoraks pasien.
c. Thoracotomy
Tindakan ini dilakukan bila dalam keadaan:
1) Jika pada awal hemothoraks sudah keluar 1500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan thoracotomi segera.
2) Pada beberapa penderita pada walnya darah yang keluar < 1500 ml, tetapi perdarahan tetap berlangsung terus
3) Bila di dapatkan kehilangan darah terus – menerus sebayak 200 cc/jam dalam waktu 2 – 4 jam.
4) Luka tembus thoraks di daerah anterior, medial dari garis putting susu atau luka di daerah posterior, medial dari scapula harus di pertimbangkan
kemungkinan diperlukannya thorakotomy karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus atau jantung yang potensial menjadi
tamponade jantung.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomy. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan
chest tube dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan di dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri/vena) bukan merupakan
indicator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomy.
Torakotomi sayatan dapat dilakukan disamping, dibawah lengan (aksilaris torakotomy); dibagian depan, melalui dada (rara-rata sternotomy): miring
dari belakang kesamping (posterolateral torakotomy); atau dibawah payudara (anterolateral orakotomy). Dalam beberapa kasus, dokter dapat membuat sayatan
anatar ulang rusuk (interkostal disebut pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, syaraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar dari hanya dibawah 12,7 cm
hingga 25 cm.
Penatalaksaan berdasarkan klasifikasi adalah :
a. Hemothorak ringan: cukup diobservasi, gerakan aktif (fisioterapi) dan tidak memerlukan tindakan khusus.
b. Hemothorak sedang: dipungsi dan penderita diberi transfusi. Dipungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua cairannya. Jika ternyata kambuh, maka penyalir
sekat air dipasang.
c. Hemothorak besar: diberikan penyalir sekat air di rongga antar iga dan transfusi.

SumberReferensi :
Bararah, Taqiyyah. 2013 Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Edisi Jilid 1. Jakarta: Prestasi Pustakarya
Mancini.2011.Hemothoraks
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Pratomo, Irandi Putra, dkk. 2013. Anatomi dan Fisiologi Pleura. Departemen pulmonologi dan ilmu kedokteran Respirasi, FKUI/ RSUP Persahabatan, Jakarta.
HALAMAN 2

MODEL KONSEP ASKEP MENURUT NANDA NIC-NOC

PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA


KEBERHASILAN)
Identitas Klien 1. Ketidakefektifan pola pernapasan a. Posisikan pasien untuk 1. Mendemonstrasikan batuk
a. Nama berhubungan dengan ekpansi paru memaksimalkan ventilasi efektif dan suara nafas yang
b. Umur yang tidak maksimal karena b. Identifikasi pasien perlunya bersih, tidak ada sianosis dan
c. Alamat akumulasi udara/cairan. pemasangan alat jalan nafas buatan dyspneu (mampu
d. Agama c. Pasang mayo bila perlu mengeluarkan sputum,
e. Bangsa/Suku d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu mampu bernafas dengan
f. No RMK e. Keluarkan sekret dengan batuk atau mudah, tidak ada pursed lips)
g. Diagnosa Medis suction 2. Menunjukkan jalan nafas
Riwayat Penyakit f. Auskultasi suara nafas, catat adanya yang paten (klien tidak
a. Riwayat penyakit dahulu. suara tambahan merasa tercekik, irama nafas,
b. Riwayat penyakit sekarang. g. Lakukan suction pada mayo frekuensi pernafasan dalam
c. Riwayat penyakit keluarga h. Berikan bronkodilator bila perlu rentang normal, tidak ada
Data Pengkajian i. Berikan pelembab udara Kassa basah suara nafas abnormal)
a. Data subyektif NaCl Lembab 3. Tanda Tanda vital dalam
Data yang ditanyakan kepada pasien j. Atur intake untuk cairan rentang normal (tekanan
b. Data obyektif mengoptimalkan keseimbangan. darah, nadi, pernafasan)
Data yang didapatkan dari hasil k. Monitor respirasi dan status O2
pemeriksaan fisik (head to toe)
Data Penunjang 2. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Airway suction 1. Mendemonstrasikan batuk
a. Rontgen
napas berhubungan dengan a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal efektif dan suara nafas yang
b. Analisa gas Darah
c. Pemeriksaan Darah Lengkap peningkatan sekresi sekret dan suctioning bersih, tidak ada sianosis dan
penurunan batuk sekunder akibat b. Auskultasi suara nafas sebelum dan dyspneu (mampu
nyeri dan keletihan. sesudah suctioning. mengeluarkan sputum,
c. Informasikan pada klien dan keluarga mampu bernafas dengan
tentang suctioning mudah, tidak ada pursed lips)
d. Minta klien nafas dalam sebelum 2. Menunjukkan jalan nafas
suction dilakukan. yang paten (klien tidak
e. Berikan O2 dengan menggunakan merasa tercekik, irama nafas,
nasal untuk memfasilitasi suksion frekuensi pernafasan dalam
nasotrakeal rentang normal, tidak ada
f. Gunakan alat yang steril setiap suara nafas abnormal)
melakukan tindakan 3. Mampu mengidentifikasikan
g. Anjurkan pasien untuk istirahat dan dan mencegah faktor yang
napas dalam setelah kateter dapat menghambat jalan nafas
dikeluarkan dan nasotrakeal
h. Monitor status oksigen pasien
i. Ajarkan keluarga bagaimana cara
melakukan suksion
j. Hentikan suksion dan berikan oksigen
apabila pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan saturasi O2,
dll
2. Airway Management
a. Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
c. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Pasang mayo bila perlu
e. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
g. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
h. Lakukan suction pada mayo
i. Berikan bronkodilator bila perlu
j. Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCI Lembab
k. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
l. Monitor respirasi dan status O2

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri 1. Pain Management 1. Mampu mengontrol nyeri


akut berhubungan dengan trauma a. Lakukan pengkajian nyeri secara (tahu penyebab nyeri, mampu
jaringan dan reflek spasme otot komprehensif termasuk lokasi, menggunakan tehnik
sekunder. karakteristik, durasi frekuensi, kualitas nonfarmakologi untuk
dan faktor presipitasi mengurangi nyeri, mencari
b. Observasi reaksi nonverbal dan bantuan)
ketidaknyamanan 2. Melaporkan bahwa nyeri
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik berkurang dengan
untuk mengetahui pengalaman nyeri menggunakan manajemen
pasien nyeri
d. Kaji kultur yang mempengaruhi 3. Mampu mengenali nyeri
respon nyeri (skala, intensitas, frekuensi
e. Evaluasi pengalaman nyeri masa dan tanda nyeri)
lampau 4. Menyatakan rasa nyaman
f. Evaluasi bersama pasien dan tim setelah nyeri berkurang
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa
Iampau
g. Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
h. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
i. Kurangi faktor presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
m. Berikan anaIgetik untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o. Tingkatkan istirahat
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
q. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
2. Analgesic Administration
a. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
e. Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
g. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
i. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
j. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala

Sumber Pustaka :
Nurarif, A.H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja.

Anda mungkin juga menyukai