Anda di halaman 1dari 106

Buku Panduan Instruktur

CLINICAL SKILL LAB

SISTEM KARDIOVASKULER

SKILLS LAB SISTEM KARDIOVASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA
MAKASSAR
2020
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

1. SESAK NAPAS
Pasien dengan penyakit jantung biasanya merasa sesak napas pada saat
melakukan aktifitas fisik (exertional dyspnoea) dan kadang-kadang timbul sesak pada
saat berbaring (positional dyspnoea atau orthopnoea). Patofisiologi orthopnoea adalah
sebagai berikut pada waktu pasien berbaring, terjadi redistribusi cairan dari jaringan
perifer ke paru-paru sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler pulmonary. Hal ini
kemudian menstimulasi ujung saraf pada paru-paru sehingga terjadilah orthopnoea.
Kadang-kadang pasien mendadak terbangun dari tidurnya, megap-megap, sesak napas.
Jadi pasien lebih baik tidur dalam posisi setengah duduk atau dengan beberapa bantal.
Gejala ini biasanya disertai dengan batuk yang berdahak putih berbusa (paroxysmal
nocturnal dyspnoea).
Mekanisme dyspnoea karena aktifitas fisik masih kontroversial. Ada pendapat
bahwa mekanismenya sama dengan orthopnoea, yaitu terjadi peningkatan venous
return dari otot pada saat aktifitas fisik, sehingga meningkatkan tekanan atrium kiri.
Padahal, sesak napas pada saat aktifitas fisik tidak selalu berhubungan langsung dengan
tekanan atrium kiri. Ada faktor-faktor lain seperti penurunan kadar oksigen pada darah
di arteri dan perubahan fungsi otot jantung pada payah jantung kronis.
Sesak napas yang disertai wheezing kadang-kadang disebabkan karena penyakit
jantung, tetapi terlebih dahulu harus disingkirkan adanya obstruksi jalan napas. Pasien
yang merasa tiba-tiba harus menarik napas dalam-dalam, yang tidak ada hubungannya
dengan aktifitas fisik, yang sering mengeluh sesak napas atau yang merasa terus
menerus tidak dapat bernapas dengan baik, bukan gejala dari penyakit jantung, tetapi
merupakan gejala kecemasan.
Kadang-kadang sulit untuk membedakan sesak napas yang disebabkan karena
penyakit paru-paru atau jantung. Paroxysmal nocturnal dyspnoea atau orthopnoea
merupakan gejala penyakit jantung, sedangkan wheezing merupakan gejala penyakit
paruparu.
Diagnosa banding dyspnoea
 Gagal jantung
 Penyakit jantung iskemi (atypical angina)
 Emboli paru
 Penyakit paru
 Anemia berat
Klasifikasi Gagal Jantung
Grade I :
Tidak ada keluhan pada waktu istirahat. Timbul dyspnoea pada aktifitas fisik berat.
Grade II :
Tidak ada keluhan pada waktu istirahat. Timbul dyspnoea pada aktifitas fisik sedang.
Grade III :
Ada keluhan ringan pada waktu istirahat. Timbul dyspnoea ringan pada aktifitas fisik
ringan, dyspnoea berat pada aktifitas sedang.
Grade IV :
Dyspnoea pada waktu istirahat, dyspnoea berat pada aktifitas fisik sangat ringan. Pasien
harus tirah baring.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

ANAMNESIS KELUHAN UTAMA SESAK NAPAS

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 Mengucapkan salam, lalu pemeriksa berdiri dan melakukan jabat
tangan
2. Mempersilahkan duduk berseberangan/berhadapan
3. Berikan respon yang baik dalam rangka membina sambung rasa
4. Menjaga suasana santai dan rileks. Berbicara dengan lafal yang
jelas dengan menggunakan bahasa yang dipahami, dan
menyebutkan nama pasien.
5. Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan
6. Menanyakan keluhan utama (sesak napas) dan menggali riwayat
penyakit sekarang.
Tanyakan :
 Menanyakan keluhan utama sesak napas
 Menanyakan onset
 Menanyakan faktor pencetus, psikogenik, fisik
 Menanyakan faktor yang memperberat ( berjalan, naik
tangga, mengangkat barang, mengedan ) dan yang
meringankan keluhan ( istirahat, duduk, obat-obatan )
 Menanyakan posisi tubuh yang menyebabkan keluhan
memberat dan berkurang ( ortopnea )
 Apakah ada keluhan terbangun tengah malam karena sesak
dan seberapa sering
 Tanyakan gejala lain yang
berhubungan :
- Nyeri dada, Jantung berdebar-debar, batuk,
berkeringat, rasa tertindih beban berat, rasa tercekik.
- Mual, muntah, nyeri perut/ulu hati
- Kejang, pusing, otot lemah/lumpuh, nyeri pada
ekstremitas, edema (bengkak)
- Pingsan, badan lemah/lelah
10 Menggali riwayat penyakit dahulu yang sama dan yang berkaitan,
untuk menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya
dengan yang lalu
11 Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan :
 Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita/pernah menderita penyakit yang sama
 Mengenai penyakit menular, tanyakan seberapa
dekat/sering bertemu dengan anggota keluarga yang sakit
12 Melakukan cek silang
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

2. NYERI DADA
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan di klinik.
Sebagian besar penderita merasa ketakutan bila nyeri dada tersebut disebabkan oleh
penyakit jantung ataupun penyakit paru yang serius. Diagnosa yang tepat sangat
tergantung dari pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan khusus lainnya serta
anamnesa dari sifat nyeri dada mengenai lokasi, penyebaran, lama nyeri serta faktor
pencetus yang dapat menimbulkan nyeri dada.
Sifat khas angina adalah nyeri dada yang timbul pada waktu beraktifitas fisik dan
menghilang bila aktifitas dihentikan. Nyeri seperti terbakar, tertusuk, terhimpit atau
tercekik. Nyeri yang mirip dengan angina, tetapi timbul pada waktu istirahat dapat
disebabkan karena unstable angina atau infark myocard. Nyeri pada infark myocard
sifatnya berat, persisten dan sering disertai mual.
Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri substernal yang
menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke bagian dalam lengan terutama lebih sering ke
lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigasterium, leher, rahang, lidah, gigi,
mastoid dengan atau tanpa nyeri dada substernal.
Nyeri disebabkan karena saraf eferan viseral akan terangsang selama iskemik
miokard, akan tetapi korteks serebral tidak dapat menentukan apakah nyeri berasal sari
miokard. Karena rangsangan saraf melalui medula spinalis T1-T4 yang juga merupakan
jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatis yang lain. Iskemik miokard terjadi
bila kebutuhan 02 miokard tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pada penyakit
jantung koroner aliran darah ke jantung akan berkurang karena adanya penyempitan
pembuluh darah coroner.
Sekitar 50% pasien yang datang ke klinik jantung mengeluh nyeri dada. Nyeri dada
karena penyakit jantung disebut dengan angina pectoris, penyebabnya adalah karena
suplai darah ke otot jantung tidak mencukupi kebutuhan metabolisme jantung normal.
Pasien dengan angina pada umumnya mengalami penyempitan atau stenosis pada satu
atau lebih arteri coronaria. Nyeri timbul karena peningkatan metabolisme jantung pada
waktu peningkatan aktifitas fisik atau emosional pasien. Sebagian kecil angina disebabkan
karena stenosis aorta atau hypertrophy cardiomyopathy,

Ciri-ciri nyeri angina


 Disebabkan karena aktifitas fisik dan emosi
 Nyeri berkurang dengan istirahat
 Nyeri seperti terbakar, tertekan, terhimpit, tercekik
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

 Lokasi nyeri retrosternal


 Nyeri bertambah parah setelah makan atau udara dingin
 Nyeri berkurang dengan pemberian nitrat
Ada 3 jenis angina yaitu angina stabil, angina tak stabil dan angina variant. Sebagian
besar penderita angina disebabkan karena adanya pembuluh darah koroner yang
obstruktif serta kemungkinan timbul spasme koroner dengan derajat yang bervariasi.
Pada angina variant (angina Prinzmetal) yaitu jenis angina yang jarang, nyeri timbul
akibat spasme pembuluh darah koroner yang normal ataupun ketidakseimbangan antara
kebutuhan O miokard dengan aliran darah juga dapat terjadi bukan karena faktor
2
koroner yang dapat menimbulkan angina non-koroner seperti pada :
 Penyakit katup jantung terutama pada stenosis aorta
 Stenosis aorta akibat klasifikasi (non-rematik) yang terjadi pada orang tua atau
karena penggantian katup
 Takikardi yang intermiten atau menetapkan seperti fibrilasi atrial terutama pada
orang tua
 Hipertensi, anemi dan DM yang tidak terkontrol
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

ANAMNESIS KELUHAN UTAMA NYERI DADA

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 Mengucapkan salam, lalu pemeriksa berdiri dan melakukan jabat
tangan
2. Mempersilahkan duduk berseberangan/berhadapan
3. Berikan respon yang baik dalam rangka membina sambung rasa
4. Menjaga suasana santai dan rileks. Berbicara dengan lafal yang
jelas dengan menggunakan bahasa yang dipahami, dan
menyebutkan nama pasien.
5. Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan
6. Menanyakan keluhan utama (nyeri dada) dan menggali riwayat
penyakit sekarang.
Tanyakan :
 Onset dan durasi nyeri dada :
timbul mendadak, kapan dan sudah berapa lama
 Sifat nyeri dada : terus menerus
atau intermitten
 Penjalaran nyeri dada :
lengan/tangan, dagu, punggung, atau menetap didada
 Tanyakan gejala lain yang
berhubungan :
- Jantung berdebar-debar, sesak napas, batuk,
berkeringat, rasa tertindih beban berat, rasa tercekik.
- Mual, muntah, nyeri perut/ulu hati
- Kejang, pusing, otot lemah/lumpuh, nyeri pada
ekstremitas, edema (bengkak)
- Pingsan, badan lemah/lelah

10 Menggali riwayat penyakit dahulu yang sama dan yang berkaitan,


untuk menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya
dengan yang lalu
11 Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan :
 Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita/pernah menderita penyakit yang sama
 Mengenai penyakit menular, tanyakan seberapa
dekat/sering bertemu dengan anggota keluarga yang sakit
12 Melakukan cek silang
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

3. BERDEBAR-DEBAR
Palpitasi adalah perasaan (sensasi) yang tidak menyenangkan yang disebabkan
oleh denyut jantung yang tidak teratur. Jantung berdenyut sangat cepat atau tidak
teratur (aritmia). Dapat juga karena impuls cardiac terlalu kuat yang disebabkan
vasodilatasi berlebihan. Pada saat anamnesa, tanyakan apakah aritmia hanya terjadi
sementara atau sampai menyebabkan pasien tidak dapat bekerja dan harus berbaring.
Kadang-kadang aritmia dapat menyebabkan pingsan. Pada pasien tertentu, palpitasi
dicetuskan oleh makanan tertentu, teh, kopi, anggur dan coklat. Perlu ditanyakan
tentang obat-obat yang biasanya diminum, terutama decongestan dan obat flu yang
mengandung senyawa simpatomimetik.
Palpitasi dapat digambarkan oleh pasien dalam berbagai istilah, seperti
“menggelepar”, “melompat-lompat” dan pada kebanyakan kasus itu menggambarkan
adanya suatu sensasi dari denyut jantung yang terganggu. Kepekaan terhadap
perubahan aktivitas jantung pada berbagai orang sangat bervariasi. Ada pasien yang
tidak menyadari adanya disritmia, sementara yang lain merasa terganggu. Pasien yang
cemas sering menunjukkan ambang batas yang rendah, sehingga gangguan-gangguan
kecepatan dan irama menyebabkan palpitasi. Kesadaran akan denyut jantung juga
cenderung lebih umum pada malam hari, tetapi kurang nyata pada saat beraktivitas.
Para pasien jantung dengan gangguan organik dan gangguan-gangguan frekuensi
jantung kronik, irama, atau volume sekuncup cenderung untuk menyesuaikan dengan
kelainan-kelainan ini sehingga kurang peka dibandingkan orang normal terhadap
kejadian-kejadian demikian.
Pada keadaan biasa, denyut jantung yang ritmik tidak terasa oleh orang sehat
yang tenang atau bahkan bertemperamen rata-rata. Palpitasi dapat dialami oleh orang-
orang normal yang sibuk dalam upaya fisik yang berat ataupun yang timbul secara
emosional. Palpitasi jenis ini bersifat fisiologik dan menggambarkan kesadaran normal
suatu jantung yang aktif yakni, jantung yang berdetak cepat dan dengan kontraktilitas
yang bertambah. Palpitasi akibat jantung terlalu aktif juga mungkin terjadi pada
keadaan patologik tertentu, misalnya demam, anemia akut, atau tirotoksikosis. Bila
palpitasi terasa hebat dan teratur, biasanya disebabkan oleh volume sekuncup yang
bertambah besar. Keadaan patologik, seperti regurgitasi aorta atau keadaan peredaran
darah yang hiperkinetik (misalnya anemia, fistula arteriovenosa dan tirotoksikosis)
harus dipertimbangkan.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

ANAMNESIS KELUHAN UTAMA BERDEBAR-DEBAR

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 Mengucapkan salam, lalu pemeriksa berdiri dan melakukan jabat
tangan
2. Mempersilahkan duduk berseberangan/berhadapan
3. Berikan respon yang baik dalam rangka membina sambung rasa
4. Menjaga suasana santai dan rileks. Berbicara dengan lafal yang
jelas dengan menggunakan bahasa yang dipahami, dan
menyebutkan nama pasien.
5. Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan
6. Menanyakan keluhan utama (berdebar-debar) dan menggali
riwayat penyakit sekarang.
Tanyakan :
 Onset dan durasi berdebar-
debar: timbul mendadak, terus menerus atau hilang
timbul,durasi berdebar-debar, sudah berlangsung berapa lama
 Apakah denyut jantung teratur
atau tidak teratur ?
 Apakah berdebar-debar
dirasakan pada saat istirahat atau beraktifitas?
 Apakah ada hal-hal tertentu
yang dapat meredakan gejala palpitasi ?
 Apakah ada makanan tertentu
yang menimbulkan palpitasi ?
 Obat-obat apa yang sekarang
digunakan?
 Tanyakan gejala lain yang
berhubungan :
- Nyeri dada, sesak napas, batuk, berkeringat, rasa
tertindih beban berat, rasa tercekik.
- Mual, muntah, nyeri perut/ulu hati
- Kejang, pusing, otot lemah/lumpuh, nyeri pada
ekstremitas, edema (bengkak)
- Pingsan, badan lemah/lelah
10 Menggali riwayat penyakit dahulu yang sama dan yang berkaitan,
untuk menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya
dengan yang lalu
11 Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan :
 Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita/pernah menderita penyakit yang sama
 Mengenai penyakit menular, tanyakan seberapa
dekat/sering bertemu dengan anggota keluarga yang sakit
12 Melakukan cek silang
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

4. CLAUDICATIO
Claudication adalah kata Latin yang berarti berjalan pincang. Intermittent
claudication merupakan suatu keadaan dimana pasien merasa nyeri pada satu atau
kedua tungkai pada waktu berjalan dan nyeri berkurang bila pasien istirahat. Seperti
halnya angina yang merupakan gejala awal suatu penyakit atheroma yang
mempengaruhi arteri koroner, maka intermittent claudication biasanya merupakan
gejala awal penyempitan arteri yang mensuplai tungkai. Nyeri berapa rasa sakit pada
betis, paha atau pantat. Intermittent claudication lebih banyak mengenai laki-laki dan
perokok dari pada bukan perokok
Klaudikasio intermiten adalah kondisi klinis pada ekstrimitas inferior yang
berupa rasa kesemutan, ke-jang otot, kelemahan otot bahkan rasa nyeri yang diinduksi
oleh latihan dan berkurang saat beristirahat. Hal ini diakibatkan oleh obstruksi pada
pembuluh darah di bagian proksimal otot terkait, dimana aliran darah pada saat latihan
tidak mampu mencukupi keperluan metabolik jaringan. Klaudikasio intermiten yang
me-nimbulkan keluhan pada otot-otot betis karena terjadi kelainan pada arteri
femoralis. Keluhan timbul setelah berjalan menempuh suatu ja-rak tertentu dan cepat
menghilang setelah berhenti berjalan. Apabila kegiatan berjalan kembali dilakukan,
maka rasa nyeri akan timbul kembali. Gejala spesifik ini menyingkirkan diagnosis
banding kelainan neurogenik dan klaudikasio vena. Pada umumnya stenosis yang terjadi
pada arteri femoralis di kanalis aduktorius akan menimbulkan gejala klaudikasio
intermiten setelah berjalan beberapa ratus meter. Nadi pada pergelangan kaki masih
teraba, tetapi terasa mengecil, dan bising dapat terdengar di dekat kanalis aduktorius.
Tekanan sistolik pergelangan kaki sering normal pada saat istirahat, tetapi menurun
sejalan dengan melakukan latihan fisik. Setelah kelainan berlangsung beberapa bulan
atau tahun, pembuluh darah kolateral dari arteri profunda femoris akan berkembang
sehingga dapat mengalirkan sejumlah darah ke arah tungkai. Sejalan dengan proses ini,
maka gejala yang dirasakan oleh pasien biasanya berangsur membaik bahkan dapat
menghilang.

Gambar 2. Lokasi claudicatio pada ekstremitas bawah


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Sesuai dengan patofisiologi dan patogenesis Penyakit arteri oklusi perifer, maka gejala
yang umumnya terjadi adalah rasa nyeri disertai kekakuan otot dan rasa lelah otot
ekstrimitas bawah yang terjadi setelah melakukan akti-vitas fisik, misalnya berjalan atau
berlari. Pada mulanya terjadi pada satu ekstrimitas dan lama-kelamaan mengenai kedua
ekstrimitas dengan serangan pada ekstrimitas yang satu lebih sering daripada yang lain. Hal
ini disebut klaudikasio intermiten. Gejala ini akan menghilang dengan istirahat. Gejala dapat
pula berupa keluhan luka yang tak mau sembuh, rasa kaki dingin, kulit yang suka terkelupas
dan berwarna pucat, ku-ku yang suka mengapur dan sulit dipotong, dan rambut kulit yang
berkurang tumbuhnya.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

ANAMNESIS KELUHAN UTAMA CLAUDICATIO

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 Mengucapkan salam, lalu pemeriksa berdiri dan melakukan jabat
tangan
2. Mempersilahkan duduk berseberangan/berhadapan
3. Berikan respon yang baik dalam rangka membina sambung rasa
4. Menjaga suasana santai dan rileks. Berbicara dengan lafal yang
jelas dengan menggunakan bahasa yang dipahami, dan
menyebutkan nama pasien.
5. Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan
6. Menanyakan keluhan utama (claudicatio) dan menggali riwayat
penyakit sekarang.
Tanyakan :
 Onset dan durasi claudicatio:
timbul mendadak, kapan dan sudah berapa lama
 Apakah terjadi pada satu kaki
atau keduanya?
 Apakah terjadi pada saat
aktivitas (berjalan/ berlari) atau pada saat istirahat?
 Apakah membaik dengan
berisitirahat?
 Tanyakan gejala lain yang
berhubungan :
- Nyeri dada, sesak napas, batuk, berkeringat, rasa
tertindih beban berat, rasa tercekik.
- Pingsan, badan lemah/lelah
- Luka yang sulit sembuh
10 Menggali riwayat penyakit dahulu yang sama dan yang berkaitan,
untuk menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya
dengan yang lalu
11 Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan :
 Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita/pernah menderita penyakit yang sama
 Mengenai penyakit menular, tanyakan seberapa
dekat/sering bertemu dengan anggota keluarga yang sakit
12 Melakukan cek silang
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN ANAMNESIS

Skor
NO Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek keterampilan komunikasi
Keterampilan membina sambung rasa
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Mempersilahkan duduk di sebelah kanan
pemeriksa
3. Menyebut nama pasien
4. Menggunakan bahasa verbal yang dipahami
5. Menunjukkan empati
6. Melakukan cek silang
Aspek medis
7. Menanyakan identitas lengkap
8. Menanyakan keluhan utama
9. Menggali informasi keluhan utama
10. Menanyakan keluhan lain dalam satu sistem dan
diluar sistem kardiovaskuler
11. Menanyakan Riwayat Penyakit Dahulu
12. Menanyakan Riwayat Kebiasaan
13. Menanyakan Riwayat Penyakit Keluarga &
Lingkungan
14. Menutup anamnesis dan melakukan cek silang
Jumlah

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Jumlah
Nilai = ------------------------ x 100% = ...............%
20

Makassar, ..........................2020

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

...................................
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SERI 2
PEMERIKSAAN FISIK KARDIOVASKULAR

SISTEM KARDIOVASKULER

Skills Lab. Sistem Kardiovaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN FISIK

Ada 3 hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler. Pertama,
mahasiswa melakukan pemeriksaan rutin yang meliputi semua aspek penting system
kardiovaskuler. Pemeriksaan secara seksama, efisien dan urut, sehingga tidak ada yang
terlupa. Kedua, perhatikan hal-hal pokok yang utama untuk menentukan diagnose kerja
berdasarkan pada anamnesa. Ketiga, pada saat pemeriksaan fisik sering didapatkan gejala
yang tidak diduga sebelumnya, seperti adanya bising jantung, sehingga harus dibuat
diagnose banding.

PEMERIKSAAN UMUM
Selama pemeriksaan inspeksi, perhatikan perawakannya, habitus tubuh, dan ada atau tidak
adanya obesitas. Perawakan pendek (Short stature) biasanya terlihat pada pasien dengan
osteogenesis imperfecta, dimana biasanya berhubungan dengan regurgitasi aorta dan mitral
serta adanya kalsifikasi dari sistem arteri. Stenosis katup pulmonal dan kardiomiopati
obstruktif dan nonobstruktif juga diamati. Perawakan tubuh yang sangat tinggi bisa terlihat
pada pasien dengan sindrom Marfan, dimana berhubungan dengan aneurisma aorta,
regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral. Seseorang dengan perawakan tinggi, ekstremitas
panjang, dan penampilan eunuchoid diamati pada pasien dengan sindrom Klinefelter, yang
dapat dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan seperti ventrikel septal defect, patent
ductus arteriosus, dan tetralogi Fallot .
Pada pasien jantung, berikut merupakan temuan yang paling penting untuk diperhatikan
saat memeriksa ekstremitas atas :
 Sianosis perifer, dimana kulit tampak kebiruan, menunjukkan penurunan kecepatan
aliran darah ke perifer, sehingga perlu waktu yang lebih lama bagi hemoglobin
mengalami desaturasi. Normal terjadi pada vasokonstriksi perifer akibat udara dingin,
atau pada penurunan aliran darah patologis, misalnya, syok jantung.
 Pucat, dapat menandakan anemia atau peningkatan tahanan vaskuler sistemik.
 Waktu pengisian kapiler (CRT=Capillary Refill Time), merupakan dasar
memperkirakan kecepatan aliran darah perifer. Untuk menguji pengisian kapiler,
tekanlah dengan kuat ujung jari dan kemudian lepaskan dengan cepat. Secara normal,
reperfusi terjadi hampir seketika dengan kembalinya warna pada jari. Reperfusi yang
lambat menunjukkan kecepatan aliran darah perifer yang melambat, seperti terjadi pada
gagal jantung.
Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih tinggi dari jantung (mencegah
refluks vena), lalu tekan lembut kuku jari tangan atau jari kaki sampai putih,kemudian
dilepaskan. Catatlah waktu yang dibutuhkan untuk warna kuku kembali normal
(memerah) setelah tekanan dilepaskan.Pada bayi yang baru lahir, pengisian kapiler
dapat diukur dengan menekan pada tulang dada selama lima detik dengan jari telunjuk
atau ibu jari, dan catat waktu yang dibutuhkanuntuk warna kulit kembali normal setelah
tekanan dilepaskan. Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali normal
kurang dari 2 detik. Pada bayibaru lahir batas normal pengisian kapiler adalah 3 detik
 Temperatur dan kelembaban tangan dikontrol oleh sistem saraf otonom. Normalnya
tangan terasa hangat dan kering. Pada keadaan stress, akan terasa dingin dan lembab.
Pada syok jantung, tangan sangat dingin dan basah akibat stimulasi sistem saraf simpatis
dan mengakibatkan vasokonstriksi. Tangan yang hangat menandakan adanya
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

vasodilatasi perifer. Pasien dengan payah jantung biasanya terjadi vasokonstriksi,


sehingga tangannya terasa dingin dan kadangkadang berkeringat akibat peningkatan
sekresi adrenaline.
 Edema meregangkan kulit dan membuatnya susah dilipat.
 Penurunan turgor kulit terjadi pada dehidrasi dan penuaan.
 Penggadaan (clubbing) jari tangan dan jari kaki menunjukkan desaturasi hemoglobin
kronis, seperti pada penyakit jantung congenital
 Tanda-tanda lain, misal fingerSplinter haemorhage dan osler node, mungkin dapat
dijumpai pada endokarditis bakterial subakut.

Gambar 3. Clubbing Fingger


Gambar 4. Capillary Refill time

Palpasi arteri Perifer


ARTERI RADIALIS
Denyut arteri radialis kanan sebaiknya diperiksa dengan tangan kiri pemeriksa (Gambar 4).
Dari pemeriksaan ini didapatkan denyut dan irama jantung. Karena arteri radialis relatif jauh
dari jantung, maka kurang baik untuk menentukan sifat denyut jantung. Periksaan arteri
radialis paling baik terbaik dilakukan dengan melingkarkan jari di sekitar distal dari distal
dari dorsal menuju aspek volar, dengan ujung pertama, kedua, dan ketiga jari sejajar
longitudinal sepanjang arteri.
Bila ada kecurigaan ada abnormalitas pada arcus aorta atau abnormalitas pada arteri
brachialis di sisi tubuh sebelahnya, maka periksalah kedua denyut radialis, serta bandingkan
volume dan waktunya. Pada pasien dengan suspek coarctation aorta, periksalah arteri
radialis dan femoralis. Bila ada coarctation, maka volume arteri femoralis menurun dan lebih
lambat dibandingkan dengan denyut arteri radialis. Denyut femoralis yang lebih lambat
menunjukkan adanya Koarktasi Aorta.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 5. Memeriksa denyut a. radialis Gambar 6.Palpasi a.radialis & a.femoralis bersamaan

ARTERI BRACHIALIS
Cara terbaik untuk memeriksa denyut arteri brachialis kanan adalah dengan
menggunakan ibu jari tangan kanan, di depan siku, agak medial tendon biceps,
sedangkan jari-jari lainnya memegang siku (Gambar 7). Arteri brachialis terletak di
sebelah medial insersi tendon muskulus biceps dan di sebelah dalam insersi fascia
muskulus ini. Caranya pemeriksa menopang lengan pasien di tangan kirinya, dengan
lengan atas pasien dalam posisi abduksi, siku sedikit menekuk, dan lengan bawah
eksternal diputar. Tangan kanan pemeriksa kemudian diletakkan di daerah anterior siku
untuk meraba sepanjang arteri yaitu medial dari pada tendon biseps dan lateral dari
epikondilus medialis humerus. Sifat denyut arteri brachialis berhubungan dengan
berbagai penyakit (Gambar 8).

Gambar 7. Memeriksa denyut arteri brachialis


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

.
Gambar 8. Berbagai bentuk denyut nadi

ARTERI CAROTIS
Arteri carotis letaknya lebih dekat dengan jantung dari pada arteri brachialis, sehingga lebih
baik untuk menilai ventrikel kiri. Cara memeriksa arteri carotis sebelah kanan: letakkan
ujung ibu jari di sebelah larynx, tekan secara lembut ke belakang ke arah otot precervical
sampai denyut arteri carotis terasa (Gambar 9). Cara lain : arteri carotis dapat dirasakan dari
belakang dengan cara jari-jari menyusuri leher (Gambar 10). Pada aortic stenosis yang berat,
terjadi peningkatan denyut carotis. Bila denyut carotis pasien sukar ditemukan, sedangkan
denyut radialis dan brachialisnya mudah ditemukan, maka berarti terjadi aortic stenosis
karena denyut menjadi lebih ‘normal’ pada denyut nadi yang lebih perifer (Gambar 11).
Denyut carotis yang tersentak-sentak merupakan suatu hypertrophic cardiomyopathy.
Aliran darah ke ventrikel kiri mula-mula normal, kemudian mendadak terjadi obstruksi.

Gambar 9. Palpasi arteri carotis


menggunakan ibu jari
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 10. Palpasi arteri carotis


dengan cara lain

Gambar 11. Perubahan gelombang denyut nadi pada aortic stenosis

ARTERI FEMORALIS
Denyut arteri femoralis dapat digunakan untuk menilai kerja jantung, seperti arteri carotis.
Pada pasien dengan kelainan aorta atau arteri iliaca, denyutnya lemah atau tidak ada. Cara
pemeriksaannya adalah : pasien membuka pakaian, berbaring di tempat datar, letakkan ibu
jari atau jari-jari pemeriksa langsung di atas superior pubic ramus dan pertengahan dan
diantara pubic tubical dan anterior superior iliac spine (Gambar 12). Metode pemeriksaan
denyut popliteal dan kaki digunakan untuk pemeriksaan penyakit arterial perifer.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

A.femoralis

Gambar 12. Palpasi arteri femoralis

ARTERI POPLITEAL
Arteri popliteal berada di dalam fossa popliteal tetapi denyutnya dapat dirasakan di
permukaan posterior ujung distal femur. Pasien berbaring di tempat datar, lutut agak fleksi.
Jari-jari digunakan untuk menekan ujung jari-jari tangan yang lain pada fossa popliteal dan
rasakan denyut arteri popliteal di belakang persendian lutut (Gambar 13). Palpasi arteri
popliteal digunakan untuk evaluasi pasien dengan penyakit vaskuler perifer, yaitu
intermittent claudication.

Gambar 13. Palpasi arteri popliteal

ARTERI DORSALIS PEDIS DAN TIBIALIS POSTERIOR


Palpasi arteri-arteri ini digunakan untuk memeriksa adanya penyakit vaskuler perifer, selain
itu juga dapat digunakan untuk monitor frekwensi denyut dan irama nadi pada saat
anaesthesia atau recovery. Denyut arteri dorsalis pedis dapat dirasakan dengan jari-jari
menekan dorsum kaki lateral terhadap tendon extensor hallucis longus (Gambar 14); arteri
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

tibialis posterior dapat dirasakan dengan jari-jari melingkupi pergelangan kaki di sebelah
posterior menuju malleolus medialis (Gambar 15).

Gambar 13. Palpasi arteri dorsalis Gambar 14. Palpasi arteri tibialis
pedis posterior

PEMERIKSAAN JUGULAR VENOUS PULSE (JVP)


Pemeriksaan JVP menunjukkan keadaan ‘input’ jantung. Vena jugular interna berhubungan
langsung dengan vena cava superior dan atrium kanan. Tekanan normal pada atrium kanan
equivalent dengan tekanan kolom darah setinggi 10-12 cm. Jadi bila pasien berdiri atau
duduk tegak, vena jugularis interna akan kolaps dan bila pasien berbaring, vena terisi penuh.
Bila pasien berbaring sekitar 45°, maka pulsasi vena jugularis akan tampak tepat di atas
clavicula; maka posisi ini digunakan untuk pemeriksaan denyut vena jugularis (JVP)
(Gambar 15). Kepala pasien diletakkan pada bantal, dengan leher fleksi dan pandangan lurus
ke depan. Jangan menegangkan muskulus sternomastoid, karena vena jugularis interna tepat
berada di bawahnya.

Gambar 15. Pemeriksaan JVP. Pasien berbaring supinasi 45°,


pulsasi jugularis terlihat tepat di atas clavicula

Perbedaan antara denyut vena jugularis dengan arteri carotis


Venous Dipengaruhi oleh kompresi abdomen
Berdenyut ke dalam Dapat menggeser earlobes (bila tekanan
Dua puncak dalam satu siklus (pada irama vena meningkat)
sinus) Arterial
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Berdenyut keluar Tidak dipengaruhi oleh kompresi abdomen


Satu puncak dalam satu siklus Tidak menggeser earlobes

Bila denyut vena jugularis telah ditemukan, maka tentukan tinggi pulsasi di atas level atrial
dan bentuk gelombang pulsasi vena jugularis. Karena tidak mungkin dapat melihat atrium
kanan, maka dianggap sama dengan tinggi pulsasi vena jugularis di atas sudut anubriosternal
(Gambar 16). Tinggi sudut manubriosternal di atas mid-right atrium selalu konstan,
walaupun pasien dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. JVP yang normal adalah
kurang dari 4 cm di atas sudut manubriosternal.

Gambar 16. Hubungan antara JVP, atrium kanan dan manubriosternal angle

Pada pasien dengan JVP yang sangat tinggi (mis, pada pericardial tamponade atau
constrictive pericarditis), vena jugularis interna dapat terisi penuh saat pasien berbaring
45°,
sehingga pasien perlu didudukkan untuk dapat melihat ujung pulsasi. Bila JVP terlihat di atas
clavicula pada saat pasien duduk tegak, maka artinya tekanan JVP meningkat. Pada saat
pasien duduk tegak, kadang-kadang tidak adekuat untuk memeriksa tekanan vena yang
sangat tinggi. Maka pasien diminta untuk menaikkan tangan sampai vena di belakang tangan
kolaps dan periksalah perbedaan tinggi tangan dengan atrium kanan atau sudut sternum.
Contoh bentuk gelombang tekanan jugular dapat dilihat pada Gambar 17. Bentuk gelombang
yang abnormal terjadi pada tricuspid regurgitation, yaitu gelombang sistoliknya
besar sehingga dapat teraba dan tidak dapat hilang bila ditekan dengan jari. Penyebab
peningkatan tekanan JVP adalah payah jantung kongestif, dimana peningkatan tekanan vena
menunjukkan kegagalan ventrikel kanan. Peningkatan JVP yang tidak pulsatif, menunjukkan
kemungkinan adanya obstruksi vena kava superior.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 17. Berbagai jenis gelombang JVP

Penyebab peningkatan JVP


 Gagal jantung kongestif atau gagal jantung kanan
 Tricuspid reflux
 Pericardial tamponade
 Pulmonary embolism
 Obstruksi vena cava superior

Gambar 18. Tekanan Vena Jugular (Ketinggian tekanan dari angulus streni)
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 19. Pengukuran Tekanan


Vena Jugular (Jugular Venous Pressure/JVP)

INSPEKSI
Perhatikan apakah terdapat pektus ekskavatum (Funnel Chest) berupa depresi
sternum, atau Barrel Chest yang mempunyai diameter antero-posterior besar dan biasanya
terdapat pada emfisema kronik, atau pektus karinatum (pigeon breast). Sternum bagian atas
yang sangat menonjol, terdapat pada juvenile ricketsia. Prekordium yang menonjol (vossure
cardiaque) terdapat karena pembesaran jantung pada sejak usia muda.
Benjolan dinding dada di sekitar sela iga ketiga kiri dapat terjadi akibat aneurisma
dari pembuluh darah besar. Pada Straight Back Syndrome (flat chest) tampak menghilangkan
kifosis normal dan sering terdapat bersama dengan adanya prolaps katup mitral dan pulsasi
pada dinding dada. Pada keadaan normal hanya ditemukan pulsasi apeks di apeks kordis dan
dapat diraba pada jarak ± 8 cm dari garis midsternal pada ruang sela iga IV kiri dan dapat
direkam dengan apeks kardiografi. Pulsasi abnormal dapat berupa pulsasi diatas ruang iga
ke 3, dan ini merupakan pulsasi abnormal pembuluh darah besar. Pulsasi abnormal yang
terada melebar sampai dibawah iga ke 3, berasal dari ventrikel kanan atau ventrikel kiri
yang membesar.
Perhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada
penonjolan asimetris (voussure cardiaque), yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil.
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.
Garis anatomis pada permukaan badan yang penting pada permukaan dada, ialah (Gambar
20) :
- Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

- Garis tengah klavikular ( mid clavicular line/MCL)


- Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
- Garis para sternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Garis-garis tersebut ini perlu untuk menentukan lokasi kelainan yang ditemukan pada
permukaan badan.

Gambar 20. Letak Garis Anatomi Pada Permukaan Badan

Kelainan bentuk dada seringkali berkaitan dengan anatomi dan faal jantung. Di
samping itu juga mempengaruhi faal pernafasan yang kemudian secara tidak
langsung mempengaruhi faal sirkulasi darah yang akan menjadi beban kerja jantung.
Kelainan bentuk dada tidak selalu disertai atau mengakibatkan gangguan faal
jantung. Kelainan bentuk dada dapat dibedakan antara kelainan kongenital atau
kelainan yang didapat selama pertumbuhan badan. Deformitas dada dapat juga
terjadi karena trauma yang menyebabkan gangguan ventilasi pernafasan berupa
beban sirkulasi terutama bagi ventrikel kanan.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 21. Inspeksi Kelainan Bentuk Dada

Ictus Cordis
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, seringkali tampak dengan mudah pulsasi yang
disebut ictus cordis pada intercostal V, linea medioclavicularis kiri. Pulsasi ini letaknya
sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2 cm, dengan punctum maksimum
di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu sistolis ventrikel. Bila ictus
kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya pembesaran ventrikel kiri. Pada
pericarditis adhesive, ictus keluar terjadi pada waktu diastolis, dan pada waktu sistolis
terjadi retraksi ke dalam. Keadaan ini disebut ictus kordis negatif. Pulsasi yang kuat pada
sela iga III kiri disebabkan oleh dilatasi arteri pulmonalis. Pulsasi pada supra sternal
mungkin akibat kuatnya denyutan aorta. Pada hipertrofi ventrikel kanan, pulsasi tampak
pada sela iga IV di linea sternalis atau daerah epigastrium. Perhatikan apakah ada pulsasi
arteri intercostalis yang dapat dilihat pada punggung. Keadaan ini didapatkan pada stenosis
mitralis. Pulsasi pada leher bagian bawah dekat scapula ditemukan pada coarctatio aorta

PALPASI
Palpasi precordium dilakukan dengan cara meletakkan telapak tangan pada dinding dada di
sebelah kiri sternum. Pertama kali, tentukan letak ‘apex’. Yaitu tempat pulsasi yang paling
luar dan paling bawah. Biasanya tempatnya ditentukan dari intercostal, clavicula dan axilla.
Apex orang dewasa normal yang berbaring 45°, lokasi point of maximal impulse, normal
terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial
dari apeks anatomis). Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1 –2 cm.
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi sysolic lift, systolic
heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba akan lebih melebar.
Kadang-kadang jantung dapat bergeser, bila pasien miring ke kiri, maka apex akan bergeser
keluar. Pada pasien obesitas atau pasien emfisema, pasien diminta miring ke kiri pada saat
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

pemeriksaan prekordium. Pada pasien ini posisi apex tidak dapat ditentukan, jadi hanya
untuk memeriksa kualitas denyut apex (Gambar 22). Kualitas denyut apex yang normal dan
yang tidak, hanya bisa didapatkan dengan banyak latihan. Apex yang berdenyut keras
menunjukkan adanya peningkatan cardiac output (misalnya pada pasien yang demam atau
setelah olah raga). Apex yang difus menandakan adanya kerusakan muskulus ventrikel, yang
biasanya disebabkan karena inkark myocard atau cardiomyopathy. Impuls difus ini dapat
dilihat dengan inspeksi precordium. Sifat impuls jantung pada hipertrofi ventrikel kiri sangat
khas, yaitu sangat kuat dan menetap, bukan impuls tajam dan pendek. Pada stenosis mitral,
apex jantung berupa tepukan (tapping). Hal ini disebabkan ventrikel kiri membesar sehingga
bergeser menjadi lebih dekat ke dinding dada. Selain itu suara jantung pertama menjadi
keras, sehingga dapat dipalpasi. Hipertrofi ventrikel kanan atau dilatasi, dirasakan dekat
dengan garis sternal kiri.

Gambar 22. Palpasi precordium.


Untuk menentukan letak apex, pasien berbaring terlentang, sedangkan untuk
memeriksa
kualitas impuls, pasien miring ke kiri

Gambar 23. Jenis Impuls apical


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Selain palpasi jantung, pemeriksaan dengan tangan juga dapat digunakan untuk menentukan
suatu vibralation atau ‘thrill’. Thrills adalah ‘murmur yang dapat dipalpasi’ dan selalu dapat
dengan mudah didengarkan waktu auskultasi. Diastolic thrill (yang bunyinya seperti
‘stroking a purring cat’) kadang-kadang didapatkan pada pasien mitral stenosis. Systolic
thrills didapatkan pada aortic stenosis, ventricular septal defect atau mitral reflux.

Penyakit yang menyebabkan hipertrofi ventrikel


 Hipertensi
 Aortic stenosis
 Hypertrophic cardiomyopathy

Pulsasi Ventrikel Kiri


Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba
seperti menggelombang, (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke lateral,
terjadi misalnya pada beban sistolik vertikel kiri yang meningkat akibat stenosis aorta.
Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya pada
beban diastolik vertikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katup aorta. Pembesaran
ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks
kembar (double apical impulse) terdapat pada aneurisma apikal atau pada kardiomiopati
hipertrofi obstruktif.

Pulsasi Ventrikel Kanan


Area di bawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal tidak
ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan beban
sistolik kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat
di sekitar daerah epigastrium di bawah prosesus sifoideus menunjukkan kemungkinan
adanya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi abnormal di atas iga ke ke III kanan
menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada
interkostal II sebelah kiri pada batas sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.

Getar Jantung (Cardiac Thrill)


Getar jantung adalah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising
jantung adalah desiran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah
prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik
(systolic Thrill), timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls
apikal. Getar diastolik (diastolic Thrill), timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah impuls
apikal. Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan
insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerah mitral dan
bersambung ke daerah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang
pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang
pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi trikuspid. Getar sistolik pada area
aorta pada lokasi di daerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya
stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya
insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut ini lebih keras teraba pada waktu
ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menandakan adanya stenosis katup pulmonal.

PERKUSI
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada
garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk
menentukan gambaran besarnya jantung. Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar
ke kiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-
bawah. Pinggang jantung merupakan batas pekak jantung pada RSI - 3 pada garis para
sternal kiri. Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol ke
arah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan
dan ke kiri atas. Pada perikarditis pekak jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada
emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang
berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.
Untuk menentukan batas kiri jantung lakukan perkusi dari arah lateral ke medial. Batas
jantung kiri memanjang dari garis medioklavikularis di ruang interkostal III sampai V.
Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup relative kita tetapkan sebagai batas
jantung kiri.
Batas kanan terletak di bawah batas kanan sternum dan tidak dapat dideteksi. Pembesaran
jantung baik ke kiri maupun ke kanan biasanya akan terlihat.  Pada beberapa orang yang
dadanya sangat tebal atau obes atau menderita emfisema, jantung terletak jauh dibawah
permukaan dada sehingga bahkan batas kiri pun tidak jelas kecuali bila membesar.

Gambar 24. Daerah Redup Jantung dan Pekak Jantung pada Perkusi Jantung
Normal dan Gambaran Pekak Hati Normal

AUSKULTASI
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan cara mendengar bunyi akibat vibrasi
(getaran suara) yang ditimbulkan karea kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian
hemodinamik darah dalam jantung.
Alat yang dipergunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chest piece.
Macam-macam chest piece yaitu bowl type dengan membran, digunakan terutama untuk
mendengar bunyi dengan fekuensi nada yang tinggi : bell type, digunakan untuk mendengar
bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah. Perhatikan proyeksi katup jantung dan
cara melakukan pemeriksaan auskutasi dalam Gambar 24
Auskultasi jantung yang baik adalah dengan menggunakan stethoscope yang mutunya baik
pula. Ada 2 fungsi utama stethoscope. Pertama, mengantarkan suara dari dada pasien dan
membantu mengurangi suara dari luar. Kedua, secara selektif mengantarkan suara pada
frekwensi tertentu.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Stethoscope terdiri dari dua bagian telinga yang disambungkan dengan selang ke dada dan
mempunyai bagian diaphragma dan bell. Bell dan diaphragma memperkuat suara dari
berbagai frekwensi. Bell digunakan untuk mendengarkan low-pitched sound seperti mid-
diastolic murmur pada mitral stenosis atau suara jantung ketiga pada payah jantung.
Sebaliknya, filter diaphragma meniadakan low pithched sound dan memperjelas high
pitched sound. Diaphragma baik untuk menganalisa suara jantung kedua, untuk ejeksi dan
mid-systolic click dan untuk early diastolic murmur pada aortic regurgitation yang high
pitched sound tetapi pelan.

edicine
Gambar 25. Auskultasi jantung.

Daerah tempat auskultasi jantung antara lain : pada apex, dasar (bagian jantung antara apex dan
sternum) dan pada daerah aortic dan pulmonary di sebelah kiri dan kanan sternum (Gambar
23). Apabila mendengar suara yang abnormal, maka pindahkan stethoscope sehingga suara
tersebut terdengar dengan jelas. Dengarkan suara tersebut bersamaan dengan palpasi arteri
carotis.
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 26. Auskultasi jantung.


Untuk mendengarkan suara jantung dan murmur, tentukan asal suara dan radiasi
turbulen aliran darahnya

Pemeriksaan Dada
Pada pasien dengan penyakit jantung, periksalah apakah ada krepitasi di dasar paru.
Terdengarnya suara crackling saat inspirasi menunjukkan gejala awal edema paru. Pada payah
jantung ringan, krepitasi berada di dasar paru, sedangkan pada payah jantung berat, krepitasi
terdengar di seluruh dada. Pasien dengan payah jantung berat dan edema perifer, biasanya
terjadi efusi pleura.

Tungkai-Kaki
Perhatikan apakah ada edema tungkai, edema pretibial, edema pergelangan kaki (ankle edema),
edema kardiak seringkali disertai nokturia. Lakukan perabaan denyut nadi arteri femoralis,
arteri politea, dan arteri dorsalis pedis. Bandingkan nadi kiri dan kanan, serta bandingkan suhu
kaki kiri dan kanan. Cari tanda-tanda fenomen trombo-emboli pada tungkai, diperhatikan juga
vena tungkai bawah apakah ada varises dan tromboflebitis.

1
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

2
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

A. PEMERIKSAAN FISIS JANTUNG

NO. LANGKAH KLINIK NILAI


1. Mengucapkan salam dan menjelaskan tujuan pemeriksaan 0 1 2
2. Melakukan cuci tangan rutin
3. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien dan pasien tidur
telentang dalam keadaan rileks dan dada terbuka
4. Melakukan inspeksi dari sisi kanan pasien dan dari arah kaki
penderita, lihat keadaan umum penderita (sesak napas, pucat)
apakah ada alat bantu atau bekas operasi
5. Kemudian lakukan inspeksi tangan, perhatikan apakah ada
tremor, sianosis, clubbing finger, atau tanda-tanda khas lain
seperti janeway lesion atau splinter hemorrhage
6. Periksalah tangan pasien, apakah terasa hangat, berkeringat
atau cyanosis perifer; periksalah adanya clubbing atau splinter
haemorrhages pada kuku .
7. Bandingkan suhu kedua tangan, apakah simetris kiri dan kanan
8. Periksalah Capillary Refill Time
9. Palpasi arteri radialis, hitung frekuensi denyut dan tentukan
iramanya (bandingkan kiri dan kanan, periksa apakah ada
collapsing pulse)
10. Tentukan lokasi dan palpasi arteri brachialis, tentukan sifatnya.
Bila ada kecurigaan ada masalah pada arcus aorta, maka
bandingkan denyutnya pada kedua lengan.
11. Auskultasi arteri karotis untuk mendeteksi adanya bruits
12. Palpasi arteri carotis dan tentukan sifatnya.
13. Pasien berbaring 45°, tentukan tekanan vena jugularis dan
bentuk denyutnya. (bila tidak jelas terlihat maka bisa
melakukan penekanana untuk hepatojugular reflux)
14. Perhatikan wajah pasien, periksa konjunctiva, lidah dan mulut,
xantelasma, malar flush.
15. Perhatikan dada pasien, inspeksi pericardium dan tentukan
bentuk dada, jenis pernapasannya, serta perhatikan apakah ada
pulsasi yang abnormal. Perhatikan juga bila ada bekas operasi
atau alat bantu.
16. Palpasi precordium, tentukan lokasi denyut apex dengan ujung-
ujung jari 2, 3, dan ke 4.
17. Mempalpasi impuls ventrikel kanan dengan meletakkan telapak
tangan pada sela iga 3,4 dan 5 batas sternum kiri
18. Mempalpasi apakah ada cardiac thrill
19. Perkusi precordium, Mulai pada tiap sela iga jauh ke lateral ke
arah aksila, perkusi ke arah sternum. Tentukan batas jantung
kiri , atas dan kanan

3
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

20. Auskultasi jantung.


1. Dengarkan dengan stethoschope dan periksalah suara
jantung, apakah ada murmur.
2. Bila perlu, letakkan jari tangan pada karotis, identifikasi dan
dengarkan bunyi jantung pertama, kedua interval diantara
bunyi jantung pertama dan kedua ( fase sistolik) dan bunyi
jantung kedua dan pertama (fase diastolik).
3. Auskultasi seluruh prekordium, empat daerah penting
mencerminkan bunyi dari empat katup.
21. Bila memungkinkan, dengarkan arteri carotis untuk mencari
radiasi murmur atau bruit.
22. Perkusi dan auskultasi dada di depan dan belakang, carilah
apakah ada efusi pleura.
Dengarkan, apakah ada krepitasi pada dasar paru.
23. Periksalah denyut femoralis, popliteal dan kaki. Apakah ada
edema sakral ? apakah ada edema pretibial atau dorsum pedis??
24. Cuci tangan Rutin

DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK KARDIOVASKULAR

NO. LANGKAH KLINIK NILAI

4
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

1. Mengucapkan salam dan menjelaskan tujuan pemeriksaan 0 1 2


2. Melakukan cuci tangan rutin
3. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien dan pasien tidur
telentang dalam keadaan rileks dan dada terbuka
4. Melakukan inspeksi dari sisi kanan pasien dan dari arah kaki
penderita, lihat keadaan umum penderita (sesak napas, pucat)
apakah ada alat bantu atau bekas operasi
5. Kemudian lakukan inspeksi tangan, perhatikan apakah ada
tremor, sianosis, clubbing finger, atau tanda-tanda khas lain
seperti janeway lesion atau splinter hemorrhage
6. Periksalah tangan pasien, apakah terasa hangat, berkeringat
atau cyanosis perifer; periksalah adanya clubbing atau splinter
haemorrhages pada kuku .
7. Bandingkan suhu kedua tangan, apakah simetris kiri dan kanan
8. Periksalah Capillary Refill Time
9. Palpasi arteri radialis, hitung frekuensi denyut dan tentukan
iramanya (bandingkan kiri dan kanan, periksa apakah ada
collapsing pulse)
10. Tentukan lokasi dan palpasi arteri brachialis, tentukan sifatnya.
Bila ada kecurigaan ada masalah pada arcus aorta, maka
bandingkan denyutnya pada kedua lengan.
11. Auskultasi arteri karotis untuk mendeteksi adanya bruits
12. Palpasi arteri carotis dan tentukan sifatnya.
13. Pasien berbaring 45°, tentukan tekanan vena jugularis dan
bentuk denyutnya. (bila tidak jelas terlihat maka bisa
melakukan penekanana untuk hepatojugular reflux)
14. Perhatikan wajah pasien, periksa konjunctiva, lidah dan mulut,
xantelasma, malar flush.
15. Perhatikan dada pasien, inspeksi pericardium dan tentukan
bentuk dada, jenis pernapasannya, serta perhatikan apakah ada
pulsasi yang abnormal. Perhatikan juga bila ada bekas operasi
atau alat bantu.
16. Palpasi precordium, tentukan lokasi denyut apex dengan ujung-
ujung jari 2, 3, dan ke 4.
17. Mempalpasi impuls ventrikel kanan dengan meletakkan telapak
tangan pada sela iga 3,4 dan 5 batas sternum kiri
18. Mempalpasi apakah ada cardiac thrill
19. Perkusi precordium, Mulai pada tiap sela iga jauh ke lateral ke
arah aksila, perkusi ke arah sternum. Tentukan batas jantung
kiri , atas dan kanan
20. Auskultasi jantung.
4. Dengarkan dengan stethoschope dan periksalah suara
jantung, apakah ada murmur.
5. Bila perlu, letakkan jari tangan pada karotis, identifikasi dan

5
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

dengarkan bunyi jantung pertama, kedua interval diantara


bunyi jantung pertama dan kedua ( fase sistolik) dan bunyi
jantung kedua dan pertama (fase diastolik).
6. Auskultasi seluruh prekordium, empat daerah penting
mencerminkan bunyi dari empat katup.
21. Bila memungkinkan, dengarkan arteri carotis untuk mencari
radiasi murmur atau bruit.
22. Perkusi dan auskultasi dada di depan dan belakang, carilah
apakah ada efusi pleura.
Dengarkan, apakah ada krepitasi pada dasar paru.
23. Periksalah denyut femoralis, popliteal dan kaki. Apakah ada
edema sakral ? apakah ada edema pretibial atau dorsum pedis??
24. Cuci tangan Rutin

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

a. Pemeriksaan fisis

Jumlah
Nilai = -------------------- x 100% = ...............%
24

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

.......................................

SERI 3

BUNYI-BUNYI JANTUNG

6
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SISTEM KARDIOVASKULAR

Skills Lab. Sistem Kardiovaskular


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020

BUNYI-BUNYI JANTUNG
Mekanisme suara jantung pertama dan kedua serta mekanisme dan fisiologi splitting
suara jantung kedua telah dijelaskan sebelumnya. Suara jantung pertama dapat didengarkan
dengan mudah menggunakan bell dan diaphragma, tetapi diaphragma tidak dapat untuk meng-
analisa suara jantung kedua. Stethoscope diletakkan pada ujung kiri sternal. Suara jantung dapat
direkam menggunakan phonocardiography

7
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 27. Komponen Bunyi Jantung

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas suara jantung


Suara jantung pertama yang keras
 Sirkulasi hiperdinamik (demam, olah raga)
 Mitral stenosis
 Atrial myxoma (jarang)
Suara jantung pertama yang pelan
 Cardiac output rendah (istirahat, payah jantung)
 Takikardi
 Mitral reflux yang berat (disebabkan karena destruksi katub)
Suara jantung pertama yang bervariasi
 Atrial fibrillation
 Complete heart block
Komponen aortic suara jantung kedua yang keras
 Hipertensi sistemik
 Dilated aortic root
Komponen aortic suara jantung kedua yang lambat
 Calcific aortic stenosis
Komponen pulmonary suara jantung kedua yang keras
 Pulmonary hypertension

Penyebab suara jantung pertama yang keras adalah peningkatan cardiac output atau mitral
stenosis. Penyebab suara jantung pertama menjadi pelan adalah penurunan cardiac output dan
dinding dada yang tebal atau emfisema. Suara jantung kedua yang keras menunjukkan
hipertensi sistemik atau pulmonary hypertension.

Suara jantung ketiga dan keempat

8
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Suara jantung abnormal ini terdengar disamping suara jantung normal pada pasien
dengan keadaan tertentu. Suara jantung ketiga bersifat low-pitched, terdengar pada saat
diastole dan bertepatan dengan akhir fase cepat pengisian ventrikel. Suara ini dapat timbul pada
keadaan fisiologis dan patologis. Suara jantung ketiga yang fisiologis timbul pada dewasa muda
yang cardiac output-nya meningkat (misalnya pada atlit, demam dan hamil). Suara jantung
ketiga yang patologis biasanya disebabkan karena kerusakan fungsi ventrikel kiri yang berat.
Dapat pula timbul pada cardiomyopathy dilatasi, setelah infark myocard akut
atau pada emboli paru masif akut (dari ventrikel kanan). Pada pasien dengan suara jantung
ketiga yang patologis, selalu terjadi takikardi dan suara jantung pertama dan kedua lebih pelan.
Irama suara jantung pertama, kedua dan ketiga disebut dengan irama gallop.

Gambar 28. Suara jantung keempat

Suara jantung ke-4 merupakan suara jantung ekstra yang bersamaan dengan kontraksi atrium.
Terdengar dengan jelas pada pasien dengan hipertrofi atrium kiri (mis,adanya hipertensi
sistemik atau hypertrophic cardiomyopathy). Tidak terdengar pada mitral stenosis

Suara jantung ekstra yang lain


Ejection click
Merupakan suara high-pitched yang mengikuti suara jantung pertama (Gambar 26).
Menunjukkan suatu aortic atau pulmonary valve stenosis, yang disebabkan karena pembukaan
mendadak katub yang rusak. Kadang-kadang pada pasien dilated pulmonary artery atau suatu
ascending aorta dapat timbul ejection click tanpa stenotic valve.

9
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 29. Suara jantung ekstra

Opening snap
Merupakan suara diastolik yang terdengar pada mitral stenosis dan disertai dengan
pembentukan diaphragma oleh stenosed mitral valve. Paling baik didengarkan pada kiri
sternum dan bunyinya seperti bagian kedua split suara jantung kedua.
Mid-systolic clicks
Biasanya disertai dengan prolaps katub mitral dan disebabkan karena pemanjangan katub.
Clicks ini dapat disertai dengan late systolic murmur (Gambar 30 dan 31).

10
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 30. Murmur pansistolik

Gambar 31. Murmur ejeksi sistolik

Suara dari katub jantung artifisial


Bola, lempengan atau poppet pada katub jantung artifisial dapat menimbulkan suara pada saat
katub membuka dan menutup. Penutupan katub lebih keras dari pada pembukaan katub. Jadi,
pada aortic prosthesis akan terdengar pembukaan click yang pelan segera setelah suara jantung
pertama dan penutupan click yang keras pada suara jantung kedua. Sebaliknya, pada katub
mitral akan terdengar pembukaan click yang pelan pada posisi yang sama dengan opening snap
mitral stenosis dan penutupan click yang keras pada suara jantung kedua.

11
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Murmur
Murmur adalah suara jantung musikal yang timbul pada saat tertentu siklus jantung, akibat
aliran darah turbulen. Hal penting untuk analisa murmur adalah saat terjadinya pada siklus
jantung, suara seperti apa, kapan terdengar jelas, radiasi-nya kemana dan bagaimana pada saat
manuver dengan menarik napas dalam.

Murmur sistolik
Murmur sistolik disebabkan karena salah satu dari 3 hal berikut ini : kebocoran darah melalui
struktur yang secara normal tertutup pada saat sistole (katub mitral atau tricuspid atau
interventricular septum), aliran darah melalui katub yang normal terbuka pada saat sistole
tetapi menjadi menyempit (mis, aortic atau pulmonary stenosis) atau peningkatan aliran darah
melalui katub normal (flow murmur).
Murmur yang disebabkan karena kebocoran darah melalui katub mitral atau tricuspid yang
tidak kompeten atau ventricular septal defect, intensitasnya sama sepanjang sistolik. Hal ini
disebut dengan pansystolic atau holosystolic murmur. Pada prolaps katub mitral, saat sistole
mula-mula katub kompeten, tetapi kemudian terjadi kebocoran, akibatnya terjadi murmur pada
mid- atau akhir sistole dan disebut dengan midsystolic murmur atau late systolic murmur.
Murmur yang disebabkan karena darah yang mengalir pada katub aortic atau pulmonary yang
menyempit atau peningkatan aliran darah melalui katub aortic atau pulmonary yang normal,
mulainya tepat pada awal sistole, kemudian meningkat menjadi crescendo pada midsystole dan
selanjutnya tenang kembali pada akhir sistole. Murmur ini
disebut dengan ejection systolic murmur.
Penyebab murmur sistolik
Ejection systolic
 Innocent systolic murmur
 Aortic stenosis
 Pulmonary stenosis
 Hypertrophy cardiomyopathy
 Flow murmur
 Atrial septal defect
 Demam
 Jantung atlit
Pansystolic
 Tricuspid reflux
 Mitral reflux
 Ventricular septal defect
Innocent murmur
Innocent murmur adalah murmur yang tidak ada hubungannya dengan struktur yang abnormal
pada jantung atau dengan gangguan hemodinamik. Biasanya terjadi pada anakanak dan dewasa
muda. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut : selalu pada sistolik dan pelan (di bawah grade 3),
terdengar di ujung sternal kiri, tidak berhubungan dengan ventricular hypertrophy. Denyut
jantung, denyut nadi, foto thorax dan EKG normal semua.

12
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 32. Jenis murmur dan Lokasi

Murmur diastolik
Murmur diastolik dapat dibagi 2 : yaitu early diastolic murmur dan mid-diastolic murmur. Early
diastolic murmur disebabkan karena katub aortic atau pulmonary yang tidak kompeten.
Suaranya maksimal pada awal diastolik pada saat tekanan aortic atau pulmonary paling tinggi
dan cepat menjadi pelan (decrescendo) apabila tekanan menurun. Suara aortic diastolic murmur
seperti bisikan huruf ‘r.
Mid-diastolic murmur disebabkan karena aliran darah katub mitral atau tricuspid yang
menyempit, atau kadang-kadang karena peningkatan aliran darah pada salah satu katub ini
(mis, anak-anak dengan atrial septal defect). Sifat murmur mitral stenosis adalah low-pitched,
murmur yang bergemuruh terdengar di sepanjang diastole.
Kadang-kadang, pasien dengan sinus rhythm, suaranya menjadi keras persis sebelum onset
sistole, akibat kontraksi atrium meningkatkan aliran darah melalui katub yang sempit. Kadang-
kadang pada pasien aortic reflux terdengar mid-diastolic murmur. Hal ini disebabkan karena
regurgitasi darah dari katub aortic yang tidak kompeten membentuk vibrasi anterior katub
mitral (Austin Flint murmur).

13
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 33. Contoh early diastolic murmur

Gambar 34. Contoh mid-diastolic murmur

Murmur paling baik didengarkan pada lokasi lesi yang menyebabkannya dan pada arah turbulen
aliran darah yang menimbulkan suara murmur. Murmur mitral stenosis paling baik terdengar
bila pasien miring ke kiri dan auskultasi dengan bell stethoscope di apex jantung (Gambar 35).
Murmur aortic reflux lebih mudah didengarkan bila pasien duduk agak condong ke depan dan
ekspirasi, sedangkan stethoscope diletakkan di sebelah kiri sternum (Gambar 36).

14
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 35. Murmur diastolic mitral


sebaiknya didengarkan dengan bell, dan
posisi pasien miring ke kiri

Gambar 36. Aortic diastolic


murmur, mudah didengarkan
pada pasien yang duduk agak
condong ke depan, menahan napas saat ekspirasi

Murmur pada saat respirasi menunjukkan sifatnya. Murmur sistolik timbul pada katub
pulmonary (yaitu, pulmonary stenosis flow murmur) terdengar lebih keras saat inspirasi dan
hilang saat ekspirasi. Sebaliknya, murmur pada kiri jantung hilang saat inspirasi. Pasien diminta
untuk melakukan Valsalva maneouvre (ekspirasi kuat melalui glottis yang tertutup) membuat
murmur hilang. Pada saat tidak ada cardiac output, pada murmur hypertrophic obstructive
cardiomyopathy (ejection systolic murmur timbul dari ventrikel kiri) menjadi lebih keras

15
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

apabila obstruksi meningkat. Murmur mitral stenosis lebih mudah terdengar pada pasien yang
sebelumnya ber-olah raga.

Intensitas murmur
 Derajat I, bising sangat lemah yang hanya terdengar oleh pemeriksa yang berpengalaman di
tempat yang tenang.
 Derajat II, bising lemah tapi mudah di dengar, penjalaran terbatas.
 Derajat III, bising cukup keras, tidak disertai dengan getaran bising, penjalaran sedang
sampai luas
 Derajat IV, bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas.
 Derajat V, bising keras, yang juga terdengar meskipun stetoskop tidak seluruhnya
menempel di dinding thoraks, penjalaran luas.
 Derajat VI, bising sangat keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari dinding thoraks,
Penjalaran sangat luas.

Suara murmur pada saat respirasi


Keras pada saat inspirasi
 Pulmonary stenosis
 Pulmonary valve flow murmurs
Pelan pada awal inspirasi (keras pada akhir inspirasi)
 Mitral regurgitation
 Aortic stenosis
Keras pada Valsalva manoeuvre
 Hypertrophic obstructive cardiomyopathy
 Murmur mitral prolapse dapat keras atau pelan saat inspirasi

16
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN BUNYI JANTUNG

NO ASPEK YANG DINILAI KASUS


1 Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien
2 Melakukan auskultasi pada tempat yang benar :
 Daerah apeks jantung
 Daerah sela iga 2 kiri
 Daerah sela iga 2 kanan
 Daerah sela iga 4 dan 5 di tepi kanan dan kiri sternum atau
ujung sternum
3. Urutan pemeriksaan benar
4. Menggunakan diafragma untuk mendengarkan daerah
precordial
5. Menggunakan bel untuk mendengarkan daerah apex
6. Dapat mengenali suara jantung I
7. Dapat mengenali suara jantung II
8 Dapat menentukan ada/tidaknya suara tambahan pada sistole
9 Dapat menentukan ada/tidaknya suara tambahan pada diastole
JUMLAH

17
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN BUNYI-BUNYI JANTUNG

NO ASPEK YANG DINILAI SkOR


1 2 3
1 Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien
2 Melakukan auskultasi pada tempat yang benar :
 Daerah apeks jantung
 Daerah sela iga 2 kiri
 Daerah sela iga 2 kanan
 Daerah sela iga 4 dan 5 di tepi kanan dan kiri sternum atau
ujung sternum
3. Urutan pemeriksaan benar
4. Menggunakan diafragma untuk mendengarkan daerah
precordial
5. Menggunakan bel untuk mendengarkan daerah apex
6. Dapat mengenali suara jantung I
7. Dapat mengenali suara jantung II
8 Dapat menentukan ada/tidaknya suara tambahan pada sistole
9 Dapat menentukan ada/tidaknya suara tambahan pada diastole
JUMLAH

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Jumlah
Nilai = ------------------------ x 100% = ...............%
9

Makassar, ..........................2020

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

......................................

18
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SERI 4

PEMASANGAN ALAT ELEKTROKARDIOGRAFI

SISTEM KARDIOVASKULAR

Skills Lab. Sistem Kardiovaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020

19
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

Pengertian
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan non invasif paling sering digunakan
sebagai alat bantu diagnosis penyakit jantung. Alat ini sudah lama ditemukan, murah dan aman
digunakan tetapi peranannya sekarang belum dapat digantikan oleh alat lain.
Berbagai keadaan jantung dapat dideteksi dengan tepat oleh alat ini, baik kelainan berupa
kelainan elektris (mis. Aritmia), kelainan anatomis (mis. Hipertropi atrium dan ventrikel),
maupun kelainan lain (mis. Perikarditis).
Untuk pemeriksaan secara rutin biasanya dilakukan pengambilan 12 sandapan (lead) yaitu I,
II, III, aVR, AVL, aVF, V1-6. Tetapi kadang-kadang dilakukan cara lain untuk keperluan tertentu,
mis. Monitor terus menerus (24 jam sehari) yang digunakan untuk mendeteksi adanya
perubahan-perubahan di jantung penderita dalam keadaan darurat (mis. Di ICCU dan bedah
jantung). Untuk mengetahui perubahan EKG pada kegiatan sehari-hari dilakukan rekaman
secara terus menrus dengan alat monitor holter. Serial EKG untuk jangka waktu tertentu dapat
untuk menegakkan diagnosis infark miokard akut secara pasti. Untuk lebih memastikan apakah
seseorang menderita penyakit jantung koroner atau tidak sering dilakukan uji latih jantung.
Penemuan yang terbaru dari Echokardiografi yang jauh lebih canggih dan mahal ternyata
peranannya tidak dapat menggantikan alat EKG yang jauh lebih sederhana. Dengan
menggabungkan kedua alat tersebut maka hasilnya sangat memuaskan.
Yang harus disadari adalah bahwa EKG merupakan suatu test laboratorium, bukan
merupakan alat diagnosis yang mutlak.Pasien yang menderita penyakit jantung bisa mempunyai
gambaran EKG normal, sedangkan orang sehat dapat mempunyai gambaran abnormal.

Indikasi :
Pemeriksaan Elektrokardiografi dilakukan untuk mengetahui :
1. Kelainan irama jantung
2. Kelainan miokard seperti infark
3. Pengaruh obat-obat jantung terutama digitalis
4. Gangguan elektrolit
5. Perikarditis
6. Pembesaran jantung

20
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

Tujuan pembelajaran :

Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan penyadapan aktifitas otot jantung secara berurutan dan benar

Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
a. Berhubungan dengan alat dan pasien :
1. Mempersiapkan pasien dan alat
2. Meletakkan elektroda pada tempat penekanan
3. Melakukan penyadapan
4. Membuat elektrokardiogram dan keterangannya
5. Merawat EKG setelah pemeriksaan

Media dan alat bantu pembelajaran :


1. Daftar panduan belajar untuk pemeriksaan EKG
2. Alat EKG beserta kelengkapannya, probandus / manikin
3. Kertas interpretasi EKG, pulpen, pensil.

Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

21
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DESKRIPSI KEGIATAN

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain peran tanya & 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
jawab 2. Satu orang instruktur memberikan contoh
bagaimana cara melakukan perekaman
EKG pada probandus/manikin.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan instruktur
memberikan penjelasan tentang aspek-
aspek yang penting.
4. Pemeriksaan EKG pada manikin atau
probandus

3. Praktek bermain peran 100 menit 1. Mahasiswa dibagi berpasangan.


dengan umpan balik 2. Setiap pasangan berpraktek, satu orang
sebagai dokter (pemeriksa) dan satu
orang sebagai pasien.
3. Instruktur berkeliling diantara mahasiwa
dan melakukan supervisi menggunakan
ceklist

4.Curah pendapat/ diskusi 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang


dirasakan mudah ? Apa yang sulit ?
Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai pasien.
Apa yang dapat dilakukan oleh dokter
agar pasien merasa lebih nyaman ?
2. Instruktur menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti.
Total waktu 150 menit

22
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

ANATOMI DAN FUNGSIONAL SISTEM KONDUKSI JANTUNG


Sifat-Sifat Listrik Sel Jantung
 Sel –sel otot jantung mempunya isusunan ion yang berbeda antara ruang dalam sel
(ekstraseluler). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion Na+ dan ion K+. Kadar K+
intraselular sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular daripada dalam ruang
intraselular.
 Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel untuk ion K+ daripada untuk ion Na+.
Dalam keadaan istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial membran bagian dalam
dan bagian luar tidak sama. Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada keadaan
Polarisasi, dengan bagian luar berpotensial positif dibandingkan bagian dalam. Selisih
potensial ini disebut potensial membran, yang dalam keadaan istirahat berkisar 90 mV.
Bila membran otot jantung dirangsang, sifat permeabel membran sehingga ion Na+ masuk
kedalam sel, yang menyebabkan potensial membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV
( potensial diukur intraseluler terhadap ekstraseluler). Perubahan potensial membran
karena stimulus ini disebut depolarisasi. Setelah proses depolarisasi. Setelah proses
depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai keadaan semula, yaitu
proses Repolarisasi.
Potensial aksi
Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel otot jantung dibandikan dengan
potensial diluar sel, pada saat stimulus , maka perubahan potensial yang terjadi sebagai fungsi
dari waktu, disebut potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukan karakteristik yang khas,
yang dibagi menjadi 4 fase yaitu (Gambar 34):
 Fase 0 adalah :
Awal potensial aksi yang berupa garis vertikal keatas yang yang merupakan lonjakan
potensial sehingga mencapai +20 mV. Lonjakan potensial dalam daerah intraseluler ini
disebabkan karena masuknya ion Na+ dari luar kedalam sel.
 Fase 1 adalah :
Fase repolarisasi awal yang pendek, dimana potensial kembali dari + 20 mV mendekati 0
mV
 Fase 2 adalah :
Fase datar dimana potensial berkisar pada 0 mV. Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion
Ca++ untuk mengimbangi gerak keluar dari ion K+.
 Fase 3 adalah :
Masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali secara tajam pada tingkat awal yaitu fase
4

23
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 34. Aksipotensial

Sistem Konduksi Jantung.


Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus Sini Atrial (SA), nodus Atrioventrikuler (AV), berkas
His dan serabut Purkinye (Gambar 35).
Nodus SA.
Nodus SA terletak pada pertemuan antara vena kava superior dengan atrium kanan. Sel-sel
dalam nodus SA secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls dengan frekuensi 60 – 100
x/menit
Nodus AV.
Terletak di atas sinus koronarius pada dinding posterior atrium kanan. Sel-sel dalam nodus AV
mengeluarkan impuls lebih rendah dari nodus SA yaitu 40 – 60 x/menit
Berkas His.
Nodus AV kemudian menjadi Berkas His yang menembus jaringan pemisah miokardium atrium
dan miokardium ventrikel, selanjutnya berjalan pada septum ventrikel yang kemudian
bercabang dua menjadi berkas kanan (Right Bundle Branch = RBB) dan berkas kiri (Left Bundle
Branch = LBB). RBB dan LBB kemudian menuju endokardium ventrikel kanan dan kiri, berkas
tersebut bercabang menjadi serabut-serabut Purkinye.
Serabut Purkinye.
Serabut Purkinye mampu mengeluarkan impuls dengan frekuensi 20 -40 x/menit.

24
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 37. Sistem Konduksi Jantung

Perlengkapan EKG
EKG yang digunakan untuk latihan keterampilan adalah : Fx : 2111. Fukuda ME Japan
Ada 10 kabel dari EKG yang dihubungkan dengan pasien :
Empat macam kabel menghubungkan antara alat EKG dengan keempat anggota gerak, yaitu:
- Warna merah untuk tangan kanan
- Warna kuning untuk tangan kiri
- Warna hitam untuk kaki kanan
- Warna hijau untuk kaki kiri
Enam buah elektrode untuk precordial, menghubungkan daerah prekordial dengan alat EKG,
yaitu :
- Lead C1 warna putih / merah di V1
- Lead C2 warna putih / kuning di V2
- Lead C3 warna putih / hijau di V3
- Lead C 4 warna putih / coklat di V4
- Lead C 5 warna putih / hitam di V5
- Lead C 6 warna putih / ungu di V6

25
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Elektrokardiogram (EKG)
EKG adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik
jantung dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui elektroda-elektroda yang dipasang pada
permukaan tubuh. Kelainan tata listrik jantung akan menimbulkan kelainan gambar EKG. Sejak
Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung
berkontraksi, pemeriksaan EKG menjadi pemeriksaan diagnostik
yang penting. Saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap.
Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga,
jangan memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG
dan mengabaikan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

1). Sandapan – sandapan pada EKG.


Untuk memperoleh rekaman EKG, pada tubuh dilekatkan elektroda-elektroda yang dapat
meneruskan potensial listrik dari tubuh ke sebuah alat pencatat potensial yang disebut
elektrokardiograf. Pada rekaman EKG yang konvensional dipakai 10 buah elektroda, yaitu 4
buah elektroda Extremitas dan 6 buah elektroda Prekordial. Elektrodaelektroda ekstremitas
masing-masing dilekatkan pada lengan kanan, lengan kiri, tungkai kanan dan tungkai kiri.
Elektroda tungkai kanan selalu dihubungkan dengan bumi utnuk menjamin pontensial nol yang
stabil (Gambar 37).
Lokasi penetapan elektroda sangat penting diperhatikan , karena penetapan yang salah akan
menghasilkan pencatatan yang berbeda.Elektroda-elektroda prekordial diberi nama V1-V6
dengan lokalisasi sebagai berikut :(Gambar 38):
V1 : Garis Parasental kanan, pada interkostal IV
V2 : Garis pada Parasternal kiri, pada Interkostal IV,
V3 : Titik tengah antara V2 dan V4
V4 : Garis Klavikula-tengah, pada interkostal V,
V5 : Garis aksila depan, sama tinggi dengan V4,
V6 : Garis aksila tengah , sama tinggi dengan V4 dan V5
Kadang-kadang diperlukan elektroda-elektroda prekordial sebelah kanan, yang disebut
V3R, V4R, VSR dan V6R yang letaknya berseberangan dengan V3,V4,V5 dan V6.

26
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 38. Elektroda ekstremitas

Gambar 39. Elektroda Prekordial

2) Sandapan-sandapan Ekstremitas
Dari elektroda-elektroda ekstremitas didapatkan tiga sandapan, dengan rekaman potensial
bipolar, yaitu :
- Sandapan I = Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan tangan kiri (LA),
Dimana tangan kanan bermuatan negatif ( - ) dan tangan kiri bermuatan positif ( + )

- Sandapan II = Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan Kaki kiri (LF)
dimana tangan bermuatan negatif ( - ) dan kaki kiri bermuatan positif ( + ).

27
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

- Sandapan III = Merekanm beda potensial antara tagan kiri ( LA) dengan Kaki kiri ( LF ),
dimana tangan kanan bermuatan negatif ( - ) dan tangan kiri bermuatan positif ( + ).
Ketiga sandapan ini dapat digambarkan sebagai sebuah segita sama sisi, yang lazim disebut
segitiga EINTHOVEN.
Untuk mendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari sandapan I,II,III disebut terminal sentral
dan anggap berpontensial nol. Bila potensial dari suatu elektroda dibandingakan dengan
terminal sentral , maka didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan sandapan yang
diperoleh disebut sandapan unipolar.
Sandapan Unipolar Ekstrimitas yaitu :
 Sandapan aVR = Merekam potensial listrik pada tangan kanan ( RA), dimana tangan kanan
bermuatan positif ( +), tangan kiri dan kaki kiri membentuk elektroda Indiferen (potensial
nol).
 Sandapan aVL = Merekam potensial listrik pada tangan kiri (LA), dimana tangan kiri
bermuatan positif ( + ) ,tangan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda Indiferen
(potensial nol).
 Sandapan aVF = Merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF), dimana kaki kiri bermuatan
positif ( + ) ,tangan kanan dan tangan kiri membentuk elektroda Indiferen (potensial nol).
Sandapan Unipolar Prekordial yaitu :
Merekam besar potensial listrik jantung dengan bantuan elektroda yang ditempatkan
dibeberapa tempat dinding dada. Elektroda Indiferen diperoleh dengan menggabungkan ketiga
elektroda ekstrimitas. Sesuai dengan nama elektrodanya, sandapan-sandapan prekordial
disebut V1, V2, V3, V4, V5 dan V6.

3). Kertas EKG.


Kertas EKG merupakan kertas grafik yang terdiri dari garis horizontal dan verticaldengan jarak
1 mm (sering disebut sebagai kotak kecil). Garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5 mm
(disebut kotak besar). Perhatikan Gambar 39.
 Garis horizontal menggambarkan waktu, dimana 1 mm = 0.04detik, sedangkan 5 mm = 0.20
detik.
 Garis vertical menggambarkan voltase, dimana 1 mm = 0,1 milliVolt, sedangkan setiap 10
mm = 1 milliVolt.
Pada praktek sehari-hari perekaman dibuat dengan kecepatan 25 mm/detik. Pada awal
rekaman kita harus membuat kalibrasi 1 milliVolt yaitu sebuah atau lebih yang menimbulkan
defleksi 10 mm. Pada keadaan tertentu kalibrasi dapat diperbesar yang akan menimbulkan
defleksi 20 mm atau diperkecil yang akan menimbulkan defleksi 5 mm. Hal ini harus dicatat
pada saat perekaman EKG sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah bagi
pembacanya.
Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik disebut garis iso-elektrik. Defleksi yang
arahnya keatas disebut defleksi positif, yang kebawah disebut defleksi negatif.

28
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 40. Rekaman EKG Normal

29
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

NO LANGKAH KLINIK KASUS


a. Melakukan persiapan alat antara lain : 1 2 3
1 Alat EKG lengkap dan siap pakai
2. Kapas alkohol dalam tempatnya
3. Kapas / kasa lembab

b. Mempersiapkan pasien
1. Memberikan penjelasan pemeriksaan kepada pasien/keluarga
2. Pasien berbaring terlentang

c. Urutan perekaman EKG


1. Melakukan cuci tangan
2. Membuka dan melonggarkan pakaian pasien bagian atas. Bila
memakai jam tangan, gelang dan logam lain dilepas.
3. Membersihkan kotoran dan lemak menggunakan kapas pada
daerah dada, kedua pergelangan tangan dan kedua tungkai di
lokasi pemasangan manset elektroda.
4. Mengoleskan jelly EKG pada permukaan elektroda. Bila tidak
ada jelly, gunakan kapas basah.
5. Memasang manset elektroda pada kedua pergelangan tangan
dan kedua tungkai.
6. Memasang arde
7. Menghidupkan monitor EKG
8. Menyambung kabel EKG pada kedua pergelangan tangan dan
kedua tungkai pasien, untuk rekam ekstremitas lead (lead I, II,
III, aVR, aVF, AVL) dengan cara sebagai berikut :
a. Warna merah pada tangan kanan
b. Warna kuning pada tangan kiri
c. Warna hijau pada kaki kiri
d. Warna hitam pada kaki kanan
9. Memasang elektroda dada untuk rekaman precordial lead :
 Sela iga ke 4 pada garis sternal kanan = V1
 Sela iga ke 4 pada garis sternal kiri = V2
 Terletak diantara V2 & V4 = V3
 Ruang iga ke 5 pada garis tengah klavikula kiri = V4
 Garis aksila depan sejajar dengan V4 = V5
 Garis aksila tengah sejajar dengan V4 = V6
 Garis aksila belakang sejajar dengan V4 = V7
 Garis skapula belakang sejajar dengan V4 = V8
 Batas kiri dari kolumna vertebra sejajar dengan V4 = V9
 Lokasi sama dengan V4 tetapi pada sebelah kanan = V4R
 V7  V4R kadang diperlukan
Pada umumnya perekaman hanya 12 lead yaitu lead I, II, III,

30
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

aVR, aVF, aVL, V1-V6.


10. Melakukan kalibrasi 10 mm dengan keadaan 25 mm/volt/detik.
11. Membuat rekaman secara berurutan sesuai dengan pilihan lead
yang terdapat pada mesin EKG.
12. Melakukan kalibrasi kembali setelah perekaman selesai
13. Memberi identitas pasien hasil rekaman : nama, umur, tanggal
dan jam rekaman serta nomor lead dan nama pembuat rekaman
EKG.
14. Merapikan alat-alat
15. Melakukan cuci tangan kembali

DAFTAR TILIK

31
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

KETERAMPILAN PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

A. MELAKUKAN REKAMAN EKG

NO ASPEK YANG DINILAI SkOR


a. Kriteria persiapan alat 1 2 3
1 Alat EKG lengkap dan siap pakai
2. Kapas alkohol dalam tempatnya
3. Kapas / kasa lembab

b. Persiapan pasien
1. Memberikan penjelasan pemeriksaan kepada pasien/keluarga
2. Pasien berbaring terlentang

c. Kriteria pelaksanaan
1. Cuci tangan
2. Membuka dan melonggarkan pakaian pasien bagian atas. Bila
memakai jam tangan, gelang dan logam lain dilepas.
3. Membersihkan kotoran dan lemak menggunakan kapas pada
daerah dada, kedua pergelangan tangan dan kedua tungkai di
lokasi pemasangan manset elektroda.
4. Mengoleskan jelly EKG pada permukaan elektroda. Bila tidak
ada jelly, gunakan kapas basah.
5. Memasang manset elektroda pada kedua pergelangan tangan
dan kedua tungkai.
6. Memasang arde
7. Menghidupkan monitor EKG
8. Menyambung kabel EKG pada kedua pergelangan tangan dan
kedua tungkai pasien, untuk rekam ekstremitas lead (lead I, II,
III, aVR, aVF, AVL) dengan cara sebagai berikut :
a. Warna merah pada tangan kanan
b. Warna kuning pada tangan kiri
c. Warna hijau pada kaki kiri
d. Warna hitam pada kaki kanan
9. Memasang elektroda dada untuk rekaman precordial lead :
 Sela iga ke 4 pada garis sternal kanan = V1
 Sela iga pada garis sternal kiri = V2
 Terletak diantara V2 & V4 = V3
 Ruang iga ke 5 pada garis tengah klavikula kiri = V4
 Garis aksila depan sejajar dengan V4 = V5
 Garis aksila tengah sejajar dengan V4 = V6
 Garis aksila belakang sejajar dengan V4 = V7
 Garis skapula belakang sejajar dengan V4 = V8
 Batas kiri dari kolumna vertebra sejajar dengan V4 = V9
 Lokasi sama dengan V4 tetapi pada sebelah kanan = V4R

32
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

 V7  V4R kadang diperlukan


Pada umumnya perekaman hanya 12 lead yaitu lead I, II, III,
aVR, aVF, aVL, V1-V6.
10. Melakukan kalibrasi 10 mm dengan keadaan 25 mm/volt/detik.
11. Membuat rekaman secara berurutan sesuai dengan pilihan lead
yang terdapat pada mesin EKG.
12. Melakukan kalibrasi kembali setelah perekaman selesai
13. Memberi identitas pasien hasil rekaman : nama, umur, tanggal
dan jam rekaman serta nomor lead dan nama pembuat rekaman
EKG.
14. Merapikan alat-alat
15. Cuci tangan
JUMLAH

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Jumlah
Nilai = ------------------------ x 100% = ...............%
15

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

......................................

33
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SERI 5
INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI

SISTEM KARDIOVASKULAR

Skills Lab. Sistem Kardiovaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020
INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI

34
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Pengertian
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan noninvasif paling sering digunakan
sebagai alat bantu diagnosis penyakit jantung. Alat ini sudah lama ditemukan, murah dan aman
digunakan tetapi peranannya sekarang belum dapat digantikan oleh alat lain.
Berbagai keadaan jantung dapat dideteksi dengan tepat oleh alat ini, baik kelainan berupa
kelainan elektris (mis. Aritmia), kelainan anatomis (mis. Hipertropi atrium dan ventrikel),
maupun kelainan lain (mis. Perikarditis).
Untuk pemeriksaan secara rutin biasanya dilakukan pengambilan 12 sandapan (lead) yaitu I,
II, III, aVR, AVL, aVF, v1-6. Tetapi kadang-kadang dilakukan cara lain untuk keperluan tertentu,
mis. Monitor terus menerus (24 jam sehari) yang digunakan untuk mendeteksi adanya
perubahan-perubahan di jantung penderita dalam keadaan darurat (mis. Di ICCU dan bedah
jantung). Untuk mengetahui perubahan EKG pada kegiatan sehari-hari dilakukan rekaman
secara terus menrus dengan alat monitor holter. Serial EKG untuk jangka waktu tertentu dapat
untuk menegakkan diagnosis infark miokard akut secara pasti. Untuk lebih memastikan apakah
seseorang menderita penyakit jantung koroner atau tidak sering dilakukan uji latih jantung.
Penemuan yang terbaru dari Echokardiografi yang jauh lebih canggih dan mahal ternyata
peranannya tidak dapat menggantikan alat EKG yang jauh lebih sederhana. Dengan
menggabungkan kedua alat tersebut maka hasilnya sangat memuaskan.
Yang harus disadari adalah bahwa EKG merupakan suatu test laboratorium, bukan
merupakan alat diagnosis yang mutlak.Pasien yang menderita penyakit jantung bisa mempunyai
gambaran EKG normal, sedangkan orang sehat dapat mempunyai gambaran abnormal.

Indikasi :
Pemeriksaan Elektrokardiografi dilakukan untuk mengetahui :
7. Kelainan irama jantung
8. Kelainan miokard seperti infark
9. Pengaruh obat-obat jantung terutama digitalis
10. Gangguan elektrolit
11. Perikarditis
12. Pembesaran jantung

35
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

INTERPRETASI EKG
Kurva EKG menggambarkan proses listrik yang terjadi pada atrium dan ventrikel.
Proses listrik ini terdiri dari :
- Depolarisasi Atrium
- Repolarisasi Atrium
- Depolarisasi Ventrikel
- Repolarisasi Ventrikel
Sesuai dengan proses listrik jantung, setiap hantaran pada EKG normal memperlihatkan 3
proses listrik yaitu depolarisasi atrium, depolarisasi ventrikel dan repolarisasi ventrikel.
Repolarisasi atrium umumnya tidak terlihat pada EKG, karena disamping intensitasnya kecil
juga repolarisasi atrium waktunya bersamaan dengan depolarisasi ventrikel yang mempunyai
intensitas yang jauh lebih besar.
EKG normal terdiri dari gelombang P, Q, R, S dan T serta kadang terlihat gelombang U (Gambar
40.). Selain itu juga ada beberapa interval dan segmen EKG.

Gelombang P (Gambar 40 dan 41.)


Gelombang P merupakan gambaran proses depolarisasi atrium dari pemacu jantung fisiologi
nodus SA atau dari atrium. Gelombang P bisa positif, negatif, atau bifasik, atau bentuk lain yang
khas.
Gelombang P yang normal :
- Lebar kurang dari 0.12 detik
- Tinggi kurang dari 0.3 milliVolt
- Selalu positif di lead II
- Selalu negatif di aVR

Gambar 41. Variasi Gelombang P

Gelombang QRS (Gambar 42.)

36
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel, terdiri dari gelombang Q, gelombang R dan
gelombang S. Gelombang QRS yang normal :
 Lebar 0.06 – 0.12 detik
 Tinggi tergantung lead
Gelombang Q adalah defleksi negatif pertama pada gelombang QRS. Gelombang Q yang normal :
 Lebar kurang dari 0.04 detik
 Tinggi / dalamnya kurang dari 1/3 tinggi R
Gelombang R adalah defleksi positif pertama gelombang QRS. Geombang R umumnya positif di
lead II, V5 dan V6. Di lead aVR , V1 dan V2 biasanya hanya kecil atau tidak ada sama sekali.
Gelombang S adalah defleksi negatif sesudah gelombang R. Di lead aVR dan V1 gelombang S
terlihat dalam dan di V2 ke V6 akan terlihat makin lama makin menghilang atau berkurang
dalamnya.

Gambar 41. Variasi kompleks QRS

37
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gelombang T (Gambar 42)


Merupakan gambaran proses repolarisasi ventrikel. Umumnya gelombang T positif di lead I, II,
V3 – V6 dan terbalik di aVR.

Gambar 42. Variasi gelombang T

Gelombang U.
Adalah gelombang yang timbul setelah gelombang T dan sebelum gelombang P berikutnya.
Penyebab timbulnya gelombang U masih belum diketahui, namun diduga akibat repolarisasi
lembat sistem konduksi interventrikel.

Gambar 43. Gelombang U

Interval PR.
Interval PR diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan gelombang QRS. Nilai
normal berkisar antara 0.12 – 0.20 detik. Ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
depolarisasi atrium dan jalannya impuls melalui berkas His sampai permulaan depolarisasi
ventrikel.

38
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Segmen ST (Gambar 4.)


Segmen ST diukur dari akhir gelombang S sampai awal gelombang T. Segmen ini normalnya
isoelektris, tetapi pada lead prekordial dapat bervariasi dari -0.05 sampai +2 mm. Segmen ST
yang naik disebut ST elevasi dan yang turun disebut ST depresi.

Gambar 44. Segmen ST

Gambar 45. Diagnosis Differensial Segment ST

PENUNTUN BELAJAR
PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

39
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 2 3
1 Melihat hasil rekaman EKG dengan memperhatikan identitas
pasien.
2. Menentukan apakah rekaman ini sudah sesuai dengan standar
dan layak diinterpretasi.
3. Melakukan penilaian secara sistematis yaitu :
a. Menentukan irama jantung dan pembuluh darah
Sinus/Bukan Sinus
b. Menetapkan frekuensi jantung
Reguler/Irreguler
c. Menentukan Arah aksis (sumbu) elektris jantung
Normal
LAD
RAD
d. Menentukan bentuk gelombang P
- Normal
- LAH / RAH
e. Hitung PR Interval
f. Menentukan bentuk gelombang QRS
Gelombang Q : -Normal/Patologis
Hitung QRS Interval
Tentukan RVH/ LVH
f. Menentukan posisi segment ST
Isoelektrik
Elevasi / Depresi
g. Menentukan bentuk gelombang T
Normal
Inversi / Flat
h. Menentukan bentuk gelombang U
4. Melakukan interpretasi EKG secara keseluruhan
5. Menyerahkan hasil rekaman EKG kepada yang berkepentingan.

40
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 2 3
1 Melihat hasil rekaman EKG dengan memperhatikan identitas
pasien.
2. Menentukan apakah rekaman ini sudah sesuai dengan standar
dan layak diinterpretasi.
3. Melakukan penilaian secara sistematis yaitu :
a. Menentukan irama jantung dan pembuluh darah
Sinus/Bukan Sinus
b. Menetapkan frekuensi jantung
Reguler/Irreguler
c. Menentukan Arah aksis (sumbu) elektris jantung
Normal
LAD
RAD
d. Menentukan bentuk gelombang P
- Normal
- LAH / RAH
g. Hitung PR Interval
h. Menentukan bentuk gelombang QRS
Gelombang Q : -Normal/Patologis
Hitung QRS Interval
Tentukan RVH/ LVH
f. Menentukan posisi segment ST
Isoelektrik
Elevasi / Depresi
g. Menentukan bentuk gelombang T
Normal
Inversi / Flat
h. Menentukan bentuk gelombang U
4. Melakukan interpretasi EKG secara keseluruhan
5. Menyerahkan hasil rekaman EKG kepada yang berkepentingan.

41
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

A. MELAKUKAN REKAMAN EKG

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Jumlah
Nilai = ------------------------ x 100% = ...............%
5

Makassar, ..........................2020

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

......................................

42
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SERI 6

PEMERIKSAAN VASKULAR

SISTEM KARDIOVASKULER

Skills Lab. Sistem Kardiovaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020

43
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PEMERIKSAAN VASKULAR

VASKULAR
Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang kontinu
sertaterbagi menjadi sirkuit pulmonal dan sistemik. Sirkuit pulmonal menghantarkan darah dari
jantung ke paru, di mana darah dioksigenasi dan kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi
sistemik, atau sistem vaskular perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan kapiler, dimana
sistem ini membawa darah dari jantung ke seluruh organ dan jaringan lain dan kemudian
membawa darah kembali ke jantung.

Arteri
Jantung memompa darah baru yang telah teroksigenasi melalui arteri, arteriol, dan
bantalan kapiler menuju seluruh organ dan jaringan. Arteri tersusun atas otot polos yang tebal
dan serat elastis. Serat yang kontraktil dan elastis membantu menahan tekanan yang dihasilkan
saat jantung mendorong darah menuju sirkulasi sistemik. Arteri utama/mayor dari sirkulasi
sistemik meliputi aorta, karotis, subklavia dan iliaka Aorta melengkung membentuk seperti
busur di belakang jantung dan turun ke bawah hingga pertengahan tubuh. Arteri lain
merupakan cabang dari aorta dan mengalirkan darah menuju kepala, leher dan organ-oragan
utama di dalam abdomen. Arteri karotis bergerak naik di dalam leher dan mengalirkan darah ke
organ di dalam kepala dan leher, termasuk otak. Arteri subklavia mengalirkan darah menuju
lengan, dinding dada, bahu, punggung, dan sistem saraf pusat. Arteri iliaka mengalirkan darah
menuju pelvis dan kaki.

Gambar 46. Arteri‐arteri utama sistem sirkulsi

Arteri-arteri di Lengan

44
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia menjadi arteri aksilaris.
Arteri aksilaris kemudian menyebrangi aksila dan menjadi arteri brakhialis, yang terletak di
dalam lekukan/sulkus bisep-trisep pada lengan atas. Arteri brakhialis mengalirkan sebagian
besar darah menuju lengan. Pada fosa kubiti (yaitu lipatan siku), arteri brakhialis bercabang
menjadi arteri radialis dan arteri, yang meluas ke lengan bawah dan, selanjutnya bercabang
menjadi arkus palmaris yang mengalirkan darah ke telapak tangan.

Gambar 47. Arteri‐arteri pada lengan

Arteri-arteri di Kaki
Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi arteri femoralis, yang bergerak
turun di sebelah anterior paha. Arteri femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha
dalam. Pada bagian bawah paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri
poplitea. Di bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan tibialis
posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah depan dari kaki bagian bawah menuju bagian
dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis. Arteri tibialis posterior
bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah dan bercabang menjadi arteri plantaris
di dalam telapak kaki bagian bawah.

45
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 48. Arteri‐arteri pada kaki

VENA
S
istem vena pada tungkai terdiri dari komponen vena superfisialis, vena profunda, vv
komunikans (perforantes). Sistem superfisialis sendiri terdiri dari vena safena magna dan vena
safena parva.Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki
predisposisiterjadinya varises yang membutuhkan pembedahan.
Vena safena magna merupakan vena terpanjang di tubuh, mulai dari kaki sampai ke
fossa ovalis dan mengalirkan darah dari bagian medial kaki serta kulit sisi medial
tungkai.Vena ini merupakan vena yang paling sering menderita varises vena tungkai.Vena
safena magna keluar dari ujung medial jaringan vena dorsalis pedis. Vena ini berjalan di
sebelah anterior maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan
nervus safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut dan
kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha. Pembuluh ini menembus

46
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis pada hiatus safenus.Bagian terminal v.safena
magna biasanya mendapat percabangan superfisialis dari genitalia eksterna dan dinding
bawah abdomen.Dalam pembedahan, hal ini bisa membantu membedakan v.safena dari
femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir ke v.femoralis adalah v.safena. Cabang-
cabang femoralis anteromedial dan posterolateral(lateral aksesorius), dari aspek medial dan
lateral paha, kadang-kadang juga mengalir ke v.safena magna di bawah hiatus safenus.
Vena safena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di beberapa tempat
melalui vena perforantes (penghubung). Vena perforantes (penghubung) adalah vena yang
menghubungkan vena superfisial ke vena profunda, yaitu dengan cara langsung menembus
fasia (direct communicating vein). Vena ini mempunyai katup yang mengarahkan aliran darah
dari vena superfisial ke vena profunda. Bila katup ini tidak berfungsi (mengalami kegagalan)
maka aliran darah akan terbalik sehingga tekanan vena superfisial makin tinggi dan varises
dengan mudah akan terbentuk. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di bawah maleolus
medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah lutut, dan satu hubungan panjang
pada paha bawah.Katup-katup pada perforator mengarah ke dalam sehingga darah mengalir
dari sistem superfisialis ke sistem profunda dari mana kemudian darah dipompa keatas
dibantu oleh kontraksi otot betis. Akibatnya sistem profunda memiliki tekanan yang lebih
tinggi daripada superfisialis, sehingga bila katup perforator mengalami kerusakan, tekanan
yang meningkat diteruskan ke sistem superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem ini.
Vena safena parva terletak di antara tendo Achilles dan maleolus lateralis.Vena safena
parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini melewati bagian belakang
maleolus lateralis dan di atas bagian belakang betis kemudian menembus fasia profunda pada
berbagai posisi untuk mengalir ke v.poplitea.Vena-vena profunda pada betis adalah
v.komitans dari arteri tibialis anterior dan arteri tibialis posterior yang melanjutkan sebagai
vena poplitea dan vena femoralis. Vena profunda ini membentuk jaringan luas dalam
kompartemen posterior betis pleksus soleal dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan
gaya gravitasi oleh otot saat olahraga.

47
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

A. VENA VARIKOSA
Varises ( vena varikosa ) adalah pelebaran dari vena superfisial yang menonjol
dan berliku-liku pada ekstremitas bawah, sering pada distribusi anatomis dari vena
safena magna dan parva.meskipun demikian, hanya beberapa orang saja yang
berobat. Penyakit ini menimbulkan rasa sakit yang bermacam-macam dan tidak
semua perawatan dapat diterapkan pada varises. Rata-rata pasien bermasalah
dengan kecantikan (kosmetik) mereka, sementara yang lainnya bermasalah dengan
gejala-gejala seperti, kaki yang sakit, pruritus, dan eksema.
Varises vena tungkai lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, hal ini
sering dikaitkan dengan kehamilan danfaktor hormonal. Prevalensi varises vena
tungkai di Inggris pada usia 18 – 64 tahun adalah 40% pada pria dan 32% pada
wanita. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 15% ( berkisar dari 7 % menjadi 40
% ) pada pria dan 27,7% ( 25 % sampai 32 % ) pada wanita.

48
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstrinsik yaitu faktor
lingkungan bergabung menciptakan spektrum yang luas dari penyakit vena.Penyebab
terbanyak dari varises vena adalah oleh karena peningkatan tekanan vena superfisialis, namun
pada beberapa penderita pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah
terjadi kelenahan pada dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya peningkatan
tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi abnormal vena di lengan dan tangan.
Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dalam vena hal ini akan menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup
vena sekunder dalam sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan
vena superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi perpindahan
tekanan tinggi dalam vena dalam ke sistem vena superfisialis dan kondisi ini secara progresif
menjadi irreversibel dalam waktu singkat.
Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena tungkai, hal ini
dikarenakan pada wanita secara periodik terjadi distensi dinding dan katup vena akibat
pengaruh peningkatan hormon progrestron.Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita
varises karena pengaruh faktor hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan
kehamilan. Hormon ini akan meningkatkan kemampuan distensi dinding vena dan
melunakkan daun katup vena. Pada saat bersaan, vena harus mengakomodasikan peningkatan
volume darah sirkulasi.Pada akhir kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat dari
uterus yang membesar. Penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan
hipertensi vena dan distensi vena tungkai sekunder. Berdasarkan mekanisme tersebut varises
vena pada kehamilan mungkin akan menghilang setelah proses kelahiran. Pengobatan pada
varises yang sudah ada sebelum kehamilan akan menekan pembentukan varises pada vena
yang lain selama kehamilan.
Varises tungkai terdiri dari varises primer dan varises sekunder. Varises primer terjadi
jika katup system vena superfisial (v.saphena magna, v.saphena parva dan vv.perforantes)
gagal menutup sebagaimana mestinya, sehingga akan terjadi refluks kearah bawah dan terjadi
dilatasi vena yang kronis, sedangkan v.profunda masih normal. Varises sekunder terjadi
akibat sistem v.profunda mengalami thrombosis / tromboflebitis, sumbatan vena profunda
karena tumor / trauma atau adanya fistula arterovenosa, yang semula keadaan katupnya
normal selanjutnya terjadi kompensasi pelebaran pada vena superfisial.
Secara klinis varises tungkai dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Varises trunkal
Merupakan varises v.saphena magna dan v.saphena parva, diameter lebih dari 8 mm,
warna biru - biru kehijauan.
2. Varises retikuler
Varises yang mengenai cabang v.saphena magna atau v.saphena parva yang umumnya
kecil dan berkelok-kelok, diameter 2 - 8 mm. warna biru - biru kehijauan.
3. ̨ Varises kapiler
Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh
darah, diameter 0,1 – 1 mm, warna merah, atau sianotik (jarang).

49
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic,


Pathophysiologic (CEAP) varises vena tungkai dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi
klinisnya, yaitu :
1. Derajat 0 : Tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena
2. Derajat 1 : Telangiektasis, Vena retrikuler
3. Derajat 2 : Varises Vena
4. Derajat 3 : Edem tanpa perubahan kulit
5. Derajat 4 : Perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis statis,
lipodermatoskelrosis)
6. Derajat 5 : Perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah sembuh
7. Derajat 6 : Perubahan kulit seperti diatas dengan ulkus aktif

15
Gambar 3.Klasifikasi CEAP derajat 1, vena retikular

15
Gambar 4.Klasifikasi CEAP derajat 1, telangiektasis

50
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 5.Klasifikasi CEAP derajat 2, varises vena

Berdasarkan dengan berat ringannya, varises vena tungkai dibagi atas empat stadium, yaitu :
1. 1)  Stadium I
Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah berdiri atau
duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tak jelas
2. 2)  Stadium II
Mulai tampak pelebaran vena, palpebel, dan menonjol
3. 3)  Stadium III
Varises tampak jelas, memanjang, berkelok-kelok pada paha atau tungkai bawah.
Dapat disertai telangiektasis/spider vein
4. 4)  Stadium IV
Terjadi kelainan kulit dan atau ulkus karena sindrom insufisiensi vena menahun

B. TROMBOSIS VENA DALAM


Penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan trombosis yaitu proses
pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam (TVD)
adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena
inflamasi /trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Penyebab utama
trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok faktor pendukung yang dianggap
berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai TRIAS VIRCHOW yaitu
abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen factor koagulasi. Standar
baku emas untuk diagnosis TVD adalah venografi intarvena, di mana bahan kontras
diinjeksikan pada vena kemudian difoto rontgen untuk melihat di mana terdapat obstruksi
vena. Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan. Diagnosis yang didasarkan pada
temuan fisik saja tidak dapt diandalkan, sedangkan untuk penatalaksanaan TVD secara
optimal, perlu diagnosis yang obyektif. Guna mempermudah pendekatan diagnosis,
digunakan sistem skoring untuk menentukan besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta
pemeriksaan laboratorium, Compression ultrasonography, dan venografi, yang dijadikan bukti
diagnosis obyektif.

51
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Istilah penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan thrombosis yaitu


proses pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam
(TVD) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder/vena dalam oleh karena
inflamasi /trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Trombosis Vena Dalam
(TVD) menyerang pembuluh-pembuluh darah sistem vena dalam. Serangan awalnya disebut
trombosis vena dalam akut.

Trombosis vena dalam

Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok factor
pendukung yang dianggap berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai
TRIAS VIRCHOW yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen
factor koagulasi.
Stasis aliran darah vena, terjadi bila aliran darah melambat, seperti pada gagal jantung atau
syok; ketika vena berdilatasi, sebagai akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot skeletal
berkurang, seperti pada istirahat lama, paralisis ekstremitas atau anastesi. Hal-hal tersebut
menghilangkan pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi dan pengumpulan
darah di ekstremitas bawah. TVD pada penderita stroke terjadi pada tungkai yang mengalami
paralisis. Cedera dinding pembuluh darah, diketahui dapat mengawali pembentukan trombus.
Penyebabnya adalah trauma langsung pada pembuluh darah, seperti fraktur dan cedera
jaringan lunak, dan infus intravena atau substansi yang mengiritasi, seperti kalium klorida,
kemoterapi, atau antibiotik dosis tinggi. Hiperkoagubilitas Keseimbangan antara faktor
koagulasi alamiah, fibrinolisis serta inhibitornya berfungsi mempertahankan keseimbangan
hemostasis normal. Hiperkoagulabilitas darah, terjadi paling sering pada pasien dengan
penghentian obat antikoagulan secara mendadak, penggunaan kontrasepsi oral dan sulih
hormon estrogen dan kanker terutama jenis adenokarsinoma dapat mengaktifkan faktor
pembekuan sehingga meningkatkan risiko TVD
TVD kadang terjadi pada vena yang normal, namun demikian faktor risiko yang dapat
menyebabkan TVD adalah:

52
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

WELLS SCORE untuk kecurigaan thrombosis vena dalam

53
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

MELAKUKAN PEMERIKSAAN VASKULAR

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 2 3
1. Ucapakan Salam dan memperkenalkan diri
2. Menjelaskan tentang prosedur dan meminta persetujuan pasien
3. Cuci tangan rutin
4. Inspeksi umum
a. Pastikan pasien dalam posisi nyaman
b. Lihat sekitar apakah ada alat bantu, obat-obatan, atau
rokok yang dibawa
c. Lihat apakah ada bekas luka atau bekas operasi
d. Lihat apakah ada sianosis atau pucat pada ekstremitas
5. Ekstremitas Atas
a. Inspeksi apakah ada sianosis atau pucat, tar staining,
gangrene
b. Palpasi tangan untuk menentukan apakah akral hangat
dingin, mengukur capillary refill time
c. Pemeriksaan nadi
- Arteri radialis : hitung nadi, tentukan irama,
apakah terdapat radial-radial delay
- Arteri brachialis : tentukan nadi dan volume
- Arteri carotis : periksa apakah ada bruit
6. Abdomen
a. Inspeksi apakah tampak pulsasi arteri abdominalis
b. Palpasi apakah ada massa atau aneurisma
c. Auskultasi untuk memeriksa bruit
7. Ekstremitas Bawah
a. Inspeksi bandingkan antara kedua
kaki, periksa apakah ada luka, hair loss, perubahan warna,
apakah ada bekas amputadi, ulkus, muscel wasting
b. Menilai motorik kasar dengan meminta
pasien untuk menggerakkan jari-jarinya
c. Palpasi kedua kaki, apakah akral
hangat atau dingin, tentukan capillary refill time
d. Periksa nadi :
- A. Femoralis : baiknya dipalapsi pada mid
inguinal (terletak pada pertengahan antara anterior
superior iliac spine dan symphisis pubis), tntukan
volume, apakah terdapat radio-femoral delay, auskultasi
untuk memeriksa ada bruit
- A. Popliteal : baiknya dipalpasi pada fossa

54
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

poplite bagian inferior (posisikan pasien 450, letakkan


ibu jari pada tibial tuberosity, lingkarkan jari pada fossa
poplitea untuk menekan arteri poplitea), auskultasi
untuk mendeteksi bruit
- A. Tibialis posterior : baiknya dipalpasi pada
posterior dari malleolus medialis
- A. Dorsalis pedis : baiknya dipalpasi pada
dorsum kaki (lateral dari tendon extensor hallucis
longus),
8. Pemeriksaan Sensoris
a. Berikan rangsangan halus (mis : kapas)
mulai dari distal, tentukan lokasi parestesi
9. Buerger’s test
a. Posisikan pasien dalam posisi supine
b. Berdiri pada samping tempat tidur, elevasikan kaki pasien
450 selama 2-3 menit :
- Nilai apakah ada perubahan warna (pucat)
- Normalnya tidak terdapat perubahan warna
meskipun dalam posisi 900
10. Reactive hyperaemia test
Posisikan kaki pasien di samping tempat tidur, lihat apakah ada
reactive hyperaemia (dimana perubahn warna kaki dari pink
kemudian berubah warna menjadi merah karena adanya
dilatasi arteri)
11. Uji Brodie Trendelenburg
a. Posisikan pasien dalam posisi supine
b. Elevasikan tungkai dengan posisi 450
c. Setelah itu dipasang ikatan (torniket)
dibawah percabangan saphenofemoral untuk membendung
vena superfisial setinggi mungkin
d. Pasien disuruh berdiri dan perhatikan
pengisian vena
e. Normalnya pengisian lambat ke
proksimal, tetapi bila terjadi pengisian cepat dalam 30 detik
pada distal torniket berarti terdapat insufisiensi katup
komunikans
f. Apabila pada saat torniket dilepas,
darah akan mengisi dan mengalir cepat dari atas ke vena
superfisial, artinya katup vena superfisial inkompeten
12. Uji Perthes
a. Sebuah torniket dipasang pada pertengahan betis dalam
posisi berdiri

55
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

b. Pasien disuruh berjalan 1 menit


c. Apabila vena varikosa menghilang setelah 5 menit berjalan,
artinya vena dalam dan vena perforator kompeten
d. Apabila pembuluh darah tidak mampu mengosongkan diri
namun justru nyeri dan distensi saat berjalan, artinya terjadi
inkompetensi
13. Ankle brachial index

a. Brachialis
- Pasang manset pada lengan pasien
- Palpasi arteri brachialis
- Kempeskan manset perlahan (pada kecepatan 2-
3 mmHg per detik) sampai teraba pulsasi, dan catat
“tekanan brachial” ini.
- Ulangi prosedur yang sama pada lengan yang
lainnya.

b. Ankle
- Tempatkan manset di betis di atas maleolus
pasien, pastikan bahwa setiap ulkus yang ada di daerah
ini sudah dibalut.
- Palpasi denyut arteri dorsalis pedis (di antara
tulang metatarsal satu dan dua) atau denyut arteri
tibialis anterior (di titik tengah di antara maleolus).
- lalu kembangkan manset hingga sinyal tersebut
menghilang.
- Kembangkangkan manset hingga teraba pulsasi
Catat tekanan arteri dorsalis pedis (DP) atau tibialis
anterior (TA) seperti ketika mencatat tekanan
brachialis.

14. c. Hasil
ABI (kiri/kanan) = Tekanan sistolik Tibialis (kiri/kanan)
Tekanan arteri brachilais (kiri/kanan)
15. Ucapkan terima kasih
16. Cuci tangan rutin

56
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN VASKULAR

NO LANGKAH KLINIK KASUS


1 2 3
1. Ucapakan Salam dan memperkenalkan diri
2. Menjelaskan tentang prosedur dan meminta persetujuan
pasien
3. Cuci tangan rutin
4. Inspeksi umum
e. Pastikan pasien dalam posisi nyaman
f. Lihat sekitar apakah ada alat bantu, obat-obatan, atau
rokok yang dibawa
g. Lihat apakah ada bekas luka atau bekas operasi
h. Lihat apakah ada sianosis atau pucat pada ekstremitas
5. Ekstremitas Atas
d. Inspeksi apakah ada sianosis atau pucat, tar staining,
gangrene
e. Palpasi tangan untuk menentukan apakah akral hangat
dingin, mengukur capillary refill time
f. Pemeriksaan nadi
- Arteri radialis : hitung nadi, tentukan irama,
apakah terdapat radial-radial delay
- Arteri brachialis : tentukan nadi dan volume
- Arteri carotis : periksa apakah ada bruit
6. Abdomen
d. Inspeksi apakah tampak pulsasi arteri abdominalis
e. Palpasi apakah ada massa atau aneurisma
f. Auskultasi untuk memeriksa bruit
7. Ekstremitas Bawah
a. Inspeksi bandingkan antara kedua
kaki, periksa apakah ada luka, hair loss, perubahan
warna, apakah ada bekas amputadi, ulkus, muscel
wasting
b. Menilai motorik kasar dengan
meminta pasien untuk menggerakkan jari-jarinya
c. Palpasi kedua kaki, apakah akral
hangat atau dingin, tentukan capillary refill time
d. Periksa nadi :
- A. Femoralis : baiknya dipalapsi pada mid
inguinal (terletak pada pertengahan antara anterior
superior iliac spine dan symphisis pubis), tntukan

57
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

volume, apakah terdapat radio-femoral delay,


auskultasi untuk memeriksa ada bruit
- A. Popliteal : baiknya dipalpasi pada fossa
poplite bagian inferior (posisikan pasien 45 0,
letakkan ibu jari pada tibial tuberosity, lingkarkan
jari pada fossa poplitea untuk menekan arteri
poplitea), auskultasi untuk mendeteksi bruit
- A. Tibialis posterior : baiknya dipalpasi pada
posterior dari malleolus medialis
- A. Dorsalis pedis : baiknya dipalpasi pada
dorsum kaki (lateral dari tendon extensor hallucis
longus),
8. Pemeriksaan Sensoris
a. Berikan rangsangan halus (mis :
kapas) mulai dari distal, tentukan lokasi parestesi
9. Buerger’s test
a. Posisikan pasien dalam posisi supine
b. Berdiri pada samping tempat tidur, elevasikan kaki
pasien 450 selama 2-3 menit :
- Nilai apakah ada perubahan warna (pucat)
- Normalnya tidak terdapat perubahan warna
meskipun dalam posisi 900
10. Reactive hyperaemia test
Posisikan kaki pasien di samping tempat tidur, lihat apakah
ada reactive hyperaemia (dimana perubahn warna kaki dari
pink kemudian berubah warna menjadi merah karena
adanya dilatasi arteri)
11. Uji Brodie Trendelenburg
a. Posisikan pasien dalam posisi
supine
b. Elevasikan tungkai dengan posisi
0
45
c. Setelah itu dipasang ikatan
(torniket) dibawah percabangan saphenofemoral untuk
membendung vena superfisial setinggi mungkin
d. Pasien disuruh berdiri dan
perhatikan pengisian vena
e. Normalnya pengisian lambat ke
proksimal, tetapi bila terjadi pengisian cepat dalam 30
detik pada distal torniket berarti terdapat insufisiensi
katup komunikans
f. Apabila pada saat torniket dilepas,
darah akan mengisi dan mengalir cepat dari atas ke

58
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

vena superfisial, artinya katup vena superfisial


inkompeten
12. Uji Perthes
a. Sebuah torniket dipasang pada pertengahan betis dalam
posisi berdiri
b. Pasien disuruh berjalan 1 menit
c. Apabila vena varikosa menghilang setelah 5 menit
berjalan, artinya vena dalam dan vena perforator
kompeten
d. Apabila pembuluh darah tidak mampu mengosongkan
diri namun justru nyeri dan distensi saat berjalan,
artinya terjadi inkompetensi
13. Ankle brachial index

a. Brachialis
- Pasang manset pada lengan pasien
- Palpasi arteri brachialis
- Kempeskan manset perlahan (pada
kecepatan 2-3 mmHg per detik) sampai teraba
pulsasi, dan catat “tekanan brachial” ini.
- Ulangi prosedur yang sama pada lengan
yang lainnya.

b. Ankle
- Tempatkan manset di betis di atas maleolus
pasien, pastikan bahwa setiap ulkus yang ada di
daerah ini sudah dibalut.
- Palpasi denyut arteri dorsalis pedis (di antara
tulang metatarsal satu dan dua) atau denyut arteri
tibialis anterior (di titik tengah di antara maleolus).
- lalu kembangkan manset hingga sinyal
tersebut menghilang.
- Kembangkangkan manset hingga teraba
pulsasi Catat tekanan arteri dorsalis pedis (DP) atau
tibialis anterior (TA) seperti ketika mencatat
tekanan brachialis.

14. a. Hasil
ABI (kiri/kanan) = Tekanan sistolik Tibialis (kiri/kanan)
Tekanan arteri brachilais
(kiri/kanan)
15. Ucapkan terima kasih
16. Cuci tangan rutin

Keterangan :

59
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Jumlah
Nilai = ---------------- x 100% = ...............%
30

Makassar, ..........................2020

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

......................................

60
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

SERI 7
CARDIORESPIRATORY ARREST

SISTEM KARDIOVASKULER

Skills Lab. Sistem Kardiovaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2020

61
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

CARDIORESPIRATORY ARREST

62
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Henti jantung adalah keadaan saat fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak hilang
dengan ditandai terjadinya henti jantung dan henti nafas. Brunner and Suddart mendefinisikan
henti jantung sebagai penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk
berkontraksi secara efektif. Dari American Heart Association dikatakan bahwa waktu kejadianya
tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu tanda dan gejala tampak.
Kejadian henti jantung terbanyak disebabkan oleh penyakit jantung iskemik dengan salah
satu komplikasi utamanya yaitu Ventrikel Takikardi (VT) dan Ventrikel Fibrilasi (VF).
Penybabnya atara lain disebabkan oleh Infark Myocard Acute (IMA), penebalan dinding jantung,
gagal jantung, miokarditis, dan trauma atau tamponade.
Terdapat tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada korban henti jantung yaitu
kehilangan kesadaran mendadak (collapse) akibat ketiadaan oksigen ke otak, pupil mata
berdilatasi dalam waktu 45 detik, dapat terjadi kejang, dan tanda henti jantung yang paling dapat
dipercaya adalah tidak ada denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar (pulsasi carotid). Tanda
awal yang dapat dinilai pada henti jantung adalah napasnya dangkal dan pendek (gasping) atau
bahakan tidak ada napas sama sekali dfan tidak teraba nadi karotis dalam 10 detik.

BASIC LIFE SUPPORT


Menurut AHA 2010 Basic Life Support adalah tindakan yang dilakukan untuk menolong korban
dalam keadaan henti jantung. Dimana bantuan hidup dasar merupakan serangkaian tindakan untuk
menolong korban henti jantung maupun henti nafas. Basic Life Support adalah tindakan pertama
yang dilakukan pada seseorang yang mengalami henti jantung. Aspek dasar pada bantuan hidup
dasar dimulai dari mengenali tanda-tanda seseorang mengalami henti jantung, mengaktifkan
Emergency Medical Service (EMS), melakukan resusitasi jantung paru, dan defibrilasi dengan
segera menggunakan Automated External Defibrilator (AED) pada korban.

A. Langkah-langkah Basic Life Support


American Heart Association dalam guidelines 2015 menyebutkan tahap-tahapan terkait BLS bagi
bystander adalah sebagai berikut:
1. Safety (Keamanan)
Memastikan bahwa penolong aman serta lingkungannya aman.

2. Merespon (Pengenalan Tanda Serangan Jantung)


Periksa napas dan denyut nadi pada korban, pemeriksaan denyut dan nafas bisa dilakukan secara
bersamaan penilaian dalam 10 detik. Kesadaran korban dapat diperiksa dengan memberikan
rangsangan verbal dan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan setelah lingkungan dianggap aman untuk
korban maupun penolong. Rangsangan verbal dilakukan untuk memanggil korban disertai dengan
menepuk bahunya.

3. Pengaktifan Emergency Call

63
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Aktifkan Emergency Medical Service (EMS) , penolong yang telah memastikan korban tidak
sadarkan diri, harus segera mengaktifkan atau memanggil bantuan EMS, untuk wilayah
Yogyakarta dapat menghubungi 118 dan disesuaikan wilayah kejadian karena setiap lokasi
memiliki kode emergency masing-masing. Data yang disampaikan adalah nama penolong, jumlah
pasien dan kondisinya, lokasi kejadian secara detail, serta diakhiri meminta intruksi dari EMS
serta meminta untuk pemberian AED.

4. Compression (kompresi)
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan
dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini
terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas. Resusitasi jantung paru dilakukan ketika
seseorang menghalami henti jantung atau cardiac arrest. Untuk memaksimalkan efektifitas
kompresi dada, posisi pasien dan penolong harus tepat. Pasien di tempatkan pada daerah yang
datar dan keras serta dengan posisi supinasi. Lutut penolong berada di samping dada korban.
Posisi tangan atau landmark untuk RJP adalah pada pertengahan dada korban, dua hingga tiga jari
diatas ujung tulang sternum, taju pedang. Tangan dominan dibawah dan kemudian tangan lainya
diatas punggung tangan dominan dengan posisi mengunci sehingga tangan tidak berpindah posisi.
Kompresi dilakukan dengan beban tekanan dari bahu dan posisi tangan tegak lurus dengan siku
tidak boleh menekuk (tegak lurus)

Tenaga kesehatan dalam hal ini harus melakukan resusitasi jantung dan paru yaitu kombinasi dari
kompresi dada dan bantuan terhadap pernafasan korban. Tenaga kesehatan harus menyediakan
“high quality CPR” atau resusitasi yang berkualitas tinggi kepada korban. (AHA,2015) Kriteria
resusitasi dilakukan dengan berkualitas (High Quality CPR) yaitu:
a) Kedalaman kompresi dada adalah 2 inci atau 5 cm- 6cm
b) Recoil atau pengembalian dinding dada sempurna
c) Meminimalkan interupsi dalam pemberian kompresi dada
d) Rasio pemberian kompresi dada dengan bantuan napas adalah 30 : 2
e) Kecepatan kompersi dada minimal 100 - 120 kali/ menit

5. Airway (jalan napas)


Tindakan membebaskan jalan napas ini dilakukan untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Sumbatan jalan nafas dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti lidah atau benda asing yang
terdapat dijalan nafas. Tindakan yang dapat dilakukan adalah head tilt chin lift digunakan untuk
pasien non trauma servikal (AHA, 2015).

Apabila korban dicurigai terdapat trauma servikal maka tindakan yang dilakukan adalah jaw
thrust maneuver (AHA, 2015). Benda asing tersebut diambil dengan tindakan cross finger untuk
membuka mulut dan finger sweap untuk membersihkanya dari dalam mulut.

6. Breathing (Pernapasan)

64
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Setiap bantuan nafas yang diberikan dalam waktu dalam waktu 1 detik pada panduan yang baru,
tindakan ini tidak harus dilakukan oleh masyarakat awam yang belum mendapatkan pelatihan atau
tidak percaya diri untuk melakukanya. Pemberian nafas bantuan harus cukup untuk meningkatkan
pengembangan dada korban. Pemberianya dapat dilakukan dengan cara mouth to mouth dan
mouth to barrier device breathing (AHA, 2013).
Bantuan nafas untuk korban henti nafas tanpa henti jantung adalah 10 – 12 kali/menit (bantuan
nafas setiap 5-6 detik) pada korban dewasa. Korban anak-anak dan bayi dilakukan sebanyak 12-
20 kali/menit ( 1 bantuan napas setiap 3-5 detik).

7. Recovery Position (Posisi pemulihan)


AHA (2010) menjelaskan bahwa recovery position dilakukan pada pasien tidak sadarkan diri
setelah pernafasanya normal dan sirkulasinya efektif. Posisi ini dibuat untuk menjaga patensi jalan
nafas dan menurunkan resiko obstruksi jalan nafas dan aspirasi.

Terdapat banyak variasi dalam melakukan posisi ini. Tidak ada posisi yang sempurna untuk
semua jenis korban. Posisi korban harus stabil tanpa penekanan pada dada serta kepala yang
menggantung. Tindakan ini dilakukan setelah melakukan BHD pada korban. Indikasi
pengehentian tindakan BHD adalah pasien meninggal, penolong kelelahan, atau bantuan datang.

65
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 1. Perbandingan Urutan atau langkah melakukan Basic Life Support (sumber: American
Heart Association Guidelines for CPR 2015)

DEFIBRILASI (DC SHOCK)


Defibrillator adalah peralatan elektronik yang dirancang untuk memberikan kejut listrik dengan waktu
yang relatif singkat dan intensitas yang tinggi kepada pasien penyakit jantung.

Hubungan antara arus listrik dan resusitasi digagas pertama kalinya pada tahun 1775. Peter
Christian Abildgard mengaplikasikan arus listrik dari sebuah kondensor yang disebut Leiden jar
kepada sejumlah ayam dan ayam-ayam tersebut kemudian jatuh dan mati. Lalu, arus syok listrik
kembali dapat menghidupkan ayam-ayam tersebut.

66
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Gambar 2. “Leiden jar”, Museum Boerhaave, Leiden, Belanda.

Kasus “defibrilasi” tertua yang pernah tercatat dikemukakan oleh Charles Kite pada tahun
1788. Ia menggambarkan sebuah kasus tentang seorang anak perempuan berusia 3 tahun yang
jatuh dari lantai dua sebuah gedung di tahun 1774 dan tetap terbaring di lantai dalam kondisi mati.
Seorang ahli farmasi, Mr. Squires dipanggil ke tempat kejadian dan mulai memberikan terapi
syok listrik ke berbagai bagian tubuhnya setelah memakai Leiden jar selama 20 menit; ketika ia
mengaplikasikan syok listrik ini ke bagian dada, anak tersebut mulai bernapas kembali dan
bangkit kembali setelah mengalami koma selama tiga hari. Meskipun demikian, syok listrik tidak
ditujukan untuk resusitasi primer, cara ini lebih dimaksudkan untuk menunjukkan dengan jelas
bahwa kematian telah terjadi tetapi masih berespons terhadap sensasi nyeri yang dicetuskan oleh
arus listrik. Oleh karena arus listrik yang tersimpan di dalam Leiden jar tidak cukup adekuat untuk
menyelenggarakan defibrilasi yang efektif, “resusitasi” model ini tidak dapat dihasilkan kembali
(not reproducible). Pada berbagai kasus, metode ini dengan cepat dilupakan lagi. Selain itu,
gambaran klinis yang diceritakan mungkin saja bukan merupakan kasus fibrilasi ventrikel, tetapi
cedera otak traumatik dengan skor Skala Koma Glasgow sebesar 6; jadi anak tersebut hanya
berespons terhadap rangsangan nyeri kuat dari syok listrik.
Pada tahun 1889, Prevost dan Batelli mampu menginduksi fibrilasi ventrikel pada jantung
anjing dengan menggunakan arus listrik searah yang diperkenalkan di Swiss untuk pencahayaan

67
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

dengan voltase arus searah sebesar 550 V, dengan memasukkan elektroda ke dalam rektum dan
kerongkongan. Mereka mencatat bahwa arus listrik ini (4800 V arus bolak-balik selama 1-2 detik)
juga mampu menghentikan fibrilasi ventrikel lagi.
Namun, baru pada awal tahun 1930-an, penelitian yang rinci tentang hal ini dilakukan
(secara langsung pada jantung anjing secara bedah terbuka). Setelah beberapa percobaan,
Kouwenhoven, Hooker dan Langworthy akhirnya menemukan bahwa arus listrik bolak-balik
(alternating current) sebesar 60 Hz memberikan hasil terbaik. Riset yang dilakukan oleh Wiggers
secara rinci memastikan efektivitas arus bolak-balik untuk tindakan defibrilasi pada fibrilasi
ventrikel.
Pada tahun 1936, Ferris dkk berhasil melakukan defibrilasi dengan menggunakan arus
bolak-balik untuk mengatasi fibrilasi ventrikel pada domba tanpa pembedahan toraks terbuka.
Pada tahun 1950-an, riset ini mengarah ke defibrilasi eksternal yang dilakukan oleh
Kouwenhoven dan Milnor di AS. Mereka meneliti berbagai bentuk arus listrik, impuls dan
elektroda dan bertujuan untuk mendapatkan kombinasi yang ideal dari komponen-komponen
tersebut dan pada tahun 1954 mereka berhasil melakukan defibrilasi eksternal pada seekor anjing
dengan arus bolak-balik 60 Hz melalui elektroda yang dipasang di luar dinding dada.
Hingga tahun 1960-an, arus listrik hanya dipakai unuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Pada tahun 1961, takikardia ventrikel yang refrakter terhadap obat-obatan berhasil diterminasi
secara elektif oleh kelompok dr. Lown pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
tahun 1962, kelompok dr. Zoll melaporkan pemakaian elektro-kardioversi eksternal untuk
pertama kalinya pada AF.
Sejak saat itu, kinerja kardioversi terus dioptimalkan, terutama dalam hal kekuatan
arus listrik dan bentuk arus listrik, serta tempat keluarnya arus litrik pada dinding dada. Tentu
saja, kemajuan terhebat dalam hal ini adalah dikembangkannya bentuk arus listrik bifasik
dengan pembalikan jalur arus/ reversal of current path (arah arus) setelah fase awal keluaran
energi, yang pertama kali dipakai pada akhir tahun 1980-an pada defibrilator yang dapat
ditanam (implantable defibrillators) dan kemudian diperkenalkan pada akhir tahun 1990-an
untuk defibrilasi eksternal dan pada akhirnya tujuannya adalah membuat implantable
defibrilator yang lebih kecil dan membuat defibrilator semi-otomatis manual tersedia di
pasaran. Berbagai jenis arus bifasik dikembangkan oleh berbagai jenis perusahaan (Smart
Biphasic, Adaptive/3D Biphasic, SCOPE Biphasic, Orbital Biphasic, Multipulse Biowave,
Star Biphasic, Rectilinear, dsb); semuanya bertujuan untuk mengembangkan bentuk syok
listrik yang optimal dan efisien dan dapat disimpulkan bahwa semuanya mendapatkan hasil
yang serupa tergantung pada impedansi pasien.

Prinsip Prosedur Pengoperasian Defibrillator


Prinsip penggunaan alat defibrilaator Dibagi Dalam Tiga Tahap :
 Pemilihan besarnya energi dan mode pengoperasian
 Pengisian energi (charge) pada kapasitor
 Pembuangan energi dari kapasitor ke pasien (discharge).

68
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

PRINSIP DASAR

1. Besarnya energi dilakukan dengan memutar selector pemilihan energi R 3, set Level yang akan
mengatur besarnya tegangan yang akan timbul pada pengisian kapasitor C 1.
2. Bila tombol charge ditekan maka akan terjadi pengisian kapasitor C 1, dan tegangan pada kapasitor
C1, dideteksi oleh detector A1 melalui pembagi tegangan R 1 dan R2 yang bersesuaian dengan
tegangan pada C1.
3. Bila tegangan pada pembagi tegangan telah lebih besar dari tegangan R 3, maka A1 keluarannya
akan menyebabkan High-voltage DC supply tidak lagi mensupply tegangan ke kapasitror C 1.
4. Bila ditekan tombol discharge tegangan pada kapasitor C 1 akan berpindah sehingga tubuh atau
jantung akan mendapatkan energi listrik dari kapasitor C 1. Bentuk tegangan yang diberikan pada
pasien dipengaruhi oleh adanya induktor

BENTUK ENERGI YANG DIBERIKAN KE PASIEN


1. Satu phase (Monophasic) atau Defibrillator ac (alternating current)
Defibrillator ac merupakan defibrillator pertama yang dikenal sejak sebelum tahun
1960. Defibrillator ini menggunakan arus listrik 5 sampai 6 Ampere, dengan frekuensi
60 Hz yang dipasangkan di dada pasien selama 250 sampai 1000 ms. Tingkat
keberhasilan defibrillator ac ini agak rendah, sehingga tak dapat menangani fibrillasi
atrial secara baik. Bahkan dalam kenyataan, pada saat mencoba mengatasi fibrillasi
atrial dengan defibrillator ac seringkali malah menghasilkan fibrillasi ventrikel yang
merupakan aritmia yang lebih serius.
Jenis defibrillator ac menggunakan sejumlah siklus arus bolak-balik yang
berasal dari aliran jala-jala melalui transformator step-up untuk dialirkan ke jantung.
Rangkaian defibrillator ac yang lazim (typical) ditunjukkan pada Gambar 1. Untuk
mencapai defibrillasi, pada elektroda internal diperlukan jangkauan tegangan 80
sampai 300 Vrms; sedangkan untuk elektroda eksternal maka diperlukan sekitar dua kali
lipat dari range tegangan di atas. Sehingga untuk memperoleh nilai tegangan tersebut
maka diperlukan transformator step-up untuk menaikkan tegangan yang berasal dari
jala-jala. Operator dapat memilih tegangan yang diinginkan melalui saklar pemilih
(selector switch). Transformator ini harus dapat mensuplai 4 sampai 6 Ampere selama
perioda stimulus . Transformator dilengkapi dengan saklar yang dapat mengontrol
interval waktu arus pulsa. Interval waktu arus pulsa yang digunakan biasanya pada
orde 250 ms.

69
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

2. Dua phase (Biphasic) atau Defibrillator dc (direct current)


Mulai tahun 1960 dikembangkan beberapa defibrillator dc. Instrumen ini
menyimpan muatan listrik dc dan selanjutnya diberikan pada pasien. Perbedaan utama
(prinsipil) antara defibrillator dc dengan defibrillator ac adalah bentuk-gelombang dan
muatan listrik yang diberikan pada pasien. Bentuk gelombang yang lazim adalah
bentuk Lown, monopulse, delay-line dan trapezoidal.
Keuntungan defibrillator dc adalah:
1. Dapat mengurangi efek perusakan pada jantung karena tidak menimbulkan
fibrillasi ventrikel seperti pada pulsa ac.
2. Dapat mengurangi efek convulsive pada otot rangka (skeletal muscle).
3. Dapat digunakan dalam pengubangan aritmia supraventricular (atrial) dengan
baik
Pada tahun 1962 Dr. Bernard Lown dari Universitas Harvard memperkenalkan
bentuk-gelombang yang menggunakan namanya yang disebut bentuk-gelombang
Lown. Bentuk-gelombang Lown ditunjukkan pada Gambar 2, di mana tegangan dan
arus yang dikenakan pada bagian atas dada pasien ditunjukkan dengan garis putus-
putus. Arus yang dibangkitkan sangat cepat sekitar 20A pada tegangan sumber sekitar
3 kV (3000 volt). Bentuk-gelombang yang dihasilkan kemudian akan berangsur turun
ke nol dalam waktu 5 ms dan kemudian menghasilkan kembali pulsa negatif yang
kecil juga selama 5ms. Untuk besarnya energi listrik Biphasic yang diberikannya
berkisar sampai dengan 200 joule

Gambar 2. Ilustrasi perbedaan cara kerja dari alat DC shock monofasik dan bifasik

70
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Penggunaan Obat Pada Defibrilasi 


Apabila VF / pulseless VT bertahan setelah pemberian kejut pertama dan RJP selama 2
menit, pasien dapat diberikan medikasi. Pengobatan yang diberikan adalah vasopressore
dengan tujuan meningkatkan aliran darah miokardium saat RJP dan mencapai return of
spontaneous circulation (ROSC). Puncak efek pemberian vasopressor intravena (IV) atau
intraosseous (IO) adalah sekitar 1 -2 menit setelah pemberian dosis bolus. Waktu optimal
untuk pemberian vasopressor saat RJP selama 2 menit belum ditentukan, karena bila ritme
gagal diperbaiki maka obat ini dapat meningkatkan aliran darah miokard agar kejut
berikutnya berhasil. Namun kalau kejut pertama berhasil, pemberian obat vasopressor
(sebelum mengecek ritme) dapat mengganggu stabilitas jantung. Permasalahan berikut adalah
kalau menambahkan pengecekan ritme diantara pemberian kejut dan sebelum pemberian
vasopressor dapat mengurangi perfusi miokardium dan menggagalkan ROSC. [5]
Obat antiaritmia lini pertama untuk henti jantung adalah amiodarone, yang telah
dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan ROSC pada pasien dengan refractory
VF/pulseless VT. Amiodarone dapat dipertimbangkan bila ritme gagal diperbaiki oleh
defibrilasi, RJP, atau terapi vasopressor. Kalau amiodarone tidak tersedia, pasien juga dapat
diberikan lidocaine walaupun lidocaine belum terbukti untuk meningkatkan ROSC. Obat
magnesium sulfate hanya boleh diberikan kepada pasien dengan torsades de pointes dengan
interval QT yang memanjang.[5]
Tujuan pemberian pengobatan ACLS saat henti jantung adalah untuk mencapai ROSC
atau hospital admission. Namun penggunaan obat-obatan ini belum dibuktikan dapat
meningkatkan survival rate hingga hospital discharge atau outcome neurologis yang baik.

Indikasi defibrilasi adalah ritme jantung yang shockable yaitu: 


 Takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless  VT) 

Gambar 3. Takikardia ventrikel

 Fibrilasi ventrikel 

Gambar 4. Fibrilasi ventrikel

71
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Kontraindikasi defibrilasi adalah ritme jantung yang non-shockable yaitu: 


 Asistol
 Aktivitas elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity / PEA)
 Ritme jantung normal/ sinus, takikardia supraventrikular stabil

Gambar 5. Algoritme penatalaksaan cardiac arrest

72
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

B. PENATALAKSANAAN CARDIORESPIRATORY ARREST

NO. LANGKAH KLINIK KASUS


1. Periksa semua kelengkapan alat
1. Pada korban tidak sadar pastikan penderita tidak sadar
dengan cara memanggil, menepuk punggung, menggoyang
atau mencubit.
2. Jika tidak ada napas (bernapas tapi hanya gasping) atau tidak
ada respon maka cek nadi, pastikan nadi dalam 10 detik
3. Jika tidak ada denyut nadi maka mulai RJP
4. Atur posisi pasien dan letakkan pada dasar yang keras
5. Bila tidak teraba lakukan pijatan jantung dari luar 30 kali
pada titik tumpu yaitu 2 jari diatas processus xyphoideus.
Kemudian dilanjutkan dengan napas buatan sebanyak 2 kali
tiupan.
6. Letakkan satu tangan pada titik tekan, tangan lain di atas
punggung tangan pertama.
7. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum. Kedua
lutut penolong merapat, lutut menempel bahu korban.
8. Tekan ke bawah minimal 2 inci atau 5 -6 cm cm pada orang
dewasa , dengan cara menjatuhkan berat badan ke sternum
korban
9. Kompresi secara ritmik & teratur 100-120 kali/menit
Lakukan evaluasi tiap akhir siklus kelima terhadap napas,
denyut jantung, kesadaran dan reaksi pupil.
10. Rekam irama jantung, apakah irama shockable atau non
shockable
11. Bila shockable maka segera dilakukan DC shock
12. Ambil paddles dari sisi samping alaT
13. Yakinkan dalam keadaan kering
14. Beri jelly pada permukaan paddle
15. Tempelkan paddle pada pasien diposisi apeks dan sternum
16. Tekan tombol energy/charge
17. Lakukan pengisian dengan menekan satu tombol pada paddle,
lalu proses pengisian dapat dilihat di monitor
18. Jangan menyentuh pasien, pastikan area aman dengan
memberikan koe “I’m clear, everybody clear”

73
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

19. Setelah proses pengisiian selesai maka akan terdengar suara


“beep”, pada display muncul tulisan “Defibrillator Ready” dan
pada tombol paddle akan menyala
20. Tekan paddle agak menekan ke tengkorak
21. Untuk pengosongan tekan kedua tombol pada paddle secara
bersamaan
22. Setelah selesai pilih switch pada tombol energy menunjukkan
angka “0”
23. Evaluasi tiap 5 siklus, cek m=nadi dan monitor

74
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR TILIK

NO. LANGKAH KLINIK


0 1 2
1. Periksa semua kelengkapan alat
2. Pada korban tidak sadar pastikan penderita tidak
sadar dengan cara memanggil, menepuk punggung,
menggoyang atau mencubit.
3. Jika tidak ada napas (bernapas tapi hanya gasping)
atau tidak ada respon maka cek nadi, pastikan nadi
dalam 10 detik
4. Jika tidak ada denyut nadi maka mulai RJP
5. Atur posisi pasien dan letakkan pada dasar yang keras
6. Bila tidak teraba lakukan pijatan jantung dari luar
30 kali pada titik tumpu yaitu 2 jari diatas processus
xyphoideus. Kemudian dilanjutkan dengan napas
buatan sebanyak 2 kali tiupan.
7. Letakkan satu tangan pada titik tekan, tangan lain di
atas punggung tangan pertama.
8. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum.
Kedua lutut penolong merapat, lutut menempel bahu
korban.
9. Tekan ke bawah minimal 2 inci atau 5 -6 cm cm pada
orang dewasa , dengan cara menjatuhkan berat badan
ke sternum korban
10. Kompresi secara ritmik & teratur 100-120 kali/menit
Lakukan evaluasi tiap akhir siklus kelima terhadap
napas, denyut jantung, kesadaran dan reaksi pupil.
11. Rekam irama jantung, apakah irama shockable atau
non shockable
12. Bila shockable maka segera dilakukan DC shock
13. Ambil paddles dari sisi samping alat
14. Yakinkan dalam keadaan kering
15. Beri jelly pada permukaan paddle
16. Tempelkan paddle pada pasien diposisi apeks dan
sternum
17. Tekan tombol energy/charge

75
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

18. Lakukan pengisian dengan menekan satu tombol pada


paddle, lalu proses pengisian dapat dilihat di monitor
19. Jangan menyentuh pasien, pastikan area aman dengan
memberikan koe “I’m clear, everybody clear”
20. Setelah proses pengisiian selesai maka akan terdengar
suara “beep”, pada display muncul tulisan
“Defibrillator Ready” dan pada tombol paddle akan
menyala
21. Tekan paddle agak menekan ke tengkorak
22. Untuk pengosongan tekan kedua tombol pada paddle
secara bersamaan
23. Setelah selesai pilih switch pada tombol energy
menunjukkan angka “0”
24. Evaluasi tiap 5 siklus, cek m=nadi dan monitor

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, tetapi kurang benar
2 = Dilakukan dengan benar

Makassar, ..........................2020

Mengetahui :
Instruktur/Koordinator

.......................................

76

Anda mungkin juga menyukai